Bacalah ini seperti Anda melihat sebuah lukisan.
Ditunggu hingga terlihat hasil akhir yang penuh warna warni goresan kejadian.
Ada yang menyenangkan, menyedihkan, membanggakan, meresahkan dan lainnya.
.
.
.
...“Fobia ini,...
...Awalnya membuatku mati rasa,...
...Menghindar dan hilang kepercayaan,...
...Terhadap orang di sekelilingku."...
Hari Minggu,
Seorang gadis terdiam di sofa, dan menopangkan dagunya. Ia melihat ke luar jendela, lalu matanya fokus ke arah anak-anak kecil yang sedang riang bermain. “Huf ... bagaimana bisa mereka sangat bahagia seperti itu?” gumamnya.
“Ansa! Ayo turun!” Terdengar suara yang memanggil dirinya.
“Iya, Bu!” Ansa segera turun dan berlari ke dapur.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang beradu dengan langkah kaki Ansa. Langkah kaki tersebut mulai mengejar Ansa. Hap! Langkah mereka terhenti.
"Hayo! Gadis kecilku mau kemana nih?" ucap pria tersebut sembari menggelitiki Ansa.
"Ahaa!! Hahaha!" tawa Ansa meramaikan rumah bak istana tersebut. "Papa!! Sudah, geli!" pekiknya.
"Ansa ... jangan kayak gitu lagi ya? Kalau ada Papa, mama ataupun tamu, disalami ya sayang?" tutur Ayah Hardi.
Lalu beliau menyuruh pembantunya untuk menyiapkan makan siang. Ansa hanya memanyunkan bibirnya, yang menandakan bahwa ia tidak menyukai perintah dari ayahnya.
"Bu! Ansa mau minum jus melon ...," bujuk Ansa kepada pembantunya.
"Jangan, Non. Ini kan hari minggu, jadi Non Ansa harus minum obat," tutur pembantunya.
Di sisi lain,
Dua bocah lelaki sedang bermain game online di ruang keluarga. "Ayo terus Mas!!" seru Jaro pada kakaknya, Deniz. Mereka adalah kakak beradik di keluarga Daghiawi.
“Ro!!" panggil ayahnya dan Jaro segera berlari menghampiri beliau. Ia meninggalkan Deniz yang masih fokus bermain.
Jaro mencari-cari ayahnya, dan akhirnya ia menemukannya. Ternyata beliau sedang duduk bersantai di dekat kolam renang.
Jaro ke luar dari pintu belakang untuk menemui ayahnya. “Ada apa, Yah?” tanyanya yang dibalas senyum teduh ayahnya.
“Besok kamu ngga ada tugas yang harus dikumpulkan, Nak?" tanya Ayah Awi kepada anak bungsunya.
"Oh, ngga ada Yah! Mangkanya hari ini aku mengajak Mas Deniz bersantai," jelas Jaro dengan senyum manisnya.
Tak lama, suara tertawa para ibu menggema di rumah keluarga Daghiawi. Para ibu tersebut adalah Ibu Roro dan Ibu Liana. Mereka sama-sama satu perusahaan modelling yang terkenal di kota Metropolitan ini.
"Deniz ... ayo salim ke tante Roro, Nak," titah Ibu Liana.
Deniz segera berdiri dan menyalami Bu Roro. "Ini yang sulung ya, Bu?" tanya Bu Roro pada partner kerjanya.
"Iya, Bu. Ini yang sulung. Niz, adikmu ke mana?" Bu Liana terkejut saat yang dicarinya langsung berteriak.
"Aku di sini, Bu!" seru Jaro dari pintu belakang. Ia melangkah masuk bersama Ayah Awi.
"By the way, Jaro itu singkatan ya, Bu?" tanya Bu Roro yang terdengar agak lancang.
Sejenak mereka semua hening. Jaro juga terdiam karena ia bingung mengapa orang tuanya memanggilnya seperti itu?
