NovelToon NovelToon

Dear, My First Love

1.Wanita itu

Di sudut kota di negara Jerman seorang pria tengah menyesap rokoknya dengan segelas wine ditangannya. Pria itu adalah Maxime Alexander Lemos, pria berusia 37 tahun yang kini sukses menjadi seorang pengusaha. Dalam waktu delapan bulan ia bisa membuktikan dirinya memimpin perusahaan milik keluarganya.

Kesuksesannya dalam berkarir berbanding terbalik dengan kisah cintanya. Dan di usianya yang sudah menginjak 37 tahun ia belum memiliki pasangan hidup. Dan tidak akan pernah berkomitmen setelah kisah cintanya kandas terhalang restu.

Cinta yang pernah ia rasakan kini berubah menjadi dendam yang tidak akan pernah ia maafkan. Penghinaan itu masih membekas di hatinya dan ia yakin sekarang gadis yang pernah mengubah pandangan hidupnya tentang cinta telah hidup berbahagia. Namun disini dirinya menanggung kesakitan akan cinta yang tidak bisa bersatu.

Maxime mengeluarkan sebuah jam tangan dari saku celananya. Jam tangan pemberian dari seseorang yang mengisi hatinya. Jangan tangan yang ia tahu bukanlah jam tangan mahal tapi ia tetap menyimpannya.

Maxime menggenggam erat jam tangan itu lalu memejamkan kedua matanya. Sekelebat bayangan gadis yang bernama Amelia Kartika kembali hadir. Ia tidak akan pernah bisa melupakannya dan sampai kapanpun tidak akan pernah bisa. Gadis yang menjadi cinta pertamanya dan hubungan mereka sebenarnya tidak pernah berakhir karena tidak ada kata perpisahan diantara mereka sebelum ia kembali ke negara ini.

"Dear, my first love," batin Maxime. Ia tidak akan pernah bisa melupakannya, tidak akan pernah bisa meski ia tahu cintanya sudah terlarang pada Amelia.

"Kalau aku jadi kau, sudah aku bawa lari gadis itu. Persetan dengan restu," ucap Damian pria yang merupakan sahabat terbaiknya sekaligus orang yang ia percaya mengelola bisnisnya. Damian tahu semua apa yang dialami oleh sahabatnya Maxime karena memang tidak ada rahasia diantara mereka.

Maxime tidak menjawab guyonan dari sahabatnya itu. Ia memilih menyesap winenya ketimbang menjawab ucapan Damian.

"Oh ya, kita mendapatkan tugas untuk melakukan penyerangan malam ini. Kakek Armand menghubungiku karena ia tidak bisa menghubungimu," ucap Damian mengatakan tujuannya datang ke apartemen sahabatnya ini.

"Katakan pada Kakek jika aku siap. Kita akan habisi mereka malam ini," jawab Maxime tersenyum smirk. Hanya dengan cara ini ia melampiaskan segala rasa sakit yang ia alami.

"Oh ya aku dengar mereka memiliki pimpinan baru, dan itu wanita," ucap Damian.

"Kau tahu darimana Damian?. Kau berusaha untuk mengkhianati ku dan Kakek Armand?," tanya Maxime menatap tajam sahabatnya. Ia paling benci yang namanya pengkhianatan.

Damian terkekeh pelan."Tentu saja tidak Max, aku tahu dari Kakek. Dan kau tahu aku benar-benar penasaran bagaimana rupa wanita itu," jawab Damian menepuk pelan pundak Maxime.

"Ingat!, jangan pernah jatuh cinta pada musuh Dam," ucap Maxime dengan tatapan tajamnya.

"Hahaha... kau benar-benar persis seperti Kakek Armand, Max. Pantas saja kau menjadi cucu kesayangannya. Kau benar-benar tidak bisa di ajak bercanda," jawab Damian tertawa kecil.

"Bercanda lah di tempatnya Dam," ucap Maxime.

"Ya ya aku minta maaf. Oh ya aku tunggu malam ini di markas," jawab Damian.

"Hm"

"Dan ya... masih banyak wanita di negara ini. Jangan--

"Tunggu aku di markas!," sela Maxime lalu masuk kesan kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya setelah seharian bekerja.

"Dasar anak itu. Kau sepertinya benar-benar sudah cinta mati pada gadis itu Max. Aku sangat penasaran secantik apa gadis itu sehingga bisa membuat mantan cassanova sepertimu masih memikirkannya hingga saat ini," gumam Damian menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat.

