Kevin mengumpan pancingnya seperti biasa, berteduh di bawah rindangnya pohon keberuntungan. Di mana ia sering mendapat banyak strike hingga mampu membawa pulang 3kg ikan sungai.
"Aku lapar"
"Itu bagianku"
"Enak sekali kan berteduh di situ"
"Segar bukan"
Kevin mendengar banyak suara yang begitu lirih di gendang telinganya, sangat pelan namun tetap saja ia mendengar seperti bisikan. Pemuda 20 tahun itu menoleh ke sekitarnya, namun hanya ada ia sendiri di sana.
"Ini, tak mungkin siang hari muncul hantu kan?", gumam Kevin, mengusap tengkuknya yang tiba-tiba bergidik.
"Perasaan, kemarin ngga ada apa-apa deh", lirih Kevin, mengabaikan suara-suara itu dan fokus menarik joran pancing, karena umpannya telah dimakan.
"Strike! ", pekik Kevin seraya terus menggulung senarnya.
"Ah, sakit"
"Hm, siapa yang mengeluh?", gumam Kevin saat menangkap ikan yang tersangkut di mata kailnya. Pemuda itu pun melihat ke arah ikan di tangannya, lantas meletakkan ikan itu ke dalam jaring ikan hasil tangkapan yang ia tenggelamkan sebagian di dalam air.
"Alhamdulillah"
"Woi! Siapa woi!", pekik Kevin, tak tahan lagi dengan suara-suara di telinganya.
"Keluar kalian! Jangan sembunyi dan menakutiku!", pekik Kevin. Namun tak ada siapapun yang menyahut seruannya.
Beberapa orang yang mendengar seruan Kevin dari jauh, malah mengira pemuda ini ODGJ. Karena tampilannya yang kumal dan kulitnya yang kusam.
Kevin Zeivin, putra dari seorang pria kaya yang menghamili pembantunya. Ia dibuang di depan panti asuhan dengan kalung bertulis namanya, juga uang senilai 400 juta sebagai biaya sementara.
Sejak kecil Kevin sudah dididik untuk memiliki skil bertahan hidup seperti dasar memasak, menjahit, berkebun, dan berdagang. Namun pemuda ini begitu keras kepala dan memilih hobinya, memancing di sungai dan menjual sebagian jika hasilnya melimpah, sisanya ia makan. Sehari-hari ia tinggal di rumah pohon buatannya di pinggir makam kampung.
Kemarin ia menemukan sebuah cincin kusam di dalam perut ikan lele yang cukup besar. Karena merasa cukup bagus sebagai aksesoris, ia pun mengenakannya di jari manis. Sejak saat itu, ia mulai mendengar lirih suara-suara yang belum ia ketahui asalnya.
"Duh, kalau begini terus, aku bisa saja mengalami gangguan jiwa. Mancing pun tak tenang sekarang", keluh Kevin, mencoba melempar umpannya lagi. Meski terganggu, tangkapan hari ini sudah sekira 2 kilo. Tentu ia akan terus menangkap setidaknya 5 kilo agar bisa menjual sebagian ke pedagang ikan langganannya.
Saat itu, awan mendung pun tiba. Kevin tidak peduli dengan cuaca. Asalkan tidak ekstrim, ia akan terjang demi hobi yang berulang kali cuan baginya.
"Vin!", sapa Hendra, orang yang biasa iseng mencuri ikannya.
"Ngapain kamu? Mancing sendiri sana! Sungai ini panjang dan lebar, jangan ganggu aku!", usir Kevin saat Hendra baru saja duduk di sampingnya.
"Beuh! Galak amat kau Vin. Belum sarapan ya? Tuh hidungmu kembang kempis kayak kurang tenaga", ledek Hendra.
"Sialan kau Ndra! Pergi sana!", Kevin kembali mengusir Hendra dengan mengacungkan telunjuknya ke arah kanan agar dia menjauhinya.
