NovelToon NovelToon

My Name Is Rose

Saudaraku, Rania

Aku mengayuh sepedaku kuat-kuat. Bukan karena jalan menanjak tapi karena memburu waktu. Ya, aku sedang buru-buru. Saudaraku Rania sedang menungguku di panti. Kami akan membuat kue ulang tahun untuk Bunda Santi, pengasuh kami. Tepung, cream, margarin, fernipan, sudah kubeli semua. Aku bergegas mengayuh sepeda biruku.

Memasuki pintu gerbang panti, kutunjukkan kartu tanda anggota panti. Dengan begitu, penjaga akan memperbolehkan masuk tanpa syarat. Kuparkir sepedaku begitu saja tanpa arah. Segera aku menuju kamarku, dimana aku yakin saudaraku Rania ada di sana. Saat aku meninggalkannya di kamar, dia sedang tidur. Jadi mungkin ia sedang membersihkan kamar. Karena kesepakatannya, yang bangun lebih siang harus merapikan kamar.

"Rania...Ran...Rania...!!" Aku coba memanggilnya. Kamar ini kosong. Kamar juga belum dibereskan. Huh dasar Rania. Mungkin ia sedang mandi. Kucoba mencari ke kamar mandi yang letaknya tak jauh dari kamarku.

"Rania... Ran....kamu di dalam" teriakku.

"Bukan, ini Dewi" sahut yang di dalam.

Kuteruskan mencari ke asrama di blok lain. Yang pertama kulihat adalah sandalnya. Aku ingat betul sandalnya. Tapi tak ada. Kucoba ke blok lain, juga tak ada. Kemana Rania.

"Bunda Santi...." Aku memanggil pengasuhku yang kebetulan lewat di depanku.

"Iya Rose"

"Bunda lihat Rania? Dia berjanji padaku akan membuat kue ul....."

Ups. Kuhentikan kalimatku. Kue itu adalah surprise untuknya mana mungkin kuberitahukan dulu.

"Rania? Dimana ya...?"

Rupanya Bunda Santi juga tidak tahu dimana Rania. Aku kembali ke kamarku. Aku marah. Rania membohongiku. Bagaimana ia bisa lupa janji kami hari ini. Lagipula ia pergi tak pamit duku padaku. Ups, tapi aku tadi pergi juga gak pamit dia. Huft. Kemana kamu Ran.

Sampai di kamar.

"Rania..." Aku melihatnya di kamar.

Dia sudah berpakaian rapi. Ada beberapa tas besar di sampingnya. Rania menatap ke arahku dengan mimik wajah sedikit panik.

"Kamu mau kemana, kenapa tas - tas ini ada di sini?" Tanyaku bingung melihat pemandangan di sekitarnya.

"Rose....aku...aku...mau pergi dengan. Keluarga baruku" Kata Rania terbata-bata.

"Apa?"

"Aku sudah ditunggu Ros, aku...pergi ya" Kata Rania.

"Tunggu....kamu sedang bercanda kan? Kita kan sudah sepakat untuk selalu sama-sama, kok kamu..."

Belum selesai aku berbicara, Bunda Putri datang.

"Rania, ayo cepat" Kata Bunda Putri.

"Aku pamit ya Ros...maaf kalau aku punya salah"

Rani perlahan pergi meninggalkanku. Sesaat aku hanya bisa melongo melihat ini. Sangat sulit kupercaya. Padahal kami sudah berjanji tidak akan menerima adopsi siapapun agar kami selalu bersama. Tapi hari ini, Rania mengkhianati ku.

Aku menyadari akan segera kehilangan Rania saat Bunda Putri membawa Rania keluar dari kamar. Aku hendak mengejarnya tapi kedua pengasuh yang datang bersama Bunda Putri mencegahku. Mereka menahan tubuhku hingga aku tak bisa bergerak.

"Rania..RANIAAAAA!!!!!!!!" Aku berteriak sekencang-kencangnya.

Rania mungkin bisa mendengar suaraku tapi Bunda Putri mencegahnya menoleh ke belakang. Aku membelot hendak melepaskan diri, tapi cepat-cepat dua pengasuh itu menahan tanganku erat-erat.

