12 Desember 2025
Di sebuah taman kecil di sudut jalan raya New York City, kota metropolitan terbesar di Amerika Serikat, seorang pria paruh baya duduk termenung di atas bangku kayu yang mulai lapuk oleh cuaca. Tubuhnya yang sedikit gemuk dibalut mantel musim dingin, wajahnya suram, dan matanya kosong menatap ke kejauhan, seakan mencari jawaban yang sudah lama hilang.
Pria itu bernama Arya Perkasa, seorang teknisi senior di perusahaan raksasa Tesla. Di atas kertas, Arya memiliki segalanya: gaji besar, jabatan prestisius, dan akses ke teknologi mutakhir yang hanya segelintir orang di dunia bisa sentuh. Namun, di balik itu semua, hidupnya adalah potret kesepian yang tak terkatakan.
Dia tidak memiliki rumah, kendaraan, atau aset berharga. Hidupnya hanyalah rutinitas kerja tanpa henti. Tidak ada keluarga untuk berbagi suka dan duka. Tidak ada istri atau anak yang menyambutnya pulang di penghujung hari. Arya adalah manusia yang berjalan tanpa tujuan di tengah gemerlapnya kota besar.
Sore itu, dia kembali terjebak dalam pusaran kenangan. Masa lalunya. Sebuah bab kehidupan yang tidak pernah bisa ia tinggalkan.
Dia tumbuh di sebuah kota kecil di Sumatera Selatan, di rumah dinas asrama polisi yang tak lebih besar dari kotak sepatu. Ayahnya adalah seorang polisi dengan gaji kecil, sementara ibunya, seorang mantan akuntan perusahaan sawit besar, terpaksa berhenti bekerja setelah mengalami komplikasi pasca melahirkan Arya. Keluarga mereka hidup dalam keterbatasan, dan hingga kedua orang tuanya meninggal dunia, mereka tidak pernah memiliki rumah sendiri.
Saat Arya beranjak dewasa, kehidupannya yang semula tenang berubah menjadi mimpi buruk. Ayahnya, seorang pria yang penuh integritas, meninggal dunia dalam sebuah insiden penembakan. Dia tertembak saat menangkap seorang bandit, atau begitulah cerita resminya. Tetapi bagi Arya, ada sesuatu yang tidak beres. Instingnya mengatakan ada pengkhianatan di balik kematian ayahnya.
Dia menyelidiki secara diam-diam, dan yang ia temukan menguatkan dugaannya: ayahnya dijebak oleh anak buahnya sendiri, seorang polisi berpangkat rendah tetapi hidup serba mewah. Mobil-mobil mewah, rumah besar, dan perkebunan sawit yang luas tidak mungkin berasal dari gaji polisi biasa. Kebenaran itu menghancurkan Arya. Namun, ia tidak berdaya melawan sistem.
Tak lama setelah itu, ibunya, yang sudah sakit-sakitan, meninggal dunia. Arya kehilangan segalanya.
Kehidupan setelah itu hanyalah perjuangan untuk bertahan hidup. Dia bekerja keras untuk membangun kariernya hingga berhasil masuk Tesla, tetapi rasa hampa itu tidak pernah hilang.
“Apa gunanya semua ini?” gumam Arya dalam hati, tatapannya tertuju pada langit senja yang mulai gelap. “Andai saja aku bisa mengubah segalanya…”
Namun, sebelum Arya tenggelam lebih jauh dalam pikirannya, sesuatu yang aneh terjadi. Di depannya, udara mulai bergetar seperti cermin retak. Retakan itu dengan cepat membesar, berubah menjadi lubang hitam raksasa sebesar truk. Arya hanya bisa melongo, tubuhnya terpaku di tempat. Sebelum ia sempat berpikir atau bergerak, gravitasi dari lubang hitam itu menariknya dengan kekuatan luar biasa.
“Apa-apaan ini?!” teriaknya panik, tetapi suaranya lenyap ditelan kekosongan.
Dalam hitungan detik, tubuh Arya tersedot ke dalam lubang hitam, dan taman itu kembali sunyi seperti sebelumnya. Lubang hitam itu menghilang tanpa meninggalkan jejak, seolah tidak pernah ada.
