"Vie aku takut!" suara pelan sambil gemetar, dan sedikit air mata telah membasahi pipi Suna.
"Oke tenang, di sini kita aman, jangan menangis nanti ketahuan," jawab pria yang sedang menenangkan kekasihnya, dengan tenang.
"Ternyata tidak mudah menenangkan seseorang sambil menahan luka di lengan kiri, apa lagi aku dan Suna berada di dalam lemari tua yang hanya muat dengan dua orang," sambung pria itu dalam hatinya.
Pria itu bernama Davie, dan ia sedang terjebak bersama kekasihnya Suna.
Dug-dug-dug ...
Suara langkah kaki sudah mendekat, kira-kira ada dua orang.
"Tunggu sebentar!"
Tampaknya ada lebih dari dua orang, terdengar suara kakinya pun mulai ramai.
"Suna, ponsel kamu ada sinyal?" Davie berbisik dan kakinya mulai gemetar di dalam lemari sempit itu.
"Ini... ada sinyal 1 bar, tapi aku tidak tahu bisa di gunakan atau tidak," sahut Suna ketakutan, "Vie aku takut!"
Nada bicara Suna sekarang semakin pelan dan agak bergetar.
"Sssttttt... tenang, kita aman di sini!" jawab Davie sambil mengambil ponsel milik Suna.
Gelap akhirnya berubah menjadi terang karena cahaya dari layar ponsel yang sedang di utak-atik, kemudian pria itu melihat ke wajah Suna, kekasihnya yang sudah ketakutan. Air mata Suna mulai menetes perlahan menuju pipinya.
"Vie cahayanya ... bisa kamu matikan dulu, itu ada yang datang kesini ..." Suna berbisik lirih sambil menutup mulutnya.
Dor-dor-dor ....
Dor-dor-dor ....
"Groooowhhhlgggggghhhh ..."
Terdengar suara menggeram, seperti sedang growl. Dan suaranya pelan tapi terdengar sangat dekat.
Dor-dor-dor ....
Dor-dor-dor ....
Dor-dor-dor ....
Suara ketukan pintunya semakin keras kali ini, Suna pun sudah tak bisa menahan tangisannya. Davie hanya bisa terdiam, gemetar, dan tidak tahu apa yang harus di lakukannya.
Dia melihat lagi ke arah kekasihnya Suna, dan air matanya jatuh lagi, kali ini meluncur cepat ke pipinya, dan hampir masuk ke mulutnya.
"Jangan menangis Suna, please ... nanti kita bisa ketahuan!" ucap Davie sambil membasuh air mata yang sudah membasahi pipi kekasihnya.
"Aku takut Vie ... aku takut!" Ujar Suna sambil menangis tanpa suara.
"Ssstttttttt ..."
Davie masih berusaha membuat kekasihnya tenang, "Tarik nafas yang dalam, terus keluarkan lewat mulut perlahan."
"Dor-dor-dor ..." suara itu terdengar lagi, dan kali ini agak lebih keras dengan emosi tersalur dari tiap ketukannya.
Suna yang ketakutan memeluk kekasihnya erat, Davie pun merasakan apa yang Suna rasa. Ia juga merasakan getaran hebat yang bersumber dari tubuh Suna, saat ia membalas pelukan Suna.
Ketukan pintu itu berhenti dan seketika, dan suasana tiba-tiba hening begitu saja.
Sampai akhirnya ... “bruuuaaaakkk" seseorang di balik pintu berusaha mendobrak pintu itu dari luar.
Bruuuaaaakkk ...
Bruuuaaaakkk ...
Bruuuaaaakkk ...
Kemudian terdengar suara “kreeeeekkkk” dari pintu kayu tua, yang sepertinya sudah berhasil di rusak oleh seseorang yang berada di balik pintu.
Suasana semakin hening, Suna sudah bisa berhenti menangis, tapi tubuhnya masih saja gemetar.
