Hujan mengguyur deras, menyelimuti malam dengan gemuruh petir dan angin yang menderu. Kaivan, dengan tangan kokoh menggenggam kemudi, berusaha fokus meski jarak pandang terbatas oleh guyuran air yang menghantam kaca mobil. Wajahnya yang rupawan nyaris tak terlihat, tersembunyi di balik rambut gondrong dan brewok tebal yang basah oleh keringat dingin.
"Sialan... jalan ini bahkan lebih buruk dari yang kuduga," gumam Kaivan sambil mengatur napasnya yang berat. Ia melirik arlojinya sejenak sebelum kembali memusatkan perhatian pada jalan sempit di depan.
"Kenapa harus malam ini, sih?" gumamnya, berharap mencapai tujuan sebelum jalanan semakin tak bersahabat.
Namun, tiba-tiba, dari arah berlawanan muncul sebuah mobil dengan kecepatan tinggi, nyaris tak terkendali. Lampu depannya menusuk kegelapan, melesat lurus ke arah Kaivan.
"Apa-apaan ini?! HEY!! Sial! Pelankan, bodoh!" teriak Kaivan sembari membanting setir. Tapi terlambat.
"BRAKKKK!!!"
Tabrakan keras terjadi. Tubuh Kaivan terhempas ke arah kemudi. Mobilnya terguncang hebat sebelum terjun bebas ke sungai yang meluap, ditelan arus deras bercampur lumpur dan sampah.
Dari mobil yang menabrak Kaivan, seorang pria berwajah dingin keluar membawa payung hitam. Ia melihat ke arah sungai dimana mobil Kaivan terjatuh. Ia nampak menghubungi seseorang. "Bos, saya sudah menabraknya hingga ia dan mobilnya jatuh ke sungai. Saya rasa, dia tak akan selamat."
Sementara itu Kaivan tersadar beberapa detik kemudian. Air mulai membanjiri mobil. Kepanikannya memuncak.
"Tidak! Aku harus keluar dari sini!" gumamnya. Ia meraih sabuk pengaman yang tersangkut, menarik dengan sekuat tenaga hingga akhirnya terlepas.
Air kini telah mencapai dadanya. Ia mendorong pintu, tapi tak bergerak. Dengan sisa tenaga, Kaivan menghantam kaca mobil menggunakan siku. Satu hantaman, dua hantaman. Pada pukulan ketiga, kaca pecah. Air seketika menyerbu masuk, Kaivan berusaha menarik tubuhnya keluar.
"ASTAGA!!" seru Kaivan saat tubuhnya terseret arus yang deras. Ia berusaha berenang, tapi sungai ini bukan air biasa. Lumpur, dahan, bahkan sampah rumah tangga mengalir bersamanya.
Di tengah usahanya untuk bertahan, kilatan petir menyinari sebuah batang pohon besar yang hanyut ke arahnya.
"Tidak mungkin... pohon sebesar itu?! Sial! Aku harus pergi dari sini!" Kaivan meronta melawan arus. Air menghantam wajah dan tubuhnya, mengaburkan penglihatannya.
Pohon itu semakin dekat, berputar seperti raksasa yang tak terhentikan.
"Arghhh!! Tidak!!" Kaivan berteriak, memaksakan tubuhnya bergerak ke samping. Tapi arus terlalu kuat. Ia terseret lebih dekat ke arah batang pohon yang berputar.
Dengan panik, Kaivan meraih sesuatu, ranting kecil yang tersangkut di tebing sungai. Ia menarik tubuhnya, namun ranting itu rapuh.
"Jangan patah... jangan patah...!" desahnya putus asa.
Tepat saat ranting itu patah, batang pohon besar menghantam Kaivan. Ia terhempas ke dalam pusaran sungai, mati-matian berusaha menyelamatkan diri, hingga akhirnya kehilangan arah dan kesadaran. Suara air dan petir menjadi satu-satunya saksi perjuangannya.
***
Mentari bersinar cerah setelah semalam hujan deras disertai kilat dan petir. Airin, gadis tercantik di desanya, berjalan ke arah sungai dengan membawa ember kecil yang digenggam erat. Langkahnya ringan, menyusuri jalan setapak yang masih basah oleh sisa hujan semalam. Di pinggangnya tergantung jala kecil buatan tangan neneknya, alat sederhana yang sering ia gunakan untuk menangkap ikan kecil di tepi sungai.