---
Ketika Arya membuka matanya, dia mendapati dirinya melayang di ruang yang gelap dan hampa. Tidak ada atas, tidak ada bawah, hanya kegelapan yang tak berujung. Namun, di kejauhan, ada titik-titik cahaya yang perlahan mendekat. Cahaya-cahaya itu mirip bintang, tetapi semakin dekat, Arya menyadari bahwa itu adalah sosok manusia—jutaan manusia yang bercahaya seperti bintang.
“Di mana aku…?” gumam Arya, tubuhnya gemetar di tengah kehampaan.
Tiba-tiba, suara aneh seperti dentingan lonceng memenuhi ruang itu. Suara itu tidak seperti apapun yang pernah didengar Arya. Kata-kata asing terdengar dari suara itu, namun satu kalimat tiba-tiba menjadi jelas di telinganya:
“Kalian akan menyatu dengan doppelganger kalian dan dikirim ke paralel masing-masing. Nikmati kehidupan baru... dan hukuman dari kami.”
Doppelganger? Hukuman? Arya bahkan tidak sempat memproses apa yang dikatakan suara itu ketika cahaya di sekitarnya mendadak berputar. Sebuah sosok bercahaya muncul di depannya, dan Arya terkejut melihat wajah itu. Itu dirinya—atau lebih tepatnya, dirinya ketika berusia 10 tahun!
Tubuh Arya ditarik ke arah sosok itu, dan mereka menyatu. Rasanya seperti dibakar hidup-hidup. Rasa sakit yang begitu hebat menusuk seluruh tubuhnya. Arya ingin berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar. Kesadarannya perlahan memudar.
---
Ketika Arya membuka matanya lagi, dia mendapati dirinya terbaring di atas ranjang sederhana dengan perban melilit kepalanya. Pandangannya kabur, tetapi ia bisa melihat kalender di dinding di seberang ruangan.
"1984...? Januari 1984?" Arya bergumam, suaranya serak. Dia memicingkan mata, memastikan apa yang dilihatnya benar.
Seketika, gelombang kesadaran menghantam dirinya. “Aku kembali ke masa lalu. Apakah aku terlahir kembali?”
Pertanyaan itu menggema dalam benaknya. Arya merasakan sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya: peluang. Peluang untuk mengubah segalanya.
“Jika ini benar, aku akan memastikan hidupku berbeda. Aku akan merebut setiap kesempatan yang ada… dan kali ini, aku tidak akan gagal.”
Dengan tekad membara, Arya mulai menyusun rencana besar di dalam kepalanya. Kehidupan lamanya memang penuh kegagalan, tetapi kali ini, dia akan menciptakan dunia yang sepenuhnya baru.
Bab 2: Kenangan Kecelakaan
Pagi itu, sinar matahari yang masuk melalui jendela perlahan membangunkan Arya. Ia masih merasa lelah, seolah tidur tidak cukup untuk menghapus rasa sakit di tubuhnya. Namun, rasa lelah itu bukan sekadar fisik. Jiwanya terasa terbebani oleh banyak pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Arya duduk di ranjang dengan perlahan, merasakan dinginnya lantai yang bersentuhan dengan kakinya. Pandangannya tertuju ke luar jendela, di mana burung-burung berkicau dan angin pagi meniup dedaunan pohon mangga di halaman rumah.
“Kenapa semuanya terasa berbeda?” gumam Arya pelan. Ia mencoba mengingat kehidupannya sebelum peristiwa misterius itu. Dan tanpa peringatan, ingatan itu kembali seperti badai yang menghantam pikirannya.
***
Arya teringat dengan jelas. Kecelakaan itu terjadi pada awal Januari, tepat setelah liburan tahun baru ketika ia masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Hari itu cerah, dan Arya mengenakan seragam putih merah yang baru disetrika oleh ibunya. Sepulang sekolah, ia berjalan santai bersama teman-temannya, menuju gerbang sekolah yang menghadap ke jalan raya kecil di kota Sekayu. Namun, kebahagiaan itu berubah menjadi mimpi buruk dalam sekejap.