Davie yang sedari tadi mencoba menenangkan kekasihnya, sudah tidak bisa berpikir lagi. Ia melihat Suna yang sudah memejam kan matanya, dan terlihat mulutnya bergerak cepat seperti sedang merapalkan doa-doa. Kemudian mereka mendengar suara langkah kaki mulai masuk ke dalam ruangan dan sepertinya itu suara langkah satu orang saja.
"Vie i love you ..." ucap lirih Suna sambil di ikuti isak tangisnya.
"Tenang saja, kita pasti bisa melewati ini, dan segera keluar dari sini, percaya padaku!"
Dug-dug-dug ....
Suara langkah kaki berat terdengar dan sedang berjalan dengan hati-hati, sambil mencari keberadaan dua sejoli itu.
Kemudian Davie mengintip dari sela-sela lemari, dan ia melihat seseorang memakai pakaian seperti jubah, dengan warna yang serba hitam. Orang itu juga mengenakan tudung kepala, dan mengenakan topeng berwajah flat, tanpa ekspresi.
"Tunggu dulu, ia membawa apa itu? Bentuknya seperti celurit tapi agak kecil dan lengkungannya tidak terlalu dalam."
Orang yang mengenakan jubah hitam itu mendekat ke arah lemari, dengan langkah yang hampir tak terdengar suaranya. Davie yang berada di dalam lemari bersama kekasihnya, masih memperhatikan orang berjubah hitam itu yang melangkah perlahan, dengan langkah yang sangat hati-hati.
Orang berjubah hitam itu semakin dekat dengan lemari tua, dan tangan kanannya yang memegang benda tajam mulai memasang kuda-kuda seperti ingin menyerang.
"Ohh my gosh!" ucap Davie dalam hati, jantungnya
mulai berdegup kencang, dan keringatnya mulai mengucur deras.
Orang berjubah hitam itu semakin dekat ...
Semakin dekat ...
Semakin dekat ...
Semakin dekat ... dan tiba-tiba ....
Davie menatap mata orang berjubah melalui celah kecil dari lemari. dan dari lubang topeng yang di kenakan pria berjubah itu, ia melihat bola mata orang itu yang melirik ke arahnya.
Jantung Davie seolah terhenti dan dengkulnya sudah merasa lemas, kali ini ia sangat ketakutan dan tubuhnya pun mulai gemetaran.
Suna tetap memeluk kekasihnya dan pelukan nya sangat erat kali ini.
Orang berjubah hitam itu pun menghampiri lemari, dan ia memaksa membuka lemari itu yang sedang di tahan dari dalam, Davie yang berada di dalam lemari kurang beruntung karena pegangannya terlalu kecil, dan hal itu membuatnya tidak bisa menahan lemari itu lebih lama lagi.
Davie yang sedang bersembunyi di dalam tahu kalau ia akan kalah jika tarik menarik seperti ini, dan tanpa pikir panjang ia pun menendang pintu lemari itu hingga orang bertopeng itu pun terpental.
"Ini kesempatan kita ... ayo lari, Suna!"
Sepasang kekasih itu keluar dari lemari dan berlari menuju pintu keluar yang sudah di rusak oleh orang bertopeng itu.
"Aaaaaaaaaaah..." Suna menjerit, dan Davie pun langsung menoleh ke belakang, dan ternyata kaki Suna sedang di cengkram oleh orang berjubah.
"Lepaskan!" teriak Davie sambil menendang tangan orang berjubah itu.
Satu kali tendangan tidak membuat si jubah hitam melepas kan tangannya, Davie pun menendang lagi dengan sekuat tenaga, tapi cengkraman si jubah hitam masi belum juga terlepas, dan ia masih telentang di ubin.
Davie mengambil ancang-ancang dan menendang bahu orang yang mengenakan jubah hitam, dengan sekuat tenaga. Sampai akhirnya genggamannya pun terlepas.