***

Maxime memasuki mobil Bugatti Veyron miliknya membela jalan malam yang cukup sepi menuju markasnya menemui Kakeknya. Pria yang memakai pakaian serba hitam itu tampak terlihat begitu misterius dan juga dingin. Malam ini pasukannya akan melakukan penyerangan di sudut timur kota Jerman.

Ia sudah lama bergabung dalam kelompok mafia yang dipimpin oleh Armand, Kakek angkatnya. Dan baru dua bulan ini ia kembali aktif setelah kelompok musuh tiba-tiba saja menyerang markas mereka tiga bulan yang lalu.

Maxime turun dari mobilnya dan sudah ditunggu oleh Dimian dan Armand. Pria itu langsung menghampiri sang Kakek lalu memeluknya dengan singkat.

"Pasukan kita akan di pimpin langsung oleh kau Maxime," ucap Armand yang sudah menunjuk Maxime untuk memimpin serangan malam ini.

"Baiklah Kek, tapi berjanjilah padaku untuk tidak ikut dalam penyerangan ini. Serahkan padaku dan juga Damian serta Revan," jawab Maxime. Revan adalah asisten kepercayaan Armand yang merupakan adik angkat dari Maxime.

"Tapi--

"Kek... penyerangan malam ini adalah penyerangan besar-besaran kita dalam bentuk balas dendam kita atas kematian Revina, adik angkatku. Dan aku tidak akan pernah memaafkan orang yang sudah dengan kejinya merenggut nyawa adikku, Kek. Dan aku tidak ingin terjadi hal buruk pada Kakek," jawab Maxime.

"Kau meragukan Kakekmu ini Max?," tanya Armand.

"Tentu saja tidak Kek, tapi taktik penyerangan kita malam ini berbeda dengan yang sebelumnya," jawab Maxime.

"Baiklah... tapi jangan menolak jika akan ada seseorang yang akan membantumu dalam misi kita kali ini," ucap Armand membuat Maxime dan Damian saling pandang tampak bingung dengan permintaan Kakeknya.

"Siapa Kek?," jawab Maxime dengan kening berkerut. Sejak kapan Kakeknya merekrut anggota baru, kenapa ia tidak pernah tahu.

"Itu dia!," ucap Armand menunjuk seorang wanita yang turun dari mobil.

Maxime tampak terkejut melihat siapa yang kini berjalan menghampiri mereka. Pria memejamkan kedua matanya berharap ia hanya berhalusinasi tapi apa yang dia lihat itu nyata.

"Kenalkan Max, Damian. Ini Amora, dia yang akan membantu kalian malam ini," ucap Armand memperkenalkan wanita itu pada Maxime dan Maxime. Sedangkan Revan tidak terkejut sama sekali karena ia sudah tahu tentang Amora bahkan dia lah yang melatih Amore selama enam bulan ini hingga bisa diturunkan.

Maxime tampak menatap intens pada wanita bernama Amora ini. Wanita ini begitu mirip dengan gadisnya, bahkan sangat mirip hanya yang membedakan adalah warna rambutnya saja. Tidak mungkin kan jika Amelia memiliki saudara kembar.

"Max...kau baik-baik saja?," tanya Damian saat melihat Maxime tampak melamun.

"I-iya...," jawab Maxime.

"Tapi Kek, aku tidak ingin ada Revina kedua nantinya jika dia bergabung," ucap Maxime dengan tatapan dingin dan sinis pada Amora.

"Dia sudah bisa membantu kalian. Percayalah, karena Revan sendiri yang sudah melatihnya," jawab Armand.

"Tidak masalah Max, dia cukup cantik kok. Bisa kita jadikan umpan nantinya," ujar Damian.

"Kau kira kita akan memancing Dam?," jawab Maxime langsung melangkah masuk kembali kedalam mobilnya.

"Ya elah. Itu anak benar-benar tidak bisa diajak bercanda," gerutu Damian.

"Eh Nona Amora, selamat bergabung. Jangan hiraukan ucapannya. Dia memang seperti itu semenjak patah hati," ucap Damian pada Amora yang tampak diam saja.

"Dam...," teriak Maxime dari dalam mobilnya.

"Kau lihat, dia sangat menyebalkan. Ayo kau satu mobil dengan kami," ucap Damian mengajak Amora satu mobil dengannya dan Maxime.

"Maaf Kak, aku satu mobil sama Kak Revan saja," jawab Amora.

