Alya duduk di sudut ruang tamu rumahnya yang sederhana. Tangannya sibuk menjahit baju sekolah adiknya yang robek, sementara pikirannya melayang jauh. Ia adalah lulusan perguruan tinggi yang penuh impian, tetapi kenyataan hidup memaksanya bekerja serabutan untuk membantu keluarganya. Ayahnya telah lama meninggal, dan ibunya hanya seorang penjual makanan ringan di pasar. Kehidupan mereka sederhana, kadang terlalu sederhana, hingga membuat Alya harus berjuang keras menghidupi mereka bertiga bersama adiknya yang masih sekolah.
Hari ini, salah seorang temannya mengiriminya pesan tentang lowongan kerja menjadi pengasuh anak. Meski bukan pekerjaan impiannya, Alya merasa pekerjaan ini lebih stabil dibandingkan pekerjaannya sekarang sebagai asisten toko dan guru les paruh waktu karena gaji yang dijanjikan lumayan besar. Ia berencana untuk mendaftar esok hari.
Sambil menjahit, Alya bergumam pada dirinya sendiri.
"Apa aku bisa melakukan pekerjaan ini?" ucapnya lirih, matanya sibuk mengamati pesan yang entah sudah berapa kali ia baca dan ia tutup kembali.
"Mengasuh anak mungkin tidak terlalu sulit, tapi bagaimana kalau aku tidak cocok dengan keluarga mereka?" Alya sebelumnya tidak pernah bekerja dengan menginap di tempat kerja seperti menjadi art atau baby sister.
"Bagaimana kalau aku tidak bisa bertahan?" gumam ya lagi sembari menghela nafas.
"Tapi aku harus mencobanya. Mana akh tahu kalau aku tidak mencobanya. Keluarga ini membutuhkan aku. Aku tidak bisa terus-terusan begini. Gaji dari pekerjaan ini mungkin cukup untuk membantu bayar utang ibu dan biaya sekolah Nisa." lagi-lagi kebutuhan keluarga yang menjadi pertimbangannya. Ia tidak bisa mengabaikan hal itu, apalagi bulan depan ia sudah menunggak membayar hutang tiga kali, jika ia tidak bisa membayarnya bisa jadi rumahnya yang menjadi harta satu-satunya akan benar-benar di gadaikan oleh ibunya untuk melunasi hutang. Itu artinya sama dengan gali lubang tutup lubang dan tidak akan pernah selesai, mungkin malah akan semakin besar.
Matanya menatap kalender di dinding, memperhatikan tanggal yang ia lingkari merah—tanggal jatuh tempo uang sekolah adiknya.
"Ya Allah, kuatkan aku. Kalau ini jalanku, mudahkanlah segalanya. Aku hanya ingin melihat ibu dan Nisa bahagia. Mereka sudah terlalu banyak menderita." gumamnya lagi, bahkan uang sekolah Nisa juga belum terbayarkan satu semester ini, tanggal yang ia lingkari adalah hari dimana Nisa harus ujian dan biaya sekolahnya harus lunas.
***
Ketika malam tiba, Alya menyusul ibunya yang tengah sibuk di dapur. Ia berniat berbicara dengan ibunya. tampak sang ibu sedang mencuci piring bekas makan malam mereka, sementara Alya membantu merapikan meja.
"Ibu" panggilnya pelan.
"Hmmm, ada apa?" tanya sang ibu.
"Sebenarnya tadi Kia telpon Alya, katanya ia ada lowongan pekerjaan." ucap Alya sembari mengelap meja dengan kain kecil.
Sang ibu menghentikan pekerjaannya, ia menoleh pada Alya, "Bukannya kamu sudah kerja?"
Kemudian sang ibu teringat sesuatu, "Tadi kamu kelihatan sibuk di kamar. Ada apa, Nak? Ada masalah di tempat kerja?"
Alya segera menggeleng pelan, "Bukan, Bu. Tapi aku pikir tawaran ini cukup bagus, gajinya gede."
Ibunya semakin mengerutkan keningnya, "Jadi apa?"