Orang itu sibuk melihat ke sekeliling mencari sesuatu, lalu orang itu pun berdiri dan berjalan mengambil senjatanya.
Davie memasang kuda-kuda layaknya seorang petinju dan berkata, "Tangan kosong kalau berani!"
Orang itu menghampiri Davie dan menjatuh kan senjatanya, tampaknya dia ingin meladeni Davie dengan tangan kosong.
"Vie jangan!"
"Kamu cepat keluar, biar orang ini aku yang urus," sahut Davie penuh percaya diri.
Suna menggelengkan kepalanya dan berkata, "Aku akan menunggu kamu selesai dengan orang itu, dan kita keluar dari sini hidup-hidup."
Davie tersenyum karena kekasihnya mengatakan hal seperti itu, dan ia pun berlari ke arah orang itu dan langsung menyerangnya.
Beberapa pukulan Davie berhasil di hindari orang itu, dan tampaknya memang orang itu sengaja hanya menghindari serangan Davie saja. Mungkin dia ingin membuat Davie kelelahan, dan menyerang balik saat Davie sudah kehabisan tenaga.
Davie pun melancarkan serangan demi serangan ke arah orang itu, tapi orang itu hanya menghindar dan menangkis serangan Davie.
Saat Davie melancarkan pukulan yang penuh amarah, orang itu menahan dengan serangannya dan menangkap tangan Davie.
"Ha-Ha-Ha," orang itu tertawa dan kemudian memukul wajah Davie, kemudian menendang perut Davie sampai Davie terpental.
Orang itu pun mengambil senjatanya dan berjalan menuju Davie, tangannya sudah terangkat dan sudah siap untuk menebas Davie.
Davie melihat jelas ayunan tangannya dengan jelas dan—
"Arrrghhhh ..." jeritan rasa sakit pun terdengar.
"Huaaaaaaaaaa ..." Davie pun berteriak sekuat tenaganya.
Di depan matanya dia melihat kekasihnya terkena sabetan senjata orang itu, Suna tersenyum dan tumbang saat senjata itu di cabut dari bahu Suna.
Darah sudah membanjiri lantai yang kotor, dan Davie menghampiri Suna dan mencoba menutup luka Suna dengan tangannya.
"Percuma Vie, aku sudah kehabisan banyak darah, dan sekarang pandanganku sudah mulai gelap ..." ucap Suna lirih dan nada bergetar.
"Suna tahan, kita ke rumah sakit sekarang!" jawab Davie sambil menahan luka Suna.
"Tidak akan sempat Vie, sekarang kamu harus keluar dari sini hidup-hidup dan melaporkan semua kejadian ini kepada polisi!" ujar Suna.
"Tidak ... baru saja kita berjanji untuk keluar dari sini hidup-hidup, kenapa kamu malah mengingkari ucapanmu sendiri," ucap Davie sambil menangis.
"Vie, aku cin—" ucapan Suna terpotong seiring matanya yang tiba-tiba terpejam.
Davie menepuk-nepuk pipi Suna dan sudah tidak respons dari Suna.
Davie pun mengecek nadinya di tangan dan juga di leher Suna, kemudian air mata nya jatuh begitu saja.
Dia melepaskan tangannya dari luka Suna, dan memukul dadanya sendiri, seakan tak percaya Suna sudah tidak ada.
"Aaaaaaaarrrggghhhhhh ..." teriak Davie keras sekali.
Orang yang mengenakan jubah hitam itu pun sudah sangat sabar, menunggu adegan sedih Davie dan Suna.
Entah bagaimana ekspresi orang berjubah itu, tapi kelihatannya kali ini dia sudah tak sabar lagi, dan ia mulai kesal. Ia mulai berlari ke arah Davie, dan ingin menyerangnya. Davie yang masih meneteskan air mata pun segera bangun dan menghindari sabetan orang itu, dan kemudian dia langsung menendang perut orang itu sampai terjatuh.