"Rania..." Suaraku lirih.

Aku sudah lemas, sudah tak mampu melawan. Aku terduduk lemas di depan pintu. Sekonyong-konyong Bunda Santi datang memelukku. Bersamaan dengan itu, dua pengasuh itu pergi meninggalkanku.

"Sabar....sabar..." Begitu ucapan Bunda Santi sambil mengelus punggungku.

Aku hanya mampu menangis di pelukan Bunda Santi. Sejak kecil aku dan Rania paling dekat dengan Bunda Santi. Aku tak menyangka akan berpisah dengan Rania secepat ini. Mereka bahkan tidak memberiku kesempatan untuk melakukan perpisahan kecil untuk membuat kenangan yang indah. Kalaupun mereka memberiku keselek, aku tak akan menyia-nyiakan itu. Aku akan membawa kabur saudaraku Rania.

Rania, bukankah kita sudah berjanji untuk menolak adopsi dari siapapun kecuali mereka mau membawa kita berdua. Kenapa kau mau saja dibawa orang kaya. Kamu sudah tidak menyayangiku? Sudah tak ingin bersamaku? Atau kau sudah jenuh di panti ini? Kenapa tidak ada ucapan terakhirmu sama sekali.

Rania, dengan siapa aku tidur, dengan siapa aku belajar membuat kue, dengan siapa aku mengepel lantai ini, dengan siapa aku mengerjakan tugas sekolah, dengan siapa???

Bunda Santi membaringkanku di kasur. Ia membawakanku secangkir teh panas untuk menenangkanku. Aku masih menangis terisak di atas bantal sampai mataku bengkak dan hidungku berair.

Semalaman aku hanya menangis di kasur. Kuambil boneka hiu pink yang biasa kami perebutkan ketika mau tidur. Para pengasuh bergantian membujukku tapi tak satupun yang menyejukkan hatiku. Mereka semua tahu bagaimana kedekatan kami yang sudah seperti anak kembar. Mereka pun sudah memprediksi jika aku akan ngambek karena Rania diadopsi.

Aku masih kelas 3 SD tapi aku tahu arti persahabatan, persaudaraan dan kekeluargaan. Rania terkadang seperti adikku, terkadang pula seperti kakakku. Rania anak yang pendiam, dia sulit beradaptasi dengan lingkungan baru. Bagaimana ia akan membaur dengan keluarga barunya. Aku mengkhawatirkannya. Tapi juga menginginkannya kembali.

"Rose..."Bunda Santi menemuiku.

Aku menoleh dalam baringku. Hanya Bunda Santi yang selama ini mampu meluluhkanku, juga Rania. Tidak tahu kenapa, mungkin ucapannya mengandung tuah. Anak bandel sepertiku bisa luluh dengan sekali senyum dari Bunda Santi.

"Rose, hari ini Bunda ulang tahun, Bunda ingin merayakannya denganmu malam ini" Kata Bunda Santi.

Aki hampir lupa hari ini ulang tahunnya. Kue yang akan kubuat dengan Rania pun gagal. Aku duduk di tepi ranjang bersama Bunda Santi. Ia membawa kue ulang tahun kecil lengkap dengan lilinnya yang juga kecil.

"Maaf ya Bunda, tadinya aku ingin membuat kue ulang tahun bersama Rania, tapi gak jadi" Kataku pelan.

"Kuenya sudah kubuat ini, bahan yang tadi kamu beli, kujadikan kue ini" Kata Bunda.

Aku tersenyum.

"Happy birthday to you.... happy birthday to you..." Kami menyanyikan lagu ulang tahun bersama disertai tepuk tangan pelan.

Sesaat aku lupa dengan Rania, namun hanya sebentar. Aku teringat kembali dengan Rania. Masih tadi pagi ia dijemput keluarga barunya, tapi aku sudah rindu seberat ini dengannya.

"Kamu tidak kasih kado untuk Bunda?" Tanya Bunda.

Boro-boro kado, kuenya saja gak jadi dibuat, kataku dalam hati.