"Oh ... kalau itu, sebenarnya nama anak bungsu saya ini adalah Jamario. Biar singkat, kami memanggilnya dengan Jaro, haha!" jawab Bu Liana dengan senyum manisnya.
"Jamario? Oh, pelaut ya?" Pertanyaan Bu Roro mendapat anggukan kepala dari Bu Liana.
Pukul 7 malam,
Ansa dan ayahnya sedang menikmati makan malam bersama. Ia sudah biasa ditinggal sendiri, entah oleh ayahnya maupun ibunya. Teman setianya hanyalah pembantunya yang sering ia anggap seperti ibunya. Itulah alasannya mengapa ia tak memanggil dengan sebutan 'Bibi'.
Ansa tak memiliki adik, apalagi kakak. Ya! Ia adalah anak semata wayang dari keluarga Hardiyata. Ibunya adalah model yang terkenal di kota ini, mungkin itulah alasan mengapa hanya dirinya yang diperbolehkan hidup di keluarga ini. Hidup sebagai model telah membuat ibunya harus menjaga tubuhnya supaya tetap langsing.
Jaro berjalan ke luar dari kamarnya. Saat ini ia melangkah pergi menuju meja makan, melewati lorong-lorong kamar dan melewati pintu belakang.
Namun, Jaro melihat pintunya terbuka. Perlahan, ia mendekati pintu tersebut dan mengintip. Rasa penasarannya telah mengalahkan rasa takut jika dirinya akan ketahuan.
Dari balik pintu, Jaro melihat apa yang seharusnya tak terjadi. Itu bukan ibu! Tapi ke-kenapa ayah bersamanya?!!
Jaro berlari sekuat tenaga ke arah meja makan. Sampai di sana, ia mengatur nafasnya dan bertemu dengan Deniz.
"Kamu kenapa Ro? Kok kayak habis dikejar hantu? Haha!" olok Deniz kepada adiknya.
"Nanti aku ceritakan apa yang sudah aku lihat, Mas," bisiknya pada Deniz.
Beberapa menit kemudian, semua telah berkumpul di meja makan. Jaro masih menatap ayahnya dengan mengerutkan dahinya. Tadi itu salah kan? Katakan bahwa tadi itu salah. Ayah harusnya dengan ibu, bukan dengan wanita tak baik itu!
Setelah menyantap makan malam bersama keluarga Daghiawi, Bu Roro segera pamit kepada pemilik rumah. "Saya pamit ya Bu, Pak. Terima kasih sudah mengundang saya hari ini," ucap beliau.
"Iya, Bu. Kapan-kapan kita jalan bareng ya Bu! Kan kita sudah jadi partner, oke?" ucap Bu Liana dengan senyum lebarnya.
Bu Roro hanya mengangguk. Dan di mata Jaro, terlihat Bu Roro mengedipkan salah satu matanya kepada ayahnya.
Jaro masih belum paham, tapi ia merasa bahwa teman ibunya tersebut sangat tidak baik. Ia ingin segera menceritakan apa yang ia lihat kepada kakaknya.
Di rumah keluarga Hardiyata,
Ansa mendengar suara ibu yang memanggil dirinya. "Ansa ... Ansa ... Angsaku yang anggun~" panggil beliau dengan lembut. Ansa yang masih berkutat dengan tugas-tugas sekolah, terpaksa ia tinggal dan segera ke luar kamar.
Ansa berlari menuju ibunya yang baru saja pulang. Ia bahkan langsung memeluknya. Aku tetap mencintaimu, ma. Walaupun pekerjaan mama sangat menyita waktu mama untukku.
"Namaku Ansa, Ma. Bukan angsa," protesnya.
Ibunya segera memberi argumennya. "Hansaria itu artinya angsa, sayang." Jawaban ibunya dibalas dengan pelukan Ansa yang semakin erat. Namun ibunya melepas pelukan tersebut.
“Maaf ya ... Mama baru pulang, Sa. Tadi masih mampir ke rumah teman Mama. Kamu ada tu—" hibur ibunya pada anak semata wayangnya. Namun ucapannya terpotong.