Ketika Arya hendak menyeberang jalan, ia merasa dorongan keras dari belakang. Tubuh kecilnya terpental ke tengah jalan, tepat di jalur sebuah bus yang sedang melaju. Wajahnya sempat menoleh, dan ia melihat bayangan seseorang di pinggir jalan. Itu Dika—teman sekelasnya yang dikenal nakal dan iri dengan kepintaran Arya di kelas.
Waktu seolah melambat ketika bus itu menghantam tubuh Arya. Ia terlempar beberapa meter sebelum akhirnya jatuh di atas aspal. Dunia menjadi gelap dalam sekejap. Rasa sakit yang tak tertahankan menghantam seluruh tubuhnya—tangan kirinya patah, tulang rusuknya retak, dan wajahnya terluka parah akibat terseret di jalan.
Kecelakaan itu meninggalkan bekas yang mendalam, bukan hanya di tubuhnya, tetapi juga di hatinya. Dika tidak pernah dihukum atas perbuatannya. Orang tuanya yang kaya dan berpengaruh dengan mudah menyuap pihak sekolah dan polisi setempat untuk menganggap insiden itu sebagai "kecelakaan biasa."
“Dika…” gumam Arya, tinjunya mengepal. Nama itu terasa pahit di lidahnya, meski tahun-tahun telah berlalu. Ia masih bisa merasakan dendam itu, meski kini ia telah diberi kesempatan kedua.
***
Namun, ada sesuatu yang berbeda. Arya mencoba meraba tubuhnya. Tidak ada bekas luka di tangan kirinya, yang sebelumnya patah. Dadanya terasa normal, tidak ada tanda-tanda retakan tulang yang pernah ia alami. Bahkan, tubuh kecilnya terasa lebih kuat dan sehat dibandingkan apa yang ia ingat dari masa kecilnya dulu.
Arya mengangkat tangannya, menatap telapak tangannya yang kecil tapi kokoh. “Ini… berbeda,” pikirnya. Ia mencoba menekuk-nekuk jari tangannya, merasakan kekuatan yang baru. Rasanya seperti tubuh ini adalah versi sempurna dari dirinya yang dulu.
“Apakah karena dunia ini berbeda?” pikir Arya. Kesadarannya mulai menghubungkan titik-titik kecil. Tidak hanya tubuhnya yang berbeda, tetapi juga keluarganya. Rumah ini lebih besar dari yang ia ingat. Orang tuanya tampak lebih sehat dan bahagia. Dan, tentu saja, adik perempuan bernama Amanda—yang tidak pernah ada dalam kehidupan sebelumnya.
Arya menatap ke luar jendela lagi. Di luar sana, dunia tampak seperti yang ia ingat, tetapi dengan sentuhan keanehan yang halus. Ia tahu bahwa kehidupannya di dunia ini telah berubah secara mendasar.
“Ini bukan hanya kesempatan kedua… ini adalah dunia yang sama sekali berbeda,” pikir Arya, perasaan penasaran mulai menguasainya. Tapi pertanyaan yang lebih besar terus menghantuinya: seberapa besar dunia ini telah berubah?
Suara langkah kaki kecil mendekat. Sebelum Arya sempat bangkit dari ranjang, pintu kamar terbuka perlahan, dan wajah ceria Amanda muncul dari balik pintu. Gadis kecil itu membawa nampan berisi segelas susu dan sepotong roti panggang dengan selai kacang. Matanya yang besar berbinar melihat Arya yang sudah bangun.
“Kakak, sarapan dulu, ya! Kata Ibu, Kakak harus makan supaya cepat sembuh,” ucap Amanda dengan suara riang, meletakkan nampan di meja kecil di samping ranjang. Gadis itu kemudian duduk di tepi ranjang, memandang Arya dengan penuh perhatian.
Arya tersenyum canggung. Kehadiran Amanda masih terasa aneh baginya. Dalam kehidupan sebelumnya, ia tidak pernah memiliki adik. Namun, gadis kecil ini tampak begitu tulus dan penuh kasih sayang, membuat Arya tidak bisa mengabaikannya.
“Terima kasih, Amanda,” kata Arya sambil mengambil gelas susu. Ia menyesapnya perlahan, membiarkan kehangatan cairan itu mengisi tubuhnya.
