Diana dan Nanda sudah bersahabat sejak mereka masih di sekolah dasar. Mereka seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Dimana ada Diana, di situ pasti ada Nanda, dan sebaliknya. Mereka selalu berbagi cerita, saling mendukung saat mengalami kesulitan, dan tertawa bersama di segala momen. Keduanya memasuki SMA dengan penuh semangat, membayangkan tahun-tahun yang akan penuh dengan petualangan baru, pertemanan, dan bahkan cinta pertama.
Namun, segalanya mulai berubah ketika mereka memasuki kelas dua SMA. Nanda, yang biasanya ceria dan banyak bicara, tiba-tiba menjadi lebih pendiam dan sering kali terlihat melamun. Diana tentu menyadari perubahan itu. Di hari pertama mereka kembali ke sekolah setelah libur panjang, Diana mencoba mengajaknya bicara.
"Nanda, ada apa? Kok kelihatannya kamu beda," tanya Diana ketika mereka duduk di bangku kantin sekolah, menikmati segelas es teh di siang yang panas.
Nanda tersenyum tipis, tapi tidak menjawab langsung. "Ah, nggak kok, Di. Cuma lagi banyak pikiran aja."
"Apaan? Cerita dong sama aku. Kamu tahu kan, apa pun yang kamu alamin, aku selalu di sini buat kamu," Diana mencoba mendorongnya.
Nanda menundukkan kepala, bermain-main dengan sendok es teh di gelasnya. "Nggak ada yang perlu diceritain, kok. Serius, ini nggak penting."
Diana hanya bisa menatapnya dengan bingung. Ada rasa sakit kecil di dalam hatinya. Nanda biasanya tidak pernah menutupi apa pun darinya. Mereka selalu berbagi, baik suka maupun duka. Tapi kali ini, Diana merasa ada sesuatu yang besar, sesuatu yang Nanda benar-benar tidak ingin dia ketahui.
Hari-hari berikutnya, Nanda semakin sering menghilang tanpa memberi kabar. Ia mulai menghindar saat Diana ingin mengajaknya pulang bersama, sesuatu yang biasa mereka lakukan setiap hari. Diana mulai resah. Ketika akhirnya ia memberanikan diri untuk menanyakan lagi, Nanda hanya memberikan jawaban singkat, menghindari tatapan Diana dengan cara yang membuatnya semakin curiga.
Suatu sore, Diana melihat Nanda tengah berbicara dengan seorang laki-laki di belakang sekolah. Diana terkejut karena tidak mengenali laki-laki itu sebagai salah satu teman sekolah mereka. Nanda terlihat sangat tegang, dan laki-laki itu terlihat berusaha meyakinkannya tentang sesuatu. Diana yang penasaran berusaha mendekat, bersembunyi di balik dinding untuk bisa mendengar pembicaraan mereka.
"Ini nggak bisa terus-terusan kayak gini, kamu tahu itu," ujar laki-laki itu dengan nada tegas. "Kalau kamu nggak mau bantu, konsekuensinya akan kamu hadapi sendiri."
Diana merasakan dadanya berdebar kencang. Apa maksud dari pembicaraan mereka? Siapa lelaki ini, dan mengapa dia berbicara dengan nada mengancam kepada Nanda?
Setelah laki-laki itu pergi, Diana memutuskan untuk menghampiri Nanda. "Nanda! Kamu kenal dia? Dia siapa?"
Nanda terkejut melihat kehadiran Diana. Wajahnya pucat, dan dia terlihat panik. "Diana, kenapa kamu ngikutin aku?"
Diana mencoba menahan emosinya. "Aku nggak ngikutin kamu. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi sama kamu. Aku ini sahabat kamu, dan aku punya hak untuk tahu kalau kamu dalam masalah."
Nanda menggigit bibirnya, tampak ragu. "Diana... ada hal-hal yang lebih baik nggak kamu tahu. Aku nggak mau kamu ikut terlibat dalam masalah ini."
Kata-kata Nanda justru semakin membuat Diana ingin tahu. "Nanda, nggak ada yang lebih penting dari persahabatan kita. Apa pun masalahnya, kita bisa hadapi bersama."
Namun, bukannya membuka diri, Nanda malah berjalan pergi, meninggalkan Diana dengan perasaan cemas dan kecewa.
Di malam harinya, Diana tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Nanda dan lelaki misterius yang ia temui di belakang sekolah. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Nanda begitu ketakutan? Diana tidak bisa diam begitu saja. Dia bertekad untuk menemukan jawaban, meskipun Nanda menolak untuk mengungkapkannya.
Keesokan harinya, Diana memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam. Ia mulai memperhatikan gerak-gerik Nanda lebih cermat, dan pada suatu hari, ia melihat Nanda berbicara lagi dengan orang yang berbeda di luar pagar sekolah. Diana merasa ada pola tertentu dari pertemuan-pertemuan tersebut, seolah-olah Nanda sedang terlibat dalam sesuatu yang rahasia dan penuh tekanan.