"Jadi pengasuh anak, Bu. Kalau diterima, gajinya lumayan untuk bantu kebutuhan kita." jawab Alya dengan cepat, ia tahun ibunya mungkin tidak akan mudah setuju mengingat latar belakang pendidikannya.
Ibu kembali berhenti mencuci piring dan menatap Alya, "Pengasuh anak? Kamu yakin, Alya? Kamu kan sudah kuliah tinggi-tinggi. Masa harus kerja begitu?"
Alya tersenyum tipis, "Bu, Alya nggak masalah kok. Yang penting pekerjaan ini halal dan bisa bantu kita. Lagi pula, Alya belum dapat kerjaan sesuai jurusan. Daripada terus nunggu tanpa kepastian, lebih baik Alya coba ini dulu."
Ibu menarik napas panjang, "Ibu nggak bisa melarang, jika itu sudah menjadi keputusanmu, ya sudah kamu lakukan, tapi satu hal yang harus kamu ingat. Kamu juga berhak punya mimpi."
Alya mendekat dan mengambil tangan ibunya yang basah dan menggenggamnya, "Bu, keluarga ini adalah mimpi Alya. Kalau Alya bisa buat ibu sama Nisa bahagia, itu sudah lebih dari cukup. Doain Alya ya, semoga diterima besok."
Sang ibu tersenyum haru, "Ibu selalu doain kamu, Alya. Apa pun yang terbaik untukmu."
Ketika malam semakin larut, Alya duduk di kasurnya, menatap cermin kecil di sudut kamar. Ia berlatih bicara, mencoba menjawab pertanyaan yang mungkin ditanyakan oleh calon majikannya.
"Apa kelebihan saya? Saya sabar, suka anak-anak, dan saya cepat belajar... Apa alasan saya melamar? Karena saya ingin membantu keluarga saya, dan pekerjaan ini memberi peluang itu..."
Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu mengangguk kecil.
"Besok adalah hari baru. Semoga semuanya berjalan lancar."
Esok hari, Alya bersiap dengan penuh semangat, berharap pekerjaan itu menjadi awal dari perubahan besar dalam hidupnya.
****
Alya melangkah dengan hati berdebar memasuki gedung megah yang berada di pusat kota. Gedung yang menjulang tinggi dengan desain modern itu mengesankan, berbeda dengan tempat tinggalnya yang sederhana. Ia tertegun sejenak, merasa seolah berada di dunia yang berbeda. Kini ia tengah berdiri di depan gedung tinggi ini, langkahnya ragu saat menghampiri resepsionis. dengan menunjukkan surat rekomendasi yang diberikan temannya, petugas resepsionis pun mengantarnya ke depan sebuah ruangan.
"Silahkan tunggu di sini, nona. sebentar lagi sekretaris Dina akan segera menemui anda." ucap sang resepsionis.
"Terimakasih, ya mbak."
Setelah itu sang petugas resepsionis pun meninggalkan Alya di sana. Tidak berapa lagi pintu yang sedari Tati tertutup itu mulai terbuka, seorang sekretaris wanita berpakaian rapi menyambutnya dengan senyum hangat.
"Selamat datang, Nona Alya. CEO kami sudah menunggu. Silakan ikut saya."
Alya hanya bisa mengangguk dengan gugup, berusaha mengendalikan langkahnya yang terasa sedikit goyah. Sekretaris itu memimpin jalan, dan Alya mengikuti dengan langkah cepat namun hati yang berdebar.
Mereka berjalan menyusuri lorong yang dipenuhi dengan lukisan-lukisan karya seni modern, menuju sebuah ruangan besar yang dikelilingi kaca. Di dalamnya, Alya bisa melihat sebuah meja kerja besar dengan beberapa komputer dan tumpukan berkas, serta kursi yang elegan.
Namun, sebelum ia bisa meresapi suasana tersebut lebih jauh, sekretaris itu menghadapinya dan berkata, "Sebelum bertemu CEO kami, izinkan saya menjelaskan sedikit mengenai posisi yang Anda lamar. Kami mencari seorang pengasuh untuk nona Tara, putri CEO kami, Aditya Wijaya. Dia baru berusia 6 tahun dan membutuhkan perhatian penuh."