"Teman siapa, Ma?" Tiba-tiba ayah muncul dan mencecar pertanyaan pada istrinya. Suasana mulai panas di antara mereka berdua, Hardi dan Roro.
"Teman satu perusahaan, Pa. Aku mau ke kamar, ganti baju," ucapnya yang tanpa senyuman dan segera pergi dari hadapan suaminya.
Ansa hanya menghela nafasnya. Kali ini apa yang terjadi, Ma, Pa? Bahkan saat ia bertanya pada pembantunya, hanya gelengan kepala yang ia dapatkan.
"Bu ... mereka sayang ngga sih, sama aku?" ucap Ansa yang tidak bisa tidur di atas ranjangnya.
"Hus, jangan bilang gitu, Non. Mereka tetap orang tua, Non Ansa. Mungkin saat ini mereka sedang ada masalah. Ingat Non, kalau Non ada masalah, bisa langsung cerita ke papa Hardi, mama Roro atau saya ya?"
Ansa hanya mengangguk dan menyuruh pembantunya untuk meninggalkannya sendiri. "Selamat malam, Non," bisiknya dan mencium kening Ansa.
Ansa menatap langit-langit kamarnya, yang dipenuhi oleh bintang-bintang. Imajinasinya sangat tinggi, disusul oleh overthinking-nya yang mengganggu waktu tidurnya malam ini.
Di kamar kakaknya,
Jaro diam-diam masuk ke kamar Deniz. Ia mengguncang tubuh kakaknya yang sudah tertelap dalam alam mimpinya.
"Mas, bangun dong!" bisiknya dengan paksaan.
"Haduh! Apaan sih Ro," protes Deniz pada adiknya yang membangunkan dirinya.
"Mas, aku mau cerita ...," ucapnya yang sengaja ia potong.
"Hm?" Deniz memicingkan matanya yang masih susah untuk terbuka.
"Kalau ayah berpelukan dengan teman ibu yang tadi datang ke sini ... apakah itu salah, Mas?" tanya Jaro dengan suara yang semakin pelan.
Perkataan Jaro membuat mata Deniz terbuka lebar. "A-apa?!!" pekiknya, membuat Jaro langsung menutup mulut Deniz dengan telapak tangannya.
"Shh!! Diam, Mas!" bisik Jaro.
"Ngga, Ro. Ngga mungkin itu. Kamu pasti salah lihat." Ucapan Deniz membuat Jaro terdiam.
Semoga itu salah, semoga.
Kisah dua insan dari latar keluarga yang saling berkaitan,
Menciptakan konflik dan jarak,
Bakat yang berbeda,
Akankah bisa bersatu?
Serahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa.
Nantinya akan saling melengkapi atau menghakimi,
Yang Kuasa lebih tahu.
Mereka hadir untuk mengisahkan sebuah fobia yang jarang disadari oleh kebanyakan manusia. Mereka juga akan berusaha menyelaraskan perasaan cinta yang hadir di tengah rasa kekhawatiran yang mendera. Selama perjalanan ini, semesta akan menunjukkan kuasanya untuk memantapkan hati mereka menjadi kuat, sabar, dan bersyukur.
Perjalanan angsa dan pelaut ini segera dimulai. Senang dan sendu akan hadir dalam kisah ini, maukah kamu setia menunggu hingga akhir kisah ini?
***
..."Kamu cerdas, aku cerdik....
...Kamu perkasa, aku anggun....
...Satu persamaan kita, ambisius.”...
Hari Senin,
Keluarga Daghiawi telah berpakaian rapi. Ayah dengan kemeja ungu, celana dan jas hitamnya. Ibu dengan dress selutut dan memperlihatkan tubuh langsingnya, tapi beliau menutupinya dengan mantel selutut berwarna ungu. Sedangkan Deniz dan Jaro sama-sama menggunakan seragam sekolahnya.