Setibanya di sana, Airin melongok ke dalam air keruh yang mulai tenang. Arusnya tak lagi mengamuk seperti semalam, tetapi beberapa ranting dan daun masih hanyut terbawa. Airin meletakkan ember di tanah, menggulung ujung celana kulotnya agar tak basah, lalu turun ke pinggir sungai dengan hati-hati.
"Setelah hujan deras semalam, pasti banyak ikan kecil terperangkap di tepian," gumamnya sambil memeriksa akar-akar pohon yang menjulur ke sungai. Jemarinya yang lentik dengan cekatan menggerakkan jala kecil itu, mencoba menangkap ikan-ikan yang berenang lambat di sela-sela akar.
Sebuah senyum tipis terulas di wajahnya ketika seekor ikan kecil bersisik perak masuk ke dalam jalanya. "Ah, lumayan untuk sarapan," bisiknya senang. Airin memasukkan ikan itu ke dalam ember dan melanjutkan pencariannya.
Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti. Matanya menangkap sesuatu yang tersangkut di akar besar tak jauh darinya. Bukan ikan, melainkan sesuatu yang lebih besar dan aneh, sesosok tubuh manusia.
Airin terpaku. "Apa itu?" gumamnya dengan suara hampir tak terdengar. Jantungnya berdegup kencang. Ia melangkah mundur, tetapi rasa ingin tahu dan sisi kemanusiaannya memaksa dirinya untuk tetap berdiri di tempat. Sambil menahan napas, ia memicingkan mata, mencoba memastikan bahwa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi akibat pantulan cahaya di air.
Airin mengusap matanya, memastikan apa yang dilihatnya bukan khayalan. Namun, bayangan itu tetap sama, sesosok tubuh pria yang tersangkut di akar besar tak jauh darinya. Wajahnya tertutup lumpur, dan tubuhnya setengah terendam air keruh. Jantung Airin berdebar kencang. Ketakutan menyelimutinya, tetapi ia tak bisa beranjak.
"Astaga... manusia?!" bisiknya dengan napas tercekat. Ia berdiri terpaku, matanya tak bisa berpaling dari sosok tersebut.
Ketika aliran sungai yang tenang memutar tubuh pria itu sedikit, Airin melihat ada luka di pelipisnya. Sosok itu tak bergerak, tetapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk memastikan. "Apakah dia masih hidup? Ya Tuhan ... apa yang harus aku lakukan?" gumamnya lirih sambil menggigit bibir, mencoba menenangkan gemetar di tangannya. Ia memandang sekitar, berharap ada orang lain yang lewat, tetapi hutan di sekitarnya hanya diam. Suara gemericik air dan kicau burung terdengar seakan mengejek keberadaannya yang sendirian.
Dengan mengumpulkan keberanian, Airin melangkah mendekat. "Semoga dia masih hidup," bisiknya dengan doa yang ia panjatkan di dalam hati.
Airin menahan napas saat sampai di dekat sosok itu. Tangannya yang gemetar menyentuh bahu pria tersebut. "Hei... apa kau mendengarku?" panggilnya lirih. Tidak ada jawaban.
Ia mencoba menggoyangkan tubuh pria itu sedikit, lalu menempelkan dua jari di lehernya. Airin terkejut mendapati denyut nadi yang lemah tetapi ada. Matanya melebar, perasaan lega bercampur panik.
"Masih hidup!" Airin bergumam dengan suara bergetar. Ia berpikir sejenak, ia tak mungkin meninggalkan pria ini di sini untuk mencari bantuan. Bisa saja nanti pria ini terhanyut lagi saat ia tinggalkan. Airin menarik napas panjang, lalu menggigit bibirnya, menatap tubuh besar pria itu dengan ragu.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu di sini," gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Dengan tenaga dan keberanian yang ia miliki, Airin mulai menarik tubuh pria itu ke arah daratan, meski arus sungai sesekali menghalangi.
Airin berhasil menyeret tubuh pria itu ke tepi sungai. Napasnya tersengal, keringat bercucuran meski udara pagi masih dingin. Ia berlutut di sampingnya, menepuk pipi pria itu dengan lembut. "Hei... bangun, tolong sadarlah," katanya panik, berusaha tidak membiarkan rasa takut menguasainya.