"Sabar lah Vin. Sudah miskin, muka pas pasan, gampang naik darah pula. Nanti mati muda baru tahu rasa", ujar Hendra.
"Ck! Itu karena kau suka maling ikanku Ndra! Cepat pergi sana!", usir Kevin.
"Makanya, bagi lah rezekimu, satu saja untukku", Hendra pun mengatakan keinginannya.
"Tuh kan!", Kevin jelas tidak suka karena Hendra begitu pelit dan perhitungan, namun saat meminta seakan dirinya adalah orang paling miskin di dunia. Apalagi jika tidak diberi, ia akan mencuri meski hanya satu saja.
"Ambil lah satu. Ingat, satu!", Kevin tidak ingin menambah masalah, karena telinganya masih diganggu suara-suara yang tak ia ketahui asalnya.
"Nah, gitu dari tadi kek, kan cakep", ucap Hendra, lantas mengambil ikan paling besar dari tangkapan Kevin.
"Tuh, ngga tahu diri kan? Udah minta, milih lagi yang paling gede", hardik Kevin.
"Udah lah Vin, kau kan orang paling dermawan di dunia. Jadi, tak apa lah membantu orang ini yang tak punya apa-apa", sahut Hendra tanpa rasa malu, menenteng ikan mujaer dengan memasukkan dua jarinya ke insang ikan seberat 600 gram itu.
"Ah, sakit"
Kevin mendengar suara yang berasal dari ikan di tangan Hendra. Berulang kali ia menajamkan pendengaran, suara lirih itu memang berasal dari si ikan.
"Apa aku sudah gila?", batin Kevin.
"Terimakasih dermawanku. Kalau butuh bantuan, panggil saja aku. Kita kan nggak punya kontak atau ponsel, jadi berdoa saja. Semoga Tuhan mengabariku", kelakar Hendra lantas tertawa.
"Pergi cepat!", usir Kevin, tak peduli dengan ucapan Hendra yang segera melangkah bahagia membawa ikan sebesar itu di tangannya.
"Sejak kapan aku jadi gila, bisa dengar suara ikan", gumam Kevin. Ia sebenarnya tidak mendengar suara ikan seperti suara manusia. Namun entah bagaimana, otaknya bisa menerjemahkan suara sepelan dan seaneh itu menjadi bahasa manusia yang seolah digemakan ke gendang telinganya.
Seharian memancing, Kevin berhasil mendapat 10 kg ikan. Dua ia konsumsi sendiri, sisanya ia jual dan memperoleh uang 125 ribu.
"Lumayan lah. Bisa buat beli jaring yang lebih besar, joran, dan sambel", ucap Kevin. Tampilannya seperti gelandangan juga wajahnya yang pas pasan, membuatnya dijauhi banyak orang.
Kevin tak bergeming karena memang sudah biasa. Sore itu ia mandi di tepi sungai, berusaha mengabaikan semua suara-suara yang bergema di telinganya.
Malam itu, Kevin tengah berbaring di dahan pohon yang ia tambahkan papan seadanya dan dipasak dengan pasak kayu.
"Sebenarnya, kenapa Tuhan menciptakan manusia tanpa daya sepertiku? Aku merasa tidak ada bedanya dengan tikus got yang mencari makan, dihina, dan mudah ditindas siapa saja", gumam Kevin.
Kevin terus berpikir namun tidak menemukan jawaban apapun di benaknya. Samar-samar ia melihat gemerlap bintang jarang-jarang, nampak di sela dedaunan yang bergoyang tertiup angin malam.
"Mereka sama denganku, ada sebagai pajangan saja. Untuk apa sebenarnya aku hidup dan berjuang hanya demi makan. Toh akhirnya mati juga tanpa tahu tujuannya. Begitu juga denganmu saat tiba ajalmu kan bintang?", gumam Kevin yang pernah mendengar teori ledakan bintang saat kehabisan energinya di kala ia sekolah dulu.