Davie pun berusaha keluar dari tempat itu, dia berjalan mundur dan tetap waspada pada orang itu.
Akhirnya dia sampai di bibir pintu, dan Davie pun berlari keluar sambil menangis, ia sambil membayangkan senyum manis Suna sesaat sebelum ajalnya menjemput.
“Tak akan aku biarkan, kalian mengambil kekasihku dengan begitu mudahnya. Aku akan kembali dan membalaskan dendamku, lihat saja!”
......................
Kini hanya ada long black coffee dan penyesalan yang menemani pria yang sedang duduk sendiri. Sore ini tepatnya di coffee shop yang tidak terlalu mewah, tapi menjadi tempat ternyaman di daerah Kemang, Jakarta Selatan.
Sudah dua bulan berlalu dan sosok orang bertopeng itu sudah tidak menghantui lagi, tapi dosanya masih terasa pekat, seperti kopi yang ia nikmati.
Tepat di tanggal 30 ini genap 2 bulan sejak kepergiannya. Ya benar, sekali pergi selamanya. Suna kekasihnya meninggal dan kabarnya ia telah di jadikan tumbal.
Kini yang tersisa hanya kenangannya, dan juga sisa-sisa manis senyumannya. Kerinduan ini telah di tuangkan ke dalam doa, yang tak pernah ia tinggalkan sejak kematian kekasihnya.
Tapi meski begitu, ia masih saja menyesalinya. Karena harusnya tidak terjadi, dan harusnya di sore ini dia masih ada, dan menikmati secangkir kopi dengan senyumnya yang manis.
Matahari sudah mulai hilang, gelap mulai datang. Secangkir kopi sudah hampir habis, dan tampaknya sudah habis 9 batang rokok di hisap tanpa terasa, pria itu melamun sambil menunggu dua orang manusia yang mempunyai hobi terlambat.
Mereka sudah berjanjian untuk bertemu di sini pukul 17:00 WIB. Tapi sampai sekarang, sudah pukul 18:50 WIB mereka belum datang juga.
Menikmati kopi sambil memegang kalung terakhir yang ia pakai, bentuknya seperti kalung biasa, hanya saja ini terbuat dari perak dan liontinnya berbentuk angka 13.
Ya itu tanggal jadian mereka, Davie dan Suna, 13 Desember yang harusnya bulan depan itu genap 3 tahun hubungan mereka.
Namanya Suna Magdalena, wanita kelahiran Bandung, 08 Juli 1995 dan wafat 30 September 2018. Wanita cantik yang tak pernah marah sama sekali, bahkan saat ia kesal pun ia malah tersenyum.
Usianya masih sangat muda dan masih banyak impian yang belum tercapai, tapi apa boleh buat, mungkin tuhan punya rencana lain, dan mungkin ini yang terbaik meski Suna harus mengorbankan dirinya.
Mengorbankan dirinya untuk orang seperti Davie, dan harusnya itu tak pernah terjadi, harusnya Davie yang meninggal waktu itu.
Ini semua karena kecerobohan Davie, dan juga kesombongannya, yang tak percaya bahwa makhluk halus, hantu, setan, jin atau apa pun itu ada di dunia ini.
dan sekarang ia terkena batunya.
...****************...
"Hey, whats up broo!" sapa dari seseorang yang di tunggu sedari tadi.
Akhirnya, 19:25 WIB dua orang merepotkan ini sampai di tempat yang sudah kita sepakati.
"Woi bro, sorry ya lama, soalnya macet banget tadi di jalan... lo sudah lama di sini?" salah satu temannya bertanya.
"Sumpah ya ... kalian itu lama banget, kopi gue sudah habis, dan gue enggak mau tahu lo harus pesan lagi buat gue!" ucap Davie dengan nada tinggi.
Itu Acong, nama aslinya Richard Lim, Ya betul sekali dia orang Cina yang sudah lama tinggal di Indonesia, dan dia adalah yang paling tajir di antara kita.