Saat ini Jaro telah kelas enam SD, dan Deniz telah kelas tiga SMP. Sebentar lagi mereka berdua akan menghadapi Ujian Nasional. Hal itu juga berlaku untuk Ansa yang juga telah kelas enam SD, walaupun berbeda sekolah dengan Jaro.
"Bu, hari ini aku yang akan mengantar mereka sekolah. Tolong bilang ke sopir mereka ya?" ucap Ayah Awi kepada istrinya.
"Hore!!" sorak kedua kakak adik tersebut. Jaro maupun Deniz tersenyum lebar.
Nanti di dalam mobil, aku akan coba bertanya pada ayah tentang masalah kemarin, batin Jaro sembari menyuapkan makanannya. Namun matanya tak lepas dari ayahnya.
"Ada apa di sekolah, Yah?" tanya Ibu Liana yang merasa heran.
"Ada rapat, terus pengesahan bangunan baru," balas ayah.
"Bangunan kelas berapa yang baru, Yah?" tanya Deniz yang telah selesai menghabiskan sarapannya.
"Ngga tau, Niz. Nanti Ayah cari tahu di sana," jawab ayah yang kembali menyuapkan makanannya ke dalam mulut.
Ya! Ayah Awi adalah pemilik sekolah yang beliau beri nama 'Sekolah Mandraguna' dengan tingkatan dari SD hingga SMA. Jaro dan Deniz dimasukkan ke dalam sekolah tersebut, membuat mereka berdua cukup terkenal di kalangan warga sekolah tersebut.
"Ayo semuanya! Sudah jam tujuh nih, ayo berangkat!" titah ibu kepada semuanya.
Di rumah Hardiyata,
Saat hampir pukul tujuh, Ibu Roro berpamitan kepada semuanya. "Hari ini aku mendapat jadwal pagi. Aku berangkat duluan ya!" ucapnya yang segera mencium tangan suaminya dan menyalami anaknya.
"Iya, Ma. Usahakan jangan pulang malam ya?" pinta Ayah Hardi kepada istrinya.
"Aku usahakan. Tapi kalau ngga bisa, nanti aku kabari ya, Pa," balas ibu yang segera melangkah pergi dari meja makan.
"Papa ...," lirih Ansa yang membuat ayahnya menoleh padanya. "Hari ini aku izin ngga masuk les renang, ya? Ta-tapi aku tetap masuk les di—" pinta Ansa dengan terbata-bata.
"Iya, terserah kamu. Tapi besok Rabu tetap pergi ke sanggar ya? Kayaknya bentar lagi, akan ada pentas di sana.” Ucapan ayahnya mendapat anggukan kepala dari Ansa.
"Iya, besok aku tetap masuk," jelasnya dengan senyum manisnya.
Ansa memang mengikuti cukup banyak les. Les-les tersebut diharapkan dapat membuatnya terhibur, dan tidak merasa sendiri di rumah. Dari sekian banyak les, ia sangat menyukai latihan di sanggar.
"Papa berangkat ya!" ucap beliau dengan mencium kening putri semata wayangnya.
"Pa--pa ...," lirih Ansa. "Papa, hari sabtu—" Kini ayah menatapnya, membuatnya semakin ragu untuk mengatakan apa yang memenuhi pikirannya.
"Apa? Ayo cepat, sayang. Ini sudah jam tujuh. Kamu juga harus berangkat, ya kan?" titah ayah.
"Setelah ujian, ajak aku ke tempat kerja Papa yang banyak buahnya itu loh, Pa ... ya, ya?" pinta Ansa dengan wajah memelasnya.
Ayah mengusap pucuk kepala Ansa. "Iya. Nanti liburan, kita pergi ke sana."
Ansa tersenyum dan membiarkan ayahnya berangkat kerja. Di tempat kerja papa, suasananya begitu damai. Hanya pepohonan hijau, buah-buahan manis, dan para pekerjanya yang fokus bekerja, tanpa orang-orang yang tertawa seakan mengolok, batin Ansa sembari mengingat lingkungan kerja ayahnya.