Puas memandang bintang ditemani suara hewan malam dalam kesunyian khas sekitar makam, Kevin pun terlelap tidur. Ia bermimpi didatangi seberkas cahaya namun bisa berbicara. Anehnya, cahaya itu tidak menyilaukan saat dipandang, namun juga tak mampu ia melihat bentuk sebenarnya dari sosok cahaya di hadapannya.
"Kutitipkan cincin ini kepadamu. Berbuat lah kebaikan. Tingkatkan kemampuanmu sampai bisa menguasai kerajaan hewan, tumbuhan, dan angin"
Sosok cahaya itu pun melesat ke dahi Kevin hingga pemuda itu merasakan nyeri.
"Aagh!", pekik Kevin di malam sunyi, berteman suara burung hantu di dekat pemakaman umum. Semua ingatan terkait kemampuan berbicara dengan hewan, tumbuhan, dan udara, juga pengedalian mereka, tertanam dalam benaknya.
Pemuda itu terbangun dengan dahi bercucuran keringat dingin. Ia menyentuh dahinya yang serasa berlubang.
"Hufh, ternyata cuma mimpi", gumam Kevin setelah memastikan, tidak ada darah atau lubang di dahinya.
Ia melihat cincin yang sebelumnya ada di jari manisnya, kini menghilang entah ke mana.
"Aneh!", batin Kevin, masih belum percaya dengan apa yang ia lihat dalam mimpi, juga hilangnya cincin itu dengan tiba-tiba.
Keesokan pagi, Kevin kembali mencari umpan berupa cacing tanah dan bersiap memancing lagi. Namun anehnya, ia semakin jelas mendengar suara-suara hewan, bahkan semut yang dipijaknya, juga pohon yang semalam ia gunakan untuk tempat tinggalnya.
"Apa mimpi semalam itu benar?", mau tak mau, Kevin pun semakin penasaran dan mencoba membuktikannya.
Pagi itu, ia memasang umpan di mata kail. Kevin mendengar jelas suara merintih kesakitan, namun tetap mengabaikan.
"Kalau memang mimpi semalam itu benar, maka aku harus pastikan semuanya", benak Kevin.
Pemuda itu mengambil sekor cacing dan mengajaknya bicara. Tidak seperti manusia, Kevin kesulitan memahami dunia cacing yang malah mengatakan lezatnya humus dan deritanya saat terpapar sinar matahari.
"Apa kamu tahu apa yang kukatakan?", Kevin bertanya lagi, menguji kebenaran mimpi itu. Kevin mendengar sesuatu yang sangat pelan namun bisa ia dengar seakan ada sensor pelantang di telinga yang bekerja tepat sasaran.
"Aneh, mereka bisa mengerti ucapanku? Tapi bahasa mereka", gumam Kevin.
"Vin! Aduh Vin, Vin. Baru kehilangan satu ikan kemarin, sekarang kau sudah sinting. Jangan lah kau terlalu memuja dunia, itu takkan kau bawa ke alam sana. Sedekahmu itu yang akan membantumu, kawan", tegur Hendra tiba-tiba menepuk pundak Kevin, membuat pemuda itu berjingkat.
"Sialan! Siapa yang gila? Kau yang gila, sudah ambil ikan paling besar, hari ini masih mau narget pula", sahut Kevin, seraya meletakkan kembali cacing tanahnya.
"Hahahaha, mana ada orang gangguan jiwa yang mengakui kondisi kejiwaannya? Itu buktinya, cacing pun diajak bercengkerama", terang Hendra.
"Bego! Ini namanya berbicara dengan diri sendiri. Cacing ini cuma obyek pengganti. Makanya, sekolah biar kenal dunia, Ndra!", Kevin mencoba mencari alasan yang lebih masuk akal.
