"Kak, aku mohon ... berhentilah menjadi wanita malam! Ayo kita tinggalkan kota ini dan memulai hidup baru di kota lain. Atau kalau perlu, kita pindah saja ke desa. Kak Zalina mau 'kan?" Zeona memegang kedua tangan Kakaknya dengan wajah memelas berlinang air mata.
Gelengan kepala diberikan Zalina sebagai jawaban atas permohonan adiknya. "Maafkan Kakak, Zeo. Kakak tiba bisa meninggalkan pekerjaan ini. Kakak sudah terikat kontrak dengan Miss Helena. Jika Kakak berhenti, maka Kakak harus membayar ganti rugi yang sangat fantastis. Dua milyar, Zeo dan itu mustahil!" Zalina berkata dengan wajah frustrasi. "Bahkan jika Kakak mengang kang setiap jam pun, belum tentu Kakak bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat. Mustahil Zeo! Mustahil!" ucap Zalina penuh penekanan.
"Dan lagipula, jika Kakak berhenti dari pekerjaan ini ... bagaimana dengan kamu. Sebentar lagi kamu lulus SMA dan akan masuk perguruan tinggi. Kamu harus kuliah. Kamu harus menjadi wanita sukses. Jangan seperti Kakak yang hanya bisa menjajakan tv bvh pada lelaki hidung belang. Jangan Zeo! Kamu ... harus hidup lebih baik dari Kakak!"
Pecahlah tangis kakak beradik itu. Keduanya saling berpelukan di dalam kamar kosan sempit yang hanya terdiri dari tiga ruangan.
"Kakak harus kembali. Kakak takut Miss Helena curiga dan menyusul Kakak ke sini. Bisa gawat kalau dia tahu Kakak punya adik secantik kamu. Kakak pulang dulu ya?" Zalina mengurai pelukan. Mengusap air mata di pipinya dengan tisu. Kemudian membubuhkan kembali bedak dan teman-temannya agar wajahnya tidak terlihat sembab.
"Kak, jangan pergi!" Zeona menarik blouse hitam ketat yang membungkus tubuh sintal Zalina.
"Jaga diri kamu baik-baik. Ini uang bulanan untuk memenuhi kebutuhan kamu!" Zalina menyimpan amplop cokelat yang sebelumnya ia ambil dari dalam shoulder bag-nya. Dia tak menggubris rengekan Zeona yang memintanya untuk tetap tinggal.
Mengenakan kembali coat hitamnya. Tak lupa masker dan kacamata. Zalina keluar dari kosan kumuh dan sempit itu sembari melihat kanan kiri. Setelah dirasa aman, tubuh sintalnya melesat pergi meninggalkan sang adik yang sesenggukan di ambang pintu.
"Kak, aku berjanji. Suatu saat nanti, aku pasti akan membebaskan Kakak dari tempat nista itu!"
Bersamaan dengan terlontarnya janji itu, tarian langit pun berjatuhan. Seolah-olah ikut merasakan kesedihan yang dirasakan oleh Zeona Ancala.
________
"Zeona! Tunggu!" Seorang pemuda yang memakai seragam sama dengan Zeona berlari mengejar langkah kaki dari gadis bertubuh semampai itu. Napasnya terdengar ngos-ngosan saat sudah berada di depan Zeona. "Ak-aku bilang tunggu, Zeona. Kenapa kamu malah terus berjalan?" gerutunya sambil mengatur napas.
Zeona meringis, "Maaf, Alden. Aku nggak denger suara kamu."
"Masa?" Alden mencebik tak percaya.
"Beneran, Al. Aku tadi fokus baca ini!" Zeona mengangkat buku kecil yang ada di tangan kanannya. "Bentar lagi ujian akhir, jadi aku harus lebih giat belajar. Biar bisa dapat beasiswa dan bisa kuliah." Zeona tercengir di akhir ucapannya. "Oh ya, kamu tadi manggil aku ada perlu apa?"
"Aku mau ngasih ini!" Alden memberikan kartu undangan pada Zeona.
"Oh, kamu ulang tahun?"
Alden mengangguk, "Ya. Kamu harus datang! Nggak usah bawa kado. Cukup datang aja!" titah Alden penuh penekanan.
Zeona mengangguk pelan. "Ok!"
Percakapan mereka terhenti karena bel sudah berbunyi. Keduanya berjalan berdampingan menuju ruang kelas mereka. Kelas dua belas IPA.
_______
"Ngghh ... teruskan Zalina! Ss-sebentar lagi ss-saya sampai." Zalina mempercepat gerakannya. Dia bergerak lincah di atas tv bvh lelaki berbadan kekar yang ada di bawahnya. Menaik turunkan tv bvh supaya si lelaki segera mencapai puncaknya. "Aarggh Cantik, ak-aku samp--aaargghh!" Tubuh itu mengejang bersamaan dengan lolongan nyaring keluar dari mulut keduanya.