Ayah Hardi merupakan salah satu petani modern dari lima orang pendiri perusahaan "Techsophistic Farm" dengan fasilitas gedung utama 20 lantai, ladang di berbagai penjuru kota Metropolitan ini, laboratorium di dekat gedung utama, pasar modern yang khusus menjual produk dari perusahaan ini, dan masih banyak lainnya.
Ansa hanya pernah berkunjung ke pasar, ladang yang penuh pohon mangga, dan sebuah danau di dekat ladang tersebut. Ia tak pernah mau jika disuruh ikut masuk ke laboratorium maupun gedung utama. Alasannya? Tempat tersebut mirip seperti sekolahnya, membuat stres dan pening.
Di perjalanan,
"Ayah ... kemarin apakah temannya ibu itu sedang sedih?" tanya Jaro. Tolong jawab jujur, Yah.
Deniz mencubit pinggang Jaro karena perkataan adiknya yang menurutnya agak lancang. "Heh!" bisiknya.
"Oh, ngga Ro. Kenapa emangnya?" balas ayah yang tak menoleh pada si bungsu.
"Terus kenapa Ayah memeluknya?!!" pekik Jaro yang memecah keheningan di mobil mereka.
Barulah ayahnya menoleh ke belakang dan memelototi Jaro. "Kamu ngga tahu apa yang terjadi. Sebaiknya kamu tutup mulut, Ro," tutur ayahnya dengan wajah yang mulai memerah dan masih melebarkan matanya ke arah Jaro.
Glek!
Jaro menggigil dan memilih untuk menunduk. Ia tak ingin menatap ayahnya yang sedang diselimuti amarah.
"Hayo loh ...." olok Deniz dengan bisikan mautnya. Jaro tetap memilih untuk bungkam.
Di sekolah Mandraguna,
Mereka bertiga melangkah ke arah tujuan masing-masing. Ayah pergi menuju aula sekolah, Deniz pergi menuju gedung SMP yang letaknya di belakang gedung SD, sedangkan Jaro menuju lantai dua dari gedung SD.
Jaro menaiki tangga, sembari mendapat sapaan dari beberapa warga sekolah yang berpapasan dengannya. Ia membalasnya dengan senyuman dan anggukan, ditambah tatapan ramahnya.
Tersenyum akan mendapat pahala, ya kan? Hatinya berbisik selama perjalanannya menuju kelas.
Dari lantai dua, terlihat halaman depan sekolah yang sangat luas, dihiasi oleh pepohonan dan rerumputan yang telah dipangkas rapi. Jaro sengaja berdiri di luar kelas, sebelum bel masuk berbunyi. Ia menatap pemandangan yang menyejukkan matanya.
Namun untuk hari ini, matanya terasa panas dan disusul hatinya yang bergemuruh. Mata Jaro menangkap pemandangan yang membuatnya mengepalkan tangannya. Apa yang sebenarnya terjadi, Yah?
Di sekolah Ansa,
"Non, nanti langsung les atau mau pulang dulu ke rumah?" tanya sopir kepada Ansa.
Dari luar mobil, Ansa memberitahu bahwa ia akan langsung les. "Langsung les ya, Pak. Nanti jemput saya sekitar jam tiga dari sini."
Sang sopir mengiyakan permintaan dari majikannya yang sibuk sepanjang hari.
Ansa melangkah masuk ke sekolahnya. Berbanding terbalik dengan Jaro, Ansa menganggap sapaan dari orang lain adalah sebuah rayuan yang mematikan.
Karena sebelumnya, ia pernah menjuarai olimpiade sains dan orang-orang di sekitarnya memberi apresiasi, sekaligus komentar yang menjatuhkan untuk dirinya.
Halah! Kayak gitu aja kok bangga! Kata tersebut selalu terngiang di otaknya.
Lamunannya buyar oleh sapaan rivalnya. "Ansa!" panggilnya dengan melambaikan tangan dari pintu kelasnya.
