...~Happy Reading~...
"Happy birthday to you,"
"Happy birthday to you,"
"Happy birthday, happy birthday, happy birthday to you!"
"Yeeee!! tiup lilin sekarang!"
Mikhayla Nolan, atau Mikha, baru saja berusia 17 tahun. Sebagai gadis yang ceria dan penuh semangat, ulang tahunnya tahun ini dirayakan dengan penuh tawa bersama sahabat-sahabat terdekat di sebuah restoran legendaris.
"Selamat tambah umur!" pekik seorang gadis bernama Alina, sahabat Mikha, "Semoga tambah dewasa, tambah berkurang nyebelin nya dan tentu saja, cepet dapet pacar!"
"Aminnn!" saut salah satu teman Mikha lain yang bernama Mawar.
"Kayaknya doa kalian gak ikhlas banget ya!" cibir Mikha berdecak, membuat kedua sahabat nya terkekeh.
"Tapi serius Mikha, doa kita tulus kok. iya gak Lin?" kata Mawar yang langsung di balas anggukan kepala oleh gadis tersebut.
"Dah lah ayo buruan makan kue nya, gue laper nih!"
Akhirnya ketiga gadis berstatus jomblo itu menikmati waktu mereka bersama. Hingga ketika acara selesai, Mikha berniat pulang lebih awal karena keesokan harinya ada ulangan di sekolah.
Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara tinggi penuh emosi. Ia melihat sosok kakak angkatnya, Calvin, berdiri di tengah tempat parkir bersama seorang gadis. Mikha mengenali gadis itu sebagai Flora, pacar kakaknya. ah ralat maksudnya calon istri.
Benar, beberapa hari lagi kakaknya itu akan seger menikah dengan Flora. Gadis yang sudah di pacari oleh Calvin selama tiga tahun dan tentunya gadis yang sangat di cintai.
Tapi, Mikha penasaran mengapa keduanya bertengkar di parkiran? apakah ada sesuatu? pikirnya. Dari jarak aman, Mikha memicingkan matanya dan menguping percakapan mereka.
"Baiklah, kita batalkan saja kalau begitu!" ucap Calvin, suaranya terdengar datar, hampir seperti menahan marah.
Mikha melihat Flora menangis tersedu-sedu. "Maafin aku, Cal. Sungguh aku bingung..."
Calvin menghela napas panjang, tangannya mengepal di samping tubuhnya. "Aku kecewa sama kamu, tapi aku juga gak mau semakin menyesal nantinya."
"Maafin aku... hiks hiks," suara Flora terdengar patah-patah di antara tangisnya.
"Pergilah!" ucap Calvin tegas, tanpa emosi, membuat Flora langsung berlari meninggalkan tempat parkir tanpa menoleh.
Mikha merasa ada yang janggal. Meski Calvin sering terlihat dingin, ia tahu kakaknya sangat mencintai Flora. Rasa penasaran Mikha mengalahkan sopan santunnya, dan ia segera keluar dari tempat persembunyiannya.
"Kak Flora kenapa?" tanyanya tanpa basa-basi.
Calvin yang baru sadar keberadaan Mikha terlonjak kaget. "Mikha, ngapain kamu di sini?"
Mikha menyengir. "Hehehe, tadi gak sengaja denger. Maaf, sih..."
Calvin memijat pelipisnya, berusaha mengatur emosinya. "Ayo pulang," katanya singkat, lalu berjalan menuju mobil tanpa menunggu Mikha.
Tapi Mikha tidak menyerah. "Dih, Mikha nanya. Kakak kenapa sama Kak Flora? Kalian berantem, ya? Kok kakak gak kejar dia sih? Kok kakak gak—"
"Diam, Mikha!" potong Calvin dengan suara tajam, membuat Mikha berhenti bicara.
Mikha mengerucutkan bibir, merasa kesal. "Ckckck pelit!" gumamnya sambil mengikuti Calvin ke mobil.