Selama beberapa minggu, Diana mulai merasakan jarak yang semakin lebar antara mereka berdua. Persahabatan yang dulu begitu erat kini terasa hampa. Diana merasa seperti seorang asing bagi sahabatnya sendiri. Namun, tekadnya semakin bulat. Ia akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, bahkan jika ia harus Melakukannya sendiri.
Hari-hari Diana kini dipenuhi dengan perasaan khawatir dan kebingungan. Semakin ia mencoba mendekati Nanda, semakin jauh sahabatnya itu menjauh. Rasanya ada tembok besar yang mendadak terbentang di antara mereka, memisahkan keduanya dari segala rahasia yang seharusnya bisa mereka bagi bersama.
Suatu siang, saat istirahat makan siang, Diana memutuskan untuk mendatangi teman sekelas mereka yang terlihat dekat dengan Nanda belakangan ini. Namanya Siska. Diana berharap bisa mendapatkan sedikit petunjuk tentang apa yang terjadi pada Nanda.
"Siska, kamu tahu nggak, akhir-akhir ini Nanda kelihatan berbeda. Apa kamu tahu ada sesuatu yang dia sembunyikan atau orang-orang yang baru dekat dengannya?" Diana bertanya hati-hati.
Siska tampak ragu. "Hm… Aku nggak terlalu dekat sama dia, tapi aku pernah dengar Nanda ngobrol sama seseorang di telepon. Dia sepertinya dalam masalah."
"Maksud kamu? Masalah apa?" Diana semakin penasaran.
"Entahlah, aku nggak dengar jelas. Tapi aku dengar dia menyebut sesuatu tentang 'utang' dan 'konsekuensi'." Siska mengangkat bahu, seakan tidak mau terlalu ikut campur. "Maaf ya, Di. Itu aja yang aku tahu."
Diana merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Utang? Sejak kapan Nanda punya masalah seperti itu? Dia ingat bahwa keluarga Nanda tidak kekurangan secara finansial. Jadi, dari mana masalah ini muncul? Atau mungkin ada hal lain yang lebih rumit?
Pada akhirnya, Diana memutuskan untuk menunggu waktu yang tepat untuk bertanya langsung kepada Nanda. Meskipun ia tahu itu tidak akan mudah, ia merasa bahwa hanya Nanda yang bisa memberikan jawaban sebenarnya. Namun, saat kesempatan itu akhirnya tiba, Nanda kembali menolak berbicara.
Beberapa hari kemudian, saat Diana pulang dari sekolah, ia melihat sebuah amplop misterius terselip di antara buku-bukunya. Amplop itu tidak memiliki nama pengirim, hanya sebuah tulian yang berbunyi: "Jika kamu ingin tahu apa yang Nanda sembunyikan, temui aku di taman belakang sekolah malam ini."
Diana merasa dadanya sesak. Siapa yang meninggalkan pesan ini? Dan mengapa ia harus datang malam-malam? Tetapi di sisi lain, ia sangat penasaran dengan jawaban yang mungkin bisa ia dapatkan.
Malam itu, Diana diam-diam menyelinap keluar dari rumahnya, berpura-pura ingin belajar kelompok di rumah temannya. Dengan langkah hati-hati, ia menuju taman belakang sekolah yang terlihat sepi dan gelap. Lampu-lampu taman hanya menyala di beberapa titik, membuat suasana semakin mencekam.
Diadi bawah pohon besar, sambil mengamati sekeliling dengan perasaan was-was. Tiba-tiba, sebuah bayangan muncul dari arah gelap, dan Diana bisa melihat sosok pria yang mengenakan hoodie menutup sebagian wajahnya.
"Kamu yang ninggalin amplop itu?" tanya Diana dengan suara bergetar.
Pria itu mengangguk pelan. "Aku tahu tentang rahasia Nanda. Tapi aku nggak bisa kasih tahu semuanya. Hanya satu hal yang perlu kamu tahu, Diana. Nanda dalam bahaya besar."
"Dalam bahaya? Maksud kamu apa?" Diana mendesak, merasa semakin takut dan cemas.
Pria itu menarik napas panjang. "Ada seseorang yang memanfaatkan Nanda untuk sesuatu yang tidak baik. Dia terlibat dalam masalah yang lebih besar dari yang kamu pikirkan. Dan kalau kamu mendekat, kamu bisa terseret ke dalamnya juga."
Diana merasakan tenggorokannya mengering. "Siapa kamu? Kenapa kamu peduli dengan Nanda?"
Pria itu menundukkan kepala, lalu menjawab singkat, "Aku… pernah dekat dengannya."
Sebelum Diana bisa bertanya lebih lanjut, pria itu berjalan pergi, meninggalkan Diana dengan segudang pertanyaan yang tak terjawab. Malam itu, ia pulang dengan perasaan takut dan khawatir. Ia tidak tahu pasti bahaya apa yang Nanda hadapi, tetapi ia yakin satu hal—ia tidak akan meninggalkan sahabatnya begitu saja.
Hari-hari berikutnya di sekolah, Diana mencoba mendekati Nanda lagi, kali ini dengan tekad yang lebih kuat. Ia tidak bisa lagi diam saja melihat Nanda terjebak dalam masalah tanpa bantuan.
