NovelToon NovelToon

Gadis Incaran Sang Mafia

Persaudaraan

...Assalamu'alaikum sahabat...

...Novel ini sekuel dari novel “Engkau Milikku”...

...Biar nggak bingung, baca dulu dua novel ini 👇...

...1. ENGKAU MILIKKU (tamat) ...

...2. SATU CINTA UNTUK DUA WANITA (tamat) ...

...✍️✍️✍️...

Semilir angin berhembus membuat helaian rambut hitam panjang Zoya menutupi wajahnya, Zoya masih terus fokus membaca novel miliknya karena memang Zoya memiliki hobi membaca dan bermain musik, berbagai alat musik bisa dia mainkan.

“Zee.” Panggilan untuk Zoya yang hanya digunakan oleh orang-orang terdekatnya saja.

“Asik banget dari tadi baca novel, makan dulu ini woy, dari pagi tadi kamu belum makan sama sekali.” Zain memberikan sepiring makanan untuk Zoya.

“Tau ya, kalau sering begini, besok-besok aku bakalan bakar ini semua novel kamu.” ancam Zay yang membuat Zoya mengeluarkan tatapan tajamnya, jika sudah mendapatkan tatapan tajam dari Zoya. Zain dan Zay sudah tidak bisa berkutik lagi, mereka pasti akan membujuk Zoya agar kembali melunakkan tatapannya.

“Novel nya seru banget, makanya aku sampai lupa waktu begini.”

“Lupa waktu boleh, lupa makan ya jangan, udah jelas rentan sakit, masih aja  sepelein urusan makan,” celetuk Zay yang memberikan perhatian dengan caranya sendiri pada Zoya.

“Iya iya maaf.” Zoya melirik makanan yang ada di piring, “Ya ampun ini makanan banyak banget, nggak bakalan habis sama aku ini Zain.” Ujar Zoya dengan mata membulat sempurna.

“Udah sih makan aja, aku sengaja banyakin biar kita bisa makan bertiga.”

“Oh gitu, ya udah ayo.”

Mereka menyantap makanan itu bertiga, memang anak kembar Sonia dan Sean ini sangat kompak dan saling menyayangi, Zain dan Zay sangat menjaga Zoya yang lebih feminim serta lembut dibandingkan dengan adik bungsu mereka Zeline.

“Kok makan bareng nggak ajak aku sih? Tega banget,” protes Zeline dengan wajah yang cemberut.

“Sini sini, uluuuhh adek kakak jangan ngambek dong,” bujuk Zoya pada Zeline.

Mereka kini menyantap pasta buatan Zain berempat, ya, mereka makan sepiring berempat. Sonia yang sedang berdiri di balkon kamar hanya tersenyum melihat keempat anaknya tengah makan di taman belakang.

Zoya, Zain dan Zay merupakan saudara kembar, mereka lahir kembar tiga dan sekarang usia mereka memasuki 20 tahun sedangkan Zeline baru berusia 15 tahun. Walaupun kembar, Zain dan Zay memiliki wajah yang berbeda, mereka bukan kembar identik jadi sangat gampang untuk membedakan mereka.

“Zee, kamu pacaran ya sama Andrey?” tanya Zay pada Zoya.

“Enggak ah, ngaco kamu.”

“Kenapa kau tanya begitu sama Zoya?” tanya Zain.

“Soalnya dia sering banget anterin Zoya pulang, apalagi kalo aku ada jadwal kuliah tambahan, pasti Zoya bakalan pulang bareng sama Andrey.” jawab Zay.

“Ya biarin aja sih kak, lagian diusia Kak Zoya ini juga wajar kan kalo dia punya pacar.”

“Modelan si Zoya punya pacar, orang dia masih merengek aja sama papa, gimana nanti kalo pacarnya selingkuh atau khianatin dia, bisa nangis bombay.” ledek Zain yang membuat Zoya memukul lengan Zain dengan novel yang dia pegang sedangkan Zay dan Zeline malah tertawa.

“Aku nggak pacaran sama siapapun, aku cuma temenan doang kok,” ujar Zoya.

“Jangan keseringan temenan dan akrab sama cowok Zee, nanti anak orang malah baper lagi sama kamu.” timpal Zay.

“Perasaan aku dekat cuma sama Andrey doang deh, keseringan dari mana coba?” Zay menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, memang selama ini Zoya itu tidak terlalu memiliki banyak teman, dia berteman hanya dengan beberapa orang saja, selain sikapnya yang tertutup dan pendiam, dia juga tidak terlalu suka kumpul-kumpul seperti teman-teman yang lain, sangat berbeda dengan Zeline yang memang memiliki banyak teman.

“Yakin nih cuma Andrey? Itu si Hazi nggak di anggap? Haha Ya Allah kasian.” Tambah Zain yang membuat mereka kembali tertawa.

“Iya berdua sama Hazi haha, aku hampir kelupaan sama dia.” tawa Zoya yang begitu manis.

“Andai kamu ini bukan kembaranku ya Zee, mungkin aku bakal jadiin kamu pacar.” kata Zay tiba-tiba, dia memang sering menggoda Zoya seperti itu.

“Jangan sampai standar pacarmu nanti kayak Zoya, bisa kacau kau Zay.” ujar Zain.