"Loh, hebat juga ngeles kau. Kukira, kau akan gila. Siapa tahu, semua tangkapan hari ini akan kau berikan padaku secara sukarela", balas Hendra yang memang tidak pernah sekolah kecuali sampai sekolah dasar kelas tiga saja.
"Ck! Pergi sana, jangan ganggu aku!", usir Kevin.
Hendra pun mendengus dan pergi, merasa percuma juga di sini. Karena memang Kevin baru mulai memancing.
"Kalau saja ada tempat mancing yang lain, aku akan pergi jauh daripada dirusuh benalu tak tahu malu itu", gumam Kevin.
Suara di telinganya tidak riuh saat para cacing telah bersembunyi, juga umpan telah dilemparkan. Hanya suara angin yang bertiup dan suara gumam yang malas ia telisik, sayup-sayup terdengar.
"Nah, kalau hening begini, kan nyaman", lirih Kevin, melihat pelampung kailnya tertarik dan muncul berulang. Saat ia menarik joran, kembali ia mendengar suara yang ia yakin berasal dari ikan di ujung kail.
"Aagh!"
Segera, Kevin melepas mata kail dan hendak memasukkan ikan hasil tangkapannya ke dalam jaring seperti biasa.
"Apa mereka hanya mengeluh lantas diam?", gumam Kevin.
"Tentu saja tidak. Kalian para manusia memang boleh memanfaatkan kami. Kamu beruntung sekaligus 'bodoh' karena harus menanggung tugas dan tanggung jawab lebih berat dari pada manusia lainnya", ucap ikan yang nampak hanya menggerak-gerakkan mulutnya layaknya ikan biasa, namun Kevin jelas memahami ucapannya dan meletakkan ikan itu ke dalam jaring.
Kevin pun termenung. Beberapa saat kemudian, ia hendak melepas cincin di tangannya, namun Kevin baru ingat bahwa cincin itu sudah lenyap sejak mimpi aneh semalam.
"Kalau cincin itu hilang, lalu mimpi semalam artinya benar dong", gumam Kevin, curiga cincin itu masuk ke dalam tubuhnya selayaknya susuk.
"Sial! Aku ngga sudi seperti ini. Keluar!", pekik Kevin, tak ingin sulit mati nantinya jika tubuhnya dimasuki benda astral seperti cincin itu. Namun tidak ada respon atau kejadian apapun. Kevin pun duduk dan merenung, tapi tetap saja ia tidak menemukan solusi.
"Ah, sudah lah. Satu saat, kalau aku menemukan kiyai yang tepat, akan kukatakan masalahku", pikir Kevin, lantas melanjutkan mancingnya.
"Hei, ikan, apa kalian punya nama?", tanya Kevin pada ikan di dalam jaringnya.
"Kami tidak seperti manusia. Kami tidak dimintai pertanggungjawaban seperti kalian"
"Lalu, kalau kalian bisa berpikir, kenapa makan umpanku?", heran Kevin.
"Tuhan lah yang menggerakkan kami dalam berperilaku mengikuti insting, bukan berpikir dengan banyak alasan seperti kalian"
"Apa kamu bisa tunjukkan tempat ikan besar sepertimu?", keserakahan Kevin muncul, jikalau ia bisa menangkap semua ikan besar di sungai ini.
"Tempat ini dan di dekat batu besar di tengah sungai sana"
Kevin mengedarkan pandangan, kira-kira 100 meter, memang ada batu besar yang hanya nampak sedikit di permukaan air. Batu itu akan tenggelam saat debit air sungai tinggi.
"Tapi joranku takkan sampai ke sana. Pantas saja di sana banyak ikan besar, jarang ada yang bisa sampai ke sana kecuali naik sampan", gumam Kevin, mengangguk setuju.
"Eh ikan, apa jumlah kalian lebih banyak di sana daripada di sini?", Kevin masih penasaran.