"Maaf Bunda, aku tidak sempat, Bunda mau kado apa?" Tanyaku seolah aku punya segalanya.

"Bunda mau kado istimewa, tetapi bukan sebuah benda" Jawab Bunda.

"Kado istimewa tapi bukan benda. Mana ada kado semacam itu Bunda?"

Aku berpikir mungkin kado itu adalah seorang suami, karena Bunda belum menikah. Ah, aku malu mengatakannya.

"Bunda mau kamu melihat jauuuuh ke depan. Lihatlah di depan sana Rose, masa depanmu masih panjang. Jika besok ada orang tua yabg mau adopsi kamu, tolong jangan menolak ya" Pinta Bunda.

Permintaan macam apa itu. Bukankah ia tahu aku tidak akan mau diadopsi siapapun kecuali bersama Rania. Itukah kado yang Bunda minta?

"Anakku, jangan menggantungkan masa depanmu pada orang lain, sekalipun itu adalah saudaramu. Rania punya masa depan, kau pun demikian. Jadi jangan menutup dirimu, mungkin dengan diadopsi orang tua asuh, hidupmu akan sukses" Jelas Bunda.

Aku diam mendengarkan dan mencoba memasukkan kalimat-kalimat itu ke dalam pikiranku.

"Lupakanlah Rania, mulailah hidupmu yang baru" Bujuk Bunda.

Kali ini aku tidak sepakat dengan Bunda. Ia memintaku untuk melupakan Rania? Bagaimana mungkin. Rania adalah satu diantara dua kakiku, tanpanya, jalanku akan pincang. Rania adalah satu dari mataku, tanpanya aku akan buta sebelah. Rania adalah separuh jiwaku, tanpanya, hidupku tak bergairah. Rania, sahabatku juga saudaraku.

***

Mencari Rania

"Rosa....Rosaaa..."

Sayup-sayup kudengar suara orang memanggilku. Suara itu tak asing. Aku ingat betul suara itu. Ya, itu suara Rania. Aku hafal betul suara itu.

"Rania....itu kamu? Kamu di mana?"

"Rose..... Rose...." Suara itu menjauh.

Aku berlari kesana-kemari mencari asal suara sambil terus memanggil Rania.

Di sana-sini gelap. Hanya ada sedikit garis cahaya yang menerobos melalui celah-celah genting. Aku tidak tahu dimana sebenarnya ini. Seperti gudang namun sangat luas.

"Rania....!!!!" Panggilku lagi.

Aku menemukan sebuah pintu. Segera ku dekati dna ternyata terkunci. Aku menggedornya berkali-kali namun tak ada yang menolongku. Entah darimana kekuatan itu datang, tiba-tiba saja aku bisa membukanya dengan sekali tendang.

Aku berlari mencari asal suara.

"Rose....!!!!" Suara itu semakin jelas.

Aki terus berlari hingga aku berada di sebuah taman. Dan kulihat Rania di dalam mobil yang sedang melaju kencang.

"Raniaaaa!!!" Aku berteriak sangat kencang.

Rania melambaikan tangan seperti orag yang sedang minta tolong. Dan...

"Rose....Rose...bangun" Suara Bunda Santi.

Aku membuka mataku, dimana Rania, dimana mobil itu. Ah rupanya aku bermimpi.

"Rose, sudah berapa kali Bunda bilang jangan tidur setelah subuh, tidak baik" Kata Bunda sambil membuka jendela kamarku.

Aku bergegas menuju kamar mandi sebelum terlambat. Aku terpikir akan mimpiku. Katanya mimpi di pagi hari hanyalah godaan. Sedang mimpi yang memiliki arti adalah mimpi yang terjadi di sepertiga malam yang akhir. Tapi mimpi itu sangat nyata. Aku benar-benar melihat Rania minta tolong.

Semua anak sudah masuk ke dalam bis yang akan mengantarkan kami ke sekolah. Aku berlari kencang karena menjadi yang paling akhir. Aku tidak mau tertinggal bus. Bunda pengasuh pernah cerita katanya dulu ada anak yang ketinggalan bus karena bangunnya telat. Akhirnya ia harus berjalan kaki ke sekolah dan diculik orang tak dikenal. Hiii....

