Bab 1: Kopi Pertama, Pertemuan Kedua
“Mbak, ini kopi atau air rendaman sendal?”
Suara berat itu datang dari arah meja pojok, mengganggu fokus Rania yang sedang menata susunan croissant di etalase. Ia menoleh dengan alis terangkat, menemukan seorang pria dengan hoodie kusut, celana jeans belel, dan buku tebal yang terlihat lebih tua dari dirinya. Pria itu menatap cangkir kopinya seolah-olah cangkir tersebut baru saja menghina seluruh keluarganya.
“Maaf, Mas? Maksudnya apa ya?” Rania menghampiri dengan langkah tenang tapi mata penuh kewaspadaan. Ini masih pagi, dan ia belum siap berurusan dengan pelanggan rese.
“Ini kopinya. Hambar. Pahit, tapi nggak enak. Kayak hidup gue.” Pria itu mendesah panjang, menutup bukunya dengan suara berdebam kecil. “Nggak ada rasa-rasa bahagia gitu.”
Rania berkedip beberapa kali, berusaha mencerna kalimat absurd yang baru saja dilontarkan. “Mas, ini Americano. Emang nggak ada rasa manisnya.”
“Ya terus kenapa nggak kasih gula?” Pria itu menyandarkan tubuh ke kursi, memasang ekspresi datar. “Nggak semua orang kuat hidup pahit-pahit gini, Mbak.”
“Lain kali pesan es teh manis aja, Mas,” balas Rania dengan senyum palsu, yang lebih terlihat seperti ancaman terselubung. Ia berbalik menuju kasir, meninggalkan pria itu dengan segelas kopi pahit dan rasa kepo yang tiba-tiba muncul.
---
Dua jam kemudian, pria itu masih ada di sana. Duduk di sudut yang sama, dengan buku yang sama, dan tatapan kosong yang membuat Rania penasaran: ngapain dia nggak pulang-pulang?
“Kamu ngeliatin dia dari tadi, loh,” bisik Adit, rekan kerja sekaligus sahabat Rania yang sedang menggiling biji kopi. “Suka ya?”
“Ha? Ngaco. Mana ada.” Rania mencibir. “Gue cuma bingung. Kok dia betah nongkrong lama-lama padahal ngeluh terus soal kopinya.”
“Mungkin dia nunggu inspirasi,” tebak Adit dengan nada misterius. “Kata gue sih, itu tipikal penulis yang lagi cari ide buat novelnya.”
“Penulis?” Rania memandang pria itu lagi. Kali ini lebih lama. Jaketnya memang lusuh, tapi rapi. Buku tebal di tangannya juga bukan sembarang buku; ada tanda-tanda bekas catatan di tiap halaman. Sesekali, dia mengetik sesuatu di laptopnya, lalu menghela napas panjang.
“Kalau gitu, gue bakal kasih dia satu lagi ‘inspirasi’,” gumam Rania sambil meraih cangkir kopi baru.
---
“Nih, Mas. Satu cangkir lagi. On the house.”
Pria itu mendongak, tampak terkejut. “Kenapa ngasih gratis?”
“Biar hidup Mas nggak pahit-pahit amat,” jawab Rania santai. “Dicoba aja. Siapa tahu suka.”
Dia mengangkat cangkir itu, mencium aromanya sebentar, lalu menyesap. Matanya menyipit sedikit, sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Ini baru enak. Kopi susu?”
“Signature Latte,” Rania menyeringai bangga. “Buat orang-orang yang nggak kuat hidup pahit.”
Pria itu tertawa kecil, sebuah tawa yang membuat Rania terkejut karena suara baritonnya terdengar lebih hangat dari sebelumnya. “Nama gue Bintang.”
“Rania.” Mereka berjabat tangan singkat. Ada rasa aneh yang muncul, seperti deja vu, tapi Rania mengabaikannya.
“Jadi, Mbak Rania ini pemilik kafe?” tanya Bintang sambil menyesap lagi kopinya.
“Barista, bukan pemilik.” Rania menggeleng. “Tapi suatu hari nanti, gue pengen punya kafe sendiri. Yang lebih gede, lebih cozy, dan... ya, nggak cuma jual kopi pahit.”
Bintang tertawa lagi. “Keren. Semoga kesampaian. Tapi saran gue, jangan bikin hidup pelanggan jadi bahan guyonan.”
“Itu kan biar lucu,” Rania membela diri dengan cengiran lebar. “Lagipula, gue cuma bercanda, kok.”
“Lucu sih,” Bintang mengakui. “Tapi hati-hati, nanti ada pelanggan baper.”
Rania hanya tertawa kecil sebelum kembali ke kasir. Tapi di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan pria ini. Entah apa, tapi dia penasaran.
---
Beberapa hari kemudian, Bintang menjadi pelanggan tetap. Setiap pagi, dia akan duduk di sudut yang sama, dengan buku yang sama, dan kebiasaan yang sama: mengeluh soal kopi sebelum akhirnya menerima rekomendasi dari Rania. Obrolan mereka semakin panjang dan santai, mulai dari topik ringan seperti cuaca, hingga hal-hal absurd seperti kenapa kucing selalu merasa lebih superior dari manusia.
