NovelToon NovelToon

Menikah Di Atas Perjanjian

Parasit

Halo, Best ... Assalamu'alaikum.

Jumpa lagi kita di cerita baru yang kemarin udah ku-spill.

Tapi, eh, tapi ... meski kemarin kalian udah baca, WAJIB hukumnya baca ulang, ya, karena ada beberapa dialog tambahan di bab ini.

Jadi, jika kalian nggak baca ulang, takutnya kalian akan miss dengan alur ceritanya.

Dan, jangan lupa tinggalkan jejak cinta di lapakku ini, ya, dengan tekan tombol jempol dan kasih komentar yang positif.

OK. Happy reading ...🥰 🙏

❤️❤️❤️

“Kurasa, hubungan kita ini udah nggak bisa dilanjutkan lagi, Win. Ada begitu banyak perbedaan yang nggak mungkin untuk disatukan. Selain itu, aku juga yakin jika kamu pasti tidak akan mau kuajak tinggal di kota ini, ‘kan? Jadi, lebih baik kita akhiri saja hubungan kita sampai di sini.”

“Jadi, Bang Leon sengaja memintaku datang kesini hanya untuk mutusin aku? Tapi, kemarin Abang bilang —" Winda sejenak menjeda ucapannya. Dia tatap Leon dengan tatapan tak mengerti.

Winda teringat dengan perbicangan mereka berdua kemarin, melalui panggilan telepon.

"Urgent banget, ya, Bang, sampai aku harus ke sana?" tanya Winda memastikan ketika Leon tiba-tiba menelepon dan memintanya untuk datang ke Jakarta.

"Iya, Win. Ini tentang kelanjutan hubungan kita berdua. Aku akan membicarakan tentang pernikahan —"

"Benarkah?" sahut Winda sebelum Leon menyelesaikan pembicaraan.

"Baiklah. Kalau begitu, malam ini juga aku akan berangkat ke sana," balas Winda dengan antusias.

"Kemarin itu, aku belum selesai bicara, Win. Tapi, kamu udah memotong perkataanku," balas Leon, mengurai lamunan Winda.

"Sebenarnya, aku ingin mengatakan jika aku akan membicarakan tentang pernikahanku dengan —"

"Apapun yang akan kamu jelaskan kemarin, tetep aja kamu tega, Bang!” sergah Winda yang mulai tersulut emosi.

Tentu saja Winda tersulut emosinya mendengar perkataan Leon barusan. Hampir tujuh tahun mereka berdua menjalin hubungan kasih, tapi Leon malah akan membahas pernikahannya dengan wanita lain. Wanita mana, coba, yang tidak akan marah mendengarnya?

Winda mengepalkan kedua tangan dengan sempurna dan tatapannya yang tajam, tertuju pada laki-laki di hadapan. Sementara Leon terlihat begitu santai, seolah lelaki itu tak melakukan kesalahan apa-apa.

“Terus tadi, kenapa Abang menyimpulkan seperti itu?"

"Menyimpulkan apa?" tanya Leon, berlagak bodoh.

"Kalau aku mau diajak pindah ke kota ini, gimana? Apa Abang akan berubah pikiran? Apa Abang akan tetap mempertahankan hubungan kita dan membatalkan rencana pernikahan Abang dengan entah siapa itu?” balas Winda bertanya dengan suara pelan setelah wanita berhijab itu dapat menguasai kemarahan yang kini berganti dengan kesedihan. Kedua netra Winda bahkan telah berkaca-kaca.

Sungguh, wanita bermata sendu itu sama sekali tak pernah menduga jika dia akan diputuskan begitu saja oleh sang kekasih tanpa alasan yang jelas. Selama ini, Leon tak pernah menunjukkan sikap yang berbeda padanya. Semuanya terlihat baik-baik saja. Lelaki itu tetap penuh perhatian dan selalu menanyakan kabarnya.