Selama perjalanan pulang, suasana di antara mereka terasa canggung. Mikha yang biasanya cerewet kali ini memilih diam, meski sesekali mencuri pandang ke arah kakaknya. Wajah Calvin terlihat gelap, rahangnya mengeras, menandakan ia masih marah.
Mikha akhirnya tidak tahan. "Kak, serius, Kak Flora kenapa? Kalau Mikha tahu, kan Mikha bisa bantu kasih solusi."
Calvin mendesah panjang. "Ini bukan urusan kamu, Mikha."
"Tapi—"
"Udah, diam aja. Kakak gak mau ngomongin ini."
Mikha mendengus, merasa sebal karena Calvin selalu menutup diri. Tapi ia tahu kakaknya seperti itu pribadi yang lebih suka memendam masalah daripada membicarakannya.
Namun, rasa penasaran Mikha justru semakin besar. Apa yang sebenarnya terjadi antara Calvin dan Flora? Apa alasan Calvin menyuruh Flora pergi? Dan kenapa Flora terlihat begitu sedih?
Di balik semua itu, Mikha merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Ia memutuskan dalam hati, ia akan mencari tahu sendiri.
Larangan ada untuk di langgar. dan semakin Mikha di larang, maka rasa penasaran gadis itu akan semakin besar.
'Oh, mungkin ini yang di namakan ujian sebelum menikah!' gumam Mikha dalam hati.
🍁🍁🍁
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, Mikha akhirnya tiba di rumahnya. Malam itu udara sejuk, tetapi pikirannya masih penuh dengan pertanyaan tentang Calvin dan Flora. Namun, rasa penasarannya harus ia tahan karena saat ini rumah adalah tempat istirahatnya.
"Assalamu'alaikum, Yuhuuu anak cantik Mami pulang nih!" teriak Mikha sambil melemparkan tasnya ke sofa di ruang tamu.
Belum sempat ia menikmati momen itu, suara sinis langsung terdengar dari arah tangga.
"Kakak berisik!" cetus Keynan, adiknya yang baru berusia dua belas tahun, sambil mendengus. Anak laki-laki itu berdiri dengan tangan disilangkan di dada, wajahnya penuh protes.
"Walaikumsalam kek, bukan malah begini! Dasar tuyul!" balas Mikha sambil memutar bola matanya.
"Bodo amat!" Keynan menjulurkan lidahnya. "Tuh, Mami sama Papi nungguin di ruang makan!"
Mikha terkejut. "Papi udah pulang?"
Keynan mendengus lagi, kali ini lebih dramatis. "Kalau belum pulang, gak mungkin nyariin, Kak!"
Mikha menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Sejak kecil, hubungan Mikha dan Keynan tidak pernah mulus. Mereka seperti kucing dan anjing yang terus saja bertengkar, bahkan untuk hal-hal kecil. Tapi Mikha tahu, sebagai kakak, ia harus mengalah. Walaupun pada akhirnya memang lebih banyak Keynan lah yang mengalah di banding Mikha sendiri.
“Dasar anak tuyul sok tahu,” gumam Mikha sambil berjalan ke arah ruang makan.
...~To be continue......
Holaaa setelah sekian lama akhirnya Mommy nulis lagi disini.🙈 Ada yang kangen gak sih?
gak ada ya? ya udah kalau gak ada 🙈🤣🤣🤣 Mommy hanya ingin lihat dulu bagaimana disini, apakah masih ramai atau tidak. kalau ternyata sudah sepi, maka naskah ini akan Mommy pindah ke sebelah.
Mommy test pasar dulu ceritanya 🙈🙈🙈
...~Happy Reading~...
"Papiiiii" Mikha, yang baru saja pulang dari perayaan ulang tahunnya, langsung menghambur ke arah ayahnya, Edward, yang baru pulang dari perjalanan bisnisnya di Italia. Dengan penuh antusias, Mikha memeluk ayahnya erat-erat.
"Selamat ulang tahun, Sayang! Maaf ya Papi baru pulang, cup!" ucap Edward sambil mengecup kening putrinya dengan lembut.