"Enam tahun ya? Bukan hal yang sulit kan? Adikku juga masih berusia enam tahun ...," batin Alya
""Saya mengerti mbak, lalu tugas saya apa?" tanya Alya memberanikan diri.
"Tugas Anda nanti bukan hanya mengasuh nona Tara, tetapi juga membantu mengembangkan bakat dan kreativitasnya."
Alya menganggukan kepalanya mengerti, "Lalu apa saya harus tinggal di rumah tuan Aditya?" tanya Alya, mendengar penjelasan sekretaris Dina, sepertinya seperti itu.
"Tentu saja, Anda akan tinggal di kediaman nona Tara dan tuan Aditya , mengingat jam kerja yang fleksibel dan kebutuhan nona Tara yang mendalam akan pendampingan."
Alya menatap sekretaris itu, bingung. "Tunggu, Anda bilang saya akan mengasuh... anak CEO? Jadi ini bukan mengasuh anak anda, mbak?" tanya Alya baru ngeh sedati tadi bicara.
Sekretaris itu tersenyum. "Benar, Nona. Ini adalah pekerjaan yang spesial. Dan anda harus benar-benar hati-hati jika tuan Aditya menerima, anda."
"Ya ampun, dari yang aku kenal di media sosial tuan Aditya begitu dingin dan tegas, ia tidak menyukai kesalahan sekecil apapun, itu artinya aku akan datang ke kandang macam," batin Alya sembari menelan salivanya dengan susah payah.
"Bagaimana menurut anda, tuan Aditya itu?" tanya Alya memberanikan diri.
Sang sekretaris menoleh dan tersenyum tipis nyaris tidak terlihat, "Bagaimanapun sikap tuan Aditya tergantung bagaimana pekerjaan anda nanti nona, keputusan tetap di tangan nona Tara."
"Nona Tara? dari yang aku dengar, selama satu bulan ini sudah sepuluh kali nona Tara gonta-ganti pengasuh, bagaimana dia akan suka denganku." batin Alya khawatir.
Alya mengangguk dengan canggung. Hatinya semakin berdebar, dan tiba-tiba rasa gugupnya semakin meningkat. nona Tara? Putri tuan Aditya? Bagaimana kalau saya tidak cocok dengan anak itu? Bagaimana kalau saya tidak bisa menghadapinya?
Sambil menunggu di ruang tunggu, Alya duduk di kursi empuk yang nyaman. Pandangannya tertuju pada sebuah lukisan besar di dinding, tetapi pikirannya melayang jauh.
"Bagaimana ini? Aku tidak menyangka sama sekali. Mengasuh anak seorang CEO? Ini bukan pekerjaan biasa. Aku kira ini hanya pekerjaan sederhana, tapi ternyata jauh lebih rumit dari itu. Apa aku bisa? Aku harus bisa. Ini kesempatan yang mungkin datang sekali seumur hidup, gajinya begitu menggiurkan. Aku ingin membantu keluarga, dan kalau aku diterima, mungkin aku bisa membantu Nisa dan ibu lebih banyak lagi."
Alya menatap tangannya yang masih gemetar. "Apapun nanti keputusannya, aku harus mencobanya kan."
Alya menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya
Tak lama setelah itu, pintu ruang CEO terbuka, dan seorang gadis kecil berlari masuk, diikuti oleh seorang pria yang mengenakan jas hitam rapi. Pria itu adalah Aditya Wijaya, CEO yang dimaksud.
"Kamu siapa?" tanya tuan Aditya begitu melihat Alya bersama sekretarisnya.
"Maaf tuan, ini nona Alya. Dia adalah ke seratus Minggu ini." ucap sang sekretaris memperkenalkan Alya.