"Wah gila sih Cong, itu pemerasan namanya, masa telat berapa menit aja di suruh traktir kopi." sahut teman Davie yang satu lagi sambil tertawa.
Dia bernama Satria, biasa di panggil Sat!
Nama aslinya Satria Hardian, pria yang dari dulu selalu gagal mendekati wanita dan belum pernah punya pacar sampai sekarang.
"Woy, apanya yang berapa menit Sat, gue tunggu kalian berdua dari jam 17:30 asal kalian tahu, kalian memang enggak bisa on time banget dari dulu, heran gue!" jawab Davie kesal.
"Oke, gue traktir kopi ... mau makan sekalian? Pesan saja pesan, begitu saja harus debat segala," sahut Acong.
"Nah gitu dong Cong, bukannya dari tadi ... gue kelaparan gara-gara menunggu kalian berdua,"
"Oke, gue tau apa tugas gue sekarang, lo mau pesan apa Cong?" Sahut Satria yang bangun dari tempat duduknya.
"Gue pesan avocado saja Sat, sama kentang goreng," ucap Acong.
"Kalau lo mau pesan apa, long black lagi?" tanya Satria pada Davie.
"Nah itu lo tahu, sama itu Sat apa tuh namanya... Aduh lupa gue, tunggu sebentar,"
"Apa? Cepat lama banget lo, Dav!" tegas Satria yang sudah tak sabar ingin memesan.
"Kentang saja deh kentang sama kaya Acong."
Satria menggerutu pelan dan hampir tak terdengar, ia pun pergi meninggalkan teman-temannya dan segera memesan. Sambil menunggu pesanan mereka tiba, mereka saling bercerita satu sama lain.
Acong dan Satria adalah teman Davie saat ia masih SMA, terus kuliah di universitas yang sama dan pernah bekerja di tempat yang sama juga.
Tapi sekarang Acong sudah memulai bisnis baru, dia mulai mencoba peruntungan di dunia bisnis, dan yang di pilihnya adalah bisnis kuliner.
Tepatnya dia baru saja buka restoran Korea di daerah Kemang, tak jauh dari tempat ini.
Kalau Satria sekarang dia sedang melanjutkan sekolah S2nya. Biarpun agak slengean tapi Satria yang paling pintar di antara kami semua.
Davie Satya Negara, biasa di panggil Davi, Dav, dan panggilan spesial kekasihnya adalah "Vie."
Davie kelahiran Jakarta, 01 Januari 1994. Ya betul sekali, semua orang di muka bumi ini setiap tahun ikut merayakan hari ulang tahunnya dengan kembang api dan suara-suara trompet yang meriah "Istimewa bukan?"
Hal yang paling ia benci di sini adalah setiap ulang tahunnya, itu pasti tanggal merah. Otomatis teman, kerabat, dan juga keluarga, semua minta di traktir karena itu hari libur.
Malam semakin larut, tidak terasa sudah pukul 22:00, dan di sini obrolan mereka mulai serius, aku di sini mengundang mereka berdua sebenarnya ada misi untuk membalas kematian Suna.
Sebenarnya ada 2 orang lagi yang tidak bisa hadir, tapi itu tidak masalah.
Ini bisa di bicarakan terlebih dahulu, kemudian jika sudah bulat keputusannya, aku berniat untuk mengundang 2 orang itu juga.
"Jadi bagaimana rencana kita, Dav?" tanya Acong.
"Gue sih maunya kita ke sana, terus mengacak-ngacak tempat itu," jawab Davie.
"Lo gila ya? Itu sama saja mengantarkan nyawa namanya," sahut Acong.
"Sudah di mulai pembahasannya guy’s?" tanya Satria yang baru saja selesai memesan makanan lagi.
"Davie tidak waras Sat, masa dia mau ke sana buat balas dendam," ucap Acong.
"Kalo gue sih setuju sama Davie," balas Satria.