Aku tahu yang seperti itu hanyalah omong kosong. Hanyalah untuk menakuti kami agar disiplin. Tapi entah kenapa aku takut terlambat padahal aku tahu cerita itu hanyalah bualan semata.

Sepanjang perjalanan aku masih terpikir akan mimpi itu. Rania, mungkinkah ia terpaksa ikut dengan keluarga itu. Yang aku tahu mereka masih tinggal di kota ini. Apakah benar Rania terpaksa. Jika benar maka aku akan menolongnya. Setahuku Rania bukan tipe anak yang suka melawan, tidak seperti aku. Jadi ketika diputuskan ia akan diadopsi, dia ikut saja padahal sudah punya janji denganku.

Sampai di gerbang sekolah. Kami semua turun. Ada 50 anak di bus ini. Semuanya anak SD. Anak SMP dan SMA diantar oleh bus lain. Anak-anak siswa SD Tunas Ceria berbondong-bondong memasuki gerbang sekolah. Aku masih berhenti di pintu gerbang. Aku terpikir sesuatu.

"Pak saya beli penggaris dulu" Kataku pada Satpam yang melihatku berbalik arah.

Pak satpam mengangguk. Aku segera berlari ke arah utara. Namun bukan untuk membeli penggaris seperti yang kubilang. Aku pergi untuk mencari saudaraku Rania. Mula-mula aku ke halte bus untuk mendapatkan angkutan umum.

Tak butuh waktu lama untuk dapat bus. Aku naik ke bus. Aku punya uang meskipun pas-pasan. Aku turun di alun-alun kota. Menurut Bu Santi, keluarga yang mengadopsi Rania tinggal di sekitar alun-alun kota. Aku mulai menyusuri gang demi gang berharap menemukan rumah mewah bertingkat.

"Dek mau kemana dek?" Tanya seoarang laki-laki berperut tambun.

"Saya cari saudara saya Pak, sebentar" Aku mengambil foto Rania dari dalam tasku.

"Ini Pak, Bapak tahu?" Tanyaku penuh harap.

"Oh yang ini oh iya iya ..Bapak mah akrab sama dia" Jawab Bapak itu.

"Oh benarkah Pak?"

"O iya dong, ayuk Bapak antar"

Oh betapa senangnya aku. Aku akan bertemu saudaraku lagi. Ternyata rumahnya bisa kujangkau dengan mudah. Kalau begini aku akan mengunjunginya tiap pulang sekolah.

Bapak itu memboncengku naik motor. Motor melaju ke arah timur. Setelah sepuluh menit, aku merasa kami semakin jauh dari alun-alun kota. Apa memang rumah Rania pindah? Atau Bunda Santi yang sebenarnya membohongiku.

"Pak masih jauh?" Tanyaku

"Bentar lagi dek, bentar lagi nyampek" Jawabnya.

Lalu motor berhenti di pinggir jalan. Tidak ada rumah di sekitar sini. Ini jalanan kosong. Kami turun dari motor. Lalu Bapak itu menelepon seseorang. Aku kok jadi curiga. Sebenarnya Bapak ini tahu rumahnya Rania atau tidak. Atau jangan-jangan...Ya Tuhan aku teringat sesuatu.

Aku berlari menjauhi Bapak itu. Aku tahu dia bukan orang baik. Sialnya aku baru sadar setelah berhenti di jalanan kosong seperti ini. Bapak itu mengejarku setelah tahu aku mencoba kabur. Alu berlari sekencang-kencangnya. Untung saja aku pernah juara lari estafet semasa TK dulu. Akulah yang tercepat larinya diantara kawan-kawanku.

Aku terus berlari. Sial, Bapak itu berlari lebih cepat dariku. Sehingga ia bisa menangkapku. Kedua tangannya mencengkram bahuku lalu membungkam mulutku yang mencoba berteriak.