“Menurut gue,” kata Bintang suatu pagi, “kucing itu tahu kalau manusia nggak bisa hidup tanpa mereka. Makanya mereka santai aja.”
“Beda sama anjing,” tambah Rania. “Anjing itu setia, selalu nurut.”
“Jadi kamu lebih suka anjing?” tanya Bintang, mengangkat alis.
“Gue suka semuanya,” jawab Rania dengan santai. “Selama mereka nggak ganggu hidup gue.”
Bintang tertawa lagi. “Kamu punya filosofi hidup yang unik, Rania.”
“Thanks, I guess?”
---
Hari itu, sebelum Bintang pergi, dia meninggalkan catatan kecil di meja. Sebuah post-it kuning dengan tulisan tangan yang rapi:
“Thanks for the coffee and the conversations. You make life less bitter.”
Rania tersenyum kecil membaca pesan itu. Tanpa sadar, ia merasa ada sesuatu yang berubah. Entah dari cara Bintang berbicara, atau dari caranya sendiri memandang hidup. Tapi satu hal yang pasti: kopi pahit memang bisa terasa manis kalau diminum bersama orang yang tepat.
To be continued...
Bab 2: Konspirasi Kopi dan Takdir yang Bercanda
Pagi itu, Rania sedang sibuk meracik pesanan pelanggan saat Adit menyeletuk dari belakang, “Eh, si ‘Mas Pahit’ datang lagi tuh.”
Rania otomatis menoleh ke arah pintu. Bintang, dengan hoodie yang sama seperti kemarin—serius, dia nggak punya baju lain apa?—melangkah masuk dengan santai. Kali ini, dia membawa laptop yang terlihat lebih berat dari nasibnya.
“Pagi, Mbak Rania,” sapa Bintang sambil melambaikan tangan.
“Pagi, Mas Inspirasi Mandek,” balas Rania tanpa pikir panjang.
Bintang tertawa kecil sebelum duduk di tempat favoritnya: meja pojok dekat jendela. Setelah beberapa detik menatap daftar menu, dia mengangkat tangan lagi. “Mbak, ada kopi yang bisa bikin ide muncul nggak?”
Rania mendekat dengan senyum penuh misteri. “Ada. Tapi harganya mahal, Mas. Bayarnya pake cerita hidup.”
“Waduh. Itu bayarannya berat, ya?” Bintang menggaruk kepala. “Tapi kalau cuma cerita hidup, gue bisa bagi-bagi gratis.”
Adit yang sedang lewat ikut nimbrung, menatap Bintang dengan ekspresi serius. “Mas, hati-hati. Mbak Rania ini kolektor cerita patah hati.”
“Halah!” Rania menyikut Adit sambil tertawa. “Jangan dengerin dia, Mas. Lagian, cerita lo nggak menarik buat gue.”
Bintang pura-pura terkejut. “Mbak belum denger, kok udah nge-judge?”
“Feeling gue tajam.” Rania menepuk dada. “Insting barista.”
---
Sejam kemudian, Rania kembali menghampiri Bintang yang masih duduk dengan tatapan kosong menatap layar laptop. “Masih buntu?” tanyanya.
Bintang menghela napas panjang. “Gue mau nulis cerita tentang dua orang yang ketemu di kafe. Tapi klise banget, ya?”
“Kalau semua klise dihindarin, nggak ada cerita, Mas.” Rania duduk di kursi seberang. “Yang penting gimana cara lo bikin ceritanya jadi seru.”
“Seru gimana?”
Rania berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Tambahin twist. Misalnya, salah satu karakternya ternyata alien.”
“Hah? Alien?”
“Kenapa nggak? Siapa tahu alien suka ngopi juga.” Rania mengangkat bahu santai.
Bintang tertawa terbahak-bahak. “Oke, itu absurd. Tapi gue suka.”
---
Obrolan mereka terus berlanjut, dari topik alien pecinta kopi hingga konspirasi pemerintah yang sengaja bikin kopi instan jadi nggak enak biar orang-orang lebih sering ke kafe. Rania bahkan sempat mengajukan teori bahwa barista adalah agen rahasia yang dilatih untuk mempengaruhi selera pelanggan.
“Jadi gue ini target lo?” tanya Bintang dengan nada penuh kecurigaan palsu.
“Bisa jadi,” jawab Rania sambil mengedipkan mata. “Siapa tahu, Mas Bintang adalah eksperimen gue yang ke-99.”
“Waduh, gue eksperimen gagal dong?”
“Mungkin aja.” Rania tertawa, merasa aneh karena sudah nyaman berbicara dengan Bintang. Padahal, mereka baru kenal beberapa hari. Tapi entah kenapa, obrolan dengan pria ini selalu mengalir seperti aliran kopi ke dalam cangkir—smooth dan menenangkan.
---
Sore itu, sebelum Bintang pergi, dia menyodorkan sebuah kertas ke Rania. “Ini draft ceritanya. Nggak bagus-bagus amat, sih. Tapi coba baca, ya?”
Rania mengambil kertas itu dengan ragu. “Serius, gue boleh baca?”
