“Sastra sudah pulang dari Skotlandia,” ucap Eliana ceria. Tak ada yang lebih membahagiakan bagi wanita muda itu, selain pertemuan dengan sang kekasih.
“Oh, ya? Aku senang mendengarnya. Berarti, kalian akan segera bertunangan?” Ratri yang tengah sibuk membuat rancangan, menghentikan sejenak pekerjaannya. Dia menoleh pada Eliana.
“Of course. Kami sudah terlalu lama menjalani hubungan jarak jauh. Inilah saatnya mengakhiri penantian panjang.” Wajah Eliana berbinar indah, membayangkan pertemuan dengan sang pujaan hati. “Aku dan Sastra jarang sekali bertemu. Kamu tahu itu,” ujar Eliana lagi.
“Aku tidak tahu. Aku bahkan belum pernah bertemu dengan calon tunanganmu,” balas Ratri tak acuh.
Eliana menggumam pelan. “Entah aku yang lupa mengenalkan kalian, atau karena belum ada kesempatan,” ujarnya. “Dia mengajakku menghadiri acara peresmian cafetaria ‘Secangkir Kopi’. Kamu harus ikut."
Ratri kembali menghentikan pekerjaannya, kemudian menatap Eliana. “Jangan lupa, kitalah arsiteknya,” ucap wanita cantik itu bangga.
Eliana tertawa renyah, seraya berpindah ke dekat meja kerja Ratri. “Tentu saja. Kita adalah tim paling solid. I love you so much. Kamu lebih dari sekadar sahabat. Kamu sudah seperti saudara perempuan yang tidak pernah kumiliki,” ujarnya, sebelum berlalu keluar ruangan.
“Ya, jika kamu sedang bahagia. Jika sedang kesal, kamu pasti mengatakan aku menyebalkan seperti tantemu,” balas Ratri cukup nyaring, berhubung Eliana sudah sedikit menjauh.
Eliana menoleh, kemudian menjulurkan lidah. Dia tertawa cukup lebar, lalu bersenandung riang.
Sementara itu, Ratri hanya tersenyum simpul melihat sikap Eliana. Dia turut bahagia. Sayangnya, hingga saat ini Ratri belum menemukan tambatan hati yang sesuai.
Ah, tidak. Itu merupakan narasi kurang tepat. Pernyataan yang benar adalah karena Ratri bukan tipikal wanita yang senang dengan ikatan serius. Dia tidak mau dikekang oleh aturan-aturan dalam menjalin hubungan.
Meskipun begitu, Ratri bukanlah pemuja kehidupan bebas tanpa batas. Dia masih memegang teguh beberapa prinsip yang dianggapnya benar. Itulah kenapa, wanita yang selalu tampil cantik dengan rambut pendek sebahu tersebut, betah menyendiri.
Ratri kembali pada sisa pekerjaan yang tertunda. Namun, belum sempat menyelesaikannya, Eliana tiba-tiba masuk ke ruangan dengan ekspresi teramat berlebihan.
“Ada apa?” tanya Ratri keheranan.
“Sastra … dia ….” Eliana melihat ke pintu keluar, yang sengaja dibiarkan terbuka.
Di ambang pintu, sudah berdiri seorang pria berperawakan tinggi tegap, dengan penampilan eksentrik. Jaket kulit hitam, celana jeans belel, serta gaya rambut man bun.
“Permisi. Boleh masuk?”
Eliana tersenyum manis. “Pelanggan pertama kami,” candanya, seraya menghampiri ke dekat pintu. Tanpa sungkan, dia mencium mesra pria yang tak lain adalah Sastra.
Ratri segera mengalihkan perhatian ke hal lain. Walaupun melihat itu dari ruang kerja yang terhalang roller blinds, tetapi dia tahu betul apa yang tengah Eliana dan Sastra lakukan.