"Ternyata--

"Dam, ayo!," teriak Maxime lagi.

"Iya iya," jawab Damian.

...----------------...

2.Kecurigaan Maxime

Suara tembakan terdengar di segala penjuru. Maxime sudah membagi pasukan di beberapa bagian tempat. Dan saat ini ia bersama Amora sedangkan Damian bersama anak buah mereka yang lainnya di sisi kiri bangunan. Dan Revan bersama yang lainnya sudah masuk lebih dulu melumpuhkan beberapa penjaga yang menjaga bangunan itu.

"Tetaplah di belakangku!," ucap Maxime pada Amora saat melewati musuh yang sudah dilumpuhkan.

"Aku tidak selemah yang kau kira Kak," jawab Amora mendengus kesal karena Maxime mengira ia adalah gadis lemah.

Maxime sejenak terdiam mendengar suara Amora, begitu mirip dengan Amelia. Tapi bagaimana bisa Amelia sampai disini?. Lagian gadis ini bernama Amora bukan Amelia.

Maxime memasuki bangunan itu sembari mengendap-endap. Mata pria itu begitu liar dan melirik kiri ke kanan sembari mengarah senjata apinya.

Suara tembakan terdengar dari dalam bangunan begitu juga dengan teriakan dari para musuh yang satu persatu mulai berjatuhan. Maxime terus meminta Amora untuk teduh berada di belakangnya namun saat ia sampai didalam bangunan Amora tiba-tiba saja berjalan menjauhinya ke sisi kiri dan langsung melakukan baku tembak. Maxime terkesima dengan keahlian menembak Amora, gadis itu membidik dengan tepat.

Dor

Maxime tersentak dari lamunannya saat tiba-tiba saja Amora membidik kearahnya dan membidik musuh yang hampir berada di dekatnya.

"Jangan melamun Kak! atau kau akan menjadi korbannya disini," ucap Amora tersenyum sinis pada Maxime.

Maxime tersenyum miring lalu kembali fokus menumpas satu persatu musuh yang mereka targetkan. Maxime tidak lagi ambil pusing dengan Amora karena gadis itu bisa menjaga dirinya sendiri.

Dan akhirnya Maxime berhasil menumpas semua musuh kecuali pimpinan mereka yang ternyata tidak berada disini. Tapi Maxime berhasil membekuk salah satu orang kepercayaan untuk dijadikan tawanan mereka nantinya.

Meski berhasil, ternyata Revan mengalami luka tembak di bagian lengan tapi bagi pria itu bukan apa apa karena itu sudah biasa baginya. Dulu saja ia hampir kehilangan nyawanya dan koma di rumah sakit selama satu bulan akibat terkena timah panas di bagian jantungnya. Beruntung Tuhan masih memberikannya keselamatan untuk hidup.

"Kak...kau tidak apa apa?," tanya Amora perhatian saat mereka sampai di Markas dan hal itu membuat Maxime sedikit jengkel dengan perhatian gadis itu pada Revan.

"Itu sudah biasa baginya Amora, kau tenang saja dan tidak usah cemas. Dia memiliki sembilan nyawa asal kamu tahu," ujar Damian yang menjawab pertanyaan Amora. Sedangkan Revan fokus pada lukanya yang saat ini ditangani ini salah satu anak buahnya.

"Kek misi kita berhasil meski aku gagal membekuk pimpinan mereka," ucap Maxime saat Armand berjalan menghampirinya.

"Kerja yang bagus Max. Oh ya besok kalian bisa berlibur ke Berlin," jawab Armand menatap sekilas pada Revan yang baru saja selesai mengeluarkan selongsong peluru yang bersarang ditangan kanannya. Itu adalah pemandangan biasa bagi Armand dan ia tidak akan pernah bertanya pada Revan atau siapapun yang mengalami luka.

"Aku tidak ikut Kek, besok aku ada meeting penting di perusahaan," jawab Maxime.

"Kau bisa mewakilkannya pada orang kepercayaanmu Max, ayolah sekali kita berlibur bersama," ucap Revan membujuk Maxime.

"Kalian saja," jawab Maxime.

"Kek...aku pamit," ucap Maxime. Ini sudah sangat larut dan ia harus kembali ke apartemennya. Ia memerintahkan penjaga untuk berjaga-jaga karena tidak menutup kemungkinan jika musuh kembali melakukan serangan balik.