“Sebenarnya iya, standar ku ya kayak mama sama Zoya.”

“Aku nggak masuk kategori kamu kak?” tanya Zeline dengan wajah cemberut.

“Nggak, kamu itu terlalu pecicilan, aku nggak suka punya cewek begitu.” Zeline semakin merungut dengan jawaban Zay, Zay merangkul lembut adiknya.

“Kakak becanda weehh, jangan dimasukin hati.”

“Aku ini nggak cantik ya?”

“Cantik lah, kalau jelek mah aku bakalan bebasin kamu bergaul sama cowok manapun.” Zeline kembali tersenyum mendapat pujian dari Zay.

Sedang asik ngobrol begitu, tiba-tiba hidung Zoya mengeluarkan banyak darah yang membuat Zain, Zay dan Zeline panik. Zay langsung menggendong Zoya untuk masuk ke dalam rumah, karena sekarang hari minggu, jadi mereka semua ada di rumah termasuk Sean.

“Zoya, mimisan lagi?” tanya Sean dengan panik, Zain langsung berlari ke dalam kamar Zoya dan mengambil obat milik Zoya serta kapas untuk menyumbat hidung agar darahnya tidak mengalir terus.

Ya, selama ini memang Zoya menderita kanker darah yang membuat kondisinya sering lemah dan butuh perhatian lebih dari keluarganya. Namun kondisi dan penyakit itu hanya di derita oleh Zoya saja, sedangkan Zain dan Zay tidak, mereka malah sehat. Penyakit Zoya masih tahap pertama, dan belum begitu parah, Sean dan Sonia masih terus rutin mengobati Zoya ke rumah sakit dan bahkan terkadang juga obat tradisional.

Zoya di baringkan di atas sofa oleh Zay, Zain memberikan obat dan diminum oleh Zoya, Zeline membersihkan darah yang mengenai pipi Zoya.

“Pa, kok aku nggak sembuh-sembuh ya? Padahal aku udah menjaga pola makan loh dan aku juga rajin minum obat, aku nggak mau sakit begini terus-terusan pa.” Air mata Zoya mengalir di sudut matanya, Sean mengusap lembut wajah putrinya dan tersenyum.

“Sabar ya nak, selagi kita berusaha mudah-mudahan Allah akan memberikan kesembuhan untuk kamu ya.” Sean memeluk putrinya itu, sebenarnya dia memang kasihan pada Zoya tapi mau bagaimana lagi, memang kondisi putrinya seperti itu.

Dan kondisi Zoya inilah yang membuat Zain dan Zay tidak ingin kuliah keluar negeri sesuai dengan impian mereka.

Zoya tertidur dalam pelukan Sean, tak lama Sonia turun dan kaget melihat keadaan putrinya.

“Zoya kenapa?” tanya Sonia dengan panik.

“Biasa ma, Zoya mimisan dia.” jawab Zain.

“Kita bawa ke rumah sakit aja, mama takut kalau kondisi Zoya parah.”

“Udah sayang, tadi Zoya sudah minum obat dan sekarang dia tertidur.” Sonia mendekati putrinya, dia menciumi Zoya dan menangis.

“Lama-lama aku nggak kuat melihat kondisi Zoya, semakin hari dia semakin lemah, aku takut banget kalau penyakit Zoya semakin parah.” Sebagai seorang ibu, rasa kekhawatiran Sonia begitu besar apalagi terhadap anak-anaknya.

“Mama tenang ya, Zoya pasti sembuh kok ma, Zain janji bakalan selalu jagain Zoya dan memantau kesehatan Zoya.”

“Kalian harus saling mendukung ya nak, mama bangga punya anak seperti kalian ini.” Ketiga anak itu langsung memeluk Sonia, mereka sangat tahu kalau Sonia berhati lembut yang gampang menangis apalagi jika menyangkut keluarga.

...***...

Sore harinya, Hazi menjemput Zoya untuk keluar nyari jajanan, karena memang setiap sore Hazi selalu mengajak Zoya keluar.

“Ayo, aku udah siap nih.” ajak Zoya dengan semangat, dia hanya mengenakan piyama tidur berwarna hijau muda lengan panjang, rambut Zoya dikucir satu ke belakang, penampilan Zoya layaknya seperti seorang anak manja, ya memang, dia begitu manja.

“Jangan lama-lama di luar Zee, kamu lagi sakit loh.” ingat Zay.

“Iya bawel.”

“Gaby mana? Kok tumben dia nggak nongol dari pagi ke sini?” tanya Zain pada Hazi.

“Biasa, dia lagi nonton drakor, muak banget liatnya, dari pagi tuh dia nonton, mandi aja baru sore ini.” jawab Hazi dengan kesal membuat yang lain tertawa.

Hazi membawa Zoya menggunakan motor ninja, Zoya sangat nyaman jika keluar bersama dengan Hazi, ditambah lagi mereka memang sudah dekat semenjak kecil. Dari dulu, Hazi selalu menjaga dan melindungi Zoya, bahkan Hazi sangat menyayangi Zoya.

“Kita nyari martabak manis aja yuk, aku lagi pengen makan martabak, kayaknya enak.”

“Oke siap tuan putri.”