“Ayo,” ajak Eliana, seraya menuntun Sastra masuk ke ruang kerjanya bersama Ratri. “Aku ingin memperkenalkanmu secara langsung, pada sahabat sekaligus rekan kerjaku.”
Eliana memberi isyarat agar Ratri mendekat. Bahasa tubuh sederhana, yang langsung dipahami wanita berambut pendek tersebut.
“Honey, inilah Ratri Swasti Windrawan. Dia yang memiliki ide cemerlang, dalam mendesain ‘Secangkir Kopi’. Aku yang mematangkan. Kami bekerja sama dengan sangat baik. Begitu, kan?”
Eliana melingkarkan tangan di lengan Sastra, sambil sesekali menyandarkan kepala di pundak pria itu. Sikap Eliana bagai anak kecil, yang tengah bermanja-manja kepada orang tuanya.
“Hai,” sapa Sastra kalem. “Terima kasih. Desain yang sangat luar biasa,” sanjungnya.
“Terima kasih kembali. Aku … maksudku kami ...." Ratri tersenyum kikuk. “Kami senang karena kamu menyukainya. Salam kenal.” Ratri mengulurkan tangan, mengajak bersalaman.
“Salam kenal juga. Namaku Sastra Arshaka.”
“Aku tahu. Elia menyebutkan namamu ratusan kali dalam sehari.” Ekor mata Ratri mengarah kepada Eliana, yang langsung menatap protes.
“Dia terlalu berlebihan,” bisik Eliana pada Sastra.
Sastra tersenyum kalem. Namun, dia tak mengatakan apa pun.
“Duduklah. Biar kubuatkan minuman,” ucap Ratri.
“Tidak usah. Aku hanya mampir,” tolak Sastra segera, sebelum mengarahkan perhatian sepenuhnya pada Eliana. “Jangan lupa besok malam."
Eliana mengangguk. “Tenang saja. Aku sudah mengajak Ratri, meskipun tidak yakin dia akan menjawab ‘iya.’ Ratri tidak menyukai keramaian.”
“Aku akan datang, selama itu bukan acara formal.”
“Kenapa? Tidak suka acara formal?” Sastra menautkan alis.
“Tidak. Bukan begitu,” bantah Ratri. “Aku hanya menghindari kebosanan,” ujarnya.
“Oh, baiklah.” Sastra tersenyum kalem. “Akan kubuat acara pembukaan nanti semenarik mungkin, agar kalian tidak merasa bosan.”
“Thank you, Honey. Kamu sangat pengertian," ucap Eliana manja.
“Sudahlah. Kita masih punya urusan lain.”
“Ah, iya. Aku akan pulang lebih awal. Kamu tidak apa-apa jika kutinggal sendiri?” tanya Eliana.
Ratri menggeleng, diiringi senyuman. “Pergi saja. Aku harus membereskan pekerjaan yang tertunda.”
“Oh, Ratri. Aku sayang kamu.” Eliana memeluk sahabatnya, sebelum kembali ke dekat Sastra.
“Jangan berlebihan,” ujar Ratri tak acuh, seraya mengantar sejoli itu menuju pintu keluar.
Sepeninggal Eliana dan Sastra, Ratri kembali ke ruang kerja untuk melanjutkan pekerjaan. Dia baru berhenti, ketika jarum jam sudah menunjuk angka sembilan.
Tanpa membereskan meja, Ratri bersiap pulang. Dia mematikan lampu, kecuali yang berada di ruang depan. Tepat saat dirinya akan membuka pintu, terdengar ketukan pelan dari luar.
Ratri terpaku. Dia tidak pernah menerima tamu di malam hari. Entah siapa yang datang pada jam seperti itu.
Walaupun takut, Ratri tetap memberanikan diri. Dia membungkuk, mengintip dari lubang kunci. Samar, dirinya melihat jaket kulit yang sama persis seperti yang Sastra kenakan.
“Permisi.”
