Naura menarik napas dalam-dalam ketika langkah kakinya menyentuh trotoar yang padat.
Kota ini hidup, begitu berbeda dari kampungnya yang tenang dan sunyi.
Hiruk-pikuk kendaraan, gedung-gedung menjulang, orang-orang berpakaian rapi yang berjalan cepat—semuanya terasa baru dan menakjubkan.
Dia menggenggam erat tas kecil yang berisi barang-barang penting miliknya.
Pekerjaan ini adalah harapan besar untuk keluarganya, dan di saat yang sama, langkah pertama menuju mimpi-mimpinya.
Setelah bertanya pada beberapa orang, Naura akhirnya menemukan kantor perusahaan tempatnya akan bekerja.
Bangunan itu tampak megah dengan kaca besar yang berkilauan memantulkan sinar matahari. Hatinya berdebar-debar antara gugup dan semangat.
“Semoga aku bisa melakukannya dengan baik,” gumamnya pelan, seperti doa yang ia ucapkan pada dirinya sendiri.
Baru saja ia melangkah masuk, suara seseorang membuatnya terhenti.
“Kamu Naura, 'kan?” Seorang pria berjas rapi menghampirinya dengan senyum ramah.
Naura mengangguk. “I-iya, saya Naura.”
“Aku Bimo Raharja, direktur di sini,” ujarnya, memperkenalkan diri sambil menjabat tangannya dengan hangat.
Naura tertegun sejenak. Direktur? Dia tidak menyangka akan langsung bertemu dengan seseorang sepenting itu.
“Senang bertemu dengan Bapak Bimo.”
“Panggil saja Mas Bimo,” kata Bimo sambil tersenyum.
“Selamat datang di perusahaan kami. Aku dengar kamu sangat direkomendasikan oleh rekan kami di kampus.”
Naura tersenyum canggung. “Terima kasih, Mas Bimo. Saya akan berusaha sebaik mungkin. Mohon bimbingannya juga ya, karena saya baru di sini.”
Bimo mengangguk sambil memandangnya dengan tatapan teduh, seolah ada rasa kagum di sana.
Bahkan, pria yang sulit tersenyum itu tanpa sadar mengulas senyum sejak ia berbicara dengan Naura.
“Ikuti aku, aku akan menunjukkanmu tempat kerja.”
Naura mengikutinya menyusuri lorong-lorong kantor yang tertata rapi. Di tengah perjalanan, Bimo berbicara, kali ini dengan nada yang lebih akrab.
“Jadi, kamu baru pertama kali tinggal di kota besar?” tanya Bimo, sambil sesekali mencuri pandang.
“Iya, ini pertama kalinya saya ke sini, Mas,” jawab Naura sambil menahan rasa grogi.
“Semuanya terlihat begitu besar dan ramai,” ucapnya kemudian.
Bimo terkekeh. “Awalnya memang terasa seperti itu, tapi lama-lama kamu akan terbiasa. Kota ini bisa menjadi tempat yang penuh kesempatan jika kamu berani mengambilnya.”
Naura tersenyum, meski di dalam hati, ia merasa sedikit ragu. Kota ini terasa begitu asing, tapi entah kenapa kehadiran Bimo memberinya sedikit rasa nyaman.
Sesampainya di ruang kerja, Bimo memberi Naura beberapa petunjuk dasar tentang tugas-tugasnya.
Saat ia menjelaskan, sorot matanya tampak lembut, memberikan perhatian penuh yang membuat Naura merasa dihargai.
Wanita mana yang tak suka disanjung? Wanita mana yang tak jatuh hati diperlakukan sebaik itu oleh pria mapan dan disegani banyak orang? Semua pasti memimpikannya bukan?
“Jika ada yang kamu butuhkan, jangan sungkan untuk bertanya padaku,” ucap Bimo sambil menatapnya.
“Aku ada di sini untuk membantumu beradaptasi.” Lagi, Bimo berusaha meyakinkan Naura.