"Kau tidak menginap disini Max?, tidak biasanya kau langsung pulang," tanya Armand karena biasanya Maxime akan menginap disini usai melakukan misi mereka.

"Tidak Kek, aku besok pagi pagi sekali ada meeting yang tidak bisa aku wakilkan," jawab Maxime.

"Kau bisa minta tolong Daddy-mu, Max," timpal Damian.

"Daddy ke Indonesia bersama Grandma karena Adikku, Emily baru saja melahirkan anak keduanya," jawab Maxime menatap Amora memperhatikan ekspresi gadis itu memastikan kecurigaannya.

"Keponakanmu sudah lahir?. Selamat kalau begitu," ucap Damian tersenyum lebar memberikan ucapan selamat pada Maxime.

"Hm"

Maxime akhirnya memutuskan untuk pulang ke apartemennya dan meminta Damian untuk tetap disini berjaga-jaga jika musuh kembali menyerang markas mereka.

Maxime mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia mencengkram kuat stir mobilnya, wajah Amora mengingatkannya dengan Amelia. Gadis itu begitu mirip dengan Amelia. Tidak mungkin jika Amelia memiliki saudara kembar yang begitu sangat identik dengannya bahkan suaranya begitu mirip.Ia akan menyelidiki siapa Amora untuk memastikan kecurigaannya.

***

"Amora... sepertinya kau bukan asli orang Jerman," ujar Damian menghampiri Amora yang duduk sendirian di dapur sembari menyesap teh hangatnya.

Amora mengggeleng pelan sembari tersenyum tipis."Aku tidak tahu Kak," jawab Amora.

"Maksudnya?," tanya Damian dengan kening berkerut.

Amora hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Damian. Gadis itu memilih menyesap kembali teh hangatnya.

"Oh ya... kamu berasal dari mana? sepertinya kamu orang Asia?," tanya Damian menatap Amora penuh selidik yang masih begitu penasaran dengan Amora.

"Aku--

"Amora, pergilah beristirahat!," ujar Revan tiba-tiba muncul.

"Ck...kau menganggu saja Van," dengus Damian menatap kesal pada Revan yang menggagalkan rencananya mendekati Amora.

Amora mengangguk patuh dan langsung beranjak pergi menuju kamarnya yang ada di Markas ini. Markas ini berbentuk Mansion dengan tiga lantai dan Amora menempati kamar yang ada dilantai tiga dimana disana juga ada kamar Maxime.

"Van .."

"Hm"

"Amora orang Asia?," tanya Damian yang begitu penasaran dengan sosok Amora.

Revan mengedikkan bahunya keatas, tidak menjawab pertanyaan Damian. Pria itu duduk di sebelah Damian menyulut rokoknya.

"Kenapa tidak ada yang menjawab pertanyaanku?," tanya Damian. Amora dan Revan tampak kompak tidak menjawab pertanyaannya.

"Kau menyukai Amora?," jawab Revan kembali bertanya pada Damian.

Damian menggeleng pelan." Aku sudah punya Alika. Aku hanya penasaran dengan Amora," ujar Damian yang sebenarnya sudah memiliki kekasih yang bekerja sebagai model.

"Kau tidak mau menjawab pertanyaanku Van?," tanya Damian melihat Revan diam saja.

"Aku tidak memiliki jawabannya Dam. Kau bisa tanya Kakek karena dia yang tahu siapa Amora," jawab Revan.

"Kau dan Kakek pasti tahu," ujar Damian.

"Terserah kau saja, jika kau tidak percaya. Oh ya apakah kau akan ikut ke Berlin besok pagi?," tanya Revan mengalihkan pembicaraan mereka.

"Tidak, aku ada pekerjaan," jawab Damian.

"Kau dan Maxime sama saja,sama sama sibuk," ujar Revan.

"Ya, karena kami bukan kau yang bekerja pada Kakek selama 24 jam. Kami datang kesini jika dibutuhkan," jawab Damian.

"Ya ya...aku tahu," angguk Revan.

Sementara itu di apartemennya Maxime menghubungi adiknya yang berada di Indonesia. Ia juga menanyakan tentang Amelia dan ia benar-benar terkejut saat Emily mengatakan jika Amelia pergi entah kemana setelah pernikahannya gagal.

Maxime menghela nafas beratnya, mungkinkah Amora adalah Amelia. Tapi jika Amora adalah Amelia bagaimana bisa Amelia bisa sampai ke sini. Jarak Indonesia dan Jerman itu sangat jauh.

