Pak Aidan, Saya Tertarik!
Episode 1: Pertemuan Tak Terduga
Zoe
Oke, Zoe. Kamu bisa ini. Jangan malu-malu. Jangan ceroboh!
Zoe memandangi pintu ruang kelas dengan rasa cemas. Hari pertama kuliah, dan dia harus bertemu dengan dosen baru yang katanya terkenal tegas.
Zoe
Ini dia! Jangan sampe ketahuan kalo kamu nervous!
Dengan langkah yang agak ragu, Zoe membuka pintu ruang kelas dan masuk. Segera, pandangannya tertuju pada seorang pria muda yang berdiri di depan kelas. Matanya tajam, rambutnya teratur rapi, dan dia mengenakan jas formal yang tampaknya akan membuatnya terlihat seperti seseorang yang serius.
Suara Aidan terdengar penuh wibawa. Sebagai dosen, dia dikenal cukup tegas dan sering mengawasi setiap langkah mahasiswanya dengan cermat.
Zoe merasa tubuhnya kaku saat menjawab. Tentu saja, dia canggung karena baru saja bertemu dosen pertamanya di kampus.
Aidan
Selamat datang di mata kuliah Pengantar Ilmu Sosial.
Aidan
Saya Aidan, dosen kalian untuk semester ini. Kita akan banyak membahas teori-teori dasar dan bagaimana mereka berhubungan dengan kehidupan sosial yang ada di sekitar kita.
Zoe
Oke, Aidan... fokus, Zoe. Coba jangan terlalu kelihatan panik.
Zoe menatap layar laptopnya dan mulai mencoba mencatat beberapa poin yang dibahas Aidan, meskipun pikirannya mulai melayang.
Dosen itu benar-benar memancarkan aura tegas. Tidak ada senyum, tidak ada gurauan. Fokusnya hanya pada materi. Tapi Zoe merasa aneh, ada sesuatu yang menarik dari cara dia mengajar.
Zoe
Jangan terlalu mikirkan dia, Zoe.
Beberapa menit berlalu, dan saat itulah dia sadar... dia tidak sepenuhnya mengerti tentang tugas pertama yang diberikan Aidan.
Zoe
Aduh, gak ngerti deh soal tugas pertama ini. Gimana ya caranya?
Zoe menggigit bibirnya, mencoba untuk tidak terlihat terlalu bingung.
Setelah beberapa saat, Aidan menatap kelasnya dengan tajam, memeriksa apakah ada yang ingin bertanya.
Zoe
Oke, Zoe. Ini waktunya! Kalau gak sekarang, kapan lagi?
Zoe mengangkat tangan ragu.
Zoe
Pak Aidan, soal tugas pertama itu...
Zoe
Tentang menghubungkan teori yang dipelajari dengan kehidupan nyata, ya? Tapi saya agak bingung cara ngelakukannya...
Aidan menatapnya dengan serius. Zoe langsung merasa ada yang aneh.
Aidan
Begini, Zoe. Tugas ini mengharuskan kalian untuk melihat teori yang sudah dibahas dan mencocokkannya dengan kasus nyata di masyarakat. Kalau kamu gak paham, berarti kamu harus membaca kembali materi yang ada di platform dan mencari contoh yang relevan.
Zoe merasa jantungnya berdebar, tapi dia berusaha tetap tenang.
Zoe
Ah, jadi lebih ke mencari contoh yang pas ya, Pak? Saya... saya bakal coba baca lagi deh.
Aidan mengangguk, tapi raut wajahnya tetap tegas. Zoe merasa canggung, tapi dia mencoba memberi senyum kecil.
Aidan hanya mengangguk singkat tanpa ekspresi yang lebih lembut. Zoe menunduk, merasa sedikit gagal karena sepertinya dia tidak bisa berbicara dengan baik.
Setelah kuliah selesai, Zoe buru-buru mengemas barang-barangnya dan bergegas keluar dari ruang kelas.
Zoe
Kenapa sih aku selalu canggung banget? Dosen itu serius banget! Gak ada senyumnya deh.
Zoe berjalan tergesa-gesa menuju pintu keluar. Namun tiba-tiba suara seseorang memanggilnya.
Aidan
Zoe, tunggu sebentar.
Zoe berbalik dan menemukan Aidan berdiri beberapa langkah di belakangnya.
Dia merasa gugup, pikirannya langsung kacau.