Amanda tersenyum lebar. “Kakak janji, ya, jangan sakit lagi. Amanda takut Kakak enggak bisa main di sungai lagi,” ucapnya polos.
Arya mengangguk pelan, meski hatinya masih diliputi kebingungan. Gadis kecil ini begitu perhatian, seolah-olah mereka telah berbagi banyak kenangan bersama. Namun, bagi Arya, Amanda adalah sosok yang baru dalam hidupnya.
***
Tak lama kemudian, suara pintu terbuka lagi. Sulastri, ibunya, masuk ke kamar sambil membawa beberapa pakaian bersih. Ia tersenyum lembut melihat Arya yang sudah duduk tegak di ranjang.
“Arya, bagaimana perasaanmu? Masih sakit?” tanya Sulastri dengan nada penuh kasih. Ia menaruh pakaian di lemari kecil di sudut ruangan, lalu mendekati Arya untuk memeriksa dahinya.
“Sudah jauh lebih baik, Bu,” jawab Arya singkat. Meski ingin bertanya banyak hal, ia menahan diri untuk sementara. Ia memilih untuk mengamati terlebih dahulu.
“Baguslah. Nanti setelah sarapan, Ayahmu ingin bicara denganmu. Katanya ada sesuatu yang penting,” ujar Sulastri, menepuk bahu Arya dengan lembut sebelum keluar dari kamar.
Arya mengangguk, tetapi hatinya semakin penuh dengan pertanyaan. Ia menghabiskan sarapannya dalam diam, sementara Amanda terus mengoceh tentang kegiatan sehari-hari mereka. Gadis kecil itu bercerita tentang ayam-ayam di halaman, taman bunga milik Ibu, dan mainannya yang baru.
***
Setelah selesai makan, Arya berdiri dan berjalan ke arah cermin besar yang tergantung di dinding kamar. Ia menatap pantulan dirinya—anak kecil berusia sepuluh tahun dengan mata yang tajam dan tubuh yang sehat. Ia mendekatkan wajahnya ke cermin, mencoba mencari tanda-tanda dari kehidupan sebelumnya. Tapi semuanya terasa baru. Bahkan ekspresinya pun berbeda—lebih penuh energi, lebih optimis.
Arya menarik napas dalam. “Dunia ini bukan dunia yang aku tinggalkan,” pikirnya. Ingatannya tentang kehidupan sebelumnya begitu jelas—sebuah rumah kecil di kompleks asrama polisi yang sempit, ibunya yang lemah, dan ayahnya yang bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Tapi dunia ini… berbeda. Rumah mereka luas, dengan perabotan yang elegan. Bahkan, mereka memiliki seorang pembantu yang membantu pekerjaan rumah tangga.
“Ayah dan Ibu pasti tahu sesuatu,” pikir Arya. Ia mulai menyusun rencana untuk mencari jawaban. Tidak mungkin semua perubahan ini terjadi secara kebetulan.
***
Setelah sarapan, Arya akhirnya duduk bersama ayahnya di ruang keluarga. Brata, yang mengenakan pakaian santai, terlihat lebih gagah dibandingkan apa yang Arya ingat. Ia menatap putranya dengan senyuman penuh kebanggaan.
“Arya, Ayah senang kamu sudah merasa lebih baik,” kata Brata, duduk di kursi rotan di dekat Arya. “Ada beberapa hal yang ingin Ayah bicarakan denganmu, tapi kita akan pelan-pelan saja. Yang penting sekarang, kamu fokus untuk pulih.”
Arya mengangguk, mencoba menahan rasa ingin tahunya. “Terima kasih, Yah. Tapi… bolehkah aku bertanya sesuatu?”
Brata mengangkat alisnya. “Tentu saja, Nak. Apa yang ingin kamu ketahui?”
Arya ragu sejenak sebelum berkata, “Kenapa kita tinggal di rumah ini? Dan… kenapa semuanya terasa berbeda?”
Brata terdiam sejenak, senyum kecil bermain di bibirnya. “Itu pertanyaan yang bagus, Arya. Mungkin jawaban lengkapnya akan terlalu rumit untuk sekarang. Tapi satu hal yang bisa Ayah katakan, kita semua diberi kesempatan untuk menjalani hidup ini dengan lebih baik.”