"Nanda, tolonglah, kamu nggak perlu sembunyi dari aku. Apa pun masalahmu, aku bisa bantu," kata Diana ketika akhirnya berhasil menemui Nanda di sudut perpustakaan.
Namun, respons Nanda masih dingin. "Diana, tolong jangan terlibat. Aku nggak mau kamu ikut dalam masalah ini."
"Tapi kamu sahabatku!" Diana hampir menangis. "Kalau kamu dalam bahaya, aku nggak bisa diam aja, Nad!"
Nanda tampak terdiam sejenak, menatap Diana dengan mata yang penuh beban. "Aku tahu kamu peduli, Diana. Tapi kalau kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi, kamu akan benci sama aku."
Diana menggeleng kuat. "Nggak akan. Kamu harus percaya sama aku."
Nanda menghela napas berat, lalu akhirnya berkata dengan suara pelan, "Diana, yang aku lakuin ini bukan sesuatu yang bisa dimaafkan begitu aja."
Kata-kata Nanda semakin membuat Diana bingung dan penasaran. Namun sebelum Diana bisa mendesak lebih lanjut, Nanda sudah bergegas pergi, meninggalkannya dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Dengan tekad yang semakin bulat, Diana pun memutuskan untuk mencari tahu sendiri, apapun risikonya. Ia menyadari bahwa persahabatan sejati berarti tidak menyerah pada sahabat kita, bahkan ketika mereka mendorong kita menjauh..
Diana merasa semakin dalam terlibat dalam teka-teki rahasia yang melingkupi sahabatnya. Pikirannya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui, sementara perasaan cemas terhadap keselamatan Nanda semakin besar. Meski Nanda terus menolak untuk berbagi, Diana tidak menyerah. Dia mulai mencari cara untuk menemukan jawaban.
Di kelas, Diana berusaha tetap memperhatikan pelajaran, namun matanya sesekali melirik ke arah Nanda yang duduk di sudut ruangan. Nanda semakin sering melamun dan terlihat tegang. Ketika jam istirahat tiba, Diana mencoba mengikuti Nanda secara diam-diam, berharap menemukan petunjuk yang dapat membantunya memahami situasi yang dihadapi sahabatnya.
Ketika mereka sampai di koridor belakang sekolah, Diana melihat Nanda berhenti dan menelpon seseorang dengan ekspresi cemas. Diana mencoba mendekat dan bersembunyi di balik tembok, mendengarkan percakapan Nanda dengan hati-hati.
"Ini yang terakhir kali, aku janji," kata Nanda dengan suara bergetar. "Tolong jangan libatkan orang lain."
Diana merasakan jantungnya berdegup kencang. Siapa yang Nanda bicarakan? Dan mengapa dia terdengar begitu putus asa? Nanda menutup telepon dan terlihat menghela napas panjang, seolah sedang menanggung beban berat di pundaknya. Diana hampir saja ingin menghampirinya, tapi ia memilih untuk tetap bersembunyi, agar Nanda tidak tahu bahwa ia sedang diikuti.
Beberapa hari kemudian, situasi semakin mencekam. Diana mulai menerima pesan misterius dari seseorang yang tidak dikenal, berisi peringatan agar ia tidak mencampuri urusan Nanda. "Jangan ikut campur kalau kamu tidak ingin ikut dalam masalah ini," bunyi salah satu pesan itu. Diana merasa kaget, namun ia tidak berniat untuk mundur.
Di malam hari, saat suasana rumahnya sepi, Diana memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Ia membuka akun media sosial Nanda, berharap bisa menemukan petunjuk dari aktivitas sahabatnya. Dia menggulir halaman akun Nanda, mencoba mencari komentar atau postingan yang mungkin mencurigakan. Namun, tidak ada yang aneh hingga Diana melihat sebuah komentar dari akun tak dikenal di salah satu foto lama Nanda: "Ingat kesepakatan kita. Jangan macam-macam."
Perasaan Diana semakin gelisah. Dia mencoba membuka akun itu, namun akun tersebut sudah dikunci. Diana yakin bahwa komentar itu berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi Nanda.
Keesokan harinya, Diana bertekad untuk mengkonfrontasi Nanda sekali lagi. Dia menunggu kesempatan di taman sekolah, tempat mereka biasa berbicara dengan tenang. Ketika Nanda tiba, Diana segera menghampirinya.
"Nanda, aku udah nggak bisa diam lagi. Tolong, ceritain semua sama aku," kata Diana penuh harap.
Nanda tampak kebingungan dan menunduk, menghindari tatapan Diana. "Diana, aku nggak mau kamu ikut campur. Ini masalahku sendiri."
"Masalahmu juga masalahku, Nanda," jawab Diana dengan suara bergetar. "Aku bahkan dapat pesan ancaman karena aku terlalu peduli sama kamu. Kamu nggak bisa lagi menutup-nutupi ini dariku."
Ekspresi Nanda berubah, seakan kaget dan takut mendengar bahwa Diana juga mulai diancam. Nanda menghela napas panjang, lalu akhirnya berkata pelan, "Baiklah, aku akan cerita. Tapi janji, kamu nggak akan bilang siapa-siapa, ya?"