Mikha tersenyum lebar. "Kadonya mana?" tanya Mikha, langsung mengingatkan ayahnya dengan canda.
Mikha memang tidak pernah mau melewatkan kesempatan untuk menagih hadiah, terlebih di hari spesialnya.
"Mikha, duduk dulu, makan dulu. Masa langsung nagih kado begitu!" Faiza, ibu Mikha, menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat kelakuan putrinya.
"Kan Mikha udah makan, Mi tadi. Makanya mana kadonya, Mami juga belum kasih Mikha kado loh!" Mikha menambahkan dengan ekspresi manja nya.
Edward dan Faiza saling bertukar pandang, lalu menghela napas berat. Mikha memang selalu begitu enerjik dan penuh semangat, tak pernah kehilangan kesempatan untuk membuat orang tuanya tersenyum.
(Mirip siapa?)
Di hari ulang tahun Mikha yang ke-17, gadis itu sudah pergi sejak pagi tadi, jam tujuh pagi, dan baru pulang sekarang, sekitar jam sembilan malam.
Edward tahu, ini bukanlah hari yang mudah untuk Mikha. Walaupun ia baru pulang dari Italia dan tak bisa merayakan ulang tahun Mikha di waktu yang tepat, ia sudah berusaha meminta maaf dan memberikan ucapan langsung dari hatinya.
Namun, Mikha tetap tak bisa menahan rasa kecewa karena kehadiran ayahnya yang terlambat.
"Assalamu'alaikum," suara Calvin, kakak Mikha, tiba-tiba terdengar saat ia masuk ke ruang makan bersama adik bungsunya, Keynan.
"Walaikumsalam," jawab Edward dan Faiza lembut, tersenyum sambil melambaikan tangan. "Kamu sudah makan, Nak?" tanya Edward, perhatian.
"Sudah, Mi. Calvin langsung istirahat aja ya," jawab Calvin singkat, melirik Mikha yang masih sibuk menunggu kado dari orang tuanya.
Kedua orang tuanya hanya menganggukkan kepala, lalu melanjutkan percakapan mereka. Namun, begitu Calvin pergi, Mikha segera duduk kembali di meja makan, menatap kedua orang tuanya dengan serius, seakan ingin menyampaikan sesuatu yang penting.
"Mami, Papi, tahu nggak?" tanya Mikha dengan nada berbisik, meskipun suasana di meja makan tidak terlalu ramai.
"Enggak!" jawab Edward dan Faiza kompak, terkejut karena Mikha terlihat sangat serius.
"Ihhh, Mikha belum selesai ngomong!" Mikha mencubit pipi ayahnya, agak kesal.
"Apaan sih, Mikha?" Faiza bertanya sambil menyimak, matanya sedikit menyipit karena penasaran.
"Tadi... kak Calvin berantem sama kak Flora," Mikha akhirnya membuka cerita, suaranya lebih pelan karena ia tidak ingin membicarakan masalah ini terlalu keras.
Seketika, Edward dan Faiza langsung menatap putrinya dengan ekspresi bingung. "Berantem?" tanya Edward ragu.
Mikha mengangguk pelan, kemudian melanjutkan, "Terus kak Flora nangis dan pergi. Tapi kak Calvin nggak ngejar kak Flora."
Mendengar ini, kedua orang tua Mikha hanya terdiam, saling menatap satu sama lain dengan wajah cemas. Tidak ada yang bisa mereka katakan pada saat itu, dan Mikha bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba mengisi ruang makan.
"Kenapa Kak Calvin nggak ngejar?" mami Faiz bertanya lagi, kali ini dengan nada bingung.
Ia tahu, hubungan antara Calvin dan Flora tidak pernah sebaik dulu, tapi ia tidak pernah membayangkan bahwa mereka bisa berantem di depan umum seperti itu.
Edward menepuk-nepuk meja dengan berat. "Mikha, kamu yakin yang kamu lihat tadi itu benar? Kak Calvin benar-benar tidak mengejar Flora?"
Mikha mengangguk cepat, "Iya, Pi. Kak Flora langsung pergi, dan kak Calvin cuma ngeliatin aja."