"Aku tak tahu pastinya. Sepertinya memang lebih banyak"
Kevin ingin sekali menyewa sampan dan memancing di area yang dimaksud. Namun ingatannya tiba-tiba mengarah pada cara memanggil hewan dengan menebar gelombang pada frekuensi tertentu agar terjadi resonansi.
Tidak seperti pencari ikan yang memanfaatkan gelombang ultrasonik untuk mendeteksi gerombolan ikan, Kevin mampu menghasilkan getaran frekuensi unik untuk memanggil spesies ikan tertentu.
Pemuda itu menjulurkan joran, mengalirkan getaran yang dihasilkan lengannya ke air. Pada percobaan pertama, tak ada satu pun efek kecuali ikan kecil yang beriak di sekitar kail. Tentu itu tidak berguna baginya.
"Wah, keren!", seru Kevin, melihat riak dari ikan mujaer yang besar di sekitar kail, bahkan satu ikan segera menyambar umpannya.
"Strike!"
Kevin mendapat banyak ikan dalam waktu singkat hingga jaringnya penuh.
"Yo.. Aku akan segera kaya!", pekik Kevin, sontak menjadi pusat perhatian orang yang lewat di sekitarnya. Tentu saja ia diabaikan dan bahkan dianggap kelainan jiwa.
"Ups!", Kevin menutup mulutnya. Ia bergegas mengangkut hasil tangkapannya ke penjual ikan yang begitu terheran-heran. Pasalnya pemuda kumal ini berhasil meraup 1,5 juta dari hasil penjualan kali ini.
"Kamu bisa dapat banyak, mancing di mana? Jangan bilang nyuri di empang orang", pedagang itu benar-benar penasaran.
"Ck! Ngga penting lah bos. Nanti kuberitahu, malah hilang spot mancingku!", elak Kevin, agar tidak dicurigai. Untung saja alasan itu memang logis, sehingga pedagang ikan itu tidak lagi bertanya.
Segera saja, Kevin membeli pakaian bekas yang masih sangat bagus untuk mengubah penampilannya, sekalian membeli joran pancing yang bagus beserta umpan palsu agar tidak perlu mencari umpan hidup. Ia bahkan membeli ransel dan jaring baru untuk memudahkan hobi cuannya.
"Wah wah wah, si gembel sekarang sudah banyak uang. Lihat pakaian dan joran pancingnya yang bagus. Dapat mangsa curian dari mana kau? Sini, setoran!", dua preman menghadang Kevin yang tengah bahagia, baru saja mendapat keuntungan, kini harus menghadapi preman pasar yang memainkan belati di tangannya.
"Apa sih bang? Gembel pun dipalak! Tuh yang pakai motor dipalak, banyak duitnya", ujar Kevin yang sudah siap lari daripada berkelahi. Mau bagaimana pun, staminanya cukup bagus untuk melarikan diri dibanding para preman yang hobi mabuk itu.
Kedua preman saling pandang, tidak tahu dari mana asal keberanian Kevin sehingga berani berkata seperti itu.
"Wah, cari bobrok nih bocah. Ayo, habisi aja!", preman gondrong gimbal itu pun menyerang Kevin, disusul temannya yang gempal berambut cepak.
Tak ingin mati konyol, Kevin memilih menghindari serangan dan bergegas lari tunggang langgang. Kedua preman itu pun mengejar. Namun Kevin benar-benar paham medan tempuhnya, berlari lincah dan cepat, menghindari para pembeli dan kendaraan yang lalu lalang di area pasar.
"Wah, hebat juga aku", batin Kevin yang tidak menyangka kecepatan dan kelincahan larinya bisa sebaik ini. Kevin belum menyadari bahwa cincin yang melebur ke dalam tubuhnya telah mengubah serat otot, tendon, dan responnya selincah kucing.
"Brengsek! Cepat sekali larinya seperti kancil!", umpat di gondrong yang terengah-engah dan kehilangan jejak Kevin.
"Benar bang. Entah itu kancil atau kucing? Gesit sekali dia", sahut si gempal yang hampir menabrak gerobak yang secara reflek cepat mampu dilompati Kevin.