Hazi melajukan motornya mencari tukang martabak yang diinginkan oleh Zoya.

Setelah ketemu, Zoya memesan beberapa martabak dengan berbagai varian rasa, sembari menunggu, Hazi dan Zoya membeli tahu brontak yang ada di seberang kedai martabak.

Mereka duduk di bangku yang disediakan oleh tukang martabak lalu memakan tahu brontak itu. Kesederhanaan Zoya inilah yang membuat Hazi semakin mengaguminya, berbeda dengan Gaby yang memang terlihat sangat glamor namun Gaby sangat rendah hati dan penyayang, terlebih pada Zoya. Jika ada yang berusaha untuk menjahati Zoya, maka Gaby sendiri yang akan turun tangan menghajar mereka semua.

Jika kampus Gaby dan Zoya sama, kemungkinan mereka akan bersama-sama terus.

“Masih lama kayaknya martabak kita jadi deh, keliling dulu yuk Zee, nyari jajanan lain.” ajak Hazi.

“Boleh deh, jalan kaki aja kita ya.”

“Siap.”

Mereka berdua berkeliling melihat berbagai jajanan, Zoya sangat suka dengan sesuatu yang berbau kuliner, jika dia mengunjungi suatu tempat pasti yang akan dia kunjungi terlebih dahulu adalah pusat kulineran nya.

Setelah puas jajan, Hazi dan Zoya kembali pulang, Hazi mengantarkan Zoya sampai depan gerbang rumah.

“Besok berangkat ke kampus bareng aku aja ya Zee.”

“Yaah besok aku masuk siang Hazi.”

“Masuk jam berapa?”

“Jam 10.”

“Oke kalo gitu jam 10 aku jemput kamu.”

“Niat banget kamu, kan kampus kamu sama rumah kita jaraknya lumayan jauh.”

“Nggak jauh kok itu, santai aja, besok aku yang bakalan nganterin kamu ke kampus ya.”

“Iya deh, makasih ya sebelumnya.”

Hazi hanya tersenyum dan mengangguk, dia memasuki kamarnya lalu tersenyum manis, Hazi menatap foto-foto Zoya yang terpajang di dalam kamarnya. Foto semenjak mereka kecil hingga dewasa seperti saat ini.

“Hazi, mana cemilan aku?” tanya Gaby yang tiba-tiba muncul di depan pintu kamarnya.

“Itu aku taro di dapur, ngapain sih nyari ke sini.”

“Aku udah nyari di dapur tapi nggak ada.”

“Masa sih.”

“Beneran.”

Hazi kembali turun ke lantai bawah untuk memeriksa makanan yang dia simpan untuk Gaby, memang sudah tidak ada lagi di sana.

“Loh, aku narok di sini loh tadi Gab, serius.”

Hazi dan Gaby saling pandang, mereka sedang memikirkan sesuatu yang sama.

“BENICIOOOO.” Teriak mereka berdua karena sudah dipastikan kalau Benicio lah yang mengambil makanan Gaby. Benico menghampiri kedua kakaknya lalu tersenyum dengan polos yang membuat Hazi kesal.

“Nah kan benar, dia yang makan cemilan kamu Gab.” saat ini memang Benicio tengah memegang cemilan untuk Gaby, terjadilah aksi kejar-kejaran di dalam rumah itu.

“Kamu ini ya Benicio, itu kan cemilan aku, ngapain kamu makan sih.” Gaby terus mengejar Benicio.

“Minta Bang Hazi beliin lagi kak.”

“Tadi pas Hazi keluar kamu nggak mau nitip apa-apa, gimana sih.”

“Iya besok aku janji bakalan beliin kakak cemilan deh.”

“Nggak mau, aku mau cemilan itu, bawa siniiiii.”

Benicio langsung melahap habis semua makanan Gaby yang membuat Gaby menganga lalu merajuk. Gaby berlari ke kamarnya dan menutup pintu kamar dengan kasar.

Laura dan Vanno yang mendengar keributan itu langsung keluar kamar.

“Ada apa? Kenapa kalian malah ribut?” tanya Vanno pada kedua putranya, Hazi menceritakan apa yang terjadi, Laura dan Vanno hanya geleng-geleng kepala.

“Benicio, kamu ini usil banget, udah jelas kakak kamu itu orang nya ngambekan, masih aja diganggu.” kata Laura.

“Ya maaf mom, lagian aku juga pengen.”

Vanno memasuki kamar putrinya, Gaby tengah menangis di dalam kamar karena cemilannya di makan habis oleh Benicio.

“Ikut daddy yuk,” ajak Vanno.

“Kemana?” tanya Gaby dengan suara serak habis menangis.

“Nyari cemilan yang Gaby mau, daddy akan temani Gaby kemanapun juga malam ini, ayo.” Gaby kembali semangat, dia menghapus air matanya dan memeluk Vanno.

“Makasih ya dad.” Vanno mengecup kepala putrinya.

“Mau kemana dad?” tanya Hazi.

“Keluar nyari cemilan, kalian ikut?”

“Iya deh, aku mau ikut.” Timpal Benicio.

“Aku nggak deh.” Hazi berjalan menuju kamarnya.

“Kamu ikut juga ya sayang,” ajak Vanno pada istrinya, Laura.