Tv bvh Zalina ambruk menimpa dada kekar si lelaki. Napas keduanya memburu. Tersengal-sengal dengan peluh yang bercucuran.
"Ka-mu ss-selalu he-bat Zalina. I like it. Minggu depan, aku akan mem-book ing mu lagi."
"Terima kasih atas pujiannya, Tuan Rodrigo. Dengan senang hati, saya akan menanti book ingan anda," ujar Zalina seraya menggulirkan tubuh.
"Ok, Sayang!" Rodrigo bangkit dan mengambil dompetnya yang ada di atas nakas. Mengambil dua puluh lembar uang berwarna merah lalu memberikannya kepada Zalina. "Ini bonus untukmu karena kamu selalu membuat saya puas!"
Mata Zalina berbinar, dia mengambil uang itu dengan senang hati. "Terima kasih, Tuan Rodrigo!" Dimasukannya uang tersebut ke dalam shoulder bag.
"Saya mau mandi dulu!" Rodrigo melenggang masuk ke kamar mandi. Meninggalkan Zalina yang masih setia memasang senyum ceria.
Namun senyum itu perlahan menghilang dari bibir Zalina. Berganti dengan senyuman getir. Disertai setitik air bening yang jatuh dari pelupuk mata. Dia bergegas turun dari tempat tidur. Memunguti semua pakaiannya dan menumpuknya menjadi satu.
Tak lama, Rodrigo keluar dari kamar mandi. Kemudian giliran Zalina yang membersihkan diri.
Tiga puluh menit kemudian, Zalina keluar lebih dulu dari hotel, barulah disusul oleh Rodrigo.
Saat akan masuk ke dalam taksi online yang sudah dipesan, ponsel Zalina berdenting. Wanita seksi berambut panjang agak pirang itu merogoh ponselnya.
Miss Helena: Jika kamu sudah selesai dengan Tuan Rodrigo, segera pergi ke hotel Mosu. Di sana sudah ada pelang gan yang menunggumu.
Zalina menjatuhkan punggungnya ke kursi mobil. Dia masih merasa lelah, namun apalah daya ... beginilah konsekuensi jadi wanita pang gilan. Siang malam harus mengang kang. Memuaskan batang demi batang.
Taksi pun melaju menuju hotel Mosu. "Zeona ... semoga nasibmu lebih baik dari Kakak. Semoga kamu bisa meraih cita-cita dan menjadi manusia yang sukses dan kaya raya." Zalina membatin lirih dalam diamnya. "Tolong jaga Zeona, Tuhan. Jangan sampai dia terjerumus ke dalam kubangan dosa seperti yang aku lakukan saat ini. Aku ingin dia hidup normal seperti wanita pada umumnya. Menikah dan punya anak. Lalu hidup bahagia ..."
"Sudah sampai, Mbak!" beri tahu si sopir taksi yang membuat Zalina tersadar dari lamunannya.
"Ah ya, Mas. Terima kasih. Ongkosnya sudah saya bayar melalui aplikasi ya?"
"Iya, Mbak!"
Zalina turun dari taksi. Mengayun langkah menuju bangunan bertingkat tinggi yang akan menjadi tempatnya menja jajakan diri lagi.
"Huuuh!" Zalina membuang napas kasar sebelum memasuki lobi. "Mudah-mudahan setelah pelanggan ini, tak ada lagi yang mem bo ok ingku. Aku benar-benar lelah dan butuh istirahat!" batinnya penuh harap. Dia kembali melangkah lagi, masuk ke dalam lift untuk menuju ke kamar di mana pelang gannya menunggu.
Sebelum keluar dari lift, Zalina merapikan penampilannya. Dia membubuhkan lagi lipstik di bibir sensualnya. "Kamar nomor seratus sepuluh," desisnya setelah keluar dari lift. Dia mengedarkan pandangan, mencari letak kamar tersebut.
Senyum kecil terbit di sudut bibir. Ketika mata bulatnya menangkap kamar yang dituju.
Satu ketukan dilayangkan Zalina pada pintu bercat putih di hadapannya.
Gagang pintu tersebut turun ke bawah dan terkuaklah pintu di hadapannya berbarengan dengan munculnya pemuda berwajah innocent. Melempar senyum kepada Zalina.
"Silakan masuk, Cantik!"
Zalina membalas senyuman si pemuda, lalu dia pun melesakkan diri masuk ke dalam kamar tersebut. Baru dua langkah masuk, napas Zalina langsung dibuat tercekat hebat. Matanya membeliak dengan sempurna.
"Aku ingin kamu mengerjai kami bertiga," bisik si pemuda yang membuat Zalina semakin menganga.
"What the hell?!"
Zalina segera berbalik dan melayangkan protes pada pemuda berwajah innocent tadi. "Maaf, tapi aku tidak bisa! Dalam satu sewaan, aku hanya melayani satu orang saja!" desis Zalina sambil bersiap pergi. Apa-apaan ini?! Dia harus segera melayangkan protes pada Miss Helena.