Ratri akhirnya bernapas lega. Meskipun baru bertemu satu kali secara langsung, tetapi dia sudah tak asing lagi dengan suara Sastra. Tanpa ragu, dirinya langsung membuka pintu.
“Syukurlah, kamu belum pulang,” ucap Sastra, saat wajah Ratri muncul dari balik pintu.
“Ada apa? Ada yang bisa kubantu?” tanya Ratri.
“Ya.” Sastra mengangguk samar. “Elia kehilangan gelang kesayangannya. Dia pikir, benda itu terjatuh di sini.”
“Astaga. Dia bisa mencarinya besok.”
“Kamu pasti tahu seperti apa karakternya.”
Ratri mengembuskan napas pelan bernada keluhan. “Dasar manja.” Dia membuka pintu, membiarkan Sastra masuk. Ratri juga kembali menyalakan lampu ruang kerja.
“Silakan cari di sekitar meja kerjanya. Aku akan mencari di tempat lain,” ucap Ratri, seraya meletakkan tas di meja. Dia menyisir beberapa ruangan, termasuk toilet.
Benar saja. Gelang yang dicari ada di sana. Ratri segera memungut, lalu membasuhnya hingga dirasa bersih. Setelah itu, dia kembali ke ruang kerja.
Namun, Ratri tertegun melihat apa yang Sastra lakukan. Pria itu tengah asyik mengamati hasil rancangannya.
Menyadari kehadiran Ratri, Sastra menoleh. Dia menatap penuh arti. "Maaf," ucapnya pelan dan dalam, seraya berjalan mendekat.
Ratri menatap keheranan, ketika Sastra berdiri di hadapannya. Mereka saling pandang beberapa saat, sebelum Ratri tersadar. Dengan agak kikuk, dia menyodorkan gelang milik Eliana. “Aku menemukannya di toilet,” ucap Ratri, diiringi senyum canggung.
“Jadi, memang benar terjatuh di sini.” Sastra menerima gelang itu, kemudian memasukkan ke saku jaket. “Apa pekerjaanmu belum selesai?”
Ratri menggeleng. “Aku mau pulang, saat kamu datang.”
“Meja kerjamu masih berantakan,” ujar Sastra, seraya menoleh sekilas ke meja kerja Ratri.
Ratri mengembuskan napas pelan bernada keluhan, sebelum tersenyum kecil. “Aku sengaja tidak membereskannya ….” Gadis itu terdiam sejenak. “Sebenarnya, aku sudah ketinggalan kereta terakhir. Jadi, tadi agak buru-buru,” jelasnya.
“Kamu pulang sendiri?”
Ratri mengangguk. “Aku terbiasa sendiri.”
Sastra menggumam pelan. “Terlalu berbahaya untuk gadis sepertimu. Aku membaca berita di situs online. Akhir-akhir ini, banyak sekali kasus kejahatan terhadap wanita.”
“Aku pemegang sabuk biru,” ujar Ratri menanggapi.
“Wow! Keren,” sanjung Sastra, diiringi senyum kalem. “Akan tetapi, wanita tetaplah wanita,” ucapnya pelan dan dalam.
“Tentu saja. Kami tidak memiliki janggut,” balas Ratri, setengah bercanda. “Ah, maaf. Bukan maksudku menganggap remeh. Aku hanya tidak ingin berpikir terlalu banyak, tentang sesuatu yang bisa membuatku takut dan jadi terbebani.”
“Itu benar. Asal tetap waspada, kamu pasti akan selalu aman.” Sastra kembali tersenyum kalem, lalu berpamitan. Namun, saat tiba di pintu, pria dengan gaya rambut man bun itu tertegun, lalu menoleh. “Bagaimana bila kuantar pulang?” tawarnya.
Ratri yang baru mengambil tas dari meja kerja, terpaku sejenak. Dia terlihat ragu.
“Jangan khawatir. Akan kupastikan Eliana tidak mengetahui ini,” ucap Sastra, seakan membujuk Ratri agar bersedia menerima tawarannya.