Aidan
Saya tadi lihat kamu agak kesulitan mengerti soal tugas pertama. Kalau kamu butuh bantuan, kita bisa ngobrol setelah kelas selesai. Jangan ragu untuk tanya.
Zoe terkejut, karena Aidan, yang selama ini tampak sangat tegas, baru saja menawarkan bantuannya dengan cara yang cukup baik hati.
Zoe
S-Serius, Pak? Saya takut ganggu waktu Bapak sih...
Aidan
Gak masalah. Kamu kan mahasiswa, harus bertanya kalau ada yang kurang jelas. Jangan takut untuk menghubungi saya.
Zoe merasa sedikit lega, meskipun dia masih merasa canggung.
Zoe
Terima kasih, Pak. Saya bakal coba cari waktu buat datang.
Aidan tersenyum sekilas, meski tetap terlihat serius.
Aidan
Baik. Jangan ragu, Zoe. Kita bisa diskusi lebih banyak jika perlu.
Zoe mengangguk cepat dan melangkah pergi, namun di dalam hatinya, dia merasa ada sesuatu yang berbeda. Sebuah perasaan aneh yang terus membayangi pikirannya.
Zoe
Kenapa rasanya jadi nyaman ya ngobrol sama dia? Apa cuma aku aja yang ngerasain gitu?
Saat itu, Zoe mulai berpikir, mungkin kuliah ini akan memberikan lebih banyak kejutan daripada yang dia bayangkan...
Episode 2: Tugas yang Membawa Kejutan
Zoe duduk di meja belajarnya dengan tumpukan buku dan laptop di depannya. Tugas pertama dari Pak Aidan benar-benar membuatnya frustasi. Meskipun dia sudah mencoba untuk membaca materi berulang kali, rasa bingungnya tidak juga hilang. Teori-teori yang dia pelajari terasa seperti potongan puzzle yang tidak bisa disatukan.
Zoe
Kenapa sih susah banget? Ini kayaknya lebih berat daripada yang aku kira…
Dia memandangi layar laptopnya, membuka forum diskusi, dan berusaha mencari penjelasan lebih lanjut. Tapi tetap saja, perasaan bingung itu tidak bisa dihindari. Zoe melirik jam dinding—sudah hampir tengah malam. Dia tahu kalau tidak segera mencari bantuan, tugas ini tidak akan selesai tepat waktu.
Zoe
Aku harus cari Pak Aidan, deh. Kalau tidak, nggak akan selesai-selesai…
Dengan langkah ragu, Zoe keluar dari kamarnya dan menuju ke ruang dosen Pak Aidan yang terletak di gedung fakultas. Jantungnya berdebar-debar. Setelah mengetuk pintu dan menunggu beberapa saat, terdengarlah suara dari dalam.
Zoe menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu dan melangkah masuk. Aidan sedang duduk di belakang mejanya, memeriksa beberapa berkas.
Zoe
Selamat malam, Pak Aidan. Maaf mengganggu, tapi saya butuh bantuan tentang tugas pertama.
Aidan menatapnya dengan pandangan yang agak tajam, tapi kemudian mengangguk pelan.
Aidan
Silakan duduk, Zoe. Apa yang membingungkanmu?
Zoe duduk di kursi depan meja Aidan, sedikit gelisah. Dia meraba-raba kata-kata, berusaha menjelaskan apa yang membuatnya kebingungan.
Zoe
Saya sudah coba baca materi lebih banyak, Pak, tapi... saya masih bingung bagaimana cara menghubungkan teori yang kita pelajari dengan contoh di kehidupan nyata. Sepertinya teori ini lebih kompleks dari yang saya kira...
Aidan menyandarkan punggungnya di kursi, memandang Zoe sejenak. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya terkesan dengan semangat dan kesungguhan Zoe, meskipun cara gadis itu menjelaskan terlihat agak canggung.
Aidan
Hmm, jadi kamu merasa kesulitan menghubungkan teori dengan kenyataan, ya? Itu memang bukan hal yang mudah. Tapi, coba pikirkan ini—sebuah teori itu seperti peta. Dia tidak selalu bisa langsung memberi gambaran tentang dunia nyata, tapi kamu harus mencari hubungan antara teori itu dan apa yang terjadi di sekitarmu.
Zoe mengangguk perlahan, mencoba mencerna kata-kata Aidan.
Zoe
Jadi, saya perlu melihat kejadian nyata, ya? Seperti... contoh di masyarakat?