Diana mengangguk cepat. "Aku janji, Nanda."
Nanda mulai bercerita dengan suara pelan dan berat. "Aku terlibat dalam utang yang besar. Aku nggak punya pilihan selain meminjam uang dari orang yang salah. Awalnya cuma untuk membantu keluargaku, karena ada masalah mendadak. Tapi sekarang aku terjebak."
Diana merasa dadanya sesak mendengar penjelasan Nanda. Ia tidak menyangka sahabatnya mengalami masalah yang sebesar ini. "Kenapa kamu nggak bilang sama aku dari awal? Aku bisa bantu, kita bisa cari jalan keluar sama-sama."
Nanda menggeleng. "Aku nggak mau kamu ikut dalam masalah ini. Mereka… mereka adalah orang-orang yang berbahaya, Diana. Bahkan kalau aku nggak bisa bayar, mereka mengancam akan melakukan sesuatu yang lebih buruk."
"Apa yang mereka minta dari kamu, Nanda?" tanya Diana khawatir.
Nanda menelan ludah, tampak ragu untuk melanjutkan. "Mereka memintaku untuk membawa sesuatu ke sekolah ini. Semacam paket yang aku nggak tahu isinya. Dan mereka bilang, kalau aku nggak nurut, mereka akan melibatkan orang-orang yang aku sayang."
Diana terkejut. "Jadi itu sebabnya kamu terlihat begitu tegang belakangan ini?"
Nanda mengangguk lemah. "Aku merasa bersalah, Di. Aku nggak ingin ini terjadi, tapi aku nggak tahu cara lain untuk melindungi orang-orang yang penting buatku."
Diana merasakan campuran rasa marah, takut, dan kasihan pada sahabatnya. "Nanda, kita bisa lapor pada pihak berwenang. Kita bisa cari bantuan."
"Tapi aku takut, Di. Mereka bilang, kalau aku lapor, mereka akan tahu dan… mungkin orang-orang terdekatku akan terluka."
Malam itu, Diana tidak bisa tidur. Ia merenungkan kata-kata Nanda dan menyadari betapa rumit masalah yang dihadapi sahabatnya. Satu hal yang pasti, ia tidak bisa lagi hanya diam melihat Nanda berjuang sendirian. Diana memutuskan untuk mencari bantuan dari pihak yang lebih tahu soal situasi ini. Namun, ia harus berhati-hati, karena orang-orang yang mengejar Nanda tampaknya mengawasi setiap langkah mereka.
Diana semakin yakin bahwa satu-satunya cara untuk membantu Nanda adalah dengan menemukan pria misterius yang pernah ditemuinya di taman belakang sekolah. Pria itu sepertinya tahu lebih banyak tentang situasi yang dihadapi Nanda, dan Diana berharap ia bisa memberikan petunjuk atau bahkan solusi.
Setelah sekolah selesai, Diana menunggu di taman belakang, tempat pertama kali ia bertemu pria misterius tersebut. Ia merasa cemas dan tidak yakin apakah pria itu akan muncul, tapi dorongan untuk membantu Nanda membuatnya tetap bertahan.
Satu jam berlalu, dan Diana mulai kehilangan harapan. Namun, tiba-tiba ia merasakan seseorang menyentuh bahunya dari belakang. Ia terlonjak kaget dan berbalik. Pria misterius itu berdiri di depannya, wajahnya tetap tersembunyi di balik hoodie yang gelap.
"Kamu ingin tahu tentang Nanda, kan?" tanya pria itu dengan suara pelan namun tegas.
Diana mengangguk cepat. "Tolong, aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Nanda sahabatku, dan aku nggak bisa diam saja sementara dia menderita."
Pria itu terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan apakah ia harus memberikan informasi atau tidak. Akhirnya, ia mulai bicara. "Nanda terlibat dengan kelompok yang berbahaya. Mereka bukan sekadar pemberi pinjaman biasa. Mereka adalah bagian dari organisasi yang lebih besar, yang biasa memanfaatkan siswa untuk tujuan yang tidak baik."
Diana merasakan dadanya sesak. "Apa yang mereka inginkan dari Nanda?"
"Mereka menggunakannya sebagai kurir untuk mengirim barang-barang yang… ilegal," jawab pria itu dengan nada yang semakin tegang. "Mereka tahu bahwa siswa SMA lebih sulit dicurigai oleh pihak berwajib, jadi mereka sering memanfaatkan anak-anak muda yang terjebak dalam kesulitan seperti Nanda."
Diana merasa ngeri membayangkan sahabatnya menjadi bagian dari kegiatan kriminal seperti ini. "Tapi… Nanda nggak ingin melakukan itu. Dia terjebak dan nggak tahu cara keluar."
Pria itu mengangguk pelan. "Aku tahu. Itulah mengapa aku mencoba mengawasinya dari jauh. Aku juga pernah terlibat dalam masalah ini, tapi berhasil keluar dengan susah payah."
Diana merasakan ada harapan kecil. "Kalau kamu bisa keluar, mungkin kamu bisa bantu Nanda juga?"
Pria itu terdiam sejenak, lalu berkata, "Aku akan coba. Tapi Nanda harus hati-hati, dan kamu juga. Kalau mereka tahu kita berusaha keluar dari kendali mereka, akibatnya bisa berbahaya."