“Kenapa dia tidak boleh tahu?” Ratri berjalan mendekat.
“Eliana sedikit pencemburu,” jawab Sastra tenang.
“Itu bagus. Artinya, dia benar-benar mencintaimu.”
“Ya. Aku sangat beruntung.” Lagi-lagi, Sastra memperlihatkan senyum kalemnya, sebelum mempersilakan Ratri keluar. “Mau kubantu mengunci pintu?”
“Ya, ampun.” Ratri tertawa renyah. “Pantas saja Eliana jadi pencemburu.”
“Kenapa?” Sastra menautkan alis.
“Aku rasa, kamu terlalu baik.” Ratri yang sudah selesai mengunci pintu, menatap kekasih sahabatnya sejenak.
“Aku merasa biasa saja,” bantah Sastra menanggapi. Dia mengarahkan tangan kanan ke tempat di mana mobilnya terparkir. Pria itu tidak terlihat canggung, meskipun ini kali pertama dirinya bertemu langsung dengan Ratri.
“Aku justru memikirkan hal lain tentang kamu,” ucap Sastra, seraya membukakan pintu untuk Ratri yang keheranan. Dia mempersilakan masuk, berhubung gadis itu hanya terpaku.
“Membukakan pintu untuk wanita, bukan hal aneh selama aku tinggal di luar negeri,” ucap Sastra, seakan memahami bahasa tubuh yang Ratri tunjukkan.
“Ya. Terima kasih,” balas Ratri, seraya masuk, Dia berusaha terlihat nyaman, setelah duduk dan memasang sabuk pengaman. Ratri tak tahu, apakah keputusannya menerima tawaran Sastra untuk pulang bersama, benar atau tidak.
“Di mana alamatmu?” tanya Sastra, setelah bersiap di belakang kemudi.
“Biar kupandu sambil jalan,” jawab Ratri, seraya menoleh sekilas.
Sastra mengangguk setuju, kemudian menyalakan mesin kendaraan. Tak berselang lama, mobil double cabin yang dikendarainya melaju gagah meninggalkan tempat itu.
“Apa kamu sedang mengerjakan proyek besar?” tanya Sastra basa-basi.
“Tidak juga. Aku hanya membuat rancangan. Rencananya, akan kutawarkan pada seorang kenalan. Siapa tahu, dia tertarik,” jawab Ratri.
“Aku suka rancanganmu. Sangat ikonik.” Sastra menoleh sekilas, sebelum kembali fokus pada lalu lintas yang masih cukup ramai.
“Terima kasih. Tetapi, butuh kerja keras untuk membuat orang-orang tertarik dengan sesuatu yang tidak biasa.”
“Ya. Tidak semua orang memahami yang namanya inovasi. Terkadang, paradigma yang sudah tertanam kuat dalam pikiran, membuat seseorang sulit untuk menerima sesuatu yang dianggap baru. Segala hal butuh proses, Non.”
Ratri tersenyum, mendengar Sastra memanggilnya dengan sebutan ‘non’. Namun, dia tak mengatakan apa pun. Sejujurnya, Ratri masih agak canggung, meskipun Sastra justru terlihat sebaliknya.
“Apa kamu sudah makan malam?” tanya Sastra, sesaat kemudian.
“Aku biasa beli nasi goreng atau pecel lele,” jawab Ratri.
“Tidak semua orang suka ikan lele.” Sastra menanggapi.
“Apa kamu termasuk?” Ratri yang awalnya terus menatap ke depan, kali ini mengalihkan perhatian kepada Sastra.
“Sejujurnya, aku adalah pecinta kuliner. Jadi, aku biasa mencoba segala jenis makanan. Kurasa tak ada salahnya, meskipun hanya sebatas mencicipi. Jika suka, maka aku akan memakannya lagi. Lagi dan lagi.” Nada bicara serta tatapan Sastra terasa berbeda dari sebelumnya. Itu membuat Ratri jadi tidak nyaman.