Aidan
Benar. Coba pikirkan contoh yang kamu alami atau lihat di sekitar kamu—itu bisa jadi titik awal untuk memahami hubungan teori dengan kehidupan nyata.
Zoe
Oh, jadi nggak harus teori yang langsung diikuti dengan contoh di buku ya, Pak? Bisa dari pengalaman pribadi juga?
Aidan tersenyum kecil, meskipun masih dengan ekspresi serius.
Aidan
Betul. Pengalaman pribadi atau contoh yang relevan akan membantumu lebih mudah memahami bagaimana teori tersebut diterapkan.
Zoe merasa sedikit lebih lega. Meskipun Aidan masih terlihat serius, cara dia menjelaskan memberikan pemahaman yang lebih jelas. Namun, tidak bisa dipungkiri, Zoe merasa malu dengan cara dia yang agak kikuk dalam berbicara.
Zoe
Terima kasih banyak, Pak Aidan. Saya jadi lebih paham sekarang. Maaf ganggu waktu Bapak malam-malam begini.
Aidan melambaikan tangannya, menandakan itu tidak masalah.
Aidan
Tidak masalah, Zoe. Kalau ada yang membingungkan lagi, jangan ragu untuk datang. Tugas ini memang perlu waktu dan usaha, tapi saya yakin kamu bisa.
Zoe tersenyum, merasa sedikit lebih percaya diri.
Zoe
Baik, Pak. Terima kasih sekali lagi.
Sebelum Zoe keluar dari ruang dosen, Aidan menambahkan dengan nada sedikit lebih santai, meski tetap terdengar tegas.
Aidan
Jangan lupa, Zoe, kadang belajar itu juga membutuhkan kesabaran dengan diri sendiri. Jangan terlalu keras pada dirimu.
Zoe mengangguk dan keluar dari ruang dosen dengan perasaan campur aduk—lega karena mendapat bantuan, tetapi juga merasa sedikit canggung dengan interaksi yang baru saja terjadi. Namun, dalam hati, Zoe merasa sedikit lebih dekat dengan Aidan. Ada sesuatu tentang cara Aidan mengajar dan berinteraksi yang membuatnya merasa dihargai meskipun dia sering merasa tidak cukup baik.
Zoe
Rasanya... aku mulai nggak terlalu takut lagi untuk minta bantuan ke Pak Aidan. Tapi kok, jadi aneh ya? Aku jadi pengen ngobrol lebih lama sama dia...
Di tengah kebingungannya, Zoe memutuskan untuk fokus kembali pada tugasnya. Dia merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi tantangan kuliah berikutnya, dengan sedikit lebih banyak pemahaman tentang bagaimana menghubungkan teori dengan kenyataan.
Episode 3: Saling Menyembunyikan Perasaan
Sudah beberapa minggu sejak Zoe bertemu dengan Pak Aidan, dan pertemuan-pertemuan mereka di kelas maupun di luar kelas semakin sering.
Setiap kali Zoe datang dengan pertanyaan atau klarifikasi tentang tugas, Aidan selalu memberikan bantuan dengan sabar. Namun, meskipun mereka semakin sering berinteraksi, suasana antara mereka tetap canggung—terutama karena Zoe yang sering kali merasa kikuk dan Aidan yang berusaha menjaga jarak profesional sebagai dosen.
Pada suatu pagi, Zoe datang lebih awal ke kelas untuk menyiapkan tugasnya yang tertunda. Dia duduk di bangkunya sambil membaca ulang catatan, matanya melayang ke arah meja depan, di mana Aidan sedang mengorganisir materi kuliah. Zoe menatap Aidan tanpa sadar, merasakan perasaan aneh di dalam dirinya—semacam ketertarikan yang ia coba sembunyikan.
Zoe
Kenapa sih, Zoe? Cuma dosen kok, nggak perlu baper. Tapi kenapa aku merasa beda ya kalau lihat dia?
Zoe mencoba untuk fokus kembali pada catatan, tetapi matanya terus melirik ke arah Aidan. Aidan, yang tampaknya tidak menyadari, sedang sibuk mempersiapkan diri untuk mengajar. Namun, meskipun mereka berada dalam jarak yang cukup dekat, perasaan canggung itu tetap ada.
Setelah beberapa saat, Aidan menoleh ke arah Zoe, melihatnya yang terlihat sedikit terbenam dalam pikirannya. Dengan nada serius, Aidan memulai percakapan.