Namun niatnya terhenti karena si pemuda mencekal pergelangan tangan Zalina dengan sangat kuat. Diikuti dengan perkataan yang kembali mencengangkan hati.
"Tapi aku dan kedua temanku sudah membayar tiga kali lipat pada muci karimu. Dan dia setuju. Dia bilang ... kami bebas memakaimu sesuka hati sampai pagi!"
Seolah tersengat aliran listrik, jantung Zalina seakan berhenti berdetak untuk sesaat. "Ss-sampai pa-gi?"
"Ya." Pemuda berambut ikal yang duduk di tepi ranjang menyahuti.
"Jadi ayo kita mulai saja!" seru pemuda berambut gondrong yang sedari tadi memainkan ponselnya.
Zalina mengetatkan rahang. Kedua tangannya mengepal di sisi badan. Rasa sakit menusuk hati. Mengoyak jiwa yang memang sudah terkoyak sejak lama.
Baru kali ini ia merasa sangat terhina melayani pelanggannya. Dirinya benar-benar dijadikan budak s*ks oleh ketiga pemuda yang kini tengah menggerayangi tv bvhnya.
Seluruh tv bvhnya benar-benar dija mah.
"Suck my dick, bitch!" Pemuda gondrong menarik rambut Zalina dan memasukan benda panjangnya ke mulut Zalina.
Di belakang, si pemuda innocent menggempur pintu surga milik Zalina. Sedangkan si pemuda berambut ikal, menyuruh Zalina memainkan benda miliknya dengan tangan.
Peluh, air mata dan air menjijikan keluar bersamaan dari tubuh Zalina. Malam ini, dia merasa seperti seekor binatang.
"HAH?! KAKAAK!" Zeona terengah-engah bangun dari tidurnya. Matanya berair dan jantungnya berdetak kencang tak beraturan.
Mimpi yang dialaminya barusan begitu nyata. Di mana dia melihat Kakaknya sedang dicabik-cabik oleh binatang buas.
Rasa khawatir menyeruak dalam dada. Zeona mengambil ponselnya, berniat menelepon Zalina.
"Jika Kakak tidak meneleponmu, maka kamu jangan coba-coba menelepon Kakak!"
Ponsel berwarna putih itu kembali disimpan oleh Zeona. Dia tak jadi menghubungi Zalina karena teringat pesan dari sang Kakak.
"Tuhan ... tolong lindungi Kakakku," pintanya berderai air mata.
Zeona berusaha memejamkan kembali matanya karena jam dinding di kosannya baru menunjukan pukul tiga dini hari. Setelah mencoba beberapa puluh menit, akhirnya Zeona kembali tertidur.
Berbeda dengan Zalina yang masih membuka mata karena ketiga pemuda yang menyewanya masih anteng mengerjainya.
"Uuggh ... tt-to-long ber-hen-ti! Ak-aku ss-sudah ss-sangat le-lah ..." Zalina tergolek lemah dengan kedua paha yang terbuka lebar.
Si pemuda berwajah innocent masih setia memompa tv bvhnya. Sedangkan yang dua lagi sedang merokok sambil memainkan handphone di tangan.
"Break dulu lah, Jeff! Kasihan tuh lont* pussy-nya pasti lecet," ujar si gondrong seraya membumbungkan asap rokoknya ke udara.
"Ngghh ... nggak bisa, Dion! Gg-gue masih belum puas. Si Elsi udah lama banget nggak ngasih gue jatah. Pasca abor si waktu itu, dia jadi sulit banget diajak nge ue," adu Jeff sambil terus berusaha mencapai puncaknya sendiri tanpa peduli pada rintihan Zalina.
"Dasar mani ak lo!" Si lelaki berambut ikal ikut berkomentar.
"Lo juga sama kali Gio! Buktinya hampir semua murid cewek di kelas kita udah lo ubek-ubek goa surgawinya. Kecuali Si Zeona! Dia licin kayak ikan lele."
Di tengah kesadarannya yang semakin menipis, Zalina tersentak mendengar nama Zeona disebut. Benaknya bertanya-tanya, apakah Zeona yang dibicarakan ketiga pemuda ini adalah Zeona adik kandungnya, atau Zeona yang lain?
"Ougghh bitch! Aku akan segera sampai!" Lahar putih menyebar, masuk ke dalam sesuatu di antara dua paha. Bersamaan dengan itu, Zalina pun hilang kesadaran.
Karena rasa cemas yang menyesakkan dada, pada akhirnya Zeona memberanikan diri menelepon Zalina.
Panggilan terhubung tapi belum mendapat jawaban.
Zalina mengerjapkan mata ketika telinganya menangkap nada dering ponsel miliknya. Dia mengabaikan itu. Seluruh tubuhnya serasa remuk, apalagi bagian di antara dua pahanya. Perih dan ngilu. Dia membiarkan ponselnya menjerit-jerit. Zalina masih butuh waktu untuk memejamkan mata.