Hubungan mereka berdua juga tetap romantis meski jarak memisahkan. Hampir tujuh tahun menjalani hubungan jarak jauh, tapi keduanya mampu bertahan dengan saling menjaga kepercayaan. Namun, tak ada hujan tak ada badai, kata putus tiba-tiba meluncur begitu saja dari bibir Leon hingga membuat Winda sangat terkejut.

Winda memang selalu mengatakan jika dia lebih senang tinggal di tanah kelahirannya, di kota Kembang, daripada di Jakarta. Namun, bukan berarti dia menolak jika Leon–yang memang bekerja di Jakarta itu–suatu saat nanti mengajaknya untuk menetap di kota besar tersebut.

"Bang. Kalau nanti kita udah nikah, kita tinggal di sini aja, ya? Kita kelola kafe ini sama-sama," pinta Winda pada suatu ketika.

"Kenapa di sini, Win? Aku 'kan, kerja di Jakarta," balas Leon bertanya.

"Di sini udaranya sejuk, Bang. Aku merasa lebih nyaman tinggal di sini. Masalah pekerjaan, bisalah nanti Abang pikirkan lagi. Cari kerja di sini, kan, juga pasti gampang karena Abang udah punya pengalaman di kota besar. Tapi, kalau misal Abang keberatan kita tinggal di sini, gak masalah juga, sih, jika aku yang ikut Abang ke Jakarta."

"Kita bahas lain kali aja, ya. Sekarang, aku lagi pengen menikmati hari libur dan bersantai bersama kamu."

Selama ini, mereka memang belum pernah membahas secara serius perihal tempat tinggal karena setiap kali Winda mencoba untuk membahasnya, Leon selalu saja menghindar. Kini, Leon malah menyimpulkan sendiri dan hal itu dijadikan alasan untuk memutuskan hubungan mereka berdua.

“Gimana, Bang? Abang nggak jadi mutusin aku, ‘kan?” desak Winda dengan mengesampingkan rasa malu karena terkesan mengejar-ngejar Leon.

Gimana Winda tidak mencoba mempertahankan jika hubungan yang terjalin lama itu, sudah diketahui oleh keluarga besarnya? Sang ibu juga sudah sering mendesak Winda agar meminta kejelasan pada Leon, kapan akan dilamar.

Ibunya bahkan langsung menyiapkan semua begitu mengetahui jika Winda akan menemui Leon ke Jakarta hari ini. Karena Winda mengatakan kemungkinan sang kekasih akan membicarakan pernikahan mereka berdua, seperti yang dikatakan Leon sebelumnya melalui sambungan telepon. Tapi ternyata, Winda salah menyimpulkan.

Winda pun teringat dengan antusiasme sang ibu ketika melepas kepergiannya.

"Ibu akan segera hubungi teman Ibu yang pemilik WO itu, Neng. Kamu nggak usah memikirkan apa pun. Fokus saja dengan calon suamimu. Pokoknya, begitu kamu pulang dan tanggal pernikahan sudah kalian tetapkan, kalian tinggal terima beres saja."

Lalu, apa yang harus Winda sampaikan pada sang ibu jika Leon bukan membahas pernikahan mereka berdua, tapi malah memutuskan dia begitu saja karena ternyata lelaki itu akan menikah dengan wanita lain? Ibunya pasti akan menyalahkan Winda karena dia selalu menolak ketika akan dijodohkan dengan lelaki lain dengan alasan sudah memiliki kekasih.

“Maaf, Win. Keputusanku udah bulat,” pungkas Leon yang berhasil menyeret Winda dari lamunan panjangnya. Lalu, lelaki itu melangkah pergi begitu saja meninggalkan Winda yang masih termangu karena tidak percaya dengan apa yang dikatakan Leon barusan.

“Oh, ya. Ini kunci mobilmu, aku kembalikan,” kata Leon yang kembali menghampiri Winda.

“Bawa saja! Aku enggak sudi menerima barang yang udah pernah kamu pakai!” tolak Winda sarkas.

“Aku masih mampu membeli yang baru! Bahkan, aku juga mampu membeli sepuluh cowok brengsek sepertimu!” lanjutnya karena Leon masih saja menggantung kontak tersebut tepat di hadapannya.