Faiza menghela napas pelan, menatap Mikha dengan serius. "Kalian berdua memang selalu tahu cara membuat kami khawatir."
Edward mengusap wajahnya, tampak berpikir keras. "Tapi kenapa, ya? Kenapa kak Calvin tidak mengejar Flora? Biasanya, dia akan melakukan segalanya untuk menjaga hubungan mereka."
Mikha hanya bisa menggelengkan kepala. "Mikha juga nggak tahu, Pa. Tadi aku cuma ngeliat dari jauh, dan rasanya... ada yang nggak beres."
Suasana menjadi semakin canggung. Faiza menatap Edward, seolah ingin menanyakan pendapatnya. "Apa kita harus bicarakan ini dengan Calvin?"
Edward menghela napas panjang. "Mungkin kita perlu bicara. Tapi bukan sekarang, Sayang"
"Ya sudah, nanti kita bicarakan lagi setelah semuanya lebih tenang. Sekarang, Mikha, kamu mandi dan istirahat." ucap Faiz.
"Kadonya mana?" lagi dan lagi Mikha masih. menagih hak nya.
"Astaghfirullah, kamu masuk kamar kamu dulu, baru tanya!" ucap Faiza yang sudah mulai kehabisan kesabaran.
"Oh berarti udah di kamar! oke deh, makasih Papi, Mami. anak cantik nya masuk kamar dulu, good night, love you cup cup," pamit gadis itu mengecup pipi kedua orang tua nya bergantian lalu segera berlari menaiki tangga menuju kamar.
'Astaga, ini anak siapa sih!" keluh Faiza dalam hati sambil memijit pelipisnya.
...~To be continue......
...~Happy Reading~...
Pagi itu, matahari baru saja naik ketika Edward memanggil Calvin ke ruang kerjanya. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar deru nafas ayah dan anak yang duduk berhadapan. Edward memulai pembicaraan dengan nada serius.
"Ada apa, Pi?" tanya Calvin, mencoba membaca ekspresi ayahnya yang terlihat tegang.
Edward meletakkan tangan di meja, menatap putranya dalam-dalam. "Pernikahan kamu tinggal menghitung hari, Calvin. Bagaimana persiapannya?"
Calvin terdiam sesaat. Keraguan tergambar jelas di wajahnya. Ia tahu pertanyaan itu sederhana, tapi jawabannya tidak.
"Calvin... ada sesuatu?" Edward mendesaknya lagi.
"Papi..." Calvin memulai, suaranya bergetar.
"Ada apa?" Edward mengangkat alis, menunggu penjelasan.
"Pernikahan itu—" Calvin berhenti, ragu-ragu.
Edward mencondongkan tubuhnya. "Semuanya baik-baik saja, kan?"
Calvin menarik napas panjang, mencoba mencari kekuatan untuk mengucapkan kata-kata yang berat itu. "Calvin ingin membatalkan pernikahan ini."
Edward menegakkan tubuhnya, matanya melebar. "Jangan bercanda, Calvin!"
"Calvin serius, Pi."
Ruang kerja itu mendadak terasa jauh lebih kecil. Edward menatap anaknya, mencari tanda bahwa ini hanyalah lelucon yang buruk. Tapi ekspresi Calvin tidak berubah.
"Tapi kenapa? Undangan sudah disebar, semua sudah disiapkan. Tinggal beberapa hari lagi!" Edward mencoba menenangkan dirinya.
"Maafkan Calvin, Pi. Tapi Calvin benar-benar tidak bisa melanjutkan pernikahan ini."
Edward memijat pelipisnya, merasa kepalanya mulai berdenyut. "Bawa Flora ke sini. Biar Papi bicara dengannya."
"Dia tidak akan datang, Pi," jawab Calvin dengan suara pelan.
"Kalian ada masalah apa sih?" Edward menekan, nadanya mulai penuh emosi.
Calvin menundukkan kepala, menggenggam tangannya erat-erat di pangkuannya. "Pi, tolong restui keputusan Calvin. Pernikahan ini tidak bisa dilanjutkan lagi."