Ansa menarik paksa bibirnya supaya tersenyum, dan mengarahkannya ke rivalnya, Sharly.
"Aku duduk denganmu ya, Sa?" tanya Sharly.
Kenapa sekarang ia ingin duduk denganku? batin Ansa yang mengerutkan dahinya.
"Terserah kamu, Shar," jawabnya yang segera masuk ke kelas.
Di kelas ini, Sharly menjadi ketua kelas atau Ansa menyebutnya dengan ratu sekolah. Ya! Rivalnya ini bertingkah seakan pemilik sekolah ini. Hanya karena partner kerja orang tuanya menjadi kepala sekolah di sini, tingkahnya sungguh seenaknya sendiri!
Ansa duduk di bangku paling depan, berhadapan langsung dengan papan tulis. Ia telah dinobatkan sebagai anak ambisius, setelah Sharly dan dua teman seangkatannya yang lain.
Saat istirahat,
Jaro memperlihatkan wajah lesu di bangkunya. Ia masih bertanya-tanya tentang alasan kedatangan teman ibunya ke sekolah, bahkan bertemu dengan ayahnya!
Atau mungkin, anaknya juga bersekolah di sini? Tapi siapa? bisiknya yang hanyut dalam lamunan.
"Ro!! Ayo ke kantin! Ngga laper lu?" ajak temannya, Wahyu.
Jaro hanya mengangguk dan bangkit dari bangkunya. Ia segera menyusul Wahyu yang telah melangkah keluar kelas.
Berbanding terbalik dengan Jaro, Ansa memilih untuk duduk di bangkunya.
"Sa!! Dipanggil bu IPA tuh!" ucap salah satu temannya. Kebiasaan murid zaman sekarang, lebih suka memanggil gurunya tanpa nama, tapi menyematkan mata pelajaran yang diajarkan beliau.
Ansa terpaksa bangkit dari bangkunya dan melangkah pergi menuju laboratorium sekolahnya. Ia menyusuri lorong-lorong kelas yang dipenuhi lampu-lampu dan lalu lalang para murid.
Kenapa bukan si ratu sekolah itu saja yang dipanggil ya? pikirnya.
Di kantin,
Jaro dan tiga temannya sedang menunggu pesanan mereka, sembari duduk berhadapan.
Sesaat kemudian, ibu yang mengantar pesanan mereka memberikan senyum lebarnya kepada Jaro dan teman-temannya.
"Mas Jaro, ini ada titipan untuk Mas." Ibu tersebut memberikan bungkusan putih kepada Jaro.
"Eh? Dari siapa, Bu?" Pertanyaannya tak dijawab oleh ibu tersebut.
Setelah pesanan telah diterima oleh para pemesannya, ibu tersebut langsung pergi. Jaro menghela nafasnya. Kali ini dari siapa? batinnya.
"Ngga dibuka, Ro?" tanya salah satu temannya.
Dan disambung oleh Wahyu, "Mungkin dia sudah bosan dikasih hadiah terus dari fans-nya, haha!" Jaro melemparnya dengan sedotan, tepat ke arah mulut Wahyu.
"Kagak! Aneh aja gitu, kenapa mereka memberikanku ini secara gratis? Padahal aku ngga mengenalnya atau tahu siapa mereka," ucap Jaro.
"Memangnya, kamu sering dapat hadiah apa dari para fans-mu?" tanya Wahyu sembari menyuapkan sesendok makanannya.
"Seringnya tuh ... baju, topi, gelang. Ada yang pernah memberiku parfum. Tapi, semuanya sering ngga cocok untukku. Mangkanya, ibuku sering memberikannya ke panti asuhan yang sering beliau kunjungi," jelasnya yang membuat teman-temannya terperangah.
"Bagi-bagi lah, Ro. Itu ... coba buka dong. Siapa tahu cocok untukku!" pinta Wahyu.
"Jangan di sini, Yu. Nanti pulang sekolah, baru ku kasih ke kamu ya?" balas Jaro.