“Hem … baiklah. Aku enggak memintanya, ya. Kamu sendiri yang ngasih ke aku,” balas Leon dengan begitu santai, kemudian kembali berlalu dari hadapan Winda.

Laki-laki itu sama sekali tak terlihat sakit hati atas perkataan kasar Winda barusan. Bahkan, Leon berjalan sambil bersiul riang menuju mobilnya.

Sementara Winda masih terpaku seorang diri di tempatnya semula dengan tatapan penuh kemarahan serta kekecewaan pada Leon. Tatapan Winda masih terus tertuju ke arah punggung Leon yang semakin menjauh, lalu masuk ke mobilnya. Bahkan, ketika mobil yang dikendarai Leon menghilang di kejauhan, Winda masih terus menatap ke arah jalanan.

“Cih! Enggak minta katanya? Dulu aja dia yang merengek meminta dibelikan mobil dengan alasan malu sama rekan-rekannya di kantor! Sekarang, bisa-bisanya dia bicara seperti itu! Dasar, cowok nggak tahu diuntung! Nggak tahu diri! Benalu! Parasit!”

bersambung ...

Duren Sawit

“Sayang. Nanti bantu aku, ya. Kamu tahu sendiri, kan, Ambu nggak ada uang untuk membiayai kuliahku,” kata Leon, sehari sebelum dia berangkat ke Jakarta.

Winda dan Leon menjalin hubungan sejak mereka masih duduk di bangku kelas tiga SMA. Setelah hampir setahun berpacaran, mereka berdua terpaksa menjalani hubungan jarak jauh karena Leon mendapatkan beasiswa di salah satu perguruan tinggi bergengsi di Jakarta. Menyadari jika biaya hidup di kota besar seperti Jakarta pastilah sangat mahal, Leon yang berasal dari keluarga sederhana tanpa rasa malu meminta pada Winda agar mensupport-nya.

“Aku kuliah di sana, kan, juga demi masa depan kita, Yang. Jika nanti aku udah jadi orang sukses, kamu juga, kan, yang akan menikmatinya,” lanjutnya sambil menatap Winda dengan tatapan penuh cinta.

“Iya, Bang. Nanti aku usahakan, ya,” balas Winda seraya tersenyum tulus.

Sejak saat itu, Windalah yang kemudian memenuhi hampir semua kebutuhan Leon. Winda bahkan rela mengambil kuliah weekend agar dia bisa fokus mengelola kafe peninggalan sang ayah demi dapat mengirim uang bulanan untuk kekasihnya itu.

Bukan hanya membantu Leon, tapi Winda juga membantu membiayai sekolah kedua adik Leon atas permintaan sang kekasih tentunya. Sebab, Ayah Leon mulai sakit-sakitan dan uang yang dihasilkan sang ibu sebagai buruh serabutan, habis untuk membiayai pengobatan sang ayah.

Selama ini, Winda tak pernah perhitungan. Dia benar-benar tulus membantu Leon dan keluarganya. Besarnya cinta Winda pada Leon, membuat dia menganggap bahwa keluarga Leon adalah keluarganya juga.

Sebenarnya, Winda tak perlu bersusah payah mengelola kafe karena sang ibu masih sanggup membiayai kuliahnya dari hasil kebun. Namun, demi dapat membantu Leon serta kedua adiknya, Winda harus mengelola kafe yang sempat mati suri setelah ditinggalkan sang ayah karena tak mungkin dia meminta pada ibunya.

“Apa salahku? Apa aku pernah membuat dia kecewa? Apa aku pernah membuat kesalahan fatal dan tidak termaafkan hingga Bang Leon mutusin aku begitu saja?” Winda terus meraba-raba, apa kiranya yang membuat Leon tiba-tiba memutuskannya.

“Terus tadi … tadi dia bilang kalau ada begitu banyak perbedaan. Perbedaan apa? Perbedaan yang mana? Kami bahkan sudah saling mengenal sangat lama dan selama ini semuanya baik-baik saja, ‘kan?”