Ia memeriksa pernapasan pria itu lagi. Masih ada, meski lemah. Airin mengusap wajahnya yang basah oleh lumpur, berharap tetesan air di kulitnya dapat sedikit menyegarkan. "Ayolah, kamu tidak boleh mati di sini!"
Perlahan, pria itu mulai menggeliat. Airin menahan napas, matanya melebar saat melihat kelopak mata pria itu berkedut. Kemudian, sepasang mata yang redup terbuka, meski pandangannya tampak kosong.
"Kamu sudah sadar? Bagaimana rasanya? Apa kamu terluka parah?" tanya Airin cepat, tubuhnya sedikit condong ke depan.
Pria itu mengerang pelan, mencoba mengangkat tangan, tetapi tubuhnya terlalu lemah. "Di mana aku?" gumamnya dengan suara serak, hampir tak terdengar.
"Kamu di pinggir sungai. Aku menemukanmu tersangkut di akar pohon. Kamu masih ingat apa yang terjadi?" tanya Airin sambil menggenggam tangan pria itu, mencoba memberinya rasa tenang.
Pria yang tak lain adalah Kaivan, yang baru sadar, meraba-raba udara dengan tangannya. Kepalanya bergerak, matanya terbuka lebar, tetapi tak memandang Airin. "Gelap... kenapa gelap sekali? Lampu... mana lampunya?"
"Lampu?"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Airin tertegun. "Lampu?" tanyanya pelan, tetapi pria itu tidak menjawab. Ia mulai terlihat panik, kedua tangannya meraba-raba tanah di sekitarnya. "Hei, tenang. Kamu aman sekarang," kata Airin dengan nada lembut.
"Aku... tidak bisa melihat!" teriak Kaivan tiba-tiba, suaranya dipenuhi kepanikan. "Kenapa gelap? Apa aku masih hidup?"
Airin terhenyak. Ia menggenggam tangan Kaivan lebih erat, mencoba menenangkan. "Kamu masih hidup. Kamu hanya... mungkin mata kamu butuh waktu untuk pulih. Tolong tenang dulu," ujarnya, meskipun hatinya sendiri diliputi kekhawatiran.
Kaivan menggeleng, napasnya tersengal. "Tidak, tidak! Aku tidak bisa melihat apa-apa!"
Airin menggigit bibir, lalu berusaha berpikir cepat. "Mungkin kamu perlu istirahat. Lukamu cukup parah. Aku akan membawamu ke rumahku," ujarnya penuh keyakinan.
Kaivan tetap tidak tenang, tetapi tubuhnya yang lemah tidak memberinya banyak pilihan selain menyerah pada Airin. "Siapa... siapa kamu?" tanyanya dengan suara yang mulai melemah.
"Aku Airin," jawab gadis itu lembut. "Dan kamu, siapa?"
Pria itu terdiam beberapa saat sebelum berbisik, "Aku... aku.. Ivan."
Airin menghela napas panjang, menyadari beban besar yang akan ia tanggung. Ia memandang tubuh pria di hadapannya, Kaivan, yang terlihat lemah, dengan wajah penuh luka dan pandangan kosong. "Baiklah, aku akan membawamu ke rumahku," gumamnya pelan, meski suara hatinya dipenuhi keraguan.
Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Airin meraih tangan Kaivan, mengangkatnya ke bahunya. "Tolong tahan sedikit, kita harus berjalan menuju rumahku," ujarnya dengan nada lembut, meski tubuhnya bergetar menahan berat badan pria itu.
Kaivan tak merespon, wajahnya terlihat bingung dan tak berdaya. "Aku... aku tidak bisa melihat," bisiknya lagi, suara lirihnya hampir tenggelam dalam gemericik sungai di kejauhan.
"Jangan khawatir, nanti aku panggil bidan desa untuk mengobati lukamu dan memeriksa matamu," jawab Airin mencoba meyakinkan, meskipun ia sendiri tidak tahu harus berbuat apa dengan keadaan pria ini.
Langkah demi langkah, Airin membawa Kaivan menyusuri jalan setapak yang licin akibat hujan semalam. Sesekali kakinya terpeleset, tetapi ia menggigit bibir dan tetap bertahan memapah Kaivan. Ember kecil berisi ikan yang tadi ia bawa tertinggal di tepi sungai, tetapi saat ini keselamatan pria itu adalah prioritasnya.