Bapak itu menyeret tubuhku untuk kembali ke motor. Dia terlalu kuat untuk kulawan dengan tenaga seorang anak SD. Kebetulan lengannya tepat di mukaku, kugigit sekuat-kuatnya. Sampai membekas di kulitnya.

"Aaakkkhhhhh....kurang ajar.....kurang ajar" Keluh Bapak itu.

Segera aku berlari kencang dan lebih kencang lagi. Dan Bapak itu sesaat tak mengejarku karena kesakitan. Aku tak menyia-nyiakan waktu, aku terus berlari. Di depan sana ada toko kecil aki berlari menuju toko itu. Sial, toko itu tutup. Aku berlari lebih kencang lagi setelah kulihat Bapak itu mengejarku lagi.

Aku berlari sampai jari kelingkingku terasa perih. Mungkin lecet. Di depan sana ada warung nasi. Aku berlari menuju warung. Alhamdulillah, Tuhan mendengar doaku. Warung itu buka. Aku segera masuk ke dalam warung. Tentu saja penjualnya kaget dengan kedatanganku yang terengah-engah.

"Tolong Bu, saya....saya....mau diculik Bu" Kataku sambil ngos-ngosan.

Ibu penjual dan orang-orang yang sedang makan terperanjat. Sebagian ada yang keluar mencari orang yang mengejarku, namun tak ditemukan. Ibu penjual warung memberiku air minum. Aku duduk di kursi dari bambu.

"Kok bisa sih dek, kamu gak sekolah?" Tanya Ibu penjual.

"Saya sedang mencari saudara saya Bu, ada Bapak-bapak menawarkan bantuan, saya ikut saja, ternyata saya malah mau diculik" Kataku.

Aku benar-benar takut. Aku mengira cerita dari Bunda Santi hanyalah bualan. Kini aku mengalaminya sendiri.

"Rumah kamu mana?" Tanya salah seornag pembeli.

Aku menyodorkan kartu anggota panti pada mereka. Mereka mengamati kartuku.

"Ini ya lumayan jauh dek" Kata salah seorang.

"Tolong saya Bu, Pak" Pintaku.

Mereka kemudian membawaku ke polsek setempat. Setelah ditanya cukup lama, mereka membawaku pulang ke panti, pada jam sekolah.

Sampai di panti. Sudah kuduga, Bunda Kepala panti memarahiku habis-habisan setelah polisi yang memulangkanku pulang.

"Kamu cari siapa? Ha?? Rania?? Rania sudah bahagia dengan keluarga barunya. Jadi jangan cari dia lagi. Jangan bertindak bodoh dengan ....."

Aku tidak mendengarkan. Bunda kepala Panti berhak memarahiku karena aku memang melanggar peraturan. Tapi aku tak merasa bersalah. Salah sendiri membiarkan Rania dibawa orang lain. Bukankah mereka tahu kami tidak ingin dipisahkan.

Aku tidak mau mendengarkan Bunda Kepala, aku menunduk tali bukan menyesali perbuatanku. Aku menunduk karena sibuk memikirkan cara lain setelah hari ini gagal menemukan Rania. Sungguh aku tidak merasa bersalah.

"Bu Kepala" Suara Bunda Santi.

Aku serasa kedatangan malaikat penolong. Aku tahu Bunda Santi akan menyelamatkanku dari sidang Bunda Kepala ini.

"Ya Bunda Santi, bawa Rosa kembali ke kamar dan pastikan dia mengerti kesalahannya" Perintah Bunda Kepala.

Sampai di kamar.

Bunda Santi melihat jalanku yang sedikit pincang. Ia mendudukkan ku di tepi ranjang dan melepas sepatuku. Aku bisa melihat jari kelingkingku lecet sampai terlihat kulit dalam berwarna pink.

"Sakit?" Tanya Bunda Santi.

"Perih" Jawabku.

Bunda mengambil kotak obat di kamarnya, lalu kembali tak butuh waktu lama. Ia mengoleskan salep yang aku tak tahu namanya. Lalu mengangkat kedua kakiku le atas ranjang. Jadilah kedua kakiku terjelujur di atas ranjang.