Winda berjalan sambil melamun dan terus memikirkan kenapa Leon memutuskan dia secara sepihak dan begitu mendadak. Meski matanya menatap lurus ke depan, tapi tatapan gadis itu kosong hingga Winda tak menyadari jika di depannya ada seorang anak kecil yang sedang berjongkok untuk mengambil mainan miliknya yang barusan terjatuh.

“Aduh!”

Teriakan bocah laki-laki berusia sekitar empat tahun itu, berhasil menyeret Winda dari lamunan. Seketika, Winda berjongkok hendak menolong bocah kecil yang masih terduduk itu. Namun, tangan kekar seorang laki-laki menyingkirkan tubuh Winda dengan kasar dari anak tersebut.

“Kalau jalan, tuh, matanya difungsikan!”

Mendapati pelototan tajam dari laki-laki asing, Winda yang memang merasa bersalah tersenyum kikuk.

“Maaf.”

“Maaf-maaf! Enak aja minta maaf! Kalau dia kenapa-napa, bagaimana? Situ mau bertanggung jawab?”

Winda mengangguk dengan cepat meski dia belum tahu, harus melakukan apa sebagai bentuk tanggung jawab seperti yang laki-laki itu katakan. Yang Winda pikirkan saat ini, dia hanya ingin segera terbebas dari masalah kecil ini dan cepat-cepat pulang ke kota asalnya. Dia sudah sangat lelah mendapati kenyataan pahit yang diberikan Leon barusan dan Winda tak ingin menambah masalah lagi, hanya gara-gara kejadian kecil yang tak sengaja dia lakukan.

Lagipula, Winda juga harus segera menemui ibunya dan mengatakan semua sebelum sang ibu melangkah lebih jauh. Sebab, tadi pagi sebelum Winda menemui Leon, sang ibu sudah melihat-lihat gedung yang rencana akan digunakan sebagai tempat resepsi pernikahan. Sang Ibu bahkan sudah memutuskan tanggal pernikahan mereka berdua secara sepihak dan Winda diminta untuk menyampaikan pada Leon.

Boro-boro menyampaikan tanggal pernikahan yang sudah ditentukan sang ibu, Winda justru mendapatkan kejutan yang luar biasa mencengangkan. Bukan hanya diputuskan, tapi Leon ternyata juga akan menikah dengan wanita lain.

"Apa wanita itu lebih kaya? Ya, dia pasti lebih kaya sehingga Bang Leon tega berpaling dariku. Awas aja, ya. Aku juga bisa cari laki-laki yang lebih segalanya dari dia!"

"Tapi, cari di mana laki-laki seperti itu dalam waktu yang sangat singkat? Hanya dua Minggu. Ya, Ibu tadi sudah menentukan tanggalnya dan itu dua Minggu dari sekarang. Ya, Tuhan ... cobaan apalagi ini. Haruskah aku mengadakan sayembara untuk mencari suami?"

"Jangan kabur dulu! Kamu harus bertanggung jawab!"

Suara lelaki dewasa itu berhasil menyadarkan Winda yang ternyata kembali melamun. Winda lagi-lagi hanya bisa mengangguk, pasrah.

“Ayah, sakit,” rintih anak kecil itu yang ternyata lututnya berdarah.

“Sayang. Mana yang sakit?”

Laki-laki bertubuh tinggi tegap yang menghadapi Winda dengan meledak-ledak, kini berubah jadi sangat lembut ketika menghadapi sang bocah.

“Ini harus segera diobati, Sayang. Kalau tidak, nanti lutut Arsen bisa infeksi,” kata laki-laki itu dengan raut wajah penuh kekhawatiran.

“Tapi Arsen enggak mau ke dokter, Ayah. Ayah Bisma aja yang obati lutut Arsen, ya.”

“Iya, Sayang. Nanti Ayah yang akan obati,” jawab Bisma sembari mengangkat tubuh sang bocah, lalu segera membawanya ke mobil.