Mereka berdua pun mencoba menyisir jalan yang mungkin dilewati Kevin. Namun setelah setengah jam mencari, mereka pun menyerah karena tidak menemukan jejak Kevin.
Di tepi sungai, Kevin tengah istirahat dan merebahkan tubuhnya.
"Fiuh, lelah juga main kejar-kejaran sama preman", gumam Kevin. Ia pun duduk lantas mencoba peruntungan. Kali ini ia tidak berada di lokasi favoritnya untuk memancing. Tentu ia ingin menguji kebenaran atas kemampuan barunya yang begitu unik.
Setelah melempar umpan palsu, Kevin menunggu sejenak, lantas mencoba menggunakan kemampuan resonansi untuk memanggil ikan dan ia salurkan hingga ke ujung senar pancing.
"Strike!", pekik Kevin, seraya menarik tangkapannya. Benar saja, itu seekor ikan mujaer besar sekira 7 ons. Tiga kali percobaan, tiga kali ikan yang sama dengan berat berbeda.
"Woah! Keren sangat nih!", gumam Kevin, menyudahi uji cobanya.
"Ya sudah lah. Lebih baik aku jadi pengusaha", batin Kevin.
Ia kembali ke rumah pohonnya, membawa tiga ekor ikan untuk memuaskan rasa laparnya.
"Esok pagi buta aku akan mencoba peruntungannya. Toh di manapun sama saja bagi gembel sepertiku. Tidak mungkin aku lebih miskin daripada sekarang", gumam Kevin lantas terlelap di atas pohon setelah kenyang menyantap ikan bakar sederhana.
Keesokan paginya, Kevin sengaja pergi sekira pukul 7 setelah mandi di sungai. Namun ia merasa ada keanehan pada tubuhnya. Rasanya ia bisa beradaptasi di dalam air. Tepatnya, ia bisa berenang lebih lincah dan mengoptimalkan nafas seperti bebek ekor panjang.
"Ah mungkin perasaanku saja", batin Kevin yang mengingat keanehan itu saat berjalan menapaki jalan mengikuti lekuk tepi sungai. Entah kenapa, dorongan untuk berkelana tiba-tiba menguat setelah mimpi aneh malam itu.
Siang itu, Kevin menyempatkan ke pasar untuk membeli sebilah pisau militer yang lumayan bagus, seharga 700 ribu.
"Sepertinya aku akan butuh ini selama perjalanan", batin Kevin, lantas menyimpan bilah itu ke dalam tas punggungnya.
Baru saja keluar dari pasar, Kevin bertemu preman yang kemarin mengejarnya.
"Sial!", tanpa basa basi, Kevin langsung berlari. Karena ia berbalik ke area padat pengunjung, Kevin sedikit kesulitan menghindar hingga ia tertangkap dan diseret hingga menjauh dari area ramai. Nampak Kevin malah termenung merasakan tubuhnya beradaptasi lagi.
"Nah, ini yang kemarin lolos. Mujur juga nasibmu", ucap si gondrong seraya melayangkan pukulan keras menyasar pusar Kevin.
Anehnya, Kevin reflek memiringkan perutnya dan menyundul keras dagu si gondrong.
"Ugh!", dengus preman itu, merasakan kepalanya pening.
"Kurang ajar!", preman satunya mencoba memukul keras tengkuk Kevin. Namun insting Kevin menuntunnya untuk menghindar, beradaptasi dari kemampuan burung hantu.
Tangan Kevin bergerak cepat mencakar wajah dan leher kedua preman itu hingga robek layaknya diserang harimau. Kevin nampak tercengang sejenak lantas bergegas melarikan diri.