“Iya, ayo.”

Mereka berempat kini pergi keluar mencari jajanan, Gaby dan Benicio terlihat begitu bahagia, mereka jika bersama dengan kedua orang tua mereka ya terlihat seperti anak manja.

Sedangkan Hazi di dalam kamar hanya bisa tersenyum, dia memandangi foto Zoya yang memenuhi kamarnya itu. Karena memang dari kecil Hazi sudah sangat menyukai Zoya, rasa suka nya itu tumbuh menjadi cinta hingga saat ini, membuat Hazi sangat sulit untuk lepas dari Zoya.

“Kapan ya Zee, aku bisa mengungkapkan rasaku ini sama kamu? Apa aku harus tunggu kamu lulus kuliah dulu? Tapi itu kelamaan kan, kalau aku ungkapkan sekarang, nanti kamu malah menjauh dariku.” Lirih Hazi.

“Aku akan pikirkan waktu yang tepat untuk mengungkapkan semua ini sama kamu Zee, semoga saja kita berjodoh ya.” Hazi mencium foto Zoya, dia benar-benar menyukai gadis 20 tahun itu, tidak ada satupun wanita yang mampu menarik perhatian Hazi selain Zoya.

Di tempat lain, Zoya sedang menikmati makanannya bersama dengan keluarganya. Zoya dan Zeline merebahkan kepala mereka di atas paha Sean, mereka sedang menikmati film comedy bersama.

“Sekarang tempat aku udah digantiin sama Zoya dan Zeline,” ujar Sonia yang membuat mereka semua terkekeh.

“Sini ma, sama Zain aja.” Sonia memilih untuk rebahan di paha Zain.

...***...

Menghajar Penguntit

Suara tembakan menggema di ruangan besar bernuansa putih itu, peluru bahkan merusak properti yang ada di sana. Begitu banyak anak buah musuh yang harus ditumpas oleh Haven, pria berusia 28 tahun yang merupakan bos mafia di Italia, organisasi miliknya bernama Titan Tribe. Dia memiliki nama lengkap Haven Arthur Leister, yang memiliki bisnis gelap di berbagai penjuru dunia, seorang pengusaha muda yang sukses, Haven memiliki sikap yang kejam dan mematikan, dia tidak pernah menaruh rasa belas kasih pada siapapun yang menjadi musuhnya.

Malam itu Haven terdesak, karena orang kepercayaannya ternyata mengkhianati dia sehingga musuh-musuhnya dengan mudah menyerang markas utamanya.

Semua penjaga dan anak buah yang berjaga di markas itu tak bisa dipercaya karena mereka semua kompak untuk menghabisi Haven malam itu.

Namun tuhan masih berpihak padanya, tak lama pasukan dari organisasi besar dari Amerika datang membantu Haven. Mereka mengalahkan semua orang yang telah mengkhianati Haven malam itu dan akhirnya kemenangan berada di pihak Haven dan penyelamatnya.

“Apa aku datang terlambat?” tanya Zain pada Haven.

“Ya paling tidak kau datang sebelum ujung pedang bajingan itu menembus leherku.”

Zain membantu Haven untuk berdiri, malam itu sangatlah panjang untuk Haven, beruntungnya Zain dan pasukannya datang menyelamatkan dia.

“Darimana kau tau kalau aku sedang di serang?”

“Dari panggilanmu waktu itu.” Haven mengerinyitkan dahinya menatap Zain.

“Apa maksudmu?”

“Saat kita sedang bicara di telfon dan kau pamit untuk mengambil berkas penting, aku mendengar orang kepercayaanmu tengah bicara entah dengan siapa, aku yakin jika dia sedang dihubungi oleh seseorang dan aku mendengar semua perkataannya.” Haven tertawa sambil sedikit meringis saat Zain mengobati luka di wajahnya.

“Sialan kau Zain, kenapa kau tidak memberitahu aku saat itu, aku pasti akan membunuh mereka semua.”

“Aku hanya ingin melihat seberapa kuat kau.”

Mereka berdua kembali tertawa, Haven dan Zain kini menuju ke mansion milik Haven yang berada di pusat kota Italia. Mansion besar dan super mewah yang dijaga oleh beberapa orang penjaga, jika ada yang berusaha menyusup ke sana, sudah dipastikan kalau mereka semua akan menghabisi, tak peduli itu siapa.

Haven membersihkan dirinya lalu kembali duduk bersama dengan Zain yang jauh-jauh datang untuk menemui dan membantunya.

“Aku yakin kalau kau ke sini bukan hanya untuk membantuku Zain, kau bisa saja mengirimkan anak buahmu tanpa kau harus datang langsung membantuku.” Zain hanya menaikkan bahunya lalu meminum wine yang di sediakan oleh Haven.

“Aku ke sini itu memang bukan berniat untuk membantumu, hanya saja itu si Zoya mau main ke Italia, udah lama dia nggak main ke negara ini, karena papa sibuk dan Zeline masih sekolah nggak bisa ditinggal oleh mama, makanya aku dan Zay yang menemani Zoya liburan ke sini.” Haven tersenyum saat Zain menyebutkan nama Zoya.

“Ya memang cukup lama Zoya tidak ke Italia, mungkin ada sepuluh tahun ini.”