“Baik, Mas. Terima kasih banyak atas bantuannya. Tapi, bukankah ada HRD dan Manager? Seharusnya tidak perlu repot untuk karyawati baru seperti saya.” Naura menunduk sedikit, menyembunyikan senyum kecil yang tak bisa ia tahan.
Ada sesuatu yang membuatnya nyaman berada di dekat pria ini, meskipun mereka baru saja bertemu. Aneh memang.
"Kamu beda, Naura. Bukankah kamu masuk ke kantor ini karena rekomendasi teman kampus saya? Eh, maksud saya Dosen kamu," terang Bimo dengan tatapan bangga.
Daya pikat Bimo memang luar biasa. Apalagi ia memiliki harta dan juga jabatan tinggi. Mudah baginya menarik perhatian gadis manapun.
*****
Beberapa hari berlalu, dan Naura semakin terbiasa dengan pekerjaannya.
Bimo sering mengajaknya berdiskusi di luar jam kantor, menunjukkan tempat-tempat indah di kota ini.
Ia memperlakukannya dengan sangat perhatian, dan perlahan-lahan Naura mulai merasakan perasaan yang berbeda setiap kali mereka bersama.
Gadis itu seolah lupa diri di mana ia berasal. Bahkan ia tidak peduli dengan gunjingan teman-teman kantornya.
Suatu malam, ketika Bimo mengajaknya makan malam di restoran yang tenang, Naura tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Mas Bimo, kenapa begitu baik padaku?”
Bimo menatapnya dalam, seolah mempertimbangkan jawabannya.
Entah apa yang terlintas di pikirannya.
“Karena kamu istimewa, Naura. Kamu membawa kesederhanaan dan ketulusan yang sudah jarang aku temui di kota ini.”
Naura terdiam, hatinya berdebar tak karuan. Ia tak pernah merasa diperhatikan seperti ini sebelumnya.
Namun, di balik kebahagiaannya, terselip kekhawatiran yang samar. Apakah perasaan ini nyata? Atau hanya sekadar permainan hati? Entah.
****
Hari itu berlalu seperti biasa di kantor. Naura mulai merasa lebih percaya diri dalam pekerjaannya.
Namun, ketika ia baru saja selesai mengatur dokumen di mejanya, teleponnya berdering.
Melihat nama ibunya di layar, Naura segera mengangkatnya.
“Halo, Bu? Ada apa?” tanyanya sambil merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan.
“Naura …,” suara ibunya terdengar gemetar, penuh kecemasan. “Ayahmu … jatuh pingsan tadi pagi. Sekarang ada di rumah sakit.”
Dunia Naura seolah berhenti berputar. Jantungnya berdetak kencang.
“Apa? Kenapa Ayah? Sakit apa, Bu?” tanya Naura. Guratan wajahnya berubah cemas.
“Dokter bilang ada masalah serius di jantungnya. Dia butuh operasi secepatnya. Tapi... biaya operasinya sangat besar, Naura. Kami tidak tahu harus bagaimana.” Suara ibunya pecah menjadi isakan.
Naura meremas ponselnya, matanya berkaca-kaca.
“Berapa biaya yang dibutuhkan, Bu?” tanyanya dengan suara parau bercampur isakan tertahan.
“Dokter bilang sekitar lima puluh juta, Nak. Kami tidak punya uang sebanyak itu ....”
Tubuh Naura terasa lemas. Jumlah itu terlalu besar bagi keluarganya. Mereka hanya petani kecil di desa. Naura menelan ludah, berusaha menenangkan pikirannya.
“Bu, tenang, ya. Naura akan cari cara. Aku pasti akan membantu Ayah.”
Setelah panggilan berakhir, Naura duduk termenung di mejanya. Pikiran tentang ayahnya yang terbaring lemah di rumah sakit terus menghantui.
Rasa bersalah dan putus asa berkecamuk dalam dirinya. Belum lama ia bekerja, tabungannya belum cukup untuk menutupi kebutuhan sebesar itu.
“Naura?”
Suara itu membuatnya tersentak. Bimo berdiri di samping mejanya, menatapnya dengan dahi berkerut.