"Maxime mengusap wajah dengan kasar. Kenyataan jika kegagalan pernikahan Amelia mengusik ketenangan hatinya."Dimana dia sekarang?," batin Maxime.

...****************...

dua bab ya

3.Penyesalan Maxime.

Amora menatap langit malam dari balkon kamarnya. Pertemuannya dengan pria bernama Maxime tadi mengusik hatinya. Siapa pria itu?, kenapa pria itu menatapnya begitu intens diawal pertemuan mereka.

Amora menghela nafas beratnya, ia memutuskan untuk bergabung dengan kelompok ini setelah bertemu dengan Revan yang sudah menyelamatkan nyawanya dari sebuah kecelakaan maut yang hampir merenggut nyawanya. Itu yang dijelaskan Revan padanya saat itu saat ia terbangun dari komanya.

Revan begitu baik padanya dan membawanya tinggal di bersamanya selama masa pemulihan. Hingga ia bertemu dengan Kakek Armand dan memintanya untuk bergabung dengan kelompok ini. Sebenarnya dulu ia sempat menolak tapi karena ingin membalas budi pada Revan yang sudah menyelamatkannya ia akhirnya setuju dan selama lima bulan lebih Revan melatihnya ilmu bela diri dan juga cara memakai berbagai senjata api.

"Kamu belum tidur?," tanya Revan memasuki kamar Amora.

Amora menggeleng pelan. Memang hampir setiap malam Revan mendatangi kamarnya untuk mematikannya tidur.

"Tidak bisa tidur lagi?," tanya Revan ikut berdiri di sebelah Amora dengan kedua tangannya berada di dalam saku celananya.

"Iya...," angguk Amora.

"Kakak belum tidur?," tanya Amora menatap sekilas pada Revan yang berdiri di sampingnya.

"Belum, biasanya jika selesai melakukan misi, aku tidak akan tidur hingga pagi untuk berjaga-jaga jika ada serangan balik," jawab Revan.

Amora mengangguk pelan dan tidak lagi bertanya. Gadis itu sibuk dengan pikirannya sendiri. Hampir setiap malam ia berdiri disini sebelum rasa kantuk menghampirinya.

"Istirahatlah!, besok kita ke Berlin untuk tidak berlibur," untuk Revan mengacak rambut pirang Amora. Ia sudah menganggap Amora seperti adik kandungnya sendiri pengganti Revina yang sudah tiada. Revina adalah adik kandungnya dan tewas karena kelompok musuh menyerang markas ini.

"Aku tidak ikut Kak, kalian pergi saja!," jawab Amora.

"Kenapa?," tanya Revan dengan kening yang berkerut.

"Aku ingin disini saja Kak," jawab Amora yang tidak mau mengatakan alasannya kenapa ia tidak mau ikut pergi.

"Baiklah, temani Kakek disini dan Kakak akan menempatkan beberapa penjaga disini untuk berjaga-jaga melindungimu dan Kakek," ucap Revan.

"Kakak meragukanku kemampuanku?," tanya Amora.

Revan menggeleng pelan." Tidak...kamu sangat berbakat. Tapi kamu tidak tahu bagaimana kekuatan musuh kita. Dan yang kita habisi tadi malam sebelum setengahnya," jawab Revan.

"Mereka sebanyak itu?," tanya Amora membulatkan matanya.

"Kenapa? kau terkejut?," jawab Revan kembali bertanya.

"Sedikit," jawab Amora.

"Kita juga lebih banyak dari mereka. Kakek memiliki markas di beberapa tempat di negara ini dan juga negara lainnya. Dan kelompok kita cukup ditakuti di negara ini," ucap Revan.

"Oh ya jangan tidur terlalu larut," sambung Revan meninggalkan Amora yang masih berada di balkon kamarnya.

Amora mengangguk pelan menatap punggung Revan yang mulai menjauh dan hilang dibalik pintu kamarnya. Ia kembali masuk kedalam kamarnya saat merasakan dingin malam mulai menusuk tulang. Ia berganti pakaian dan bersiap untuk beristirahat. Semoga saja rasa kantuknya datang menjelang karena akhir-akhir ini ia cukup sulit untuk tidur.

***

Maxime masih berkutat dengan laptopnya mencari tahu tentang siapa Amora. Namun pria juga itu tidak menemukan apapun tentang siapa gadis itu. Ia sudah berusaha untuk meretas data pribadi gadis itu namun ia tidak bisa melakukannya. Sepertinya ada seseorang yang melindungi data pribadi gadis itu. sehingga ia tidak bisa meretasnya. Ia masih sangat penasaran siapa Amora sebenarnya.