Aditya pun duduk di kursinya, sedangkan Tara terlihat cuek dan memilih bermain dengan gadgetnya di sofa, sang sekretaris pun menunjukkan CV Alya pada tuan Aditya, dengan seksama tuan Aditya memeriksa CV itu,
"Jadi kamu lulusan S1, ekonomi?"
"Iya tuan." jawab Alya gugup. keberaniannya yang tadi ia pupuk sepertinya menguap begitu saja.
"Kenapa memilih pekerjaan ini?" tanyanya dingin bahkan tanpa mengubah ekspresi wajahnya.
"Karena saya membutuhkannya, tuan."
"Apa kamu punya pengalaman menjaga anak-anak?" kali ini Aditya memicingkan matanya.
"Adik saya seumuran dengan nona Tara, tuan. Dan saya yang menjaganya selama ini."
Aditya pun berdiri, kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan dengan kedua tanganya menjadi sandaran agar lebih dekat dengan Alya yang sedati tadi menunduk, "Saya membutuhkan seseorang yang tidak hanya bisa menjaga Tara, tetapi juga bisa mendidiknya dengan cara yang penuh kasih. Tara adalah anak yang sangat cerdas, namun dia butuh sosok yang dapat membimbingnya dengan lembut. Apa kamu merasa siap untuk tugas yang cukup besar ini?"
Alya mencoba terdengar yakin, "Saya siap, tuan Aditya. Saya memang belum berpengalaman bekerja dengan anak-anak di lingkungan seperti ini, tapi saya percaya saya bisa belajar dengan cepat. Saya sudah banyak mengasuh anak-anak kecil di sekitar rumah, dan saya sangat suka bermain dan mengajarkan mereka hal-hal baru."
Aditya mengangguk perlahan, "Tapi sayangnya saya tidak butuh janji, kalau kamu benar-benar bisa, coba kamu mengobrol dengan Tara, jika cocok mungkin akan saya pertimbangkan."
"Baik tuan,"
Alya pun mendekat dan berjongkok di depan Tara, "Hai nona Tara, kenalkan aku Alya."
Tara hanya melirik sebentar kemudian kembali melanjutkan kesibukannya dengan layar gadget nya seolah-olah tidak peduli dengan keberadaan Alya.
Ya Allah,susah banget nih anak dideketin ...., gumam Alya dalam hati. Alya pun melirik gambar yang yang ada di layar gadget Tara, tampak Tara tengah sibuk menggambar, "Wow, gambar nona Tara bagus sekali, Nona! Kamu benar-benar berbakat."
Tara yang awalnya cuek pada Alya pun mulai berbicara pada Alya, "Aku mau jadi seniman besar suatu hari nanti!"
Alya tersenyum tipis, Berhasil, sedikit lagi ..., batinya. Tanpa sadar, ia mulai merasa lebih percaya diri. "Kalau kamu mau, aku bisa mengajarimu. Aku cukup berbakat menggambar animasi, aku pernah dapat juara menggambar animasi di kampus."
Bersambung
Happy reading
Aditya Wijaya duduk di kursi besar di sudut ruang CEO, matanya tak lepas dari Alya yang sedang berbicara dengan Tara. Alya, dengan penampilan yang sederhana dan ceria, tampak jauh dari sosok pengasuh ideal yang ada dalam bayangannya. Ia membayangkan seseorang yang lebih tegas, dengan sikap yang lebih matang dan terstruktur—bukan seorang gadis muda yang terlihat lebih seperti teman bermain bagi Tara daripada pengasuh yang profesional.
Alya tampak nyaman berbicara dengan Tara, membuat gadis kecil itu tertawa dan melupakan semua keraguan yang ada di benaknya. Namun, di dalam hati Aditya, muncul keraguan yang semakin besar. *"Dia terlihat terlalu santai. Bagaimana dia bisa mengasuh anak sebaik ini? Terlalu ceria, terlalu… tidak serius,"* pikirnya.
Tara, yang sibuk menggambar, tiba-tiba menoleh dan tersenyum lebar pada Alya. "Alya, gambar ini bagus kan? Ini buat kamu!"
Alya tersenyum lebar, mengangguk dengan penuh semangat, "Iya, nona Tara! Gambarnya luar biasa! Nona punya bakat besar!"