“Kamu baik-baik saja? Wajahmu pucat.”
Naura mencoba tersenyum, meski jelas terlihat dipaksakan.
“Ah, tidak apa-apa, Mas. Saya hanya sedikit pusing.”
Namun, Bimo tidak percaya begitu saja.
“Katakan apa yang terjadi. Kalau ada masalah, mungkin aku bisa membantu.”
Naura ragu sejenak. Ia tahu bahwa Bimo selalu bersikap baik, tetapi menceritakan masalah keluarga ini terasa berat.
Akhirnya, ia menyerah pada desakan Bimo dan menceritakan semuanya.
Bimo mendengarkan dengan serius, lalu menghela napas panjang.
“Kenapa tidak bilang dari tadi? Aku bisa meminjamkan uang itu untukmu.”
Mata Naura membelalak. “Mas Bimo ... aku tidak bisa meminjam sebanyak itu. Aku tidak punya jaminan untuk mengembalikan.”
“Naura,” ujar Bimo lembut, sambil menggenggam tangannya. “Aku tidak membutuhkan jaminan. Anggap saja ini bantuanku untukmu.”
Naura terdiam. Tawaran itu terdengar seperti solusi dari semua masalahnya, tetapi ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatnya merasa ragu. Entah apa itu.
“Tapi, Mas... aku ....”
“Percayalah padaku, Naura,” Bimo menyela.
“Aku hanya ingin memastikan ayahmu mendapatkan perawatan terbaik.”
Naura menatap mata Bimo. Tatapan itu tampak tulus, tapi ia tidak bisa menghilangkan rasa gelisah yang muncul entah dari mana. Akhirnya, ia mengangguk pelan.
“Baik, Mas. Terima kasih. Saya akan mengembalikannya sedikit demi sedikit.”
Bimo tersenyum. “Jangan khawatirkan itu sekarang. Fokus saja pada ayahmu.”
Namun, malam harinya, saat Naura tengah mengemasi barang-barangnya untuk kembali ke rumah sakit di desa, ia menerima sebuah pesan dari nomor tak dikenal.
Pesan itu hanya berisi satu kalimat:
[Berhati-hatilah pada Bimo. Dia bukan seperti yang kamu pikirkan.]
Pesan itu membuat darahnya membeku. Naura memandangi layar ponselnya dengan mata melebar. Siapa yang mengirim pesan itu? Dan apa maksudnya?
Sebuah perasaan dingin menjalar di punggungnya, menimbulkan kekhawatiran yang tidak bisa ia abaikan.
Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, suara panggilan dari ponsel kembali berdering.
“Naura, Ayahmu kondisinya semakin kritis. Dokter bilang operasinya harus dilakukan besok pagi, atau ....”
Kalimat ibunya terhenti.
Naura terpaku, hatinya mencelos. Waktu semakin menipis, dan ia tidak punya pilihan selain menerima bantuan dari Bimo, meskipun pesan misterius itu terus menghantui pikirannya.
Langit malam di kota terasa lebih gelap dari biasanya. Angin dingin menyelinap melalui jendela bus yang terbuka, mengiringi perjalanan Naura kembali ke desa.
Kepalanya bersandar lemah di sandaran kursi, tetapi pikirannya terus berputar tanpa henti.
Ayahnya sedang berjuang untuk hidup di rumah sakit, sementara pesan misterius yang ia terima tentang Bimo tak henti-hentinya menggema dalam benaknya.
Satu sisi hatinya bersyukur atas bantuan Bimo, tetapi sisi lain menuntutnya untuk tetap waspada.
Siapa yang mengirim pesan itu? Apa yang mereka ketahui tentang Bimo?
Naura mengepalkan tangan, mencoba mengusir keraguan.
"Yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan Ayah. Tidak ada yang lebih penting dari itu," pikirnya, menenangkan diri.
Saat bus berhenti di terminal desa, Naura segera turun dan berlari ke arah rumah sakit.
Udara dingin desa menyambutnya, tapi ia hampir tidak menyadarinya. Langkah kakinya tergesa, dan matanya penuh kecemasan.