"Aku nggak peduli. Aku rela ambil risiko apa pun demi Nanda," jawab Diana dengan penuh keteguhan.
Pria itu akhirnya memberikan Diana selembar kertas kecil berisi nomor telepon. "Ini nomor seseorang yang bisa dipercaya. Katakan bahwa kamu teman Nanda, dan mereka mungkin bisa bantu mengeluarkan Nanda dari situasi ini."
Diana menerima kertas itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih. Aku nggak tahu bagaimana cara membalas bantuanmu."
Pria itu hanya mengangguk dan pergi, meninggalkan Diana yang merasa cemas sekaligus lega. Sekarang, ia punya jalan untuk menyelamatkan sahabatnya, meskipun ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari tantangan yang lebih besar.
Malam itu, Diana menelepon nomor yang diberikan pria misterius itu. Di seberang telepon, seorang wanita menjawab dengan suara tenang.
"Ini siapa?" tanya wanita tersebut.
Diana menjelaskan situasi yang dialami Nanda, tanpa menyebut nama pria misterius yang memberikan nomornya. Wanita itu mendengarkan dengan seksama, lalu berkata, "Baiklah, kami akan melihat apa yang bisa dilakukan. Tapi kamu dan Nanda harus sangat berhati-hati. Kelompok ini punya jaringan luas, dan mereka selalu memantau."
Diana mengangguk, meskipun wanita itu tidak bisa melihatnya. "Aku mengerti. Tolong, bantu Nanda keluar dari masalah ini."
Wanita itu menyanggupi dan menutup telepon. Setelah itu, Diana merasa sedikit lega. Setidaknya sekarang ada pihak yang bisa diandalkan untuk membantu Nanda.
Namun, meskipun bantuan sudah diupayakan, situasi di sekolah semakin memburuk. Beberapa hari kemudian, Nanda menerima pesan ancaman yang lebih serius dari kelompok tersebut. Mereka mengetahui bahwa Nanda berusaha mencari jalan keluar, dan mereka tidak senang dengan itu.
"Kalau kamu nggak nurut, kami akan membuat hidupmu jadi mimpi buruk," bunyi pesan yang diterima Nanda di ponselnya.
Nanda sangat ketakutan dan merasa putus asa. Ia bahkan mulai menjauhi Diana lebih jauh, khawatir persahabatannya bisa membahayakan sahabatnya.
Namun, Diana tidak menyerah. Di sela-sela jam sekolah, Diana selalu mendekati Nanda dan mencoba memberinya semangat. Ia berjanji akan selalu ada di sisi Nanda, apapun yang terjadi.
Ketika hari-hari berlalu dengan penuh ketegangan, akhirnya orang-orang yang dihubungi oleh Diana memberikan kabar baik. Mereka berhasil mengatur sebuah rencana untuk melepaskan Nanda dari kendali kelompok tersebut. Namun, rencana ini membutuhkan keberanian dari Nanda untuk bekerja sama.
Malam sebelum rencana itu dilakukan, Diana bertemu dengan Nanda di rumahnya. Ia menggenggam tangan sahabatnya dan berbisik, "Aku ada di sini untuk kamu, Nad. Apapun yang terjadi besok, kita akan lewati ini bersama."
Nanda menatap Diana dengan mata yang penuh rasa terima kasih dan ketakutan. "Diana, aku nggak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku sangat bersyukur punya sahabat seperti kamu."
Esok harinya, rencana itu dijalankan dengan penuh ketelitian. Tim yang membantu mereka sudah menyiapkan berbagai cara untuk memastikan Nanda tidak akan terlibat lagi dengan kelompok tersebut. Dengan bantuan dari pihak berwenang yang bekerja di balik layar, mereka berhasil mengeluarkan Nanda dari situasi berbahaya tersebut.
Namun, meskipun mereka berhasil keluar, Nanda dan Diana tahu bahwa hidup mereka tidak akan sama lagi. Nanda harus pindah sekolah untuk menghindari kemungkinan pengawasan lebih lanjut, dan Diana merasa kehilangan sahabat terbaiknya.
Di hari terakhir Nanda di sekolah, mereka berdua berpelukan dengan air mata yang mengalir. Persahabatan mereka yang telah diuji begitu berat kini meninggalkan bekas yang dalam di hati masing-masing.
"Nanda, janji sama aku. Tetaplah jadi orang yang kuat dan jangan biarkan siapa pun membuatmu terjatuh lagi," bisik Diana dengan air mata berlinang.
Nanda tersenyum lemah. "Aku janji, Diana. Dan aku nggak akan pernah lupa bahwa kamu menyelamatkanku."
Mereka berdua berpisah dengan hati yang berat, tapi penuh harapan. Meskipun jalan mereka berbeda, persahabatan mereka tetap terjalin kuat, membawa kenangan dan pelajaran berharga yang tidak akan pernah hilang.