“Iya, makanya dia ngotot mau liburan ke sini, kau kan tau sendiri kalau Zoya itu paling manja dari Zeline.”

“Apa kau masih menyukai Zoya?” tanya Haven pada Zain, Zain malah tertawa.

“Entahlah, sampai detik ini aku masih tidak bisa mencerna, kenapa tuhan malah memberikan rasa cinta di hatiku untuk Zoya, awalnya aku hanya mengira hal ini biasa karena aku sangat menyayangi Zoya dan aku pikir ini hanya sebatas saudara kembar saja. Namun makin lama, rasa itu tumbuh dan itu memang bukan karena dia saudaraku, tapi memang aku mencintainya seperti seorang kekasih.”

“Gila kau Zain, jika sampai kedua orang tuamu dan saudaramu yang lain tau akan hal ini, bisa di usir kau dari rumah.”

“Haha ya ya aku tau itu, mau bagaimana lagi, memang ada yang bisa mengatur hati?”

“Terserah kau sajalah. Sekarang Zoya dimana?”

“Di apartemen papa, seharian tadi aku dan Zay menemani dia jalan-jalan, mungkin sekarang sedang tidur.” kata Zain yang melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 12 malam.

“Dia sendiri di apartemen?”

“Ada Zay di sana, mana mau Zoya ditinggal sendirian, dia itu penakut.”

Tak lama ponsel Zain berdering, ada panggilan dari seseorang yang langsung dia angkat, wajah Zain langsung berubah tegang dan cemas.

“Kenapa?” tanya Haven pada Zain ketika panggilan itu berakhir.

“Zoya nangis sendirian di apartemen, aku pulang dulu ya, terima kasih minumannya.”

“Bukannya dia bersama Zay.”

“Sialan itu keluar saat Zoya tidur tadi.”

“Kemana dia?”

“Balapan.”

Zain bergegas menuju apartemen nya dan menemui Zoya yang saat ini sedang meringkuk di atas kasur dengan mata sembab dan tubuh gemetaran.

Zoya langsung bangun dan memeluk Zain, seketika tangisnya pecah dalam pelukan saudara kembarnya itu.

“Udah tenang, jangan takut lagi, aku di sini.” ujar Zain menenangkan Zoya.

“Lain kali kalau mau pergi, bawa aku Zain, aku takut sendiri.” rengek Zoya pada Zain.

“Iya maaf ya, tadi aku ada urusan sebentar, karena tadi Zay ada dan dia bilang tidak akan kemana-mana makanya aku pergi.”

Zain menangkup wajah bening Zoya lalu menatap dengan penuh emosi.

“Apa yang terjadi? Kenapa wajahmu lebam begini Zee?” Zoya langsung menyembunyikan lebam di dekat rahangnya dengan rambut panjang miliknya itu.

“Bukan apa-apa Zain, tadi aku tidak sengaja jatuh di kamar mandi.”

“Jangan bohong Zee, aku tau kalau lebam itu karena sebuah pukulan, siapa yang memukulmu?”

“Aku tidak tau Zain.”

“Apa maksudmu tidak tau?”

“Tadi itu aku sedang tidur, lalu aku dengar suara aktivitas di luar kamar, aku pikir itu kamu dan Zay. Aku lanjut tidur, tak lama pintu kamar diketuk dan aku tanpa rasa curiga langsung membukakan pintu, ternyata mereka itu penguntit, mereka mencoba untuk menyentuhku tapi aku melawan dan mereka memukulku.”

“Mereka siapa? Berapa orang mereka datang?”

“Aku tidak tau, wajah mereka tertutup topeng, mereka bilang kalau mereka sudah menguntitku semenjak aku tiba di sini tiga hari yang lalu, yang aku tau mereka empat orang Zain.” Zain mengepalkan tangannya membentuk sebuah tinju mendengarkan cerita dari Zoya.

“Lalu apa yang mereka lakukan padamu?”

“Mereka mencoba untuk menyentuhku saja lalu aku melawan dan mereka emosi lalu memukulku hingga aku pingsan dan Zay datang menolongku tepat waktu.”

“Sekarang Zay dimana?”

“Tadi dia bilang mau keluar cari makanan, soalnya saat sadar tadi aku memang lapar Zain.” Zain membawa Zoya dalam pelukannya, dia sangat tahu bahwa Zay bukan keluar hanya untuk mencari makanan saja tapi dia memburu orang yang sudah melukai Zoya.

“Sekarang kamu masih lapar? Aku buatkan makanan ya.”

“Nggak ada bahan makanan di dapur, kalau ada, aku sudah masak dari tadi.”

“Kalau begitu mending kita keluar saja, masih banyak yang jual makanan di luar.”

“Nggak mau ah, aku takut.”

“Aku ada Zee.”

“Iya tapi aku nggak mau, tunggu aja Zay balik.” Zain pasrah, dia menuruti kemauan Zoya.

...***...

Zay datang seorang diri ke markas empat pria yang hampir menodai saudarinya tadi, Zay datang ke sana dengan tangan kosong lalu santai melangkah mendekati mereka. Ternyata, mereka itu hanya berandalan liar yang hanya tidur di lorong-lorong bangunan.