Tiba-tiba, terbesit sesuatu di benak Ratri. Dia meminta Sastra menghentikan laju kendaraan.
“Apa sudah sampai?” tanya Sastra.
“Um, i-iya,” jawab Ratri, diiringi senyum kikuk. “Terima kasih tumpangannya. Selamat malam.” Ratri bermaksud membuka pintu. Namun, Sastra lebih dulu keluar dari kendaraan, lalu membukakan pintu untuknya.
“Aku sangat merepotkanmu,” ucap Ratri tak enak.
“Tidak juga. Lagi pula, mobilku kosong.”
“Kamu yakin bisa pulang sendiri … um … maksudku … kamu … a … kamu sudah lama tinggal di luar negeri. Jadi ….”
“Kamu takut aku tersesat?” Sastra menatap penuh arti.
“Jangan membuatku merasa bersalah.” Ratri tersenyum, berusaha menyingkirkan rasa kikuknya.
“Bila aku sampai tersesat, orang pertama yang akan kucari adalah kamu," ujar Sastra enteng. Membuat Ratri melayangkan tatapan protes.
“Kamu harus bertanggung jawab, dengan cara mengantarkanku pulang,” canda Sastra.
Ratri tersenyum cukup lebar. Sepasang lesung pipinya jadi terlihat makin jelas. “Kalau begitu, kudoakan semoga kamu tidak tersesat.”
“Tak masalah jika aku tersesat. Dengan begitu, aku bisa mengetahui tempat lain yang mungkin jauh lebih menarik, dari yang selama ini biasa kukunjungi. Aku seorang petualang. Aku senang mencari dan menemukan hal baru.”
Ratri terpaku. Tubuhnya tiba-tiba kaku, saat melihat sorot mata Sastra. Entah kenapa, pria itu terus menatap dengan sorot tak dapat diartikan.
“Sudah terlalu malam,” ucap Sastra, sesaat kemudian.
Ratri segera tersadar. Dia mengangguk, lalu berbalik. “Bye,” pamitnya. Gadis cantik berambut sebahu itu melangkah tenang menyusuri trotoar. Penasaran, Ratri menoleh. Dia melihat Sastra belum beranjak dari sana, seakan tengah memastikan dirinya baik-baik saja.
Tak ingin terus jadi perhatian pria itu, Ratri berinisiatif melakukan sesuatu. Dia berbelok ke salah satu gang, yang tidak pernah dilewatinya. Ratri berdiri beberapa saat di gang tidak terlalu lebar itu, sekadar menunggu hingga Sastra pergi.
Namun, Ratri tidak menyadari telah mengambil keputusan bodoh. Dari jarak beberapa meter dari kiri, muncul dua pria yang berjalan mendekat ke arahnya.
“Ah, kacau,” gumam Ratri, seraya berbalik. Dia hendak pergi dari sana, sebelum kedua pria tadi makin mendekat. Akan tetapi, dari pintu masuk gang tiba-tiba muncul dua orang lagi.
"Hai, cantik."
Ratri tersenyum kecut, seraya menggenggam erat tali ransel kecil yang tersampir di pundak sebelah kanan. Dia sadar betul sedang tidak dalam situasi yang baik.
“Permisi. Saya mau lewat,” ucap Ratri pelan, tetapi cukup tegas.
“Silakan.” Dua pria yang berdiri di pintu masuk gang, membuka jalan untuk Ratri agar bisa melintas. Mereka berdiri di sisi kiri dan kanan, bagai pengawal di hadapan ratu.
Akan tetapi, saat Ratri melintas di hadapan mereka, salah satu dari dua pria itu tiba-tiba menyentuh pinggul Ratri.
Refleks, Ratri berbalik sambil melayangkan pukulan kencang, ke arah si pria yang telah berani melecehkannya. Bersamaan dengan itu, kaki kanan Ratri mengarah ke pria satu lagi, yang berniat maju.