Beberapa minggu setelah Nanda meninggalkan sekolah, Diana mencoba kembali ke rutinitasnya. Namun, setiap kali ia melewati tempat-tempat di sekolah yang pernah menjadi saksi kebersamaan mereka, hatinya terasa kosong. Meskipun ia tahu bahwa ia telah melakukan hal yang benar untuk menyelamatkan Nanda, rasa kehilangan itu tetap menggantung di hatinya.
Di kelas, teman-teman mereka bertanya-tanya tentang alasan kepindahan Nanda yang mendadak. Banyak gosip yang beredar, beberapa di antaranya cukup aneh dan mengada-ada. Diana hanya diam, tidak ingin membocorkan apa pun yang sebenarnya terjadi. Ia tahu, rahasia ini harus tetap terjaga.
Namun, suatu hari, rumor yang lebih mengerikan mulai tersebar di sekolah. Beberapa siswa mengatakan bahwa Nanda terlibat dengan masalah yang serius sebelum pindah. Mereka bahkan menyebut-nyebut bahwa ada organisasi berbahaya yang terkait dengan kepindahannya. Diana semakin tertekan, takut rahasia sahabatnya akan terbongkar. Ia ingin membela Nanda, tetapi rasa takut akan menarik perhatian kelompok itu lagi membuatnya memilih diam.
Di tengah rasa kesepian dan kekhawatiran itu, seorang siswa pindahan masuk ke kelasnya. Namanya Adrian. Dia tampak tenang dan pendiam, namun mata tajamnya selalu memperhatikan sekitar. Diana yang awalnya tidak peduli, mulai merasa ada yang aneh saat Adrian beberapa kali terlihat memperhatikannya.
Suatu hari saat pulang sekolah, Diana merasa ada yang mengikutinya. Perasaannya bercampur antara takut dan curiga, mengingat apa yang terjadi dengan Nanda sebelumnya. Ketika ia mempercepat langkahnya, suara seseorang terdengar dari belakang.
"Diana, tunggu."
Diana menoleh dan melihat Adrian. Wajahnya tenang, namun ada kilatan serius di matanya yang membuat Diana semakin waspada.
"Apa kamu… baik-baik saja?" tanya Adrian dengan suara yang nyaris berbisik.
Diana merasa bingung. "Maksud kamu apa?"
Adrian tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku tahu sedikit tentang masalah yang kamu alami. Tentang… sahabatmu yang pindah mendadak."
Diana terdiam, kaget bahwa seseorang yang baru ia kenal tampaknya tahu lebih dari yang seharusnya. "Kamu… bagaimana kamu bisa tahu?"
"Aku punya saudara yang pernah terlibat dengan kelompok itu," jawab Adrian, menatap Diana dengan ekspresi penuh pengertian. "Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku tahu apa yang kelompok itu bisa lakukan."
Diana merasakan campuran rasa takut dan lega. Akhirnya, ada seseorang yang bisa mengerti dan mungkin memberinya jawaban. "Jadi… kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Nanda?"
Adrian mengangguk pelan. "Aku tahu. Dan aku ingin membantu kamu, kalau kamu butuh bantuan. Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi kelompok itu tidak mudah melupakan orang yang sudah pernah terlibat dengan mereka. Mereka mungkin masih mengawasi kamu, bahkan setelah Nanda pergi."
Ucapan Adrian membuat Diana merinding. Ia pikir setelah Nanda pergi, masalah itu akan selesai. Namun, jika kelompok itu memang masih mengawasinya, itu berarti bahaya belum sepenuhnya berlalu.
Beberapa hari berikutnya, Adrian mulai mendekati Diana dan mereka sering berbicara di sekolah. Adrian selalu memperingatkan Diana untuk berhati-hati dan tidak menarik perhatian orang-orang yang mungkin terkait dengan kelompok tersebut. Diana merasa bersyukur ada seseorang yang memahami situasinya, namun ia tetap merasa khawatir.
Suatu sore, saat Diana dan Adrian sedang duduk di taman sekolah yang sepi, Adrian memberikan sebuah amplop kecil padanya.
"Ini informasi tentang kelompok yang dulu terlibat dengan Nanda," kata Adrian dengan nada serius. "Aku berharap ini bisa membantu kamu memahami apa yang sedang kita hadapi. Mereka adalah organisasi rahasia yang menggunakan siswa-siswa seperti Nanda untuk pekerjaan kotor mereka."
Diana membuka amplop itu perlahan, melihat beberapa dokumen yang penuh dengan informasi tentang aktivitas organisasi tersebut. Ia membaca dengan cermat, merasa semakin ngeri dengan setiap kalimat yang tertera. Organisasi itu tidak hanya beroperasi di satu kota, tetapi sudah memiliki jaringan di berbagai tempat, dengan sistem yang sulit ditembus.
"Kenapa kamu membantuku sejauh ini?" tanya Diana, masih merasa bingung dengan perhatian Adrian.
Adrian tersenyum tipis. "Kamu mengingatkanku pada saudara perempuanku yang dulu juga pernah terlibat. Aku tidak bisa menyelamatkannya, tapi aku merasa… mungkin ini kesempatan untuk menebus kesalahanku."