Ketika ia tiba di rumah sakit, ibunya sedang duduk di kursi kecil di luar ruangan. Wajah tua itu terlihat lelah, matanya sembab karena menangis.
“Ibu ....” Naura mendekat, menggenggam tangan ibunya dengan erat. “Bagaimana kondisi Ayah?”
“Ia masih lemah, Nak,” jawab ibunya dengan suara lirih.
“Dokter bilang operasinya harus segera dilakukan. Kalau tidak ....” Ia tidak sanggup melanjutkan.
Naura menarik napas panjang, berusaha tegar.
“Bu, tenang. Aku sudah menemukan cara untuk membayar operasi Ayah.”
Mata ibunya membesar. “Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu, Naura?”
“Mas Bimo, direktur tempatku bekerja, meminjamkan uang itu, Bu. Dia orang baik.”
Ibunya mengangguk pelan, tapi tak mampu menyembunyikan keraguan.
“Pastikan kamu tidak menyulitkan dirimu sendiri, Nak. Jangan terlalu percaya pada orang begitu saja. Apalagi dia itu bos kamu. Biasanya, bos tidak akan langsung mengurus bawahannya jika tidak ada yang ia inginkan.”
Naura hanya tersenyum samar. “Bu, aku akan mengurus semuanya. Percaya pada Naura, ya.”
Setelah berbicara dengan dokter dan memastikan operasinya dijadwalkan keesokan pagi, Naura merasa sedikit lega.
Namun, saat ia berjalan ke luar ruangan untuk menghirup udara segar, seseorang mendekatinya—seorang pria yang terlihat mencurigakan dengan jaket lusuh dan topi yang menutupi sebagian wajahnya.
“Kamu Naura, 'kan?” tanyanya dengan nada rendah.
Naura mengernyit, merasa sedikit ketakutan.
“Iya. Siapa kamu?”
Pria itu mendekatkan wajahnya sedikit, berbisik.
“Aku cuma mau bilang satu hal. Jauhi Bimo. Dia bukan orang baik.”
Jantung Naura berdegup kencang.
“Apa maksudmu? Kenapa kamu bilang begitu?”
Pria itu melirik sekeliling, memastikan tidak ada orang yang mendengar.
“Bimo punya sejarah buruk dengan wanita. Kamu bukan yang pertama dia dekati. Dia punya cara memanfaatkan orang, lalu meninggalkan mereka saat sudah tidak dibutuhkan.”
Naura menelan ludah, merasa dadanya sesak.
“Itu tidak mungkin. Dia sangat baik padaku. Dia bahkan membantu operasi Ayahku.”
Pria itu menggeleng pelan. “Percayalah, aku hanya ingin memperingatkanmu. Jangan sampai kamu jadi korban berikutnya. Aku mengatakan ini karena kasihan melihatmu.”
Sebelum Naura sempat bertanya banyak, pria itu sudah berbalik lalu berlari dan membaur di keramaian. Hilang.
Naura berdiri mematung. Kata-kata pria itu terus terngiang di telinganya.
Ia ingin mengabaikannya, tetapi rasa takut mulai merayapi pikirannya.
Bagaimana jika apa yang dikatakan pria itu benar?
Saat kembali ke ruang tunggu, ponselnya berbunyi. Nama Bimo muncul di layar. Tangannya gemetar ketika menjawab panggilan itu.
“Halo, Mas Bimo?”
“Naura, aku baru selesai mengirim uangnya ke rekening rumah sakit. Pastikan operasinya berjalan lancar besok,” suara Bimo terdengar tenang, bahkan hangat.
Naura merasa lega sekaligus bingung.
“Terima kasih banyak, Mas. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan ini.”
Bimo tertawa kecil. “Naura, aku sudah bilang, kamu tidak perlu khawatir soal itu. Yang penting ayahmu sembuh dulu.”
Namun, sebelum panggilan berakhir, Bimo menambahkan sesuatu yang membuat Naura terdiam.