Aditya yang melihat semua ini dari sudut ruangan hanya mengernyit. *"Gadis itu, terlalu ceria. Terlalu banyak bicara. Apa dia serius? Ini bukan permainan. Tara butuh pengasuh yang bisa mengatur dan membimbingnya dengan disiplin."*
Aditya duduk tegak, memerhatikan mereka dengan hati yang penuh pertanyaan. *"Saya butuh pengasuh yang serius. Harus ada profesionalisme, kedisiplinan, bukan kekonyolan seperti ini. Apakah dia benar-benar tahu apa yang dia lakukan? Dengan penampilannya yang sederhana, dia jelas bukan tipe orang yang akan bisa mengendalikan rumah tangga besar ini."*
Pikirannya terus berputar. *"Gadis itu terlalu ceria, mereka terlalu akrab. Tara bisa jadi sangat cerdas, tapi juga bisa sangat manja. Jangan sampai dia lebih manja dengan gadis itu. Jika aku menerima orang ini, aku mungkin akan menyesal. Tapi, tunggu dulu. Tara tampaknya menyukainya, itu artinya ada sesuatu yang baik, kan? Tapi... Ahh, aku tidak tahu!"*
Alya masih berbicara dengan penuh semangat kepada Tara, sementara Aditya hanya bisa menatap mereka berdua. *"Apa ini yang aku butuhkan? Seorang pengasuh atau teman bermain? Apakah aku benar-benar bisa mempercayakan Tara padanya?"*
Aditya akhirnya berdiri dan mendekati mereka, menyela percakapan hangat antara Alya dan Tara yang tengah asyik dengan gambar-gambar di dalam gadgetnya.
"Kamu," panggil Aditya pad Alya membuat Alya menghentikan kegiatannya dan mengangkat kepalanya menatap Aditya,
"Iya, tuan?"
"Saya rasa kamu cukup dekat dengan putri saya, tapi saya perlu tahu, apakah kamu siap dengan tanggung jawab yang besar ini?" tanya Aditya dengan suara datar.
Alya tersenyum ceria, "Tentu, tuan Aditya! Saya siap! Saya suka sekali menghabiskan waktu bersama anak-anak. Saya juga bisa mengajari nona Tara hal-hal baru. Gambar, nyanyi, atau bahkan belajar matematika kecil!"
Aditya mengangkat alis, mencoba tetap tenang, "Matematika? Seorang pengasuh harus lebih dari sekadar mengajarkan hal-hal menyenangkan. Ini bukan permainan, nona."
Alya tersenyum ringan, "Oh, tentu, tuan. Saya tahu. Tapi, saya bisa kok. Siapa tahu nona Tara malah suka belajar matematika sambil bermain, kan? Setiap anak punya cara belajar yang berbeda."
Aditya melihatnya ragu, sedikit bingung, "Hmm… Sebenarnya saya ingin pengasuh yang bisa mengatur waktu dengan lebih tegas, bukan hanya yang suka bercanda dan bermain." ucapnya dengan sedikit acuh seolah tidak tertarik jika Alya yang menjadi pengasuh putrinya.
Alya menunduk sejenak, kemudian mengangkat kepala dengan senyum tipis, "Tuan Aditya, saya memang suka bercanda, tapi saya juga bisa tegas! Atau jika anda ragu, anda bisa mencoba pekerjaan saya untuk beberapa hari ke depan, kalau memang pekerjaan saya mengecewakan anda saya siap dipecat tanpa pesangon sedikitpun."
Aditya masih skeptis, namun mencoba lebih terbuka, "Waw, kamu ternyata berani juga ya."
Alya menatap Aditya dengan serius, "Hanya karena saya ceria bukan berarti saya tidak serius. Saya yakin bisa membuat nona Tara merasa dihargai dan tetap belajar dengan cara yang menyenangkan."