Kaivan yang dipapah Airin terdiam, langkahnya berat dan penuh kebingungan. Setiap kali ia mencoba meresapi keheningan, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang tidak terjawab. "Kenapa aku bisa jadi seperti ini?" batinnya, merasa semakin terpojok dalam ketidakpastian.
Ia menggigit bibirnya, mencoba mengingat kejadian semalam, namun ingatannya bagaikan kabut yang sulit untuk ditangkap. "Apa aku terbentur keras oleh sesuatu? Atau mungkin ini akibat gulungan batang pohon besar yang menimpaku saat terhanyut di sungai?" batinnya. Ia teringat betapa kerasnya tubuhnya terbanting, seakan dihantam sesuatu yang tidak bisa dipahami.
Namun, benarkah itu yang menyebabkan kebutaan ini? Atau mungkin air sungai yang keruh dan penuh sampah itu, yang menggenang dan mengalir deras, telah mengandung sesuatu yang membahayakan matanya? Air itu begitu kotor, bercampur tanah dan benda asing lainnya. Bisa jadi, justru inilah yang merusak saraf penglihatannya.
Kaivan terdiam lebih lama, dan meskipun ia merasa cemas, dia berusaha tetap tenang. "Apakah aku akan tetap buta selamanya?" pikirnya. Namun ia tak bisa menemukan jawaban pasti, hanya rasa bingung yang terus menyelubungi. Dalam kebisuannya, tanpa sadar ia menggenggam tangan Airin yang masih memapahnya, mencoba mencari sedikit kenyamanan dalam ketidakpastian ini.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, Airin tiba di depan rumah sederhana miliknya. Ia membuka pintu yang berderit pelan, lalu memapah Kaivan masuk ke dalam. "Nenek! Nek, tolong bantu aku!" panggilnya dengan suara yang sedikit bergetar.
Seorang wanita tua dengan wajah penuh kerutan muncul dari dapur, meski sudah tua, wanita itu terlihat masih sehat. "Astaga, Airin! Siapa dia? Apa yang terjadi?" tanyanya terkejut.
"Dia terhanyut di sungai, Nek. Aku menemukannya di dekat akar pohon. Tapi... dia tidak bisa melihat," jelas Airin sambil menurunkan tubuh Kaivan perlahan ke atas dipan sederhana yang ada di ruang tamu.
Nenek Airin mendekat, menatap pria itu dengan cermat. "Lukanya cukup parah. Airin, ambilkan kain bersih dan air hangat. Kita harus membersihkan lukanya dulu," ujarnya dengan nada tegas namun penuh perhatian.
Airin mengangguk cepat, bergegas mengambil yang dibutuhkan. Sementara itu, neneknya duduk di samping Kaivan, menyentuh pelipis pria itu dengan lembut. "Tenang, Nak. Kau aman sekarang. Kami akan merawatmu," kata nenek itu, mencoba menenangkan Kaivan yang masih terlihat bingung dan cemas.
Airin kembali dengan kain dan baskom kecil berisi air hangat. Ia berdiri di samping Kaivan, mulai membersihkan lumpur dari wajah Kaivan. "Maaf kalau terasa sakit," ujarnya sambil melirik wajah pria itu yang masih tampak tegang.
Nenek Asih membantu Airin membersihkan tubuh Kaivan. Dengan lembut menyeka luka di lengan Kaivan menggunakan kain hangat. "Nak, maaf kalau sedikit perih, tapi ini harus dibersihkan agar tidak infeksi," ujarnya pelan, suaranya penuh keibuan.
Airin, yang berdiri di sisi lain, memeras kain basah sebelum mengusapkannya ke wajah Kaivan yang penuh lumpur. Sesekali matanya menatap Kaivan, mencoba menebak siapa pria asing ini. "Kalau ada yang sakit atau tidak nyaman, bilang saja," katanya hati-hati, tak ingin membuat Kaivan tersinggung.
Kaivan tetap diam, hanya sesekali menghela napas panjang. Tubuhnya tegang,, batinnya bergejolak. "Mereka ini orang biasa, kenapa repot-repot menolongku? Apa mereka sungguh tulus, atau ada maksud tertentu?" batinnya.
Nenek Asih menatap Kaivan dengan perhatian, tangannya beralih mengikat rambut pria itu yang gondrong. "Nak, bisa kau ceritakan siapa namamu? Atau dari mana asalmu?" tanyanya lembut, mencoba menggali sedikit informasi.