Maxime mengusap wajahnya dengan kasar karena ia tidak menemukan apapun. Ia sudah meminta orang kepercayaannya namun hasilnya tetap sama.

Ting

Emily

📩: Kak, kamu tidak ingin melihat keponakanmu dan mencari keberadaan Amelia disini?. Jangan menyesal jika Amelia nantinya berpindah ke lain hati jika Kakak tidak kunjung mencarinya.

Maxime menatap nanar pesan yang baru saja masuk di ponselnya. Pria itu membuka blokiran nomor Amelia diponselnya. Ia sengaja memblokir nomor gadis itu agar bisa melupakannya tapi kenyataannya ia tidak pernah bisa melupakannya.

Saat blokiran nomor Amelia terbuka, deretan pesan langsung masuk. Maxime membuka satu persatu pesan dari Amelia.

Amelia

📩: Max... kamu dimana? bisa temui aku sekarang di restoran biasa?. Aku ingin membicarakan sesuatu sama kamu.

Amelia

📩:Max... aku menunggu disini, di restoran biasanya.

Maxime menghela nafas beratnya, pesan ini delapan bulan yang lalu tepatnya dua hari ia berada di negara ini. Ternyata Amelia menunggunya di sana tapi ia keburu memblokir nomor gadis itu.

Dan Maxime membaca pesan berikutnya dan Amelia terus menanyakan keberadaannya. Hingga Maxime tampak tertohok dengan pesan berikutnya yang ia baca dan itu juga delapan bulan yang lalu tepatnya di hari pernikahan Amelia.

Amelia

📩:Max... pernikahanku gagal, Ibu ternyata memanfaatkanku demi warisan peninggalan Ibu kandungku. Aku kabur dari rumah, ada beberapa pria berpakaian hitam tiba-tiba menyerang dan membantai seluruh keluargaku. Aku takut Max, tolong aku. Aku takut orang itu juga menyakitiku. Aku mohon jemput aku Max!

Maxime mengusap wajahnya dengan kasar. Orang-orang itu pasti orang-orang kepercayaannya. Ia memang meminta orang kepercayaannya untuk menyekap keluarga Amelia dan ia tidak pernah tahu jika mereka ternyata malah menghabisi nyawanya keluarga Amelia.

Maxime kembali membaca pesan dari Amelia dan berharap ada titik terang dimana gadis itu saat ini berada.

Amelia

📩:Max...aku di bandara. Aku akan ke Jerman, aku tahu dari pelayan rumah Emily yang aku temui dan mengatakan jika kamu kembali ke Jerman. Jemput aku di Bandara, Max!.

Deg

Jantung Maxime berdegup kencang, Amelia ada di Jerman. Lalu dimana dia?. Maxime langsung melacak GPS ponsel Amelia dan hasilnya nihil. Data terakhir Amelia berada di dekat Bandara dan setelah itu tidak akan terkoneksi lagi.

"Dimana kamu Amelia?. Maafkan aku, seharusnya aku tidak memblokir nomor ponselmu," lirih Maxime. Ia tidak bisa lagi melacak keberadaan GPS ponsel Amelia karena nomor Amelia sudah tidak aktif lagi.

Hampir semalaman Maxime tidak bisa tidur, ia benar-benar merasa bersalah. Ia masih memikirkan dimana Amelia sekarang. Andai ia tidak memblokir nomor ponsel Amelia tentu saja ia bisa menjemput Amelia saat itu dan ia yakin ia dan Amelia sudah bersama saat ini.

Hingga pagi menjelang, Maxime tidak bisa tidur. Ia dihantui rasa bersalah pada Amelia. Dimana gadis itu sekarang, bagaimana keadaannya?. Di kota mana dia saat ini berada?.

Maxime segara bersiap untuk berangkat ke kantor karena pagi ini ia ada meeting. Meski tubuhnya sedikit lesu karena semalaman ia tidak bisa memejamkan kedua matanya karena pikirannya terus tertuju pada sang kekasih yang kini entah dimana keberadaannya.

Pria itu langsung berangkat ke kantor, ia berencana untuk menemui Revan dan meminta pria itu untuk melacak keberadaan Amelia, semoga saja bisa karena Revan adalah ahli dalam bidang IT.

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!