“Oh, satu lagi, Naura. Besok malam, aku ingin kita bertemu. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan.”
“Apa itu, Mas?” tanya Naura, penasaran.
Kini jantungnya kembali berdegup kencang.
“Kamu akan tahu nanti. Sampai jumpa, Naura.”
Panggilan berakhir sepihak, membuat Naura memikirkan segala kemungkinan. Apa yang ingin Bimo bicarakan? Dan apakah ini ada hubungannya dengan peringatan dari pria misterius tadi?
Naura menghela napas panjang, menatap langit malam yang gelap. Di balik ketenangan yang ditawarkan Bimo, ada bayang-bayang kecurigaan yang semakin mendalam.
Besok, segalanya akan berubah—dan ia tidak tahu apakah itu menjadi awal yang baik, atau justru membawa bencana yang lebih besar.
******
Naura duduk di kursi rumah sakit, memandangi layar ponselnya yang masih menampilkan panggilan terakhir dari Bimo.
Pikirannya berputar seperti ombak di tengah badai. Kata-kata pria misterius tadi terus menghantuinya.
Benarkah Bimo bukan seperti yang ia pikirkan? Tetapi bukankah dia sudah begitu baik, bahkan membiayai operasi ayahnya tanpa syarat? Gamang.
Naura memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi semakin ia mencoba, semakin berat perasaan itu menekan. Seolah ada sesuatu yang mengingatkannya untuk tidak begitu saja percaya pada kebaikan yang tampak terlalu sempurna.
“Ibu benar,” gumam Naura pelan. “Jangan terlalu percaya begitu saja…”
Namun, bayangan ayahnya yang terbaring lemah kembali memenuhi pikirannya.
Bagaimana jika ia menolak bantuan Bimo? Ayah mungkin tidak akan selamat.
Ia menggigit bibirnya, rasa bersalah membanjiri hatinya.
Jika ia terlalu curiga pada Bimo dan menolak bantuannya, bukankah itu sama saja dengan menyerahkan ayahnya pada maut?
“Naura, kamu baik-baik saja?” suara ibunya menyadarkan Naura dari lamunannya.
Naura tersentak, menoleh ke arah ibunya. “I-iya, Bu. Hanya sedikit lelah.”
Ibunya menggenggam tangan Naura dengan lembut.
“Nak, apa pun yang kamu hadapi, selalu ingat bahwa keluarga adalah yang terpenting. Ayahmu butuh kamu sekarang.”
Naura tersenyum samar, tapi di dalam hatinya, kalimat itu justru menambah tekanan.
Ia tahu betul apa yang harus dilakukan, tapi kenapa hatinya terasa begitu berat?
Saat malam semakin larut, Naura akhirnya berdiri dari kursinya dan berjalan ke luar rumah sakit.
Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi itu tidak mengusik pikirannya yang jauh lebih dingin dan kacau.
Ia mengeluarkan ponselnya, membuka kontak Bimo, dan menatap nomor itu lama.
"Haruskah aku mempercayainya? Atau aku harus mencari jalan lain?" pikirnya.
Dalam kebimbangannya, pesan baru masuk ke ponselnya. Kali ini dari nomor yang tidak dikenal. Pesannya singkat, tetapi cukup untuk membuat jantungnya berdegup kencang.
[Bimo punya rencana lain. Jangan jatuh dalam perangkapnya.]
Naura terdiam. Kedua tangannya gemetar saat membaca pesan itu. Apa maksud pesan ini? Siapa yang mengirimnya? Dan yang terpenting—rencana apa yang dimaksud?
Namun, kemudian suara langkah kaki mendekat. Naura menoleh, mendapati pria misterius yang sebelumnya memperingatkannya berdiri tidak jauh darinya.
“Kita perlu bicara,” katanya dengan nada tegas.
Naura mundur selangkah, menatapnya dengan waspada. Takut tentu saja.
“Apa yang kamu tahu tentang Bimo? Kenapa kamu terus memperingatkan aku?”