"Semoga Kakak baik-baik saja!" Zeona menekan ikon telepon berwarna merah di layar hapenya. Beranjak dari kontrakannya untuk pergi ke sekolah.
Zeona mendudukan tubuhnya di kursi miliknya, keadaan kelas masih lengang seperti biasa karena dia selalu jadi yang pertama datang. Rasa ingin menghubungi Kakaknya muncul lagi. "Aku khawatir banget sama Kakak," keluhnya bersiap menekan nomor Zalina lagi, namun terhenti karena terdengar derap langkah dan kekehan yang semakin lama semakin mendekat.
Ternyata itu berasal dari teman-teman sekelasnya yang mulai berdatangan. Tiga orang lelaki yang terkenal bad boy sekolah muncul. Tertawa dan berceloteh ria. Awalnya Zeona tak terlalu memperhatikan mereka. Namun berbeda, ketika Gio, Jeff dan Dion terbahak tawa seraya menyebut nama 'Zalina'.
"Jeff, kapan-kapan kita sewa lagi tuh Si lont* Zalina. Bukan cuma goya ngannya yang delicious, tapi staminanya tahan lama. Cuma pingsan sepuluh menit, eh dia langsung bangun lagi. Nggak ada matinya tuh tobr*t!" Gio terbahak tawa di akhir ucapannya.
"Tenang Yo, itu bisa diatur. Nanti kita book ing lagi. Gue juga keta gihan sama barangnya. Tight banget anj*y! Beda sama lont*-lont* yang pernah gue pake!" Jeff menimpali ucapan Gio.
"Kita pake bertiga lagi ya! Seru soalnya. Bisa or g as me berjamaah!" Dion ikut berkomentar yang akhirnya mengundang gelak tawa dari kedua temannya.
"Kakak ..." Zeona melirih. Hatinya bagai diiris belati. Dia yakin, jika wanita baya ran yang dibicarakan ketiga teman sekelasnya itu adalah sang Kakak. Beranjak dari duduknya, Zeona buru-buru keluar dari kelas menuju kamar mandi.
Sesampainya di sana, ia lekas mengeluarkan ponsel dari saku celana olahraga. Mendial nomor sang Kakak untuk yang kesekian kalinya.
Di seberang sana, Zalina berdecak kesal karena mendapati nomor Zeona tertera di layar hapenya. Dia baru keluar dari kamar mandi, membersihkan diri. "Untung aku masih di hotel. Kalau sudah di tempat Miss Hel 'kan berabe!" dengusnya seraya mengangkat panggilan tersebut.
[Kakak 'kan sudah bilang padamu, jika Kakak tidak menelepon, maka kamu tidak boleh menelepon Kakak. Ada apa kamu nelepon sepagi ini?]
Meski mendapatkan omelan sebagai pembuka percakapan mereka, tapi Zeona merasakan bahagia karena bisa mendengar suara nyaring Kakaknya. [Aku cemas sama Kakak. Soalnya tadi malam aku mimpi buruk tentang Kakak. Makanya aku melanggar janji dan menelepon Kakak duluan.]
Decakan nyaring keluar dari bibir Zalina. [Kakak baik-baik saja! Jangan mengingkari janji lagi, Zeo. Jangan menelepon Kakak, sebelum Kakak menelepon kamu! Sudah dulu. Kakak harus siap-siap kerja!]
Belum sempat Zeona menyahuti, panggilan itu keburu diakhiri.
"Padahal aku ingin menanyakan apakah Kakak tadi malam mela yani tiga pria sekaligus atau tidak. Huh, malah buru-buru dimatiin!" Zeona mendengus sebal. Dia memasukan kembali ponselnya ke saku celana. Kemudian keluar dari kamar mandi.
_________
"Anjel, Vivi ... kapan kalian berdua akan memberikan cucu kepada Mami? Sudah delapan tahun loh kalian berumah tangga, masa masih betah berdua aja. Mami ingin sekali menimang cucu sebelum Mami pergi dari dunia ini." Gerakan Anjelo yang tengah mengunyah sandwich terhenti seketika karena pertanyaan tersebut. Nafsu makannya langsung menghilang.
Selalu saja setiap menginap di rumah megahnya, sang mertua tak pernah absen menanyakan tentang momongan. Hal itu sedikit banyak membuat Anjelo jengah.
Boro-boro untuk punya anak. Berhubuhngan b a d a n saja jarang. Dia dan Vivian terlalu sibuk mengurusi pekerjaan. Ditambah lagi pernikahan mereka tidak didasari dengan rasa cinta. Hanya untuk keberlangsungan bisnis semata.