"Nah, ini baru teman gue!" sahut Davie sambil tos dengan Satria.
"Tapi Dav, kita harus buat rencana dan juga persiapan yang matang buat ke sana, secara itu di Kalimantan," sambung Satria.
"Lagian lo sama Suna kenapa sih, liburan jauh-jauh banget?" tanya Acong.
"Sudah, itu enggak penting ... yang penting sekarang lo mau ikut apa enggak?" jawab Davie dan melontarkan pertanyaan balik pada Acong.
Acong mengangkat pundaknya dan berkata, "Kalau kalian berangkat, masa gue enggak!"
Kami pun tertawa melihat tingkah Acong, dan kami sudah memutuskan untuk pergi membalas kan dendam Suna.
Dan...
"Aku bersumpah, akan ku selesaikan masalah ini sampai ke akarnya"
......................
"Hallo... Novi?" sapa Davie via telfon. Pagi ini Davie langsung menghubungi Novi.
Namanya Novia Lestari teman kuliah Davie waktu itu, bersama Achonk, Satria, dan juga Suna.
"Nov, kemarin gue udah ketemu sama Acong dan Satria. Buat bahas masalah nya si Suna, Nov" ucap Davie yang langsung membuka topik pembicaraan.
"Oke... Terus keputusan nya gimana?" tanya Novi via telpon.
"Yaa... Keputusan nya ada di tangan lo, Nov."
"Loh kenapa gue?" tanya Novi bingung.
Just info, jadi Novi itu bisa di bilang anak indigo dan bisa mengontrol indra ke enam nya, jadi dia bisa berinteraksi dengan makhluk-makhluk yang di luar nalar kita.
"Ya karena lo yang paling sakti di antara kita ber lima Nov, Regina mah gak ada apa-apanya kalo di bandingin sama lo," jawab Davie di akhiri dengan tawa.
"Sialan sakti, emang nya gue dukun ... lo gak boleh gitu sama mantan lo Dav," jawab Novi yang balik meledek Davie.
"Udah ah jangan bahas dia ... jadi gimana Nov ikut, ya!" ucap ku dengan nada yang sedikit memaksa.
"Regina ikut, Dav?" tanya Novi mengalihkan pembicaraan.
"Belum gue hubungin ... gue gak ada kontak nya, tapi pasti kita ajak kok."
"Yaudah gue pikir-pikir dulu ya Dav, nanti gue kabarin bisa atau enggak nya, tapi kalau misalkan gue gak bisa lo jangan marah ya," ucap Novi.
"Please banget Nov, ini tuh buat kedepan nya juga, biar nanti, jangan sampe ada korban jiwa lagi," ucap ku yang masih berusaha mengajak Novi.
"Iya Davie ... gue mau berangkat kerja dulu, nanti gue kabarin."
"Oke thanks yaa Nov," jawab ku, "bye..."
Tuuuuutttttt ... Tuuuuuutttt ...
Davie sangat berharap semoga saja Novi bisa ikut, tapi kalau misalkan Novi tidak bisa, kita bertiga pasti akan tetap berangkat untuk balas dendam.
...****************...
Kriiiiiinngggg... Kriiiingggggg...
"Siapa lagi nih nelfon pagi-pagi," Ucap ku samabil melihat ke layar handphone.
"Kode negara mana +31? Ngapain nelpon gue pagi-pagi gini," gumam ku dalam hati.
Tuuuuuuttt...
"Halo," Sahut Davie via telpon.
"Halo Dav, apa kabar?" Terdengar suara wanita yang manis sekali.
"Gue, baik kok ... maaf ini siapa ya?" tanya Davie bingung.
"Ini Riska Dav," jawab wanita itu.
"Riska ... Riska yang mana ya, maaf."
Davie bertanya-tanya siapa wanita itu sebenarnya, dan mau apa.
"Iya Riska, masa lupa si Dav," sahut wanita itu dengan nada yang sedikit manja.