Sebenarnya mereka ramai, namun Zay dengan mudah melukai mereka yang membuat keempat pria itu merinding ketakutan.

“Maafkan kami, sebenarnya kami begitu tertarik dengan kecantikan adikmu, tolong maafkan kami, bukankah di apartemen tadi kau sudah memaafkan kami.”

“Iya, aku tidak memukul kalian karena saudariku itu sangat takut dengan kekerasan, makanya aku biarkan kalian pergi dengan mudah.” balas Zay dengan santai, mereka semakin ketakutan karena tidak ada rasa takut sama sekali yang terpancar di mata Zay saat ini.

Mereka berempat langsung bersujud di kaki Zay untuk meminta ampunan, Zay hanya menatap mereka dengan santai dan sedikit senyum di wajah tampannya.

“Sebenarnya jika kalian hanya mencuri di apartemenku ya tidak masalah, mungkin aku akan memberikan kalian uang juga.” Zay menghela napasnya lalu wajah itu berubah jadi bengis dan mematikan, tatapannya tajam.

“Tapi kalian sudah menyentuh adikku, aku tidak mentoleransi apapun jika menyangkut adikku.”

BUGH!! BUGH!! BUGH!!

Hantaman serta pukulan dilayangkan oleh Zay pada mereka berempat hingga mereka semua tak bernyawa lagi hanya dengan pukulan Zay saja.

Zay meludahi keempat manusia yang sudah tidak bernyawa itu lalu pergi meninggalkan tempat kumuh tersebut.

Zoya sudah tertidur sambil memeluk kaki Zain, Zain saat ini sedang menonton televisi di kamar Zoya, sedari tadi Zoya sudah mengeluh karena lapar.

“Zee, maaf aku telaa...”

“Shhtt.”

Zay memelankan langkahnya dan mendekati Zain dan Zoya.

“Apa mereka kau bunuh atau kau buat cacat?” tanya Zain langsung karena dia sangat tahu bagaimana Zay jika sudah menyangkut keluarganya.

“Aku hanya membantu mereka untuk menghadap tuhan.” Zain tertawa mendengar ucapan santai dari Zay.

“Kau sendiri bagaimana? Apa misimu menyelamatkan Haven berhasil?”

“Ya aku datang saat pedang tajam itu hampir memutus kepala si Haven.”

“Telat sekali kau, aku hanya ingin memperingatkan kau, jangan sampai keluarga kita tau kalau kau itu seorang pemimpin mafia, mengerti, jika mama sampai tau, bisa jantungan dia.”

“Iya Zay, kau tidak perlu mengulang kata itu terus padaku, sekarang tugasmu membangunkan Zoya, dia sudah kelaparan dari tadi.” Zay mendekati Zoya lalu membangunkan adiknya itu.

“Lama sekali kamu Zay, aku sudah laoar dari tadi.” Gerutu Zoya ketika bangun.

“Ya maaf Zee, aku tadi keliling-keliling nyari yang jual makanan, untung dapat.”

Mereka bertiga berjalan ke arah dapur, Zoya menyantap makanan dengan lahap lalu memakan cemilan yang dibeli oleh Zay tadi. Zay menatap lamat-lamat wajah Zoya, bagian rahang Zoya lebam, tangannya terulur menyentuh wajah cantik itu.

“Sakit ya Zee?” tanya Zay.

“Iya lumayan, tapi sekarang udah nggak papa.”

Selesai makan, Zoya kembali tidur, kali ini bukan di dalam kamar melainkan di ruang tamu sambil menonton televisi, Zain dan Zay menonton bola, setelah memastikan Zoya tidur lelap, mereka menukar siaran dengan acara tinju.

“Bagaimana organisasi mu?” tanya Zay pada Zain.

“Baik, semua berjalan lancar dan tidak ada masalah, kenapa? Kau tertarik untuk ikut denganku?”

“Tidak, aku lebih baik menghabiskan waktu di arena balap ketimbang mengurus bisnis gelap seperti kau. Kalau  Zee tau kau ini seorang mafia kejam dan bengis, mungkin dia akan menjauh darimu atau tidak akan menganggap kau saudaranya lagi.”

“Haha dramatis sekali pikiranmu.”

“Eh kau tau tidak, tadi aku bertemu gadis cantik di arena balap, menarik.” Zain seakan tidak tertarik dengan ucapan Zay.

“Sialan kau Zay, kau senang-senang dan kenalan dengan wanita di luaran sana, sedangkan Zee sendiri di rumah, dasar brengsek.”

“Heh aku pikir Zee akan tidur nyenyak, biasanya kan kalau dia sudah lelap ya bakalan bangun besok pagi, ya mana aku tau kalau bakalan ada penguntit datang ke sini.”

“Dasar bodoh, untung saja dia tidak kenapa-napa, kalau tidaaakkk.” Zain sudah menunjukkan tinjunya pada Zay.

“Aku salah, aku tidak akan mengulanginya lagi. Tapi soal wanita yang tadi, aku pikir dia cocok untukmu Zain.”

“Heh sialan, aku tidak mau dicari-carikan begitu.”

“Sampai kapan kau akan menyukai Zoya hah? Kau ini sudah gila apa? Memangnya kau mau rasa cinta itu membunuhmu hah? Ingat Zain, dia itu saudara kembar mu.”