"Mi, please deh, nggak usah ngomongin soal itu terus! Aku dan Anjel belum kepikiran ke arah sana. Apalagi tahun ini dan satu tahun ke depan, kami berdua banyak schedule bisnis di luar kota dan luar negeri. So, stop talking about children!" Vivian bangkit, mendorong kursi yang ia duduki, lalu berpamitan pergi setelah mendaratkan ciuman singkat di pipi Anjelo. "Aku berangkat duluan!" ujarnya yang diangguki Anjelo. "Bye, Mi!" Satu kecupan singkat juga didaratkan Vivian di pipi mulus Maminya, Marina.
Beberapa menit setelah kepergian Vivian, Anjelo pun undur diri dari meja makan. "Aku berangkat ke kantor dulu, Mi," pamit Anjelo seraya mencium punggung tangan mertuanya.
"Hati-hati, Jel! Jangan lupa besok malam kamu harus hadir di acara ulang tahunnya Alden! Di hotel Mayapada Hills," beri tahu Marina.
Anjelo mengangguk samar, "Iya, Mi." Lelaki berjas hitam bermata tajam itu melenggang pergi meninggalkan ruang makan. Terus mengayun langkah keluar menuju mobil RRP-nya yang sudah siap membawanya ke kantor Holland Corporation. Perusahaan turun temurun milik keluarga besarnya yang didirikan oleh almarhum Kakeknya yang kini menjadi milik Anjelo. Karena sang Papa sudah lama meninggal dunia.
"Eric, apakah besok malam saya ada kegiatan?" Lelaki berkemeja biru yang duduk di kursi kemudi menolehkan kepala ke belakang, lalu menggeleng pelan seraya mengeluarkan suara.
"Tidak ada, Tuan! Besok malam anda free."
"Baguslah. Berarti saya tidak perlu mengosongkan jadwal untuk menghadiri acara membosankan itu!" desis Anjelo. "Tolong kamu belikan kado ulang tahun untuk Alden!" sambungnya memerintah.
"Baik Tuan. Tapi kado apa yang harus saya beli untuk Mas Alden?" tanya Eric sambil mengemudikan mobil dengan pelan.
"Belikan saja dia jam rolex keluaran terbaru!"
"Siap Tuan!"
"Ya Tuhan ... aku harus ngasih kado apa sama Alden? Dia 'kan anak orang kaya. Pasti barang-barang yang dia pake harganya selangit. Duh, bingung banget ini!" Sejak pulang sekolah, Zeona terus menscroll-scroll toko online. Mencari kado apa yang pantas ia berikan kepada Alden, cowok tertampan dan terpopuler di sekolah, sekaligus teman sekelasnya. "Baju? Nggak mungkin. Sepatu? Apalagi. Tas? Nggak deh kayaknya. Terus apa dong?" Zeona seperti orang gila. Mengajukan pertanyaan dan dijawab lagi oleh dirinya sendiri.
Gadis berkaos oversize merah marun itu beranjak dari kasur lepek miliknya. Menarik laci meja belajarnya. Dia mengambil sebuah gelang kaukah yang ia beli saat ikut berziarah ke salah satu makam wali bersama guru ngajinya satu bulan yang lalu. "Ini aja kali ya? Terserah deh, mau dipake atau enggak sama Alden. Yang penting aku udah ngasih kado!" Zeona menghembuskan napas pelan sebelum memasukan gelang berwarna cokelat tua itu ke dalam kotak dan membungkusnya.
_________
Tamu-tamu dan keluarga sudah berdatangan. Kue ulang tahun pun sudah dibawa ke hadapan Michael Alden Prawira. Namun pemuda yang malam ini resmi menginjak usia tujuh belas tahun itu enggan untuk meniup lilin.
Matanya masih mengedar, mencari-cari seorang gadis yang ia tunggu kedatangannya dari tadi. Decap lidah terdengar. Alden menggusak rambutnya yang sudah diberi pomade. "Zeo ke mana sih? Masa dia nggak dateng ke ulang tahun aku." Napas kasar berembus dari bibir Alden.
"Happy brithday, My Brother!" Ucapan selamat diberikan Vivian kepada adik kesayangannya berbarengan dengan pelukan hangat dan juga kecupan singkat di pipi. "Nih kado dari Mbak!" Sebuah kotak beludru berwarna biru diberikan Vivian kepada Alden.
"Thank you, Mbak." Kebahagiaan terpancar dari pemuda berjas biru muda itu. Gantian dia yang melayangkan ciuman kecil di pipi Kakaknya.
"Selamat ulang tahun, Al!" Giliran Anjelo yang memberikan selamat dan memberikan kado.
"Makasih, Mas." Alden juga memeluk Kakak iparnya.
"Dari Mami dan Papi kadonya nanti ya, kalau kamu sudah meniup lilin dan potong kue," ujar Marina yang diangguki oleh suaminya, Yudis.
"Ayo tiup lilinnya sekarang, Al!" Vivian berseru seraya mengusap punggung adiknya.
Alden enggan melakukannya, dia masih menunggu kedatangan Zeona. Tapi gadis pujaan hatinya itu belum juga menampakan diri.