Kaivan terdiam sejenak, matanya yang kosong seolah mencari-cari jawaban di dalam pikirannya. Setelah beberapa detik, ia menghela napas pelan sebelum menjawab. "Aku... namaku Ivan. Aku berasal dari ibukota."
Airin yang berdiri di samping, memerhatikan Kaivan dengan cermat. "Apa ada keluargamu yang bisa kita hubungi?" tanyanya dengan penuh perhatian, berharap dapat membantu pria ini.
Kaivan kembali terdiam, pikirannya bergulir cepat, namun ia memilih untuk tetap tenang. "Aku... aku belum berkeluarga," jawabnya pelan, suara itu terdengar seakan ada yang disembunyikan. "Tidak ada yang bisa dihubungi," lanjutnya, berusaha untuk menghindari lebih banyak pertanyaan. Ia tidak ingin mengungkapkan jati dirinya yang sesungguhnya, masih waspada terhadap orang asing.
Airin berhenti membersihkan luka Kaivan, menatapnya dengan iba. "Apa pun yang terjadi padamu, kau sekarang aman di sini. Kami akan membantumu sebisa mungkin."
Kaivan tersenyum tipis, ekspresinya datar meski wajahnya pucat. "Terima kasih... meskipun aku tidak tahu kenapa kalian repot-repot membantu seseorang seperti aku."
Nenek Asih senyum lembut. "Kau manusia, Nak. Kami tidak bisa begitu saja meninggalkanmu."
Kaivan menghela napas panjang, suaranya rendah dan serak. "Kalian telah menyelamatkan aku. Bagaimana aku harus berterima kasih pada kalian?"
Nenek tertawa pelan, mencoba membuat suasana lebih ringan. "Berterima kasih nanti saja, Nak, kalau kau sudah sehat. Sekarang, fokuslah pada pemulihanmu."
Airin mengangguk, mengganti kain lap dengan yang baru. "Nenek benar. Fokus pada langkah kecil dulu. Aku akan menyiapkan bubur hangat setelah ini. Kau pasti butuh tenaga."
Kaivan perlahan menoleh, meski pandangannya kosong, tidak ada emosi yang jelas terlihat. "Airin... namamu Airin, 'kan? Aku... tidak tahu apa lagi yang bisa kukatakan selain... terima kasih."
Airin mencelupkan kain ke dalam baskom berisi air hangat, kemudian memerasnya dengan hati-hati. Namun, gerakannya terhenti saat pandangannya jatuh ke pakaian Kaivan yang lusuh dan robek di beberapa bagian.
"Emm... Kak Ivan, bajumu..." Airin mengangkat wajah, ragu melanjutkan kata-katanya.
Nenek Asih, yang berada di sampingnya, ikut memperhatikan pakaian Kaivan. Wajahnya tampak khawatir.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Kaivan, mengernyitkan keningnya saat Airin tak merespon ucapannya, tapi malah menyinggung soal bajunya. "Ada apa dengan bajuku?" tanyanya, suaranya datar tapi tegas.
Airin menggigit bibir bawahnya, sedikit gelisah. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Ah, itu... sebaiknya kamu lepaskan kemejamu. Kami perlu membersihkan tubuhmu dan memastikan tidak ada luka yang terlewat, karena... bajumu sudah banyak yang sobek dan kotor," akhirnya Airin berkata, suaranya lirih namun terdengar tegas.
Nenek Asih menimpali, nada bicaranya penuh kelembutan. "Benar, Nak. Luka kecil pun harus kami periksa, siapa tahu ada yang kotor atau mulai infeksi. Jangan khawatir, kami hanya ingin membantu."
Kaivan terdiam sejenak, merasakan kehangatan di balik nada suara mereka. Meskipun ia masih diliputi kecurigaan, tidak ada alasan logis untuk menolak bantuan mereka dalam kondisi seperti ini. Akhirnya, dengan sedikit menghela napas, ia mengangguk kecil. "Baiklah," jawabnya singkat, lalu mulai melepaskan kemejanya perlahan.
Entah mengapa jantung Airin mulai berdegup kencang saat jemari Kaivan mulai melepas satu per satu kancing kemejanya. Ia menelan ludah dengan kasar ketika dada bidang dan perut sixpack pria itu terpampang jelas di hadapannya. Napasnya tertahan sesaat. Baru kali ini ia melihat bentuk tubuh pria yang, dalam pikirannya, nyaris sempurna.