“Hai, kamu! Ikut saya!” Perintah Bisma setelah mendudukkan Arsen di bangku depan. Laki-laki itu menatap tajam ke arah Winda yang masih berdiri mematung dan terlihat kebingungan.

“Sa-saya?” tanya Winda seraya menunjuk dirinya sendiri.

“Iya, kamu! Kamu pikir, saya bicara sama siapa? Sama patung?” Bisma terlihat jengkel menghadapi Winda yang dinilainya sangat lemot.

"Tuhan. Apa laki-laki ini calon suami pengganti yang Engkau kirimkan untuk hamba?" batin Winda seraya menatap Bisma tanpa berkedip.

Winda akui, lelaki asing yang baru ditemuinya itu memiliki ketampanan di atas rata-rata. Meski marah-marah, Bisma tetap terlihat keren di mata Winda.

"Tapi, dia tadi dipanggil Ayah sama anak kecil itu. Nggak apa-apalah, yang penting dia bukan suami orang. Duda anak satu juga keren, kok. Dan kelihatannya, dia duda kaya. Duren Sawit. Lihat aja mobilnya, mobil mewah dan keluaran terbaru."

“Cepat!" teriak Bisma kembali, membuat Winda tersadar dari lamunan konyolnya.

Winda pun menepuk jidatnya sendiri. "Gara-gara Ibu, nih, pikiranku jadi kacau!"

"Saya enggak mau, ya, kalau sampai Arsen pingsan karena kehabisan darah!” lanjut Bisma masih dengan suaranya yang meninggi. Dan jangan lupakan tatapannya yang senantiasa menatap tak bersahabat pada Winda.

“Ck! Masak hanya terluka gitu aja, sampai kehabisan darah? Lebay, nih, orang!” Winda berdecak kesal sambil berjalan menuju mobil Bisma.

"Saya nggak peduli kamu bicara apa tentang saya!" sahut Bisma. Lalu, lelaki itu berlari kecil memutari mobil menuju sisi kanan.

"Dasar, manusia es! Kanebo kering! Dingin banget, nggak ada senyumnya sama sekali. Untung si Abang Duren Sawit tampan," gumam Winda sembari senyum-senyum tidak jelas.

bersambung ..

Bunda Baru

“Cepat, masuk!" Perintah Bisma kembali karena Winda tidak segera masuk, tapi malah senyum-senyum tidak jelas seraya memandanginya.

Sepertinya , gadis itu sedang melamunkan ketampanan si Duren Sawit. Terbukti, Winda tak mendengar perintah Bisma barusan.

"Hai, Cewek Aneh!" seru Bisma.

"Mana Cewek Aneh?" tanya Winda, lalu mengedarkan pandangan ke sekitarnya.

Bisma menghela napas panjang melihat kelakuan Winda. Lalu, lelaki itu geleng-geleng kepala sendiri.

"Buruan masuk! Lutut Arsen harus segera diobati!" Perintah Bisma kembali. "Atau, kamu mau coba-coba kabur, ya!" tuduh Bisma kemudian.

"Siapa, sih, yang mau kabur? Iya-iya, saya masuk!" balas Winda dengan bibir cemberut. Lalu, gadis itu membuka pintu mobil bagian belakang.

Melihat Winda sudah hendak masuk ke mobil, Bisma kemudian membuka pintu bagian pengemudi. Namun, laki-laki itu mengurungkan niat ketika hendak masuk ke mobil karena gadis berhijab yang siang ini membuat mood Bisma yang tadinya kurang baik menjadi semakin berantakan, kembali berseru.

"Tunggu-tunggu!"

"Apalagi?" tanya Bisma dengan tidak sabar.

"Kenapa saya harus ikut? Bukankah putra Anda baik-baik saja?"

"Kakinya terluka dan kamu bilang dia baik-baik saja?" balas Bisma dengan suara naik beberapa oktaf.

"Hai, Anda! Kaki putra Anda hanya terluka sedikit! Dikasih obat merah juga beres! Nggak usah membesar-besarkan masalah sepele, deh!" Winda mulai ikut tersulut emosinya, mendengar suara Bisma yang meninggi.