"What, Riskaaaa! Ohhh ini kode negara Belanda ya, sorry gue gak tau," jawab Davie yang sudah mulai mengingat Riska.
"It's ok Dav," ucap Riska.
"Gimana kabar lo di sana, Ris?" tanya Davie dengan nada antusias.
"Baik Dav ... sorry ya gue baru update, tadi gue baru buka Instagram lagi, terus gue kaget lihat postingan lo yang sedang ada di makam itu, nah pas gue zoom itu ternyata makamnya Suna, itu pasti bercandaan kan, Dav? Itu pasti cuma lucu-lucuan saja kan, Dav?"
"Enggak Ris, itu benar makamnya Suna ..." jawab Davie dengan nada pelan.
"Bohong, lo pasti bohong kan sama gue, Dav?" tanya Riska menegaskan.
"Sumpah Ris, gue enggak bohong ... maaf ya tidak mengabarkan, karena gue juga gak tau mau mengabarkan ke mana," jawab Davie.
Kemudian terdengar suara tangisan Riska.
"Ris ... Ris ... Hallo Ris," panggil Davie yang mendengar suara tangisan.
"Oke Dav, hari ini juga gue balik ke Indonesia, jemput gue di bandara terus anterin gue ke makam Suna!" ujar Riska sambil menangis.
"Wait, gak salah? Kuliah lo gimana?" tanya Davie.
"Kebetulan gue baru aja ambil cuti, dan memang niatnya gue mau balik ke Indonesia minggu depan," jawab Riska.
"Oh oke kalau gitu, memang nya berapa lama perjalanan, Ris?" tanya Davie.
"Terbang 14 jam Dav, Amsterdam - Indonesia, ya kemungkinan besok pagi gue sampai sana, gue juga belum prepare soalnya," jawab Riska.
"Yaudah oke kalo gitu, lo tenangin diri aja dulu ya, jangan berbuat yang aneh-aneh," ucap Davie yang coba mencairkan suasana.
"Iyaa Dav, see you!" Jawab Riska, "bye."
"Bye," Sahut Davie.
Tuuutttt... Tuuuuttttt...
"Kenapa dia baru tau sekarang ya?" tanya ku dalam hati, "aneh banget deh itu cewek."
Wanita tadi bernama Riskana Putri Jayanti, anak konglomerat yang kebetulan sahabatnya Suna, bisa di bilang sahabat kecilnya, dia melanjutkan sekolah S2 di Vrije Universiteit Amsterdam dan ia juga tak kalah cantiknya dengan Suna.
Clinggg ...
Terdengar suara notifikasi ponsel Davie.
"Ahhh ada SMS dan nomornya tidak aku kenal," gerutu Davie dalam hatinya
Davie pun langsung melihat isi dari pesannya.
"Hai, bagaimana kabar anda? Percayakah anda, bahwa arwah kekasih anda tidak bisa keluar dari tanah kami!"
Davie pun sedikit terkejut melihat isi dari SMS itu, dan berkata dalam hati, "Apa-apaan nih, manusia keji mana lagi yang buat SMS prank seperti ini."
Aku berpikir positif dan menganggap pesan itu mungkin hanya modus kejahatan saja. Tidak lama kemudian, telpon Davie berdering lagi.
Kriiiingg... Kringggg...
Lagi-lagi nomer yang tidak di kenal menghubunginya, Davie pun bertanya-tanya sebenar nya ada apa dengan hari ini.
"Hallo ..."
"Hallo ..."
"Hallooooo ..."
Davie menyapa panggilan telpon itu, dan tidak ada jawaban sama sekali.
Hening...
"Halloo!" Davie pun menaikan nada bicaranya.
Tuuuuuuuttttt... Tuuuuuutttttt...
"Enggak lucu bercanda kaya gini, percuma gue gak akan takut juga!" ucap Davie dengan nada sewot kali ini.