Aditya pun kembali menatap Alya dengan serius, mencoba menilai, namun akhirnya menghela napas*, "Hmm… baiklah. Saya akan beri kesempatan. Tapi kamu harus tahu, ini bukan tugas yang mudah. Tara bukan anak yang mudah diatur."
"Saya tahu, tuan. Saya siap. Mungkin saya bukan pengasuh yang tegas seperti yang anda bayangkan, tapi saya percaya cara saya akan bekerja dengan baik nanti." ucap Alya dengan begitu yakin.
Aditya terdiam sejenak, melihat Alya dengan tatapan seriusnya, "Kamu tahu, saya tidak suka kesalahan, jadi sebisa mungkin hindari kesalahan saat mengasuh putri saya atau kamu akan berurusan langsung dengan saya, mengerti!?"
"Alya menganggukkan kepalanya, "Mengerti, tuan."
Tara yang mendengar percakapan itu langsung melompat dari kursinya dan memeluk Alya.
"Alya, jadi kamu akan tinggal dengan ku?" tanya Tara dan Alya pun menganggukkan kepalanya.
"Horeeee, aku punya teman bermain." speak Tara tampak begitu senang.
Alya tertawa dan memeluk Tara, "Aku senang anda suka, nona Tara! Aku pasti akan menemani nona Tara nanti."
Aditya hanya bisa menghela napas sambil mengangguk pelan. Meskipun masih meragukan kemampuan Alya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Alya berinteraksi dengan putrinya. Semoga aku tidak salah lagi memilih pengasuh untuk Tara.
Bersambung
Happy reading
Tara, meski baru berusia enam tahun, dikenal sebagai anak yang sangat cerdas dan kritis. Meskipun seringkali tampil ceria dan ceroboh, ia mampu menangkap banyak hal dengan cepat—terutama saat seseorang mencoba berpura-pura atau tidak jujur. Hari itu, Alya berhasil menarik perhatiannya dengan cara yang sangat berbeda dari pengasuh lain yang pernah ada.
Sambil menggambar bersama Alya, Tara merasa ada ikatan yang lebih kuat dibandingkan dengan pengasuh-pengasuh sebelumnya. Alya tidak hanya membuatnya tertawa, tetapi juga memberi perhatian penuh padanya. Sifat ceria dan energi positif Alya seperti menyentuh bagian dalam diri Tara yang selama ini tidak terlalu banyak mendapat perhatian. Tara bisa merasakan bahwa Alya berbeda—berbeda dengan pengasuh-pengasuh lain yang datang dan pergi hanya untuk memenuhi kewajiban mereka. Alya tidak hanya menganggapnya sebagai pekerjaan, tetapi sebagai teman yang seimbang.
Namun, yang lebih mengejutkan adalah sikap Tara yang sangat kritis terhadap apa yang ada di sekitarnya. Meski tampak lembut, ia memiliki insting yang tajam untuk menilai seseorang, terutama jika seseorang tidak sesuai dengan harapannya. Dan hari itu, ia memutuskan bahwa Alya adalah orang yang tepat untuk menjadi pengasuhnya.
Tara tidak segan-segan untuk melawan keputusan ayahnya, yang selama ini menjadi sosok otoriter dalam hidupnya. Baginya, inilah saat yang tepat untuk menunjukkan bahwa ia bukan anak kecil yang bisa dipermainkan—meskipun baru berusia enam tahun, dia tahu apa yang dia inginkan.
Hari ini hari pertama Alya bekerja di rumahnya untuk mengasuh Tara, karena masih hari pertama Aditya belum memberitahu apa saja syarat yang harus dilakukan oleh Alya selama mengasuh Tara.
Karena hari pertama Alya bekerja, Aditya sengaja tidak pergi ke kantor, ia ingin melihat langsung bagaimana Alya bekerja.
Aditya, yang melihat interaksi antara Tara dan Alya, masih merasa tidak yakin. "Apa yang istimewa dari gadis itu? Mengapa Tara bisa begitu cepat menyukainya?"
Ia merasa jika Tara masih anak kecil yang mudah terpengaruh hingga Tara bisa akrab dengan Alya tapi kemudian ia kembali menepis pikirannya sendiri, "Atau mungkin... saya terlalu keras kepala bagaimana menjadi pengasuh yang ideal bagi Tara?"