"Cepetan, Al! Kamu nungguin siapa lagi sih? Riana? Dia 'kan lagi di Belanda. Udah ih, tuh temen-temen kamu udah pada nungguin. Kasihan tahu!" desak Vivian berceloteh bawel.
"Nggak! Siapa juga yang nungguin Riana. Aku udah nggak ada hubungan apapun sama dia. Aku cuma lagi nunggu--" Perkataan Alden rumpang karena getaran ponsel di saku jasnya. Dia lekas merogoh ponsel iphone miliknya. "Zeona." Jantungnya langsung jedag-jedug tak karuan. "Aku permisi sebentar!" Alden menjauh dari hadapan keluarganya. Ditempelkannya benda pipih itu ke telinga.
[Zeo?]
[Al, aku udah di depan lobi hotel. Tapi nggak bisa masuk, penjaga yang ada di sini melarang aku, soalnya aku nggak bawa surat undangan. Kadonya aku titip--"]
Alden menyela perkataan Zeona. [Tunggu di sana! Aku turun sekarang!]
Panggilan diputus sepihak oleh Alden membuat Zeona tak jadi melanjutkan kalimatnya.
Sementara Alden melesat turun ke lantai satu menggunakan lift.
Zeona berdiri gusar di luar lobi hotel. Gadis berambut hitam sepinggang itu tampak meremat jemari tangannya. Sesekali dia juga meremas dress biru muda sebetis yang dipakainya.
Tak berapa lama, Alden muncul dan langsung menghampiri Zeona. "Ayo masuk!" Dia mengulurkan tangan pada Zeona dan gadis itu menyambutnya dengan ragu-ragu. "Cepetan Zeo! Lilinnya sengaja belum aku tiup karena aku nungguin kamu datang," celotehnya seraya menuntun Zeona masuk ke dalam lift. Sesekali pemuda tampan itu mencuri-curi pandang pada Zeona. Dia selalu terpesona melihat wajah meneduhkan Zeona. Rasa nyaman itu selalu hadir saat dirinya berdekatan dengan teman sebangkunya itu.
"Al!" Lamunan Alden buyar berhamburan karena seruan dari Zeona. Buru-buru Alden menyahutinya.
"Ya, ada apa Ze?"
"Ini kado dari aku. Maaf ya, aku nggak bisa ngasih barang branded dan limited edition. Aku cuma ngasih itu, semoga kamu suka," kata Zeona sembari memberikan kado yang sedari tadi digenggamnya.
Dengan wajah berbinar, Alden menerimanya. Bibir tipisnya langsung menyunggingkan senyum bahagia. "Makasih, Ze. Aku pasti suka, karena ini dari kamu. Pujaan hati aku."
"Eh?"
"Eh?" Zeona menoleh seketika pada Alden yang kini sedang menutup mulutnya dengan sebelah tangan. "Al, kam--" Suara lift terbuka memotong perkataan itu.
Alden buru-buru mengajak Zeona untuk masuk ke ruangan tempat acara ulang tahunnya diadakan.
Kedatangan mereka berdua sontak menjadi pusat perhatian. Terutama bagi sepasang mata tajam dengan iris hitam kelam. Dia menatap tak berkedip pada adik iparnya yang datang bersama seorang gadis berdress biru muda.
"Alden, kamu habis dari mana?" Marina menyambut kedatangan anak bungsunya dengan pertanyaan sambil melemparkan tatapan sinis pada gadis yang berdiri di sebelah Alden.
"Habis dari bawah. Menjemput Zeona," ujar Alden menjelaskan seraya melirik Zeona yang sedang membungkukan badan. "Zeo ... kenalin! Ini Mami dan Papi aku. Dan yang itu Mbak Vivi dan suaminya, Mas Anjel." Alden mengabsen satu persatu anggota keluarganya. Memperkenalkan kepada gadis yang selama ini dia sukai, namun dia tak punya nyali untuk mengatakan isi hatinya.
"H-halo Om, Tante, Mbak, Mas, ss-saya Zeona. Teman sekolah dan sebangkunya Alden," kata Zeona mengenalkan diri.
Tapi sayangnya tak ada yang menanggapi. Seolah-olah perkenalan Zeona hanya dianggap sebagai angin lalu.
"Alden, ayo cepetan tiup lilinnya!" seru Vivian mengintruksi. Tanpa peduli pada senyuman manis yang diberikan Zeona kepadanya.
Alden pun berpindah ke tengah. Menjauh dari Zeona yang terhalangi oleh para tamu yang lainnya. Gadis berambut panjang itu terus mundur dan mundur, hingga akhirnya memutar tumit saat senandung ulang tahun mulai dinyanyikan.
Zeona: Selamat ulang tahun Michael Alden Prawira ... semoga kamu panjang umur, sehat selalu dan semua yang kamu cita-citakan segera terwujud. Aku pulang dulu ya, soalnya aku harus kerja. Sampai ketemu besok di sekolah, Al.