Kata-kata Brata membuat hati Arya bergetar. Ia tahu bahwa ayahnya menyembunyikan sesuatu, tetapi ia memilih untuk menunggu. Jawaban itu hanya memperkuat keyakinannya bahwa dunia ini berbeda dari yang ia kenal.
Bab 3: Rahasia Keluarga dan Perubahan Fisik
Pagi itu, Arya duduk di ruang tamu bersama keluarganya. Udara pagi yang sejuk masuk melalui jendela yang terbuka, membawa aroma bunga dari taman kecil di halaman rumah mereka. Sulastri, ibunya, sedang sibuk menyiapkan teh, sementara Amanda bermain dengan boneka kain di lantai. Arya memandang mereka dengan diam, mencoba memahami dunia barunya yang penuh keanehan.
Namun, rasa penasarannya semakin besar. Ia perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia tahu bahwa keluarga ini berbeda dari yang ia tinggalkan di kehidupan sebelumnya, dan jawaban atas semua itu pasti ada pada orang tuanya.
"Ayah, Ibu," panggil Arya tiba-tiba. Suaranya terdengar tegas, sesuatu yang jarang ia lakukan sebagai seorang anak kecil. Kedua orang tuanya menoleh ke arahnya, tampak sedikit terkejut.
"Ada apa, Nak?" tanya Brata, sambil meletakkan cangkir kopinya di meja. Wajahnya tetap tenang, tetapi Arya menangkap kilatan kecil di matanya—seperti seseorang yang sudah tahu apa yang akan ditanyakan.
“Aku ingin tahu… apakah ini dunia yang sama seperti dulu?” Arya menatap mereka bergantian. “Kenapa semuanya terasa berbeda? Rumah ini, Amanda, bahkan kalian berdua… semua tidak seperti yang aku ingat.”
Ruangan itu hening sejenak. Amanda berhenti bermain dan memandang kakaknya dengan bingung, sementara Sulastri dan Brata saling bertukar pandang. Ada sesuatu dalam ekspresi mereka, seolah-olah mereka telah menunggu pertanyaan ini sejak lama.
***
Brata menarik napas dalam dan menatap Arya dengan serius. “Arya,” katanya perlahan, “kamu benar. Dunia ini berbeda. Dan… Ayah dan Ibu memang tahu kenapa.”
Arya terdiam, tetapi jantungnya berdebar kencang. Ia memandang kedua orang tuanya, menunggu mereka melanjutkan.
Sulastri mengambil alih. Suaranya lembut, tetapi penuh emosi. “Arya, kami juga mengalami sesuatu yang… luar biasa. Kami, sama sepertimu, memiliki ingatan tentang masa depan. Tetapi entah kenapa, ingatan kami hanya sampai tahun 1992.”
“Tahun 1992?” Arya mengulanginya, mencoba mencerna informasi itu. Dalam kehidupan sebelumnya, tahun itu adalah saat ketika segalanya berubah menjadi lebih buruk bagi keluarganya. Ia kehilangan kedua orang tuanya di tahun itu, meninggalkan dirinya sebatang kara.
Brata melanjutkan. “Kami tidak tahu kenapa ini terjadi, tetapi ingatan itu datang perlahan, seperti mimpi yang berulang. Awalnya kami tidak percaya, tetapi semakin banyak hal yang terjadi persis seperti dalam ingatan kami, kami tahu bahwa itu bukan sekadar kebetulan.”
"kenapa kalian tahu kalau aku memiliki ingatan masa depan?" Arya bertanya curiga.
"Itu sangat mudah, kamu dengan ceroboh bertanya sesuatu yang aneh, tadi. kepribadian mu juga terlihat berubah, tidak seperti anak kecil berusia 10 tahun," jelas Sulastri sambil tersenyum.
Arya menyadari bahwa dia terlalu ceroboh, dia terlalu bersemangat dengan keadaan asing yang berbeda dari ingatan nya. Tetapi dia ingin tahu, apa yang dilakukan oleh orang tuanya tentang ingatan itu.
Arya menatap mereka dengan tajam. “Jadi… apa yang kalian lakukan dengan ingatan itu?”