“Boleh dong. Gue butuh feedback dari agen rahasia kayak lo.”
“Gue nggak janji bakal kasih pujian, lho.”
“Gue nggak butuh pujian. Gue butuh kritik pedas.”
“Oke, siap.” Rania menyelipkan kertas itu ke apron dan melambaikan tangan saat Bintang melangkah keluar. Ada sesuatu yang hangat di dadanya, perasaan yang sulit dijelaskan. Seperti menemukan teman lama yang lama hilang, meskipun mereka baru bertemu.
To be continued...
Bab 3: Kritik Pedas dan Senyuman Manis
Malam itu, di kamar kosnya yang mungil, Rania duduk bersila di atas kasur dengan kertas draft cerita Bintang di tangannya. Lampu meja redup menemani, sementara secangkir kopi buatan sendiri mengepul pelan di sebelahnya.
“Oke, Rania. Waktunya jadi kritikus profesional,” gumamnya, mencoba menyemangati diri sendiri.
Judul cerita Bintang adalah “Dua Cangkir, Satu Takdir.” Klise, tapi ada sesuatu yang bikin Rania tertarik untuk membaca lebih jauh. Paragraf pertama cukup kuat, menggambarkan suasana kafe yang mirip dengan tempat kerjanya sendiri. Karakter utamanya, seorang barista cewek pecicilan bernama Maya, langsung mengingatkan Rania pada dirinya sendiri.
“Hah, ini gue banget,” Rania terkekeh pelan. Dia melanjutkan membaca, tertawa di beberapa bagian, dan mengernyit saat menemukan kalimat yang terasa terlalu dramatis. Sesekali, ia mencoret-coret kertas dengan pensil, meninggalkan komentar seperti:
“Ini dialognya terlalu lebay, Mas.”
“Keren, tapi coba tambahin sedikit humor.”
“Bagian ini gue suka! Simpel tapi ngena.”
Sampai halaman terakhir, Rania menyadari satu hal: cerita ini sederhana, tapi punya hati. Bintang berhasil menangkap momen-momen kecil yang terasa nyata, seperti obrolan ringan di meja kafe atau tatapan penuh arti di antara dua karakter.
“Dia punya bakat,” pikir Rania. “Tapi butuh sedikit sentuhan biar lebih hidup.”
---
Keesokan paginya, Bintang sudah ada di kafe saat Rania datang. Dia duduk di meja biasa, kali ini dengan ekspresi cemas seperti anak kecil yang menunggu hasil ujian.
“Udah baca?” tanyanya begitu Rania mendekat.
“Udah.” Rania mengeluarkan kertas draft dari tasnya dan meletakkannya di meja. “Masih banyak yang harus diperbaiki.”
Bintang membaca catatan Rania dengan serius, sesekali mengangguk-angguk. Lalu, dia tertawa pelan. “Dialog lebay, ya? Pantes gue ngerasa aneh pas nulisnya.”
“Iya, kayak sinetron,” goda Rania sambil menyeduh kopi untuk Bintang. “Tapi ada bagian yang bagus, kok. Lo punya gaya nulis yang enak dibaca.”
“Serius?”
Rania mengangguk. “Serius. Cuma butuh polish dikit. Gue yakin cerita lo bakal keren.”
Bintang tersenyum, senyum yang lebih tulus dari biasanya. “Makasih, Rania. Gue nggak nyangka lo bakal se-supportive ini.”
“Jangan salah sangka, Mas. Gue tetep bakal kritik kalau ceritanya jelek,” balas Rania sambil tertawa.
“Deal. Gue suka orang yang jujur.” Bintang mengangkat cangkirnya, seolah-olah bersulang. “Untuk kritik pedas dan senyuman manis.”
Rania mengangkat alis. “Itu gombal?”
“Enggak, kok. Purely observational.”
“Halah.”
---
Hari itu, mereka ngobrol lebih lama dari biasanya. Bintang bercerita tentang pekerjaannya sebagai penulis lepas, bagaimana dia sering mendapat tekanan dari editor, dan bagaimana kopi menjadi satu-satunya pelarian. Rania, di sisi lain, berbagi impiannya membuka kafe sendiri dan tantangan yang dihadapinya sebagai barista.
“Lo yakin mau buka kafe? Kompetisinya ketat, lho,” kata Bintang, mengaduk-aduk kopinya.
“Yakin. Gue suka tantangan,” jawab Rania mantap. “Lagian, hidup itu kayak kopi. Kalau terlalu manis, nggak seru.”
Bintang mengangguk setuju. “Betul. Kadang, rasa pahit bikin kita lebih menghargai manisnya.”
Mereka saling tersenyum, dan untuk sesaat, dunia terasa lebih tenang.
---
Saat malam tiba, Bintang menutup laptopnya dan bersiap pulang. Tapi sebelum pergi, dia meninggalkan pesan singkat di atas serbet kertas:
“Thank you for making my days less bitter. See you tomorrow, Mbak Barista.”
Rania membaca pesan itu sambil tersenyum kecil. Entah kenapa, hati kecilnya berharap besok datang lebih cepat.
To be continued...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!