Diana merasa iba mendengar cerita Adrian. Ia mengangguk dengan penuh pengertian, merasakan koneksi yang mendalam dengan Adrian. Meskipun situasi ini berbahaya, mereka berdua merasa kuat karena mereka saling mendukung.
Namun, saat mereka pulang sore itu, seseorang dari kejauhan tampak mengamati mereka. Diana tidak menyadari kehadiran sosok tersebut, tetapi Adrian melihat sekilas bayangan itu dan segera menyadari bahwa mereka mungkin dalam pengawasan.
Keesokan harinya, Diana menerima pesan ancaman lain di ponselnya. Pesan itu berisi foto dirinya bersama Adrian, dengan kalimat pendek yang mengancam: "Jangan main-main dengan kami. Kamu tidak akan suka akibatnya."
Diana merasakan jantungnya berdetak kencang. Foto itu adalah bukti bahwa mereka diawasi lebih dekat dari yang ia duga. Dengan tangan gemetar, ia menunjukkan pesan itu kepada Adrian. Adrian tampak marah, tetapi berusaha tetap tenang.
"Kita harus lebih berhati-hati," kata Adrian. "Kelompok itu lebih berbahaya dari yang aku kira. Mereka tidak akan segan-segan bertindak keras kalau merasa terancam."
Diana merasa takut, tetapi ia tidak berniat mundur. Bersama Adrian, ia bertekad untuk menemukan cara melindungi dirinya sendiri dan memastikan bahwa ia dan Nanda benar-benar bebas dari ancaman kelompok itu. Adrian mulai menyusun rencana, tetapi mereka tahu bahwa perjalanan ini akan penuh risiko dan pengorbanan.
Malam itu, Diana menulis pesan untuk Nanda, berharap sahabatnya tetap aman. Ia tahu, persahabatan mereka telah diuji dan mungkin akan terus menghadapi bahaya di masa depan. Tetapi satu hal yang pasti—Diana tidak akan menyerah, demi sahabatnya, demi Adrian, dan demi kedamaian yang telah lama hilang dari hidupnya.
Setelah pesan ancaman yang diterima Diana, ketegangan semakin meningkat. Ia dan Adrian berusaha untuk tetap tenang, meski mereka tahu bahwa situasi ini menjadi semakin berbahaya. Diana merasa hidupnya kini penuh dengan ketakutan dan keraguan, namun ia tetap kuat demi Nanda dan keselamatannya sendiri.
Pagi itu, ketika Diana tiba di sekolah, ia menemukan sebuah amplop cokelat yang terselip di loker pribadinya. Hatinya berdegup kencang saat ia membuka amplop tersebut, merasa ngeri akan apa yang mungkin ia temukan di dalamnya. Di dalam amplop itu, terdapat foto-foto dirinya bersama Nanda, Adrian, dan bahkan beberapa momen ketika mereka sedang berbicara serius di taman belakang sekolah.
Di bawah foto tersebut, terdapat tulisan tangan yang jelas: "Jika kamu tidak ingin rahasiamu terungkap, datanglah sendiri ke tempat yang kami tentukan."
Tempat yang tertulis dalam surat itu adalah gedung tua di dekat tepi kota, sebuah bangunan yang sudah lama tidak dipakai. Diana merasa ketakutan, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa mengabaikan ancaman ini. Jika ia tidak pergi, ada kemungkinan mereka akan membahayakan Nanda atau Adrian. Keputusan untuk menghadapi kelompok tersebut tampaknya tak terelakkan.
Adrian memperhatikan ekspresi ketakutan Diana saat mereka berpapasan di lorong sekolah.
"Diana, ada apa? Kamu terlihat sangat pucat," tanya Adrian dengan khawatir.
Diana ragu sejenak, lalu memperlihatkan amplop itu kepada Adrian. Ia bisa melihat raut serius di wajah Adrian setelah membaca isi surat tersebut.
"Kamu nggak boleh datang ke tempat itu sendirian," kata Adrian dengan tegas. "Ini pasti jebakan. Mereka mungkin berencana membuatmu dalam posisi yang lebih sulit."
Diana menggigit bibirnya, merasa bingung. "Tapi, kalau aku nggak pergi, mereka mungkin akan mengancam Nanda lagi. Aku nggak bisa membiarkan itu terjadi."
Adrian berpikir sejenak, lalu berkata, "Baiklah. Kalau kamu benar-benar ingin pergi, aku akan ikut denganmu. Tapi kita harus punya rencana agar mereka tidak punya kesempatan untuk menyakiti kita."
Diana akhirnya setuju. Bersama Adrian, mereka mulai menyusun strategi untuk menghadapi kelompok tersebut di gedung tua yang telah ditentukan. Rencana mereka sederhana: Adrian akan masuk beberapa menit lebih awal dan bersembunyi di tempat yang tidak terduga, sementara Diana akan mengikuti instruksi dan berpura-pura datang sendirian. Dengan cara itu, Adrian bisa memantau situasi dan memastikan Diana tetap aman.
Sore hari itu, mereka berdua menuju gedung tua tersebut. Sesampainya di sana, suasana begitu sunyi dan menakutkan. Gedung tersebut tampak tak terawat, dengan jendela-jendela yang pecah dan dinding yang mulai retak. Ketika mereka berjalan mendekat, suara angin berdesir membuat suasana semakin mencekam.