"Iya, tapi kenapa? Kasih Papi alasan yang jelas!" Edward kini berdiri, menatap Calvin dengan tatapan tajam.
Calvin menarik napas lagi, berusaha keras menahan emosinya. Pada akhirnya, ia mengucapkan kebenaran yang selama ini ia simpan. "Karena dia sudah hamil!"
Edward terkejut. Matanya membesar, tubuhnya yang semula duduk di kursi kini bangkit berdiri. "Kamu menghamili dia?! Calvin, apa yang kamu lakukan?!"
"Calvin tidak pernah menyentuh Flora, Pi!"
Edward terdiam sejenak, lalu menatap anaknya dengan penuh kebingungan. "Kalau kamu tidak pernah, kenapa dia bisa hamil?"
"Justru itu, makanya Calvin mau membatalkan pernikahan ini," jawab Calvin dengan tegas, meski suaranya sedikit bergetar.
Keheningan melingkupi ruangan itu. Edward akhirnya mengerti alasan utama di balik keputusan mendadak ini. Flora, calon menantu yang selama ini ia pikir sempurna, telah berselingkuh. Bukan hanya berselingkuh, tetapi sampai hamil di luar nikah.
"Astaga," gumam Edward, merasa tubuhnya kehilangan kekuatan. Ia kembali duduk, meletakkan wajahnya di tangannya.
"Kenapa kamu tidak bilang dari awal, Calvin?" Edward bertanya dengan suara berat, mencoba menenangkan emosinya.
"Aku tidak ingin membuat masalah semakin rumit, Pi. Aku berpikir kalau aku bisa menyelesaikannya sendiri. Tapi... semakin lama, aku sadar aku tidak bisa pura-pura tidak tahu," Calvin menjelaskan, suaranya dipenuhi keputusasaan.
Edward memandang putranya, merasa campuran antara marah, kecewa, dan kasihan. "Lalu, apa rencanamu sekarang?"
"Calvin akan bicara dengan semua pihak yang terlibat. Tapi aku mohon, Pi, jangan paksa aku untuk melanjutkan pernikahan ini," Calvin memohon dengan tulus.
Edward menghela napas panjang. Keputusan Calvin jelas membawa dampak besar tidak hanya untuk keluarga mereka, tetapi juga untuk keluarga Flora. Namun, sebagai ayah, Edward tidak bisa memaksa anaknya menjalani sesuatu yang jelas akan merusak hidupnya.
"Baiklah, Calvin," ucap Edward akhirnya, meski dengan berat hati. "Tapi pastikan kamu siap menghadapi semua konsekuensinya. Ini bukan keputusan yang mudah."
Calvin mengangguk, merasa sedikit lega. "Terima kasih, Pi."
Namun, Edward menatapnya lagi dengan tatapan serius. "Tapi kamu harus jujur pada semua orang. Tidak ada kebohongan, tidak ada yang disembunyikan. Kita harus hadapi ini bersama."
Calvin kembali mengangguk, merasa mendapat kekuatan dari dukungan ayahnya. Ia tahu jalan yang akan ia tempuh tidak akan mudah, tapi setidaknya ia tidak akan menjalaninya sendirian.
"Baiklah, sekarang kita keluar! mami kamu sudah siapin sarapan! jangan pula buat adik kamu ngereog pagi pagi!" ucap Edward segera mengajak Calvin keluar.
🍁🍁🍁
Mikha, dengan pakaian yang sudah rapi, melangkah menuruni tangga dengan wajah ceria. Suaranya terdengar ceria sambil mendendangkan lagu favoritnya. Begitu sampai di meja makan, ia menyapa semua orang dengan nada khasnya yang mengundang perhatian.
"Selamat pagi semuanya, Mami, Papi, Kakak, dan anak tuyul!"
Keynan, adiknya yang berusia dua belas tahun, langsung mendengus kesal. "Kakakkkk!" serunya sambil menepis tangan Mikha yang baru saja mengusap kepalanya.