“Aku tau itu, kau pikir aku ini gila? Aku juga tidak akan nekad untuk menikahi Zoya.”

“Ya mana tau pikiranmu itu jadi konslet.” Zain menatap tajam ke arah Zay, yang ditatap hanya nyengir tak bersalah.

“Bagaimana menurutmu kalau Zoya kita jodohkan dengan Haven?” Zay yang sedang meneguk minuman langsung tersedak, dia memukul kepala Zain.

“Kau mau Zoya mati karena serangan jantung hah?”

“Bukan begitu, menurutku Haven bisa menjaga dan melindungi Zoya.”

“Jangan gila kau, mendengar kata mafia saja dia takut bukan main, kau malah menjodohkan dia dengan bos mafia, otak mu ini benar-benar rusak ya? Apa saat melakukan penyerangan tadi ada yang memukul kepalamu?” Zay berseru dengan nada kesal pada Zain.

“Santai bos, aku kan hanya mengemukakan ide saja.”

“Ide gila yang kau kemukakan.”

Mereka kembali fokus menonton hingga semua tertidur di depan televisi yang masih menyala itu, Zoya tidur sambil memeluk erat lengan Zay, dia tidur di tengah-tengah karena memang begitu mereka sehari-hari jika menonton bersama, kalau di rumah, pasti Sean yang akan menggendong dia ke dalam kamar.

Zain memiliki kebiasaan jika tidur dekat Zoya, dia pasti akan melilitkan ujung rambut Zoya ke jari telunjuknya, entah itu untuk apa tapi hal itu sudah menjadi kebiasaannya dari kecil.

Kalau Zay lain lagi, dia memiliki kebiasaan memainkan jari jempol Zoya jika sudah duduk bersama.

Dan mereka berdua, pasti akan mencari Zoya jika sedang demam atau tidak enak badan, bagaikan mendapat obat, Zain dan Zay akan membaik jika mereka memeluk kaki Zoya saat demam. Dari kecil, Zain dan Zay memang sering demam bersamaan, tidak dengan Zoya.

...***...

Trauma Mendalam

Penyerangan yang dilakukan oleh Zain saat membantu Haven malam itu ternyata berdampak buruk pada Zain sendiri. Beberapa musuh Haven ternyata berhasil mendapatkan identitas Zain yang mana Zain merupakan pemimpin organisasi Zen Zephyrs di New York Amerika.

Zain yang tengah keluar untuk belanja bersama Zoya dihadang oleh beberapa orang. Zain yang saat itu melihat Zoya sudah ketakutan langsung memegang tangan kembarannya itu.

“Zain, mereka siapa?” tanya Zoya.

“Paling orang iseng, kamu tunggu saja di mobil ya.”

“Nggak, jangan tinggalin aku Zain.”

“Aku akan urus mereka sebentar kok.”

“Tapi Zain—” pria itu keluar dari mobil dengan tatapan tajam, ada 3 mobil menghadang mobil Zain, semua turun, mereka siap untuk menghabisi Zain saat itu juga.

Dengan seluruh kekuatan yang dia miliki, akhirnya Zain bisa membuat mereka semua tumbang, Zain kembali ke dalam mobil dengan santai dan duduk di bangku kemudinya.

Zoya menatap Zain dengan tatapan ketakutan, Zain mengusap lembut wajah Zoya.

“Jangan tegang gini dong, jelek tau nggak muka kamu Zee, santai aja, mereka udah nggak ada kok.” Bukannya tenang, Zoya malah semakin kaku dan meneteskan air matanya menatap Zain.

“Kamu kenapa natap aku begitu Zee?”

Tiba-tiba ada dua orang pria yang tiba-tiba muncul di bangku tengah sambil menodongkan pistol ke arah Zoya dan Zain, bukan main lagi rasa takut yang Zoya rasakan.

“Jalankan mobil ke alamat ini.” Titah salah seorang pria itu, Zain melihat alamat yang tertulis lalu melajukan mobilnya, kedua pria itu masih menodongkan pistol pada Zoya dan Zain.

Sesampainya di sebuah gedung kosong, Zain dan Zoya digiring masuk ke dalam dan mereka diikat dengan tali di sebuah kursi.

“Mau apa kalian?” tanya Zain dengan nada datar tanpa ada rasa takut sama sekali, justru yang dia khawatirkan adalah Zoya.

“Mau menghabisi mu.” Zoya membulatkan matanya, mulutnya saat ini tutup dengan kain oleh mereka.

“Ya sudah, kalau begitu tolong bebaskan adikku itu, jangan bunuh aku di depannya.” Zoya langsung menggeleng mendengar perkataan Zain, air matanya langsung meluncur begitu saja, suara teriakan Zoya tertahan dengan kain yang menutup mulutnya.

“Wah ini yang aku sukai, tadinya aku memang akan membunuhmu ketika sendiri tapi melihat sorot matamu yang seperti tidak takut mati, aku jadi berubah pikiran.” Ujar seorang pria yang menjadi pemimpin dari mereka semua.

“Katakan selamat tinggal pada adikmu itu, Zain Aderal Aznand.” Zain menatap lekat wajah Zoya, dia tahu kalau umurnya tidak akan panjang lagi, Zoya menangis sambil berusaha melepaskan ikatannya saat ini.