Namun, Ratri mengabaikan dua pria di belakangnya. Salah satu dari kedua pria itu menarik tas ransel Ratri, hingga gadis cantik tersebut hilang keseimbangan.
Mau tak mau, Ratri mundur mengikuti tarikan si pria. Tangannya pun tak tinggal diam. Dia mengarahkan siku, menghantam tepat ke ulu hati pria yang menariknya tadi.
Ketika si pria terhuyung ke belakang, Ratri memanfaatkan sedikit ruang. Dia berbalik, sambil melayangkan tendangan lurus tepat mengenai wajah.
Pria itu terjungkal beberapa langkah ke belakang. Sementara itu, ketiga temannya langsung melarikan diri.
“Dasar banci,” cibir Ratri, seraya berbalik meninggalkan pria yang berusaha bangkit.
Ratri berjalan keluar dari gang. Sebelum itu, dia menoleh ke tempat Sastra menurunkannya tadi. Wanita muda berambut pendek tersebut mengembuskan napas lega, sebab mobil Sastra sudah tak terlihat.
Dengan langkah tenang, Ratri menyusuri trotoar. Dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Gadis itu berjalan hingga kurang lebih 2 km, hingga akhirnya tiba di tempat kost yang dituju. Ratri langsung naik ke lantai dua, kemudian masuk ke salah satu kamar.
“Luar biasa,” gumam seseorang, yang tak lain adalah Sastra. Pria itu terus mengawasi dari dalam mobil, meskipun Ratri sudah tak terlihat.
......................
“Aku punya banyak dress. Ada beberapa yang bahkan belum pernah dipakai sekali pun. Kalau kamu mau, sore ini kita ke rumahku,” tawar Eliana, saat menanggapi keluhan Ratri tentang baju, untuk menghadiri acara peresmian cafe milik Sastra.
“Tidak. Aku tidak terbiasa meminjam baju orang lain,” tolak Ratri lugas.
“Tidak apa-apa, Rat. Aku bukan orang lain. Iya, kan?” bujuk Eliana, diiringi senyum manis. “Jangan menolak atau memberikan alasan apa pun,” ujarnya lagi, sebelum Ratri sempat menanggapi.
“Terserah kamu.” Ratri yang malas berdebat, memilih setuju. Dia kembali pada sisa pekerjaan yang belum selesai.
Hari ini, firma arsitektur yang dikelola Ratri dan Eliana tutup lebih awal. Kedua wanita muda itu harus bersiap-siap, untuk menghadiri acara peresmian cafetaria milik Sastra, yang akan diselenggarakan pada pukul tujuh malam.
Meskipun bukan acara formal, tetapi Eliana menekankan agar Ratri berpenampilan lebih rapi dibanding hari-hari biasa.
“Pilih saja yang kamu suka,” ucap Eliana, setelah membuka lemari berukuran besar, berisi deretan dress cantik aneka warna dan corak.
“Astaga. Ini sangat manis,” ujar Ratri, melihat motif dress yang ada di dalam lemari. “Apa aku tidak akan terlihat aneh dengan corak baju seperti ini?” tanyanya, seperti pada diri sendiri.
“Hey! Apanya yang aneh?” protes Eliana. Dia mengambil salah satu dress, lalu memberikannya kepada Ratri. “Coba yang ini.”
Ratri menerima dress itu, lalu mengamatinya beberapa saat. Midi dress hijau emerald polos, dengan potongan asimetris. Bahannya halus dan terasa nyaman di kulit. “Baju ini terlalu mahal untuk dipinjamkan,” ujar Ratri tak enak.
“Ah, aku lupa berapa harga dress ini. Tetapi, itu tidak penting. Dress ini belum pernah kupakai sama sekali," ucap Eliana tak acuh. "Aku hanya ingin kamu tampil cantik dan sedikit lebih anggun."