"Memang pelitnya cuma ke teman sendiri—" Sindiran Wahyu dipotong oleh Jaro yang kesal.
"Yu! Kalau aku memberikan ini sekarang, nanti yang memberikan ini akan merasa sakit hati! Kamu masih punya akal kan?" Jaro menahan emosinya dengan menyuapkan sesendok makanannya.
"Ya maaf, Ro. Aku penasaran dengan isinya," kata Wahyu dengan memelas.
Jaro tak membalas perkataan Wahyu, ia memilih tetap mengunyah dan segera menghabiskan makan siangnya.
Di laboratorium,
Ansa bertemu dengan guru IPA nya, "Selamat siang, Bu."
Guru tersebut segera menyuruhnya untuk masuk dan memperlihatkan percobaan yang Ansa tak terlalu mengerti.
"Percobaan ini untuk membuktikan bahwa bagian atas air memiliki ketegangan. Terlihat ada nyamuk yang berdiri di atasnya. Lihat, Sa! Nyamuk tersebut tidak tenggelam saat berdiri di atas air," tutur gurunya.
Sebenarnya ini untuk apa? Ah, pasti nanti dihitung berapa lama nyamuk itu bertahan di atas air? Atau ... ish! Ngga ngerti! Pikirannya begitu riuh walaupun mulutnya bungkam.
"Ini tahun terakhirmu di sini, Sa. Ibu berharap kamu bisa mengikuti lomba sains yang diadakan oleh Sekolah Mandraguna," sambung gurunya.
"Tapi Bu, saya sudah pernah ikut olimpiade. Saya rasa, sebaiknya giliran yang lain saja untuk ikut lomba ini. Seperti Sharly, Jaka, Febi, Mul—" dalihnya yang terpotong. Aku hanya ingin mempersiapkan ujian ku saja.
"Kamu yakin? Orang tuamu, oh, maksud saya ... ibumu. Apakah ibumu setuju jika kamu tidak mengikuti lomba ini? Saya sering dengar dari ibumu bahwa beliau sangat bangga dengan prestasimu," tutur gurunya yang terdengar seperti sebuah ancaman halus untuk Ansa.
Mama? Sejak kapan mama peduli? Bahkan saat aku mengatakan nilai ulangan ku seratus, mama tak peduli, batinnya saat mengingat masa lalu.
"Maaf, Bu. Saya sudah membicarakan ini sebelumnya dengan orang tua saya," ucap si rebel.
"Oke, nanti saya coba hubungi ibumu ya?" ucap gurunya yang terdengar mengancam Ansa lagi.
Silakan hubungi mama. Semoga diangkat ya, Bu! Ansa mendoakan supaya guru tersebut bisa berhasil menghubungi ibunya yang saat ini sedang sangat sibuk.
Selesai bernegosiasi dengan gurunya, Ansa melangkah masuk ke kelasnya. Ia segera kembali duduk di bangkunya.
"Shar," panggilnya sembari menoleh ke samping.
"Gimana tadi, Sa?" balas Sharly yang seakan mengerti jalan pikiran Ansa.
"Kamu rayu bu IPA itu supaya memilihmu saja ya?" pinta Ansa pada rivalnya tersebut.
"Eh kenapa? Kamu ngga mau ikut lomba itu? Lomba itu dari sekolah yang sangat sangat bagus! Kalau menang, hadiahnya itu loh ... waw!!" ucap Sharly yang diakhiri dengan sorakan.
"Bentar lagi aku ada pentas, ngga kuat kalau harus ikutan semuanya, Shar," jelas Ansa dengan wajah sendu. Aku ngga peduli dengan lomba itu, aku lebih suka di sanggar.
"Ya sudah, nanti Ratu Sharly akan menyihir bu IPA ... supaya memilih ku~" ucapnya dengan mengangkat dagunya.
Benar ‘kan? Dia sendiri menganggap dirinya seorang ratu di sekolah ini. Dia duduk denganku, pasti ada maunya, batin Ansa sembari mengelus dadanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!