"Kamu tidak percaya dengan yang kuceritakan?" Tanya Bunda Santi.

Aku menunduk. Aku merasa malu karena apa yang tak kupercaya terbukti benar adanya.

"Kenapa kamu masih ingin cari Rania?" Tanya Bunda lagi.

"Aku kangen Bunda, aku ingin bertemu dengan Rania" Kataku.

Air mataku menetes setetes demi setetes tanpa bisa kubendung lagi.

"Tahanlah dulu. Bukan begitu caranya mencari Rania" Kata Bunda Santi.

Aku mengangkat kepalaku. Aku tertarik dengan ucapannya.

"Pertama kamu harus diadopsi oleh sebuah keluarga"

"Tidak ah Bunda" Sahutku sebelum Bunda selesai berbicara.

"Dengarkan dulu...pertama harus ada sebuah keluarga yang mengadopsimu. Setelah itu kamu bisa meminta bantuan keluargamu untuk mencari Rania"

"Kenapa tidak Bunda saja yang membantuku?"

"Tidak bisa Rosa, itu melanggar kode etik pengurus panti"

Aku terdiam.

"Aku dengar keluarga yang mengadopsi Rania pindah ke Jakarta. Nanti jika ada keluarga mengadopsimu, kamu akan punya peluang yang besar untuk ke Jakarta, entah liburan, entah sekolah, ya kan"

Benar juga Bunda Santi. Itu adalah cara terjitu untuk bisa bertemu Rania. Berada di Panti sama persis dengan di pesantren. Terkurung, diatur, ditata dan yang pasti tak bisa keluar masuk sesuka hati. Tapi jika aku diadopsi oleh sebuah keluarga aku bisa lebih bebas dari sekarang. Tentunya dalam mencari Rania juga lebih bebas.

Rania, tunggulah dengan sabar, kita pasti akan bertemu.

***

Keluarga Baru

Aku duduk tertunduk dengan posisi sesopan mungkin. Bunda Santu berada di sampingku. Bunda Kepala Panti duduk di ujung di mejanya sendiri. Dan di depanku, Pak Hartono, begitu Bunda Santi menceritakan. Dia tersenyum padaku. Tampaknya dia orang baik. Semoga saja.

"Rosa kelas berapa?" Tanya pria di hadapanku yang kutahu namanya Pak Hartono.

"Kelas..tiga Pak" Jawabku.

Pak Hartono tersenyum lagi.

"Mulai hari ini Rosa akan ikut Bapak ke rumah Bapak, Rosa mau kan?" Tanya Pak Hartono.

Aku mengangguk. Bunda Santu sudah memberitahuku sebelumnya akan dtaangnya keluarga yang akan mengadopsiku. Aku bersedia bukan dengan tulusnya hatiku. Aku punya satu tujuan. Mencari Rania.

Pak Hartono datang seorang diri. Terbersit dalam pikiranku, Kemana calon Ibuku, apakah dia tidak menyetujui adopsi atasku, atau memang pria ini duda?

"Ini adalah berkas-berkas Rosa, saya serahkan Rosa kepada Anda, ingatlah Pak, dia adalah titipan Tuhan untuk Anda jaga" Kata Bunda Kepala Panti.

"Baik Bu, saya akan menjaga dia dengan baik" Kata Pak Hartono.

Barang-barangku sudah ada di luar. Akupun sudah berpakaian rapi. Sebelum masuk ke mobil, Bunda Santi memelukku erat. Dia telah menganggapku seperti anaknya sendiri. Kami begitu dekat. Ia begitu sayang. Apakah ia akan menangisi kepergianku seperti aku menangisi kepergian Rania?

Mobil melaju dari panti menuju rumah baruku di Malang. Perjalanan kami memakan waktu satu jam saja jika perjalanan lancar. Kami melewati gunung dengan jalanan yang berkelak-kelok. Ada panorama indah ketika aku melewatinya. Banyak warung-warung di pinggir jurang dengan view langsung menghadap jurang. Kata Pak Hartono itu adalah wisata Payung. Dimana banyak remaja berkencan di sana.