"Anak kecil terluka dan kamu bilang itu masalah sepele?" Bisma memicingkan mata menatap Winda.

"Maksud saya bukan lukanya yang sepele, Mas, tapi masalah ini yang sepele," balas Winda yang kembali berkata dengan lembut.

"Oke-oke. Jadi intinya, kamu nggak mau bertanggung jawab, 'kan? Ya, udah. Nggak usah ikut, kalau begitu. Tapi, saya akan bawa masalah ini ke polisi," kata Bisma pelan, tapi penuh penekanan.

“Eh, jangan-jangan! Iya-iya, saya ikut!” Dengan bibir cemberut, Winda akhirnya masuk dan duduk di bangku belakang seorang diri.

Saat ini, hati Winda sedang tidak baik-baik saja. Eh, malah harus berhadapan dengan lelaki yang tidak memiliki perasaan. Main suruh seenak jidatnya sendiri. Pakai mengancam pula.

"Jadi cowok, kok, nggak ada pengertiannya sama cewek! Mana urat senyumnya udah putus pula, kayaknya! Sampai kaku, tuh, wajah, kayak kanebo yang dijemur di bawah terik matahari selama berabad-abad!" Di tempat duduknya, Winda mengomel seorang diri dengan tatapan tertuju ke arah luar jendela kaca.

"Ngomong apa kamu barusan?" tanya Bisma seraya menatap tajam pada Winda melalui kaca spion tengah.

"Bukan apa-apa!" Saya lagi nyanyi!" balas Winda yang terdengar masih sangat kesal pada Bisma.

Tanpa Winda ketahui, lelaki itu tersenyum samar mendengar jawabannya. Irit sekali memang senyumnya si Bisma.

"Cewek aneh," gumamnya kemudian, sambil menghidupkan mesin mobil. Bisma lalu segera melajukan mobilnya keluar dari area parkir.

"Ayah, ini perih," rengek Arsen dengan suara manjanya.

"Iya, Sayang. Sebentar lagi diobati, ya. Arsen bobok aja dulu, biar nggak kerasa perihnya," kata Bisma dengan penuh kasih.

Mendengar suara Bisma yang jauh berbeda ketika berbicara pada Arsen dan pada dirinya, Winda menatap lelaki itu dengan dahi berkerut.

"Bisa lembut juga dia. Kupikir, pita suaranya terbuat dari linggis. Bikin sakit telinga, kalau sedang bicara," gumam Winda, lalu gadis itu pun terkikik sendiri.

Sementara Bisma terlihat tak peduli meski dia mendengar gumaman Winda karena fokusnya saat ini hanya pada Arsen.

Bisma yang terlihat sangat mengkhawatirkan Arsen, melajukan mobil dengan sangat kencang hingga membuat Winda yang duduk di bangku belakang menjadi ketar-ketir. “Pelan, dong, Mas! Meski sedang patah hati, tapi saya belum mau mati!” protesnya.

Laki-laki itu hanya melirik tajam pada Winda melalui kaca spion di hadapannya. Bisma sama sekali tak ingin menuruti permintaan Winda dan terus melajukan mobilnya bahkan menambah kecepatan hingga maksimal. Sesekali, Bisma melirik sang putra dengan tatapan yang masih menunjukkan kekhawatiran berlebih.

“Tipe-tipe bapak yang sayang sama anak rupanya. The real Hot Daddy,” batin Winda seraya menatap laki-laki itu dari tempatnya duduk.

“Nggak usah lihat-lihat! Saya memang tampan! Dan saya tahu, apa yang kamu lakukan barusan dengan sengaja membuat Arsen terluka adalah modus agar kamu bisa mendekati saya!”

“Dih! Percaya diri sekali Anda, Mas!” cibir Winda yang kembali tersulut kekesalannya pada Bisma. Padahal, barusan Winda sempat menaruh rasa simpati pada lelaki itu karena perhatian dan kasih sayangnya pada Arsen.

Bagaimana Winda tidak semakin kesal pada Bisma?