Adrian melangkah masuk lebih dulu dan mencari tempat persembunyian yang cukup baik untuk mengawasi situasi. Diana menunggu beberapa menit sebelum ia melangkah masuk, mengikuti instruksi di surat tersebut. Perasaan takut memenuhi hatinya, tetapi ia mencoba menenangkan diri, mengingat bahwa Adrian berada di dekatnya.
Saat Diana berjalan memasuki ruangan yang lebih dalam, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari arah belakangnya. Ia berhenti dan memutar tubuh, melihat tiga pria berdiri di hadapannya. Salah satu dari mereka adalah pria yang pernah mengancam Nanda, mengenakan jaket hitam dengan tatapan dingin yang menakutkan.
"Jadi, kamu datang juga," ujar pria itu sambil tersenyum sinis. "Berani sekali, ya."
Diana mencoba menenangkan diri dan tidak menunjukkan rasa takut. "Apa yang kalian inginkan dariku? Nanda sudah pergi. Bukankah itu cukup?"
Pria itu tertawa kecil. "Nanda memang sudah pergi, tapi sekarang kamu yang menarik perhatian kami. Teman-temanmu terlihat sangat peduli padamu, Diana. Akan sangat disayangkan jika sesuatu terjadi padamu, bukan?"
Diana mencoba menahan amarah dan ketakutannya. "Kalau kalian berani menyakiti aku atau teman-temanku, kalian akan mendapat masalah besar."
Pria itu hanya tertawa dan melangkah lebih dekat. "Oh, jadi kamu mengancam kami sekarang?"
Saat pria itu semakin dekat, tiba-tiba suara keras terdengar dari arah belakang. Adrian, yang ternyata berhasil mendekati mereka tanpa ketahuan, melemparkan batu besar ke arah salah satu pria yang berada di dekat Diana, membuat pria itu terjatuh. Adrian segera berlari mendekat dan berdiri di samping Diana.
"Jika kalian berani menyentuhnya, kalian akan berurusan denganku," kata Adrian dengan suara dingin dan tegas.
Pria berjaket hitam itu tampak marah, tetapi juga sedikit terkejut melihat keberanian Adrian. Ia menyadari bahwa situasinya mungkin tidak semudah yang ia kira. Setelah beberapa detik hening, pria itu akhirnya mengeluarkan ponsel dan berbicara cepat dengan seseorang di seberang sana.
"Saya nggak peduli apa yang perlu dilakukan. Pastikan anak-anak ini tidak meninggalkan tempat ini tanpa pelajaran," katanya dengan nada mengancam.
Diana dan Adrian semakin waspada. Mereka tahu bahwa lebih banyak orang mungkin sedang menuju ke lokasi ini. Tanpa pikir panjang, Adrian menggenggam tangan Diana dan berbisik, "Kita harus keluar dari sini sekarang."
Dengan cepat, mereka berdua berlari keluar dari gedung tua itu, mendengar langkah kaki orang-orang yang mengejar dari belakang. Di tengah kegelapan dan lorong-lorong yang menyeramkan, Diana dan Adrian berusaha mencari jalan keluar. Napas mereka terengah-engah, tetapi mereka tidak berhenti berlari.
Ketika mereka hampir mencapai pintu keluar, tiba-tiba beberapa pria muncul dari arah lain, menghadang jalan mereka. Diana dan Adrian terpaksa berhenti, napas mereka semakin berat karena kelelahan.
Pria berjaket hitam itu mendekat dan tersenyum puas. "Kalian tidak akan bisa kabur begitu saja. Kalian pikir kalian bisa lepas dari kami? Kalian salah besar."
Diana merasa ketakutan, tetapi ia tidak mau menyerah. Ia berusaha melawan meski tahu situasinya tidak menguntungkan. Namun, tiba-tiba terdengar suara sirene di kejauhan, semakin mendekat ke gedung tersebut. Suara itu membuat para pria yang mengancam mereka terlihat panik.
Tanpa menunggu lebih lama, pria-pria itu segera melarikan diri ke arah lain, meninggalkan Diana dan Adrian sendirian. Beberapa menit kemudian, polisi tiba di lokasi dan menemukan mereka. Dengan cepat, mereka dibawa ke tempat yang aman dan diberikan bantuan.
Di kantor polisi, Diana dan Adrian memberikan keterangan mengenai apa yang terjadi. Meski merasa lega bahwa mereka berhasil selamat, Diana masih merasa khawatir akan ancaman yang mungkin datang di masa depan. Namun, setidaknya untuk saat ini, ia tahu bahwa ia tidak sendiri.
Adrian menggenggam tangannya dengan lembut dan berkata, "Kita sudah melewati ini bersama. Kamu nggak perlu takut lagi, Diana. Aku akan selalu ada di sini untukmu."
Diana tersenyum samar, merasa tenang dengan kehadiran Adrian di sampingnya. Mereka tahu bahwa ini mungkin bukan akhir dari ancaman yang ada, tetapi mereka juga tahu bahwa selama mereka bersama, mereka akan menghadapi semuanya dengan keberanian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!