Rumah baruku ada di Batu. Salah satu Kota bagian dari Malang. Suasana di sini sangat dingin. Karena berada di gunung. Tetapi meski di gunung, Kota ini tertata rapi. Banyak lokasi wisata dibangun di sini. Dan Rumahku di salah satu perumahan elit di Kota Batu.

Sampai di rumah.

Seorang perempuan menyambut kedatangan kami. Dia cantik. Menurutku dia istri Pak Hartono. Ia tersenyum padaku. Semoga ia sama baiknya dengan Pak Hartono.

"Akhirnya sampai juga. Capek gak? Mabuk gak di jalan" Dia bertanya padaku.

"Tidak Bu" Jawabku.

Kami masuk ke rumah. Rumah ini bagus. Sepertinya Pak Hartono adalah orang kaya. Aku belum tahu apa pekerjaannya. Aku belum sempat ngobrol banyak.

"Ini...kamarmu" Kata si perempuan menunjukkan sebuah ruangan dengan desain yang cantik. Kamarku ini jauh lebih bagus daripada di panti.

"Kamu suka?" Tanya dia lagi.

"Suka Bu, cantik" Jawabku.

Sejenak aku berpikir, apakah kamar Rania juga cantik seperti ini.

"Rosa, ini istri saya yang sekarang telah menjadi Ibu kamu. Jadi mulai sekarang kamu panggil saya Papa dan panggil istri saya Mama" Kata Pak Hartono.

"Iya Pa, Ma" Panggilku agar mereka senang.

Kini aku memiliki keluarga baru. Keluarga yang kuharap akan menyayangiku minimal sama dengan Bunda Santi. Dan dengan keluarga ini aku harap bisa dibantu mencari Rania. Apa kabarnya sekarang. Apakah ia sedang bahagia seperti yang dikatakan Bunda Kepala Panti, ataukah menderita seperti yang ada di mimpiku?

***

"Rose sayang, lagi apa?" Tanya Mama begitu masuk ke kamarku.

"Oh, Mama, cuma beres-beres Ma" Jawabku.

Mama duduk di tepi kasurku.

"Rajin amat, kamu istirahat dulu lah, nanti biar diberesin Mbak Yanti" Kata Mama.

Yang namanya Mbak Yanti itu pastilah seorang pembantu yang bekerja di sini.

"Tinggal sedikit kok Ma" Kataku.

Mama menungguku beberes. Lalu sesuai permintaannya, aku duduk di sampingnya. Dia merangkul bahuku. Apakah seperti ini rangkulan seorang Ibu itu?

" Rose, apa Papa sudah bilang ke kamu tentang Mama?" Tanya Mama.

Aku tidak mengerti apa yang ditanyakan olehnya. Aku hanya diam menanti petunjuk selanjutnya.

"Jadi gini Rose sayang. Mama sudah empat tahun nikah belum juga punya anak, karena itu, Mama minta Rose mendoakan Mama supaya Mama cepat hamil dan Rose punya adik. Ya" Jelas Mama

Tepat seperti dugaanku. Aku diadopsi sebagai pancingan agar Mama segera memperoleh keturunan. Tidak mungkin orang yang tulus mengadopsi mengambil anak uang sudah kelas 3 SD. Mereka pasti akan mengambil anak yang masih bayi. Rania mungkin juga demikian. Diadopsi untuk menjadi pancingan agar orang tua angkatnya segera memperoleh keturunan.

"Iya Ma" Jawabku.

"Terima kasih sayang" Kata Mama.

Mama memelukku. Pelukan ini seperti Bunda Santi. Aku merindukan kasih sayang seorang Ibu. Tapi saat ini aku lebih merindukan Bunda Santi. Karena dia sosok Ibu yang nyata. Ibu yang memelukku kini, aku belum bisa menyerahkan hatiku sepenuhnya padanya. Aku baru sehari di sini.

Dan begitulah, tiap hari tiap saat Mama memintaku mengelus perutnya. Antara senang dan sedih. Senang karena kini aku disayang oleh Mama. Sedih karena apa yang kuterima ini bukanlah tanpa pamrih. Statusku masih sangat diragukan di rumah ini. Tak apa asal mereka baik padaku, aku berusaha ikhlas.