Zeona mengirim pesan itu sebelum dia masuk ke dalam lift. Dia terpaksa berbohong mengatakan bahwa dirinya harus pergi bekerja, padahal dia sudah meminta izin pada bosnya di restoran cepat saji kalau hari ini dia tidak akan masuk kerja demi menghadiri ulang tahun Alden.
Tapi melihat sambutan dari keluarga Alden dan para tamu lainnya, membuat Zeona merasa tak nyaman. Dirinya bagai batu kerikil di antara kumpulan berlian.
Zeona mengayun langkah untuk keluar dari area hotel. Langkahnya tiba-tiba membeku ketika dia melihat sang Kakak yang diseret paksa oleh seorang bapak-bapak berkepala botak dengan perut yang sangat buncit. Dimasukan dengan kasar ke dalam sebuah mobil sedan.
Hatinya menjerit untuk mengejar. Tapi kedua kakinya mendadak lemas seperti tak bertulang. Dia hanya mampu melirih, "Kakak ..." Keinginannya untuk membebaskan sang Kakak dari pekerjaan hina, semakin menggebu-gebu. Dia tidak sanggup membayangkan Kakaknya terus-terusan menjadi pe mu as naf su para lelaki hi dung belang.
Dengan banyak resiko buruk yang menyambut. Seperti beberapa bulan yang lalu. Zalina datang mengunjungi Zeona dengan keadaan yang membuat siapa saja yang melihatnya pasti akan menjatuhkan air mata.
Sebelah mata dan kedua pergelangan tangannya memar. Kedua sudut bibir robek. Dia datang dengan langkah tertatih. Yang paling menyedihkan adalah, ada bekas luka cambukan di punggung mulusnya.
"Kak, siapa yang melakukan ini? Siapa yang meng an iaya Kakak?" tanya Zeona dengan mata berkaca-kaca.
"Kakak jatuh, Zeo." Zalina mencoba memendekan obrolan. Dia enggan mengatakan yang sebenarnya.
"Jangan bohong, Kak! Aku bukan anak kecil. Aku tahu mana luka akibat jatuh dan mana luka karena dipukuli. Sekali lagi aku tanya, siapa yang sudah melakukan ini pada Kakak?"
Zalina menghela napas berat, "Pelanggan Kakak."
Zeona membola mata, "A-apa?"
"Sudahlah Zeo. Tidak usah membahas Kakak. Bagaimana sekolahmu, tidak ada kendala 'kan?"
"Kenapa pelanggan Kakak jahat sekali? Kenapa dia memukuli Kakak?" Zeona tetap ngotot mempertanyakan keadaan Zalina.
Zalina mendesiskan bibir, "Cukup Zeo! Kakak sudah bilang ... jangan membahas soal Kakak. Ini sama sekali tidak penting!"
"Mungkin untuk Kakak tidak penting. Tapi untukku sangat penting, Kak. Aku tidak mau Kakak kenapa-kenapa! Aku tidak mau kehilangan Kakak. Hanya Kakak yang aku punya di dunia ini. Aku sayang Kakak."
Zalina merengkuh tubuh adiknya. "Kamu jangan khawatirkan Kakak. Kakak akan baik-baik saja. Sudah ya, kamu jangan menangis! Sekarang kita makan aja. Kakak udah bawain nasi rames kesukaan kamu."
"Kakak ..." Lirihan itu terulang lagi diiringi dengan air mata yang berjatuhan. Zeona melangkah pelan meninggalkan area hotel.
"Dua milyar Zeo!"
"Ya Tuhan ... berikanlah uang dua milyar kepadaku supaya aku bisa membebaskan Kakak dari tangan Miss Helena," desisnya seraya menatap langit malam yang kelam.
Sementara di dalam hotel, Alden tertunduk lesu membaca pesan dari Zeona. "Padahal aku ingin ngasih potongan kue ke lima buat kamu, Ze. Tapi kamunya malah pulang duluan." Alden membuang napas kasar. Dia jadi kurang bersemangat merayakan ulang tahunnya. Sebuah mobil sport keluaran terbaru yang dihadiahkan oleh kedua orang tuanya pun tak bisa mengembalikan mood-nya. Ia tetap bermuram durja menginginkan Zeona ada di sampingnya.
"Mukamu kenapa ditekuk begitu, Al? Gadis yang tadi itu pacar kamu ya?" Alden yang sedang tercenung langsung menolehkan kepala ke samping kanan. Di mana ada Kakak iparnya yang bertanya demikian.
"Tck. Bukan Mas. Zeona itu bukan pacarku. Tapi aku memang sudah menyukai dia dari kelas sepuluh. Hanya saja, aku tak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaanku. Zeona pernah bilang ke aku, kalau dia nggak mau pacaran. Dia maunya langsung menikah." Wajah Alden semakin ditekuk. Bahkan kini terlihat sangat cemberut.