Sulastri tersenyum tipis. “Kami memutuskan untuk tidak mengulangi kesalahan yang kami buat di kehidupan sebelumnya. Kami mengambil setiap peluang yang kami ingat untuk membangun kehidupan yang lebih baik, tidak hanya untuk kami, tetapi juga untukmu dan Amanda.”
Mendengar nama adiknya disebut, Arya merasa hatinya menghangat. Meski Amanda adalah sosok baru dalam kehidupannya, ia mulai menerima kehadirannya sebagai bagian penting dari keluarga ini.
***
Brata menatap Arya dengan penuh kebanggaan. “Arya, ingatan ini adalah berkah sekaligus tanggung jawab. Kami menggunakan apa yang kami tahu untuk membangun bisnis keluarga, mendirikan perkebunan sawit dan karet mengambil langkah-langkah strategis untuk memastikan masa depan kita lebih cerah. Tetapi kami juga tahu bahwa hidup tidak akan berjalan sempurna. Ada banyak tantangan yang harus kita hadapi.”
Arya mengangguk pelan. Ia mulai memahami mengapa dunia ini begitu berbeda. Ayah dan ibunya telah menggunakan ingatan masa depan mereka untuk mengubah segalanya, menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk keluarga mereka. Tetapi di balik itu, Arya merasakan sesuatu yang lebih dalam—tekanan untuk memenuhi harapan mereka.
Sulastri menatap putranya dengan penuh kasih. “Kami tahu kamu pasti merasa bingung dan tertekan dengan semua ini. Tetapi Arya, kamu tidak sendiri. Kita akan menjalani kehidupan ini bersama-sama, sebagai keluarga.”
Arya menunduk, menyembunyikan emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Dalam hati, ia merasa bersyukur sekaligus cemas. Dunia ini penuh peluang, tetapi juga penuh tantangan yang tidak ia ketahui.
***
Arya akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “Jadi… apa rencana kita selanjutnya?”
Brata tersenyum, tetapi ada ketegasan dalam tatapannya. “Selanjutnya, kita mempersiapkanmu untuk menghadapi dunia baru ini. Kamu akan menemukan bahwa ada banyak hal yang belum kamu ketahui, Arya. Dan Ayah yakin, kamu akan menjadi bagian penting dari masa depan keluarga ini.”
Arya mengangguk pelan. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa kehidupannya kini telah berubah sepenuhnya. Namun, ia belum tahu seberapa besar peran yang harus ia mainkan dalam kehidupan baru ini.
Setelah percakapan serius dengan kedua orang tuanya, Arya merasa seperti sebagian besar teka-teki hidupnya di dunia baru ini mulai terjawab. Namun, ada pertanyaan lain yang terus menghantui pikirannya—perubahan fisiknya. Tubuh ini terasa lebih kuat, lebih sehat, dan lebih bugar dibandingkan tubuhnya di kehidupan sebelumnya. Ia perlu memastikan apakah ini hanya perasaan atau ada sesuatu yang lebih besar terjadi.
***
Di pagi yang sejuk, Arya keluar dari kamar dan berjalan ke halaman belakang rumah. Ia ingin merasakan tubuh barunya lebih intens. Dengan langkah pelan, ia mulai melakukan peregangan ringan, mencoba merasakan setiap otot yang bergerak. Sensasi itu begitu nyata, seperti tubuhnya telah diprogram ulang untuk menjadi versi yang lebih baik.
Arya mencoba menekuk lututnya, lalu melompat kecil. Rasanya ringan, seperti tubuh ini dilengkapi dengan energi tambahan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia lalu mencoba mendorong dirinya lebih jauh—mencoba berlari kecil di sekitar halaman.
Yang mengejutkan, ia hampir tidak merasa lelah. Jantungnya berdetak teratur, napasnya stabil, dan tidak ada rasa nyeri di tubuhnya. Dalam kehidupan sebelumnya, bahkan gerakan sederhana seperti ini bisa membuatnya ngos-ngosan karena kurang olahraga.
“Apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh ini?” gumam Arya. Ia menyentuh dadanya, mencoba mengukur detak jantungnya yang tetap tenang meskipun ia baru saja berlari. "Tubuh ini terasa seperti… dibuat untuk hal-hal yang lebih besar, aku merasakan tubuh ini masih bisa berkembang menjadi lebih kuat. Tetapi bukan cuma tubuh, pikiran ku juga terasa lebih jernih."
***
Saat Arya sedang melatih tubuhnya, Sulastri keluar dari dapur dengan membawa semangkuk buah. Ia memerhatikan putranya yang sedang sibuk bergerak di halaman dan tersenyum kecil. “Arya, apa yang sedang kamu lakukan di pagi-pagi begini?” tanyanya sambil mendekati.
Arya berhenti sejenak dan menggaruk kepala. “Hanya mencoba tubuh ini, Bu. Rasanya berbeda. Jauh lebih kuat dari yang aku ingat.”
Sulastri menatap Arya dengan penuh kasih. “Itu bukan hal yang aneh, Arya. Tubuhmu memang lebih sehat sekarang, dan mungkin kamu merasa lebih kuat karena dunia ini memberi kita semua awal yang baru.”
Arya memandang ibunya, mencoba mencari tahu apakah ia menyembunyikan sesuatu. Namun, Sulastri tetap tersenyum lembut, seperti tidak ingin terlalu membebani Arya dengan informasi yang terlalu banyak. “Arya, kamu masih muda. Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang rumit. Tubuhmu akan tumbuh dengan baik, apalagi dengan dukungan keluarga yang selalu ada untukmu.”
***
Di siang harinya, Brata mengantar Arya ke rumah sakit untuk pemeriksaan lanjutan. Meski Arya merasa sehat, keluarganya tetap ingin memastikan bahwa tidak ada hal yang terlewatkan.
Di ruang pemeriksaan, dokter yang tampak ramah memeriksa tubuh Arya dengan cermat. Ia mengetuk-ngetuk lutut Arya untuk memeriksa refleks, mendengarkan denyut jantungnya, dan melakukan beberapa tes lainnya.
Setelah selesai, dokter tersenyum puas. “Arya, kamu benar-benar anak yang sehat. Bahkan, tubuhmu tampak sedikit lebih baik dari kebanyakan anak seusiamu. Tidak ada tanda-tanda cedera serius, dan pemulihanmu berjalan dengan sangat cepat.”
Brata yang mendampingi Arya mengangguk. “Syukurlah. Jadi, tidak ada masalah, Dok?”
Dokter menggeleng. “Tidak ada. Bahkan, saya rasa Arya ini calon atlet yang hebat jika melihat kondisinya. Tubuhnya memiliki daya tahan dan kekuatan yang luar biasa.”
Arya tersenyum kecil, meskipun di dalam hati ia tahu bahwa tubuh ini bukan hanya tentang genetik atau pola hidup sehat. Dunia ini benar-benar memberikan kesempatan yang baru, bahkan hingga level fisik.
Arya mendapat wawasan bahwa tubuh dan kecerdasan nya bisa tumbuh hingga 4 kali dari manusia biasa, mungkin ini golden finger yang biasa ada di novel-novel kehidupan sebelumnya.
***
Setelah pemeriksaan selesai, dokter memberikan izin resmi agar Arya bisa pulang ke rumah. Saat berjalan keluar dari rumah sakit bersama ayahnya, Arya memperhatikan sekeliling. Dunia ini terasa familiar, tetapi setiap elemen kecil tampak lebih baik dari yang ia ingat. Jalanan lebih bersih, orang-orang tampak lebih ceria, dan bahkan aroma udara terasa segar.
“Dunia ini… lebih baik dari apa yang aku tinggalkan,” pikir Arya. Namun, rasa penasaran dalam hatinya semakin membesar. Ia ingin tahu seberapa jauh dunia ini telah berubah, dan yang lebih penting, seberapa besar ia bisa memanfaatkannya.
Brata menepuk bahu Arya dengan lembut. “Nak, kamu siap pulang ke rumah dan memulai kehidupan barumu?”kalimat ini hanya sebuah isyarat dari brata untuk Arya agar memulai hidup baru yang lebih baik.
Arya menoleh dan mengangguk dengan mantap. “Iya, Ayah. Aku siap.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!