Sudahlah saat ini hatinya sedang patah karena diputuskan secara sepihak oleh Leon, gara-gara kelalaiannya yang menyebabkan kecelakaan kecil barusan dia jadi dapat masalah, dan sekarang dia malah dituduh sengaja modus untuk bisa mendekati lelaki itu.

“Emang dia pikir, dia itu siapa? Artis? Pengusaha nomor satu di negeri ini? Terkenal juga nggak, pede abis!” gerutu Winda kemudian sambil kembali membuang muka ke arah jendela kaca di sisi kirinya.

"Apa harus menjadi artis atau menjadi orang terkaya di negeri ini dulu untuk bisa memiliki fans?" jawab Bisma bertanya dengan tatapan yang tetap fokus ke depan. Rupanya, laki-laki itu mendengar gerutuan Winda barusan.

"Enggak juga, sih," balas Winda dengan tatapan yang masih tertuju ke luar jendela kaca.

"Tuh, kamu tahu. Jadi, meski saya ini hanya orang biasa, tapi yang ngefans sama saya itu banyak."

"Dih! Benar-benar kebangetan pedenya!"

Bisma tak lagi menanggapi perkataan Winda barusan. Winda pun tak mengeluarkan suara kembali hingga hanya keheningan yang tercipta di sana.

Mobil yang dikendarai Bisma terus melaju. Lelaki itu tetap fokus dengan kemudinya. Sementara Winda yang hatinya semakin tak karuan gara-gara tuduhan Bisma tadi, memilih memejamkan mata.

Entah berapa lama Winda tertidur. Gadis itu terbangun ketika mendengar suara ribut-ribut dari bangku depan.

“Arsen nggak mau ke dokter, Ayah! 'Kan Ayah Bisma tahu, kalau Arsen takut sama jarum suntik!” rengek bocah laki-laki itu yang nggak mau diajak turun.

Ya, saat ini mereka telah tiba di area parkir sebuah klinik Ibu dan Anak. Bisma sengaja membawa Arsen ke klinik terdekat agar luka di lutut sang putra segera mendapatkan penanganan yang tepat dari dokter. Namun, Arsen malah menolak dan hampir menangis.

“Tapi luka kamu harus diobati, Sayang. Ayah nggak bisa mengobati sendiri karena luka di lutut Arsen ada pasirnya. Harus dibersihkan dulu sama dokter, Sayang. Mau, ya,” bujuk Bisma dengan sangat sabar.

“Nggak mau! Pokoknya Arsen mau pulang aja, Ayah! Kalau Ayah nggak bisa ngobatin luka Arsen, biar aja Bunda Baru yang ngobatin,” tolak Arsen. Lalu, bocah kecil itu menoleh ke belakang, ke arah Winda yang tengah berusaha mengumpulkan nyawa.

“Bunda Baru mau, kan, mengobati lutut Arsen yang berdarah ini?” pinta Arsen dengan wajah innocent-nya.

Sebenarnya, melihat wajah tanpa dosa Arsen, Winda sangat bersedia mengobati lutut bocah kecil itu. Namun, mendengar panggilan Arsen padanya barusan, membuat Winda terheran-heran. Saking herannya, gadis itu sampai melongo.

“Bunda Baru?” Winda membeo, menirukan panggilan Arsen untuknya.

bersambung ...

🌹🌹🌹

Hai, Best ... jika suka dengan cerita si Winda dan Mas Duren Sawit, jangan lupa kasih ulasan bintang ⭐⭐⭐⭐⭐

Harus lima, yak, bintangnya. Karena kalau cuma satu, dua, tiga atau empat, itu akan menghancurkan karya yang kutulis dengan sepenuh hati ini 😊🙏

Like dan komennya, aku tunggu. Seperti si Winda menunggu senyumnya Mas Duren 🥰

🌹🌹🌹

Sambil nunggu Mas Duren, eh ... nunggu cerita ini up kembali, mampir dulu, yuk, di novel keren punya teman aku 🥰

Judul : Cinta Satu Malam Bersama Mafia

Karya. Yayuk Triatmaja

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!