Aditya meremas gelas kopi di tangannya, memikirkan segala kemungkinan. "Tara bukan anak yang mudah untuk dipahami. Dan saya rasa gadis itu tidak akan bisa melakukannya." gumamnya lirih
Namun, saat Aditya melirik ke arah mereka, melihat senyum Alya yang tulus dan cara Tara begitu nyaman bersamanya, sebuah keraguan mulai muncul di hatinya. "Mungkin saya terlalu cepat menilai. Tara tampaknya sangat nyaman. Tapi apakah itu cukup?"
Tara tiba-tiba memotong lamunan Aditya dengan suara yang penuh keyakinan. Ia berjalan mendekati Aditya dan berdiri tepat di depan sang ayah,
"Ayah, aku mau Alya jadi pengasuhku dan tinggal di sini malam ini,"
Aditya menatap putrinya dengan tatapan dingin, "Jangan memutuskan terlalu cepat, Tara, kamu baru kenal denganya beberapa jam lalu, bagaimana kamu bisa memutuskan itu? Biarkan dia pulang dan kembali besok pagi."
"Ayolah ayah, Tara nggak mau sendiri kalau malam. Ayah pulangnya selalu malam dan berangkat pagi-pagi, Tara kesepian." rengek Tara membuat Aditya sedikit bingung
Aditya mencoba tetap tegas, meski merasa kebingungan dengan sikap putrinya, biasanya Tara tidak begitu antusias membiarkan pengasuhnya tinggal di rumah, "Tara, kamu tidak bisa hanya memilih pengasuh berdasarkan perasaanmu saja. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan."
Tara melipat kedua ltangannya dengan sikap serius, mirip sekali dengan cara Aditya jika sedang membahas pekerjaan* "Ayah, aku sudah pertimbangkan semuanya. Alya bisa main, bisa belajar bareng, dan dia bisa ngerti kalau aku nggak mau ganggu orang yang kerja. Dan yang paling penting, aku nyaman sama dia."
Aditya menatap putrinya, sedikit terkejut dengan seberapa serius Tara berbicara, "Tara, kamu baru berusia enam tahun. Kamu tidak bisa... menilai seseorang begitu saja."
"Ayah, aku jenius, ingat? Aku bisa tahu siapa yang bisa aku percaya dan siapa yang nggak. Alya itu orangnya." ucap Tara dengan suara yang begitu meyakinkan.
Aditya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tara, dengan kecerdasannya yang luar biasa, tidak hanya berbicara seperti anak kecil, tetapi juga dengan keyakinan yang sulit dibantah. "Apakah saya salah? Apakah saya terlalu keras pada anak saya? Tara sudah bisa menilai dengan begitu matang. Tapi... apakah saya bisa menerima keputusan ini?"
Aditya merasa terperangkap dalam kebingungannya. "Gadis itu tampak tidak terlalu buruk." gumamnya sambil melirik ke arah Alya yang tengah mengemasi mainan Tara yang berserakan di lantai.
"Baiklah minta dia menemui ayah di ruang kerja ayah, setelah ini." ucap Aditya kemudian berdiri dan meninggalkan Tara di tempatnya. Ia berjalan menjauh dari ruangan itu.
"Yesssss," Tara bersorak gembir mendengar keputusan sang ayah, ia dengan cepat mendekati Alya.
"Alya." panggilnya tanpa basa-basi.
"Iya?" Alya pun menoleh dan tersenyum seperti biasanya.
"Ayah memintamu ke ruangannya, setelah ini." ucap Tara dengan serius.
Alya mengerutkan keningnya, ia pikir semua sudah selesai kemarin tapi ternyata ia masih harus berhadapan dengan CEO tampan itu, "Ada apa ya?" batinnya.
"Baiklah, aku selesaikan ini dulu ya, nona." ucap Alya sambil menunjuk mainan Tara yang masih terserakan.
Bersambung
Happy reading
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!