"Sial! Bagaimana bisa aku selalu bertemu kedua preman itu? Juga, bagaimana kukuku bisa setajam itu?", batin Kevin yang meninggalkan kedua preman di tepi parkiran yang untungnya memang lengang sembari sesekali memperhatikan kukunya yang masih sama saja, tidak ada perubahan bentuk. Hanya saja, rasanya memang terasa sedikit tajam.
Di tepi sungai, Kevin kembali memancing. Meski merasa sial, ia masih merasa untung karena semua miliknya masih ada. Baru setengah menit, ia sudah mendapat tiga ikan mujaer besar dan bergegas pergi.
"Hufh, semoga di sini aman", gumam Kevin seraya membuat pengapian untuk membakar ikan tangkapannya. Hanya berbekal sampah kertas dan kardus, Kevin memasak ikan lantas segera memuaskan rasa laparnya di tepi sungai.
"Favorit banget nih ikan memang", batin Kevin, melupakan apa yang baru saja ia alami.
Saat makan itu lah, ia mengingat samar-samar ingatan tentang bagaimana mengadaptasikan kemampuan beberapa hewan untuk membela diri dan menambah skil tertentu yang nampak begitu aneh dan asing.
"Apa ini?", gumam Kevin teringat bagaimana ia tadi dikeroyok dua preman.
Kevin sadar dan tetap memiliki jati dirinya sebagai manusia. Hanya saja tubuh dan mentalnya beradaptasi sesuai kondisinya.
"Wah keren juga. Tapi, apa yang bisa kulakukan dengan angin?", gumam Kevin sembari menikmati ikan mujaer bakarnya. Kevin bahkan menghayal bisa mengendalikan kentutnya untuk meracuni atau setidaknya mengganggu indera penciuman lawan.
"Apa aku bisa terbang seperti mengendarai karpet terbang atau sapu terbang?", batin Kevin.
"Halah, apaan lah. Yang penting sekarang aku kenyang dan secepatnya mencari tempat aman untuk bermalam", gumam Kevin, menepis khayalannya.
Saat ia baru saja menghabiskan satu ekor ikan, seorang gadis kecil dan perempuan paruh baya mendatangi Kevin.
"Apa?", tanya Kevin yang sudah menebak maksud kedatangan mereka. Namun keduanya hanya diam dan memandang dua tusuk ikan mujaer yang menggugah selera.
"Ck! Merepotkan. Ambil lah semua", ujar Kevin yang entah kenapa merasa kasihan seraya menyerahkan dua ikan bakarnya. Sigap, keduanya mengambil ikan itu dan segera menghabiskannya.
"Terima kasih", keduanya mengucap sembari mengunyah daging ikan.
"Ngga usah terburu-buru. Nih, aku cuma sediakan satu botol air mineral", ujar Kevin lantas bergegas pergi setelah menyerahkan sebotol air.
Kevin bergerak santai. Namun samar-samar ia bisa merasakan pergerakan udara di sekitar tubuhnya. Entah kenapa, Kevin merasakan pori-porinya bisa bernafas dan langkahnya terasa lebih ringan. Benar-benar ringan seakan ia bisa menapak udara yang bergerak itu layaknya sensasi mengayuh di dalam air.
"Apa aku halusinasi?", gumam Kevin, memperhatikan pergerakan tubuhnya, benar-benar mirip seperti di air. Jika ia diam, ia menapak tanah secara normal. Namun saat ia bergerak semakin cepat, seolah ia mengayuh udara dan kecepatannya sangat di pengaruhi arah pergerakan udara.
Mata Kevin melebar saat melihat tubuhnya bisa diombang ambing angin namun tidak kehilangan keseimbangan selayaknya di dalam air kolam. Namun jika ia berniat menjejak ke tanah, angin itu hanya meniup tubuhnya seperti sedia kala.
"Wah, keren sekali. Jadi, aku bisa ikut hembusan angin. Tapi, bagaimana caraku mengendalikan angin agar melaju sesuai arah yang kukehendaki?", gumam Kevin, tentu merasa aneh jika harus pakai gaya berenang di udara.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!