Airin mencoba memalingkan pandangan, tetapi matanya kembali terpaku tanpa bisa ia cegah. Pipi gadis itu perlahan memerah, membuatnya tampak gugup.
Sementara itu, Nenek Asih yang mengamati dari dekat mengulum senyum kecil. Ia jelas melihat betapa cucunya terpesona oleh penampilan pria asing itu. Namun, dengan suara lembut, ia berusaha mengembalikan fokus Airin. "Airin, cepat ganti airnya dengan yang baru. Jangan terlalu lama melamun."
Airin tersentak mendengar teguran neneknya. "Ah, iya, Nek!" Ia cepat-cepat mengambil baskom yang airnya sudah kotor, hampir tersandung kakinya sendiri. Saat ia menjauh untuk mengganti air di baskom, wajahnya benar-benar merah, campuran antara malu dan gugup,
Kaivan, yang tidak bisa melihat, hanya diam, tidak menyadari kericuhan kecil yang disebabkan oleh tubuh atletisnya. "Apa ada luka di tubuhku, Nek?" tanyanya dengan nada datar, membuat Nenek Asih tersenyum tipis.
"Ada beberapa luka kecil, Nak," jawab Nenek Asih, masih dengan kelembutan khasnya.
Tak lama, Airin kembali dengan baskom berisi air bersih. Nenek Asih menoleh dan berkata dengan lembut, "Airin, kamu yang menyeka tubuh Nak Ivan. Nenek akan menyiapkan bubur hangat untuknya."
Airin mematung sejenak, memegang baskom dengan erat seolah itu menjadi tempat bersandarnya keberanian. "A-aku, Nek?" tanyanya ragu.
"Ya, siapa lagi? Jangan terlalu dipikirkan. Dia juga butuh dirawat," ujar Nenek Asih, tersenyum tipis sebelum meninggalkan ruangan.
Kini hanya ada Airin dan Kaivan. Gadis itu duduk perlahan di samping Kaivan, menatap pria itu yang duduk diam dengan wajah datarnya. Airin menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan debaran jantung yang semakin liar. Tangannya mulai mencelupkan kain bersih ke dalam air, namun sedikit gemetar saat mengangkatnya.
Saat kain itu menyentuh bahu Kaivan, Airin menarik napas dalam-dalam. Kaivan adalah pria pertama yang begitu dekat dan bersentuhan langsung dengannya. Meskipun masih dibatasi kain, tubuh atletis di depannya membuatnya sulit berkonsentrasi. Dada bidang, otot lengan yang kokoh, dan kulit putih hangat yang terasa di bawah sentuhannya benar-benar membuatnya grogi.
Kaivan yang duduk diam mulai menyadari keraguan Airin. "Apa aku menyulitkanmu?" tanyanya tiba-tiba, dengan nada datar namun penuh perhatian.
Airin tersentak. "T-tidak. Aku hanya... belum pernah melakukan ini sebelumnya. Aku tak pernah sedekat ini dengan seorang pria," jawabnya terbata, tapi jujur, berusaha menghindari tatapan Kaivan, meskipun pria itu tak bisa melihat.
Kaivan tersenyum tipis, nyaris tak kentara. "Terima kasih, Airin. Aku tahu ini pasti tidak mudah bagimu," ucapnya dengan nada tenang, namun tulus.
Airin tertegun sejenak. Suara Kaivan yang biasanya terdengar datar, bahkan terkadang terkesan dingin, kini terasa lebih hangat, seperti percikan kecil yang menenangkan kegugupannya. Ia mencoba mencairkan suasana dengan tawa kecil. "Nggak apa-apa. Hitung-hitung latihan mengurus suamiku nanti," selorohnya, meski ada nada malu-malu dalam suaranya.
Kaivan mengangkat sedikit alisnya, tapi tak menanggapi. Ia hanya diam, membiarkan Airin melanjutkan tugasnya.
Dengan hati-hati, Airin kembali mencelupkan kain ke dalam baskom, lalu menyeka tubuh Kaivan. Namun, matanya tak bisa sepenuhnya berpaling dari tubuh pria itu. Dada bidang dan otot-ototnya yang terlihat jelas membuat wajahnya merona semakin dalam. Ia berusaha keras menjaga fokusnya, meski jantungnya terasa berdetak lebih cepat dari biasanya.