"Hahaha ..." Anjel tergelak tawa. Dia mengacak rambut adik iparnya. "Come on Boy! Show your courage! Ungkapkan perasaanmu. Sebelum gadis tadi diambil oleh lelaki lain," kata Anjel sambil menepuk punggung Alden. "Good luck!"
Anjel memutar tumit seraya tersenyum samar, "Interesting!" Dia kembali bergabung dengan istri dan mertuanya.
*****
"Hhh ... cc-cu-kup T-tuan. Ss-saya tt-ti-dak bisa ber-na-pas." Zalina mencengkram pergelangan tangan lelaki berkepala botak yang men ce kik lehernya sembari me mom pa tv bvhnya. Sepanjang melakukan penyatuan, lelaki tua itu terus melaku kan keke rasan.
Lagi-lagi Zalina dipertemukan dengan pelang gan yang punya kelainan s e k su al. Dia menderita? Tentu saja. Sampai sepanjang pertempuran, dia tak berhenti menangis dan merintih. Tapi lelaki botak yang mengerjainya sama sekali tidak peduli.
Tertawa-tawa sambil merem melek menikmati permainannya yang gila.
E r a ngan mengudara. Bersamaan dengan melubernya lahar putih yang jebol dari penga man.
"Uhuk! Uhuk!" Zalina terbatuk-batuk dengan dada kembang kempis. Napasnya hampir menghilang karena dice kik oleh si tua bangka berkulit cokelat tersebut. Kedua matanya memerah penuh air mata. Belum lagi ada darah yang mengalir dari hidungnya, karena tadi mendapat ton jokan yang lumayan keras.
"Ini bonus untukmu!" Si Botak melemparkan sepuluh lembar uang seratus ribuan. "Aku sangat puas!" Dia tertawa kencang. "Lain kali, aku akan menye wamu sampai pagi!"
"Jangan menyewaku lagi! Aku bisa mati kalau melayanimu lagi!" Zalina melirih dalam hatinya.
__________
"Ze, kenapa sih ngelamun mulu. Kamu lagi ada masalah berat ya?" Zeona melirik rekan kerjanya, Chika.
"Iya Chik. Berat banget," keluh Zeona sambil mencuci piring-piring kotor.
"Pasti masalah duit?" tebak Chika terkekeh.
"Seratus buat anda!" kekeh Zeona mengangkat jempolnya yang penuh busa.
"Ck." Chika berdecap lidah. "Ambil aja kerjaan yang ditawarkan Lila! Aku juga kayaknya tertarik deh buat ikut kerja di club malam. Lila juga jadi banyak uang, Ze. Tiap jam ada tukang paket ke rumahnya. Dia belanja terus. Pokoknya dia beda banget deh dari waktu masih kerja di sini. Penampilannya juga cetar banget sekarang mah. Udah kayak artis korea. Bening and glowing!" cerocos Chika dengan ekspresi wajah yang seperti pembawa berita gosip di tv swasta.
"Masa sih?" Zeona tertegun. Dia jadi ingin menemui Lila dan menanyakan apakah masih ada lowongan atau tidak di tempat itu.
[Ada Ze. Masih ada lowongan kok. Kenapa, lo tertarik kerja bareng gue?]
Bangun tidur, Zeona langsung menelepon Lila. Menanyakan tentang lowongan pekerjaan di tempat Liona.
[Tertarik Li, tapi kerjaannya cuma jadi waitress doang 'kan? Nggak yang aneh-aneh?] Ada rasa ragu yang mendera kalbu. Ketika dia tertarik untuk bekerja di tempat seperti itu.
Lila tergelak di ujung sana. [Tergantung lo nya aja, Ze. Kalau lo mau ngelayanin tamu yang ngajak lo tidur, ya silakan. Tapi kalau lo mau nolak juga terserah. Tapi dari nemenin tamu itu, lo bisa dapat uang yang banyak. Gue juga kayak gitu, Ze. Selain jadi waitress, gue juga j u a l d i r i.]
Zeona sangat butuh uang banyak, tapi dia tidak mau j u al d i r i. Jika dia melakukannya, dia jadi sama dong dengan Kakaknya. Zeona tidak mau seperti itu. Ia ingin punya uang banyak, tapi dengan cara yang halal.
Ponselnya berdering. Zeona mengambil ponselnya dengan cepat. Satu pesan masuk dari Lila.
Lila: Ze, gue udah ngomong sama bos gue. Katanya nanti malam lo bisa langsung kerja. Kebetulan nanti malam, di club bakal ada yang ngadain party. Disewa penuh sama seorang konglomerat. Gue tunggu jam delapan di perempatan jalan.
Zeona tak lantas membalas pesan itu. Ia masih ragu-ragu.
"Dua milyar Zeo!"
Perkataan Zalina kembali terngiang. Memicu keberaniannya untuk mengambil keputusan.
Jemari lentiknya menari lincah di atas layar hape. Mengetikan pesan balasan pada Lila.
Zeona: Ok Li, siap!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!