Pria itu menghela napas, lalu berkata dengan suara rendah, “Karena aku tahu apa yang terjadi pada wanita-wanita sebelum kamu. Bimo selalu menggunakan cara yang sama—menjadi pahlawan, membantu di saat-saat genting, lalu ....”
Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, tetapi Naura bisa merasakan beratnya kata-kata yang tertahan.
“Lalu apa?” desak Naura, suaranya bergetar.
“Dia menghancurkan mereka,” jawab pria itu dingin. “Dan kamu mungkin target berikutnya.”
Kata-kata itu membuat darah Naura berdesir. Ia ingin menyangkalnya, tetapi sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ini bukan sekadar ancaman kosong.
“Tapi dia sudah membantu operasinya ...,” bisik Naura, lebih kepada dirinya sendiri.
Pria itu mengangguk. “Itulah awalnya. Semua dimulai dari bantuan. Tapi pada akhirnya, kamu akan membayar lebih dari yang pernah kamu bayangkan.”
Naura menggigit bibir, hatinya bergejolak. Keyakinannya benar-benar diuji.
Sebelum Naura sempat menjawab, suara ponselnya kembali berbunyi. Nama Bimo kwmbali muncul di layar.
“Kamu harus memilih, Naura,” ujar pria itu pelan, lalu berbalik pergi, meninggalkan Naura yang berdiri terpaku dengan ponsel di tangannya.
Naura memandang layar ponsel yang terus bergetar. Suara Bimo mungkin memegang kunci atas segalanya, tetapi benarkah ia bisa mempercayai pria itu? Ataukah keputusan ini akan menjadi awal dari kehancurannya?
Ia menekan tombol jawab, suaranya gemetar saat berkata, “Halo, Mas Bimo ....”
(Bersambung)
Pagi itu, matahari bersinar dengan lemah di balik awan mendung, seolah ikut merasakan kecemasan yang melingkupi Naura.
Di rumah sakit, langkah-langkahnya terdengar gemeretak di koridor dingin.
Operasi ayahnya baru saja selesai. Dokter mengatakan semuanya berjalan lancar, tapi jantung Naura belum bisa merasa lega.
Bantuan Bimo memang telah menyelamatkan ayahnya, tetapi pesan-pesan misterius itu masih menghantui pikirannya.
Benarkah ia telah menyerahkan dirinya ke dalam perangkap?
Saat ia duduk menunggu ayahnya dipindahkan ke ruang perawatan, ponselnya bergetar di sakunya. Sebuah pesan masuk dari Bimo.
[Aku tunggu di restoran tempat biasa. Jangan terlambat.]
Naura membaca pesan itu dengan napas tertahan.
Hari sebelumnya, ia telah berjanji untuk bertemu Bimo setelah operasi selesai. Tapi sekarang, perasaan ragu dan takut semakin menguasainya.
Pria yang memperingatkannya tidak pernah muncul lagi, tapi kata-katanya masih bergaung dalam benaknya.
"Dia menghancurkan mereka... Kamu mungkin target berikutnya."
Naura menatap layar ponselnya yang kini terasa seperti beban berat di tangannya.
Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, lalu bangkit dari kursi. Ia tidak punya pilihan.
***
Saat tiba di restoran, suasana di dalam terasa hangat, tapi tidak bagi Naura.
Ia merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya saat matanya menangkap sosok Bimo duduk di pojok ruangan, mengenakan kemeja putih bersih dan jam tangan mahal yang berkilau di bawah lampu.
Senyumnya mengembang ketika melihat Naura mendekat.
“Naura, akhirnya kamu datang,” ucapnya dengan nada ramah sambil mempersilakan Naura duduk.
Naura duduk perlahan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang terasa begitu keras.
“Maaf, Mas. Aku baru bisa datang setelah memastikan Ayah dipindahkan ke ruang perawatan.”
Bimo mengangguk. “Tidak apa-apa. Bagaimana kondisi Ayahmu sekarang?”
“Dokter bilang operasinya berhasil, Mas. Terima kasih banyak untuk bantuannya. Kalau bukan karena Mas Bimo, aku tidak tahu apa yang akan terjadi.”