Aku dimasukkan di sekolah swasta yang cukup terkenal di Batu. Tentu saja bayarannya lebih mahal dari sekolah yang kutempati saat di Panti. Dan tentu saja fasilitasnya lebih lengkap dari sekolahku dulu. Ada kolam renang pula sebagai sarana olahraga. Ada ruang praktikum bermacam-macam dan yang paling kusukai adalah perpustakaan yang nyaman luas dan ber-AC. Aku suka membaca, aku suka pengetahuan.

Aku duduk terpekur di dalam perpus saat jam istirahat. Yang kucari adalah peta pulau Jawa. Aku ingin mencari dimanakah letak kota Jakarta. Menurut Bunda Santi, Rania sekarang ada di Jakarta. Berapa lama perjalanan dari Batu ke Jakarta. Lalu naik apa seharusnya ke sana. Aku masih mencari-cari.

Brukk... Setumpukan buku jatuh tepat di kepalaku. Duh, sakit sekali. Siapa sih yang menjatuhkan buku-buku ini, ceroboh banget, batinku. Aku mendongak ke atas.

"Ups, sorry sorry, gak sengaja" Seoarang anak laki-laki meminta maaf padaku atas peristiwa yang baru saja kualami.

"Aduh.....sakit tauk" Kataku mengeluh.

"Iya..iya.." Kata anak itu.

"Kamu gak bisa apa bawa buku yang bener. Lagian bawa sebanyak ini mau dibaca semua???" Ledekku.

"Ssst...." Ibu penjaga perpus mengingatkanku agar tidak meninggikannya suara di dalam perpus.

bukan hal baru bahwa perpustakaan adalah tempat yang mewajibkan ketenangan.

"Sorry soalnya aku lagi ngerjain tugas" Kata anak itu.

Dia memungut buku-buku yang jatuh satu persatu, lalu menatanya di lengannya. Hampir selesai menata, buku-buku itu sebagian jatuh lagi, lalu diambil lagi dan ditata lagi dan jatuh lagi. Huft, sebagai makhluk sosial yang baik, akupun menolongnya. Aku membantunya membawakan buku-buku itu ke suatu meja.

"Emang tugas apa sih?" Tanyaku penasaran.

"Membuat essay, tentang budaya" Jawabnya.

"Apa tu essay?" Tanyaku penasaran.

Aku baru pertama mendengar kata itu. Oh iya aku baru ingat, essay bukannya pertanyaan yang dijawab dengan jawaban panjang. Apa ada tugas seperti itu. Membuat pertanyaan atau menjawab pertanyaannya?

"Budaya daerah mana?" Tanyaku sok tahu.

"Itu dia yang bikin bingung. Budaya mana ya yang unik?" Katanya.

Ada banyak buku berserakan di meja ini. Semua tentang budaya di Indonesia. Ada tentang Suku Dayak, ada tentang Legenda Pantai Senggigi, ada pula tentang keistimewaan Sri Aji Jayabaya. Dan masih banyak lagi.

"Ini bagus, kisah Sri Aji Jayabaya. Banyak pelajaran yang kita ambil dari kisah beliau. Kamu tahu gak, Sri Aji Jayabaya itu punya ramalan yang konon terjadi di masa sekarang" Kataku.

"Ramalan? Apa misalnya?" Dia penasaran.

"Pertama suatu hari nanti ada kapal bisa terbang. Terbukti sekarang ada pesawat"

"Wow, trus?" Dia tampak ingin tahu.

"Ada ramalan lagi yang sampek sekarang masih mencoba dibuktikan"

"Apa?"

"Suatu hari nanti akan ada sosok Ratu Adil yang akan memimpin negara ini dengan sangat adil"

Dia manggut-manggut.

"Oke..aku pilih itu aja" Katanya.

Kutinggalkan dia di meja itu. Aku keluar perpus tanpa pamit juga tanpa bertanya siapa namanya dan dia kelas berapa. Itulah yang kusesali.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!