Aidan
Zoe, kamu kelihatan serius sekali. Apa ada yang bisa saya bantu?
Zoe terkejut, hampir menumpahkan kopi yang ada di tangannya. Wajahnya memerah, dan dia buru-buru mengubah fokus ke laptopnya.
Zoe
Ah! Nggak, Pak. Cuma lagi… mikir-mikir tugas aja. Nggak ada yang perlu dibantu kok.
Aidan mengangkat alisnya, masih dengan ekspresi datar, namun dalam hati ia merasa heran dengan sikap Zoe yang tampaknya selalu sedikit canggung saat berbicara dengannya.
Aidan
Jangan terlalu dipikirkan, Zoe. Tugas itu memang butuh waktu, tapi kamu pasti bisa. Kalau ada yang bingung, lebih baik tanya.
Zoe merasa sedikit lebih lega mendengar itu, meskipun hatinya masih berdebar.
Zoe
Terima kasih, Pak. Saya bakal coba lebih fokus.
Namun, meskipun sudah berbicara secara langsung, Zoe merasa aneh. Perasaannya semakin kabur, antara rasa hormat sebagai mahasiswa dan ketertarikan yang mulai tumbuh tanpa dia sadari. Di sisi lain, Aidan juga merasakan hal yang serupa. Meski dia selalu bersikap profesional, ada sesuatu dalam diri Zoe yang membuatnya penasaran. Dia tak bisa menepis rasa ingin tahu tentang kepribadian gadis itu yang penuh semangat, meskipun sering kali sedikit ceroboh.
Hari berikutnya, di luar jam kuliah, mereka kembali bertemu di ruang dosen. Zoe datang dengan penuh keyakinan, bertekad untuk menyelesaikan tugas yang sempat tertunda. Tapi, seperti biasa, dia mulai merasa canggung saat harus berbicara dengan Aidan. Mereka mulai berdiskusi tentang tugas yang semakin mendekati tenggat waktu, dan meskipun Aidan sangat membantu, percakapan itu terasa lebih berat dari yang seharusnya.
Zoe
Pak, saya udah coba ikuti saran Bapak, tapi kenapa ya rasanya makin bingung? Semakin saya coba, semakin banyak yang saya nggak ngerti.
Aidan memandang Zoe dengan serius, namun kali ini dia tidak memberikan jawaban yang langsung. Sebaliknya, dia memperhatikan cara Zoe berbicara dengan sedikit cemas dan kekhawatiran di matanya.
Aidan
Zoe, kamu terlalu keras pada dirimu sendiri. Belajar itu memang butuh waktu. Jangan takut kalau ada yang nggak kamu mengerti langsung.
Zoe mengangguk, tapi perasaan canggung itu kembali hadir. Aidan tetap terlihat serius, namun entah kenapa, Zoe merasa ada kehangatan di balik ekspresinya yang biasanya dingin.
Zoe
Terima kasih, Pak. Saya akan coba lebih sabar.
Aidan tersenyum kecil, meskipun tetap menjaga jarak profesional.
Aidan
Tidak perlu terburu-buru. Setiap orang punya cara belajar yang berbeda. Ingat, ini bukan soal kecepatan, tapi pemahaman.
Zoe merasa sedikit lebih baik setelah percakapan itu, tetapi masih ada rasa aneh yang mengganjal. Di satu sisi, dia merasa dihargai dan dipahami oleh Aidan, namun di sisi lain, dia takut jika perasaannya mulai berkembang menjadi sesuatu yang lebih.
Zoe
Ini aneh. Kenapa aku jadi mikirin dia terus? Apakah dia juga ngerasain hal yang sama? Tapi nggak mungkin, kan? Dia kan dosen, aku cuma mahasiswa…
Zoe mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Namun, meskipun mereka berdua berusaha menjaga jarak, keduanya mulai saling memberi perhatian lebih. Aidan, dengan cara yang tidak terlalu terlihat, memperhatikan perkembangan Zoe di kelas, sementara Zoe, dengan cara yang agak lucu dan ceroboh, tetap berusaha untuk menunjukkan usaha terbaiknya.
Namun, keduanya masih belum berani mengungkapkan perasaan mereka yang semakin dalam. Masing-masing takut bahwa hubungan mereka akan berubah jika perasaan itu diungkapkan. Mereka memilih untuk tetap diam, meskipun di dalam hati mereka tahu bahwa sesuatu lebih dari sekadar hubungan dosen dan mahasiswa mulai berkembang di antara mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!