Senyum Bimo melebar. “Aku senang mendengarnya, Naura. Itu yang terpenting bagiku. Tapi sebenarnya, ada alasan lain kenapa aku ingin bertemu denganmu.”
Naura menegang. Matanya langsung menatap Bimo dengan hati-hati.
“Ada apa, Mas?”
Bimo menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Naura dengan tatapan serius yang membuat hawa di sekeliling mereka seolah membeku.
“Naura, aku ingin kamu menikah denganku.”
Kata-kata itu menghantam Naura seperti petir di siang bolong. Matanya membesar, bibirnya terbuka, tetapi tak ada satu kata pun yang keluar.
“M-mas Bimo... Apa maksud Mas?” Akhirnya Naura berhasil bersuara.
“Aku tahu ini mungkin mendadak, tapi aku serius, Naura. Aku ingin kita menikah.”
Naura hanya bisa terdiam. Tawaran itu terdengar seperti impian bagi seorang gadis desa sepertinya—seorang pria kaya raya menawarkan pernikahan.
Tetapi bayangan pria misterius yang memperingatkannya kembali menghantui.
“Dia bukan orang baik... Jangan sampai kamu jadi korban berikutnya.”
“Kenapa... kenapa Mas Bimo ingin menikah denganku?” tanyanya, mencoba mencari celah di balik senyum sempurna itu.
Bimo meraih tangan Naura di atas meja, membuatnya semakin tegang.
“Karena aku mencintaimu, Naura. Sejak pertama kali aku melihatmu di kantor, aku tahu kamu berbeda. Kamu sederhana, tulus, dan itu yang membuatku jatuh hati.”
Kata-kata itu seharusnya membuat Naura merasa tersanjung, tetapi ada sesuatu yang tidak beres. Hatinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Bimo.
“Mas Bimo, ini terlalu mendadak. Aku… aku butuh waktu untuk berpikir,” ujar Naura pelan, mencoba menghindari.
Bimo mengangguk perlahan. “Tentu saja. Aku tidak ingin memaksamu. Pikirkan baik-baik, tapi ingat, aku serius dengan ucapanku.”
Naura hanya mengangguk kecil. Setelah itu, pertemuan mereka berakhir dengan cepat.
Bimo kembali dengan mobil mewahnya, sementara Naura berjalan kaki ke halte bus dengan pikiran yang kalut.
Namun, saat ia sedang menunggu bus, ponselnya kembali berbunyi.
Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal lagi.
“Kamu sudah membuat langkah pertama ke dalam jebakannya. Berhenti sekarang, sebelum semuanya terlambat.”
Naura membekap mulutnya dengan tangan, mencoba menahan napas yang mulai memburu.
Pesan itu datang lagi, tepat setelah pertemuannya dengan Bimo. Ini bukan kebetulan.
Ia menatap ke arah jalan raya, di mana mobil Bimo menghilang di kejauhan. Hatinya berteriak penuh keraguan dan ketakutan.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Dan jika benar Bimo menyimpan sesuatu, apa yang harus ia lakukan?
Naura menyandarkan tubuhnya di tiang halte, menatap langit yang mulai gelap. Ia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah hari ini.
*****
Malam itu, Naura duduk sendirian di kamar rumahnya, diterangi cahaya lampu redup yang menyisakan bayangan panjang di dinding.
Pesan-pesan misterius yang terus masuk ke ponselnya dan pernyataan cinta Bimo berputar dalam pikirannya, seperti pusaran angin yang tidak kunjung reda.
Di satu sisi, tawaran Bimo untuk menikahinya terasa seperti jalan keluar dari semua kesulitan yang melilit hidupnya.
Ayahnya selamat, dan jika ia menikah dengan Bimo, setidaknya ibunya tidak perlu lagi bekerja terlalu keras.
Tapi di sisi lain, bayangan pria misterius yang memperingatkannya terus mengusik hati.