Kriiiiingggggg... Kringggggg...
"Sialan, mau apa sih ini orang!" ujar ku yang sudah merasa kesal.
"Hallooooo! Woy, bos bercanda lo gak lucu ya, dan gue gak takut sama teror kaya gini!" ucap Davie teriak sehabis mengankat panggilan itu.
"Woy Dav, lo kenapa?"
Aku pun langsung sadar bahwa itu suara Acong, dan menjawab, "Acong... Ini Acong?"
"Iyaaaa ... lo kenapa, sudah gila ya?" tanya Aconkg.
"Sorry Cong gue enggak liat dulu nomornya dan langsung gue angkat tadi ... by the way ada apa Cong?" ucap Davie.
"Lo baru bangun ya?" tanya Acong.
"Enggak ... sudah dari tadi kok, memangnya kenapa?"
"Oh gue cuma mau ngasih tau aja, gue udah dapat lokasi nya, dan juga akses ke sananya, pokok nya cingcay laaa," ucap Achong dengan nada gembira.
"Serius lo Cong?" sahut Davie kaget, dan hampir tak percaya.
"Ngapain juga gue bohong sama lo!" tegas Acong menegaskan.
"Oke, lo udah kabarin Satria belum, Cong?" yanya Davie.
"Belum, lo aja lah yang kabarin dia," jawab Acong.
"Oke siappp... oh iya tadi gue sudah telpon Novi untuk mengajaknya ikut," ucap Davie.
"Terus apa katanya, apa dia mau ikut?" tanya Acong.
"Dia masih pikir-pikir lagi chong katanya," jawab Davie dengan nada menurun.
"Kalau Regina bagaimana, dia sudah lo hubungin belum, Dav?" tanya Acong.
"Regina belum gue hubungin Cong, gak punya kontaknya, nanti biar gue suruh Satria aja deh," jawab Davie.
"Oke pokok nya lo atur ya, gue terima beres aja ... walau pun mereka berdua tidak mau ikut, gue gak masalah kok, dan tetap berangkat meski harus bertiga!" Ujar Achonk.
"Oke siap bos," jawab Davie.
"Kalau gitu, gue mau prepare ke resto dulu, nanti mampir aja ya kalo udah selesai, Dav!" ucap Acong.
"Yaudah iya Cong," Jawab Davie yang kemudian mengakhiri panggilannya.
Tuuuuuuuttttt... Tuuuuuutttttt...
Setelah teleponnya di matikan, Davie memeriksa galery untuk melihat-lihat kembali foto kenangan bersama Suna, pose Suna yang selalu Absurd jika di foto, kadang itu yang membuat Davie rindu.
Ini dia, foto terakhir bersama1nya di lokasi tempat dia meninggal, wajahnya tak menunjukan keraguan sama sekali, dan tak menunjukan tanda bahwa dia akan meninggal.
Semua itu terjadi begitu cepat, Davie masih ingat jelas kondisi kita saat terjebak di lemari berdua, dan jika mengingat itu, hati ini rasanya sakit seperti tersayat-sayat pisau.
Hari itu, hari terakhir kali nya Davie melihat air mata Suna jatuh dari pipi sampai ke pundak Davie di saat-saat terakhir, sampai-sampai baju ku basah dengan air mata nya.
Davie selalu teringat, saat Davie usap air mata Suna yang jatuh ke pipinya, dan perlahanan Davie usap perlahan dengan jari Davie ini, dia kembali tersenyum dengan mata yang berbinar-binar seperti sudah melihat surga.
Entah apa yang ada di fikiranya waktu itu, yang pasti kejadian itu tidak bisa di lupakan begitu saja, dan Davie selalu berdoa, "Ya tuhan lindungi dia selalu, dan berikan dia tempat terbaik di sisiMu."
"Suna, kita akan bertemu kembali di suatu tempat yang indah, yang sudah di sediakanNya."
......................
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!