Ratri hanya menggumam pelan. Seperti sebelumnya, dia tak ingin banyak berdebat karena tahu betul bahwa Eliana tidak suka, jika ucapannya dibantah orang lain.
Beberapa saat berlalu. Tanpa terasa, jarum jam sudah menunjukkan pukul 18.45. Ratri sengaja tidak pulang ke tempat kost-nya. Dia berangkat bersama Eliana.
"Apa tunangan kamu mengundang banyak orang?" tanya Ratri, setelah Eliana memarkirkan mobil, di halaman cafetaria bernama 'Secangkir Kopi'.
"Aku rasa tidak. Mungkin hanya beberapa kerabat dekat," jawab Eliana. Dia melangkah lebih dulu ke dalam cafe. Tampak beberapa orang di dalam sana, tengah menikmati sajian diiringi musik syahdu, dari penyanyi cantik bersuara merdu.
"Aku merasa aneh," bisik Ratri, yang terlihat kurang nyaman karena tidak terbiasa memakai dress.
"Kamu terlihat cantik, Rat," balas Eliana, seraya mengedarkan pandangan mencari sang kekasih, di antara orang-orang yang hadir di sana. Namun, paras tampan Sastra tidak terlihat.
"Ya, sudah. Aku ke toilet dulu." Ratri berlalu ke arah toilet. Ketika melewati koridor, dia berpapasan dengan Sastra.
"Ratri," sapa Sastra kalem. Pria tampan dengan gaya rambut man bun itu tak dapat menyembunyikan tatapan kekaguman, saat melihat Ratri dalam penampilan berbeda.
"Hai," balas Ratri agak kikuk. "Aku mau ke toilet dulu," ucapnya.
"Oh, ya." Sastra mengarahkan tangan ke arah toilet wanita. Dia menatap Ratri yang berlalu dari hadapannya. "Dress yang cantik," ucap Sastra tanpa sadar.
Ratri langsung tertegun, lalu menoleh. Dia tersenyum kecil, kemudian menyentuh bagian samping dressnya. "Sebenarnya, ini punya Elia."
"Aku belum pernah melihat Elia memakai dress itu."
"Ya. Dia juga mengatakan itu. Maksudku, katanya baju ini belum pernah dipakai. Itulah kenapa dipinjamkan padaku." Ratri jadi salah tingkah. "Ya, ampun. Ini jadi rahasia kita bertiga. Elia ingin aku datang kemari tanpa celana jeans dan T-shirt. Jadi ...."
"Tidak masalah. Itu sangat cocok untukmu," ucap Sastra, diiringi senyum kalem.
"Terima kasih."
"Kembali," balas Sastra. Kali ini, dia membiarkan Ratri benar-benar berlalu dari hadapannya. Namun, pancaran kekaguman tak juga sirna, dari sorot mata pria 31 tahun tersebut.
Setibanya di toilet, Ratri langsung berdiri di depan meja wastafel. Dia menatap pantulan diri di cermin. Entah mengapa, sanjungan yang dilontarkan Sastra tiba-tiba memengaruhi pikirannya. Ratri tersenyum samar. Haruskah dia tersanjung atas ucapan Sastra tadi?
Wanita muda itu menggeleng cukup kencang. "Tidak, Ratri. Jangan konyol," tegurnya pada diri sendiri. Sebisa mungkin, dia tak ingin terbawa suasana.
Acara peresmian cafetaria sudah dimulai. Sastra yang malam itu tampil lebih rapi dengan mengenakan kemeja putih, memberikan sedikit sambutan. Sesuai yang dikatakan kemarin, dia membuat acara itu tidak terlalu formal, agar tak terasa membosankan.
Selama acara berlangsung, Eliana tak sedikit pun menjauh dari sang kekasih. Meski begitu, kenyataannya dia tetap abai, saat tatapan Sastra berkali-kali tertuju kepada Ratri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!