"Apakah aku benar-benar bisa percaya pada Bimo? Atau justru ini akan menjadi kesalahan terbesar dalam hidupku?" pikirnya, menggenggam ponsel erat-erat.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.
"Naura, sudah malam. Jangan lupa istirahat, Nak," suara ibunya terdengar lembut dari luar.
Naura menghela napas, mencoba tersenyum meski hatinya kacau.
"Iya, Bu. Sebentar lagi."
Setelah memastikan ibunya kembali ke kamar, Naura membuka ponselnya dan melihat nama Bimo di daftar panggilannya.
Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol panggil.
“Halo, Mas Bimo?” suaranya terdengar ragu.
“Naura, akhirnya kamu menelepon,” suara Bimo terdengar hangat di ujung sana.
“Kamu sudah memikirkannya?”
Naura menggigit bibirnya. Ia tahu ini adalah keputusan besar.
“Mas, aku... aku setuju untuk menikah.”
Ada jeda di ujung telepon, lalu suara Bimo terdengar penuh semangat.
“Naura, kamu tidak tahu betapa bahagianya aku mendengar ini. Tapi ...” Bimo berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Aku ingin kita menikah secara agama dulu. Aku butuh waktu untuk mempersiapkan segalanya agar pernikahan resmi nanti sempurna.”
Naura terdiam. Hatinya berdesir aneh, tetapi ia menepis rasa ragu yang muncul.
"Mungkin ini hanya sementara," pikirnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.
“Baik, Mas,” jawab Naura akhirnya. “Aku percaya pada Mas Bimo.”
Di seberang telepon, Bimo terdengar menghela napas lega.
“Terima kasih, Naura. Aku akan mengatur semuanya. Aku ingin kita segera memulai hidup baru bersama.”
Setelah panggilan itu berakhir, Naura duduk termenung di tepi ranjangnya. Setelahnya ia akhirnya berbicara kepada sang ibu, yang untungnya menyetujui.
Keputusannya sudah bulat, tetapi kenapa hatinya masih diliputi rasa takut?
***
Beberapa hari kemudian, upacara kecil itu berlangsung di rumah sakit tempat Ayah Naura dirawat.
Tidak banyak keluarga Naura yang hadir. Ketika ia bertanya, Bimo hanya berkata, “Aku ingin ini tetap sederhana untuk saat ini, Naura. Nanti, saat pernikahan resminya, keluargamu pasti akan kutemui semua.”
Naura hanya bisa mengangguk, meski hatinya kembali diselimuti keraguan.
Ia menatap ke cermin, melihat dirinya mengenakan kebaya putih sederhana. Wajahnya terlihat pucat, tetapi ia mencoba tersenyum.
"Semua ini demi Ayah dan Ibu. Demi masa depan yang lebih baik," pikirnya, meyakinkan diri.
Ketika Bimo menggenggam tangannya setelah ijab kabul, senyumnya terlihat begitu hangat dan tulus.
Tapi di balik senyuman itu, ada sesuatu yang Naura tidak tahu—sesuatu yang perlahan mulai mengintai kebahagiaannya.
Malam itu, setelah mereka kembali dari rumah sakit, Bimo mengantar Naura pulang ke rumah orang tuanya.
Sebelum Naura turun dari mobil, Bimo meraih tangannya lagi.
“Naura, kamu adalah istriku sekarang. Percayalah, aku akan selalu menjagamu.”
Naura tersenyum kecil, meski di dalam hatinya ia masih merasa ada sesuatu yang aneh.
“Terima kasih, Mas.”
Namun, saat ia melangkah keluar dari mobil, pandangannya tanpa sengaja menangkap sebuah bayangan di ujung jalan.
Seorang pria berdiri di sana, mengenakan jaket lusuh yang Naura kenali. Pria yang sebelumnya memperingatkannya.
Pria itu hanya menatap Naura dari kejauhan, lalu menggeleng pelan sebelum berbalik dan menghilang ke dalam kegelapan.
Naura tertegun. Jantungnya berdebar kencang. Apa artinya itu? Apakah ia baru saja membuat kesalahan besar?
(Bersambung)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!