“Jangan menangis lagi Zee, aku baik-baik saja, mereka ini hanyalah para pengecut yang bisa main keroyokan, santai saja lah.” Kata Zain dengan tenang yang membuat pria di hadapannya tersulut emosi.

Dorr Dorr Dorr

Zoya langsung merasa seluruh tubuhnya lemas tak bertulang, darah mengucur bebas dari kepala Zain yang telah bolong ditembus oleh tiga peluru pria itu. Mata Zain yang selalu menatapnya penuh kasih, sekarang terpejam, tak ada lagi senyuman manis Zain yang akan dilihat oleh Zoya.

Semua anak buah Josh bersorak karena Zain, si pemimpin Zen Zephyrs sudah tamat di tangannya. Sebenarnya Josh memang sudah lama mengincar Zain namun Zain sangat kuat untuk dia taklukkan, hingga dia meminta anak buahnya untuk memata-matai Zain, akhirnya dia tahu kalau kelemahan Zain adalah Zoya. Itulah kenapa Zain di serang ketika bersama dengan Zoya.

Josh membuka kain yang menutupi mulut Zoya dan juga ikatan di tubuh Zoya, dia membiarkan Zoya mendekati mayat Zain.

Namun Zoya hanya mematung di atas kursi itu dengan tatapan masih terpaku pada Zain.

“Kau harus tau Zoya, saudaramu itu seorang mafia, dia memimpin organisasi besar di New York, dia adalah musuh terberat bagiku dan hari ini aku akan merayakan kematiannya. Bukankah kau selama ini mengira dia pria yang polos dan baik? Perkiraanmu ternyata salah bukan, dia dan juga sepupumu Arkan, Azkan, merupakan mafia yang memiliki banyak musuh dan inilah salah satu resiko terjun di dunia seperti ini, KE-MA-TI-AN.” Josh berkata dengan nada lembut di telinga Zoya, lalu mereka semua pergi meninggalkan Zoya sendiri dengan mayat Zain.

Zoya mendekati Zain dan memeluknya lalu menangis histeris.

“ZAAAIIINNNNNN.” Teriak Zoya.

Satu jam setelah kejadian itu, ponsel Zain berbunyi di dalam saku celananya. Zoya dengan tangan yang masih bergetar mengangkat panggilan dari Haven.

“Zain, kau dimana? Aku ingin bertemu denganmu.” Suara Haven terdengar jelas di telinga Zoya.

“Tolong kami Haven.” Haven terkesiap saat mendengar suara parau dan lemah dari Zoya itu.

“Zoya, kalian ada dimana sekarang?” Tak lama Zoya pun ikut pingsan di samping jasad Zain, panggilan itu masih tersambung.

Haven segera meluncur ke lokasi Zain dan Zoya saat ini, dia mengetahui dari lokasi ponsel Zain.

Ketika sampai di sana, Haven begitu kaget melihat Zain sudah terkapar tak bernyawa, dia kemudian memeriksa kondisi Zoya dan ternyata masih hidup.

...***...

Jenazah Zain di makamkan di Indonesia, tangis pilu menyambut kepulangan Zain. Sonia bahkan sampai pingsan dengan kejadian ini.

Sudah satu bulan anaknya di makamkan dan sampai detik ini pula Zoya tak bergeming sama sekali, dia tak bicara atau melakukan apapun, dia hanya diam mematung di atas kursi di kamarnya.

Sonia merasa dirinya mati berkali-kali mengingat apa yang menimpa anak-anaknya itu. Kali ini, Sonia berusaha untuk kuat demi Zoya, begitu juga dengan Sean. Berbagai pengobatan diberikan untuk Zoya, namun kondisinya masih seperti patung.

Butuh waktu satu minggu untuk Sean membalaskan perbuatan Josh pada anak-anaknya, dengan bantuan Haven, Sean bisa melumpuhkan dan membasmi semua orang-orang Josh hingga tak bersisa.

Josh sendiri di siksa habis-habisan oleh Zay dengan tangannya sendiri di dalam mansion Haven hingga Josh meregang nyawa dengan tragis pula.

Sean memasuki kamar Zoya sambil membawakan makanan. Zoya duduk di sofa sambil menatap keluar jendela, matanya terus mengeluarkan air mata, raut wajahnya tetap datar tanpa ekspresi apapun.

Sean berlutut di hadapan anaknya itu sambil memegang tangan Zoya. Sean begitu terpukul dengan semua ini, Zain yang meninggal dengan cara seperti itu dan Zoya seakan kehilangan gairah hidupnya serta meninggalkan trauma mendalam bagi Zoya sendiri.

“Anak papa makan dulu ya, Zain udah bikin pasta untuk kamu nak, dimakan ya.” Zoya mengangguk, Sean menyuapkan pasta itu untuk Zoya, dia memalingkan wajahnya dari Zoya dan terisak, tidak sanggup dia untuk melihat putrinya seperti itu.

Zoya tidak mau makan, jika mendengar kalau makanan itu adalah buatan Zain maka dia pasti akan memakan dengan lahap.

Sudah sebulan kepergian Zain, sebulan pula tak terdengar suara Zoya di dalam rumah itu.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!