"Apa sih, anak tuyul? Sensitif banget masih pagi juga. Cup!" Mikha menjawab santai, lalu tanpa malu-malu mencium pipi adiknya.
"Kak Mikhaaaaa!" jerit Keynan semakin keras, wajahnya memerah karena malu sekaligus marah.
Dari dulu, Mikha memang terkenal sebagai kakak yang usil. Baginya, melihat Keynan kesal adalah hiburan tersendiri.
Mami Faiz yang duduk di ujung meja hanya bisa menggelengkan kepala sambil menghela napas berat. "Astaga, Mikha. Bisa gak sehari aja jangan ganggu adikmu?"
"Bisa kok, Mi," jawab Mikha sambil terkekeh. "Tapi nanti kalau Mikha udah nikah dan pergi dari rumah ini, jadi gak akan bisa gangguin Keynan lagi. Hihihi!"
"Kalau gitu cepetan nikah dan pergi!," sahut Keynan dengan suara kecil, namun cukup terdengar oleh semua orang di meja makan.
"Key... " tegur mami Faiza menggelengkan kepalanya.
"Mikha, cepat habiskan sarapanmu," ucap Papi Edward dengan nada tegas.
"Oh iya, Papi. Pagi ini Mikha bawa motor ya?" tanya Mikha sambil menyendok nasi goreng ke piringnya.
"Gak boleh!" jawab Edward tegas. Tapi yang mengejutkan, Calvin, kakaknya yang lebih tua, juga ikut menyahut dengan nada yang sama.
"Iks, Kakak, kenapa ikut-ikutan sih!" Mikha memprotes sambil memanyunkan bibirnya.
"Kamu belum terlalu bisa bawa motor, apalagi ini pagi jamnya macet. Bahaya," jawab Calvin sambil menyesap kopinya.
"Justru karena jam macet, Kak, makanya Mikha mau bawa motor biar bisa cepat sampai sekolah!" balas Mikha dengan nada berargumen.
"Tetap saja bahaya," potong Calvin dengan nada tenang tapi tegas.
Mikha mendesah keras, merasa percuma berdebat dengan kakaknya. "Kakak nyebelin," gumamnya pelan.
Edward, yang sudah selesai dengan korannya, menatap putrinya dengan serius. "Mikha, hari ini kamu berangkat sama Kak Calvin. Papi akan bawa mobil kamu."
"Loh, kok gitu, Pi? Mobil papi ke mana?" Mikha bertanya dengan nada tak terima.
"Mami mau pakai mobilnya untuk arisan," jawab Edward santai.
"Dihhh, arisan!" Mikha menggerutu pelan, "Nah justru karena mami arisan gitu, apa gak sebaiknya emang Mikha bawa motor aja. bair—"
"Enggak Mikha, sekali enggak tetap enggak!" jawab Calvin langsung memberikan tatapan tajam pada adiknya.
Mami Faiz, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Sudah, no protes! Itu juga masih mobil Papi kamu. Lagian cuma hari ini aja, Mikha. Besok kamu bawa mobil sendiri lagi."
Mikha akhirnya menyerah. Ia tahu, jika Maminya sudah bicara seperti itu, tidak ada gunanya membantah. Ia melanjutkan sarapannya sambil mengomel pelan, meskipun sebagian besar keluarganya hanya tersenyum melihat tingkahnya.
Calvin berdiri dan mengambil kunci mobil dari meja. "Ayo, Mikha, berangkat sekarang. Jangan sampai telat."
Dengan enggan, Mikha mengikuti kakaknya keluar rumah. Tapi sebelum pergi, ia sempat mengacak rambut Keynan sekali lagi. "Dadah, anak tuyul!"
"Kakakkkk!" teriak Keynan, tapi Mikha sudah berlari keluar rumah sambil tertawa.
Seperti biasa, pagi di rumah keluarga Edward selalu dimulai dengan keributan kecil yang menghidupkan suasana. Dan Mikha, dengan segala keusilannya, selalu menjadi pusat perhatian.
...~To be continue......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!