Untuk sejenak suasana menjadi hening. Kaivan memiringkan kepalanya sedikit, sedari tadi mencoba membaca nada suara gadis itu dan neneknya. Batin kecilnya berkata untuk menaruh kepercayaan, tapi sisi lain dari dirinya masih bertahan. "Apa aku bisa percaya pada mereka?" Namun, untuk saat ini, ia memilih untuk tetap diam dan menerima kebaikan mereka.
Kendati demikian, setiap gerakan lembut Airin dan neneknya membuatnya sulit mempertahankan dinding emosinya yang dingin. Sentuhan tangan Airin yang hati-hati dan kelembutan suara Nenek Asih perlahan melunturkan kecurigaannya. Dalam kegelapan yang menyelimuti penglihatannya, setiap sentuhan Airin dan neneknya membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
Kaivan menghela napas pelan. "Kita tak saling mengenal, mengapa kamu berusaha payah menolongku? Kenapa kalian begitu peduli padaku?” Suaranya serak dan berat, tapi tetap terdengar penuh ketegasan.
Airin yang masih membersihkan tubuh Kaivan, menatap pria itu dengan tatapan tenang. "Kenapa kamu menanyakan itu lagi? Jika aku melihat kucing terluka di pinggir jalan, aku pasti menolongnya, apalagi kamu manusia, mana mungkin aku membiarkan kamu mati begitu saja. Itu saja.”
Kaivan menunduk, sejenak merenung. Sesuatu dalam kata-kata Airin membuatnya terdiam, meski ia tak ingin mengakui ada sedikit rasa hangat yang muncul dari perlakuan Airin dan neneknya. Setelah beberapa saat, Kaivan menatapnya dengan pandangan kosong, meskipun ia tak dapat melihat. “Baiklah, sekali lagi terima kasih,” katanya pelan, tanpa ekspresi, namun jelas ada perubahan dalam nada suaranya.
"Hum," sahut Airin seraya meletakkan kain basah yang baru ia peras di baskom, memandang Kaivan yang kini sudah bersih dari lumpur sungai. Airin memperhatikan pria yang duduk di sampingnya dengan cermat. Meski wajahnya penuh goresan dan sebagian besar tertutup oleh brewok yang lebat, namun semua itu tidak bisa menutupi wajah tampannya. Hidungnya yang mancung, mata hitam legam dengan sorot yang tajam meski kini terlihat lelah, alisnya yang tebal, serta bibirnya, ah, bibir itu. Ada sesuatu yang membuatnya terlihat... seksi.
Airin menunduk cepat, menyadari pikirannya mulai melantur. Ia menggelengkan kepala kecil-kecil, mencoba mengalihkan perhatian pada luka-luka di tubuh pria itu. "Apa yang sedang kupikirkan? Fokus, Airin," gumamnya dalam hati sambil mengambil kain bersih untuk menyeka luka di pelipisnya. Namun, mata itu... meski tertutup sesaat, seperti memiliki daya tarik yang tak bisa ia abaikan.
"Siapa sebenarnya pria ini?" pikir Airin sambil melirik sekilas ke arah Kaivan. Tubuhnya putih bersih dan nampak terawat, terlalu kontras dengan keadaan yang ditemuinya di pinggir sungai. "Apa dia orang kaya? Tapi, meski tidak kaya, orang kota memang biasanya kulitnya putih, 'kan? Lalu kenapa dia bilang tak ada yang bisa dihubungi? Apa dia sebatang kara?" gumamnya dalam hati, rasa penasaran menguasai dirinya.
Ia menggigit bibir bawahnya pelan, mencoba mengabaikan pikiran-pikiran itu. Namun, tatapan kosong pria di depannya, meski tak bisa melihat, seolah menyimpan sesuatu yang ingin ia ketahui lebih dalam.
Airin, nenek Asih dan Kaivan tak menyadari, sejak Airin membawa Kaivan pulang tadi, sepasang mata tajam terus mengawasinya dari balik rerimbunan pohon. Sosok itu berdiri diam, membaur dengan bayang-bayang mentari yang sedikit tertutup awan. Sebuah senyum tipis namun penuh arti terukir di wajahnya.
Sosok itu melangkah mundur perlahan, menjauh tanpa suara, bayangannya menghilang di antara pepohonan.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!