Sebuah mobil berjalan lambat di atas jalanan rusak penuh bebatuan khas pelosok desa. Penumpangnya seorang wanita dan putrinya yang baru saja lulus SMA. Sukma berusaha keras mengendalikan kendaraan tua yang baru dibelinya itu, mereka hendak menuju rumah nenek Ratih, ibu mertuanya.
Matahari baru saja tenggelam kala itu, menampilkan warna jingga di ufuk langit. Sayup-sayup terdengar suara tarhim dari murottal yang dipasang di masjid, suaranya terdengar begitu syahdu, melewati pucuk-pucuk daun tanaman perdu.
Ya, mereka disambut pemakaman yang memanjang di sisi kiri jalan, cukup membuat bulu kuduk berdiri mengingat warna langit mulai menghitam. Belum lagi akses desa yang sangat tak bersahabat menghambat laju perjalanan.
“Nggak ada jalan yang lebih baik apa, Bu?” gumam Nadira lirih tapi masih mampu didengar oleh ibunya.
“Diamlah, ini gara-gara kamu tadi, coba tadi kamu nggak kelamaan kita nggak akan kemalaman sampai sini.” Sukma membalas protes putrinya yang sedari awal keberatan kembali ke desa.
Remaja delapan belas tahun itu tentu belum dewasa, sedikit banyak ia menyalahkan sang ibu akan nasib buruk yang menimpa mereka setelah kepergian ayahnya. Ya, Bagas Bimantara—ayahnya baru saja meninggal dunia, dan sejak saat itu ibunya mengambil alih usaha keluarga.
Namun, nasib sial tak dapat ditebak. Sukma ditipu mentah-mentah oleh adiknya sendiri. Niat hati meminta bantuan sang adik justru berakhir menjadi korban penipuan. Sukma kehilangan segalanya dalam semalam.
Ia menjual rumah, satu-satunya harta yang tersisa, lantas menggunakan sebagian uangnya untuk membeli mobil tua dan memutuskan kembali ke desa sang suami, dimana ibu mertuanya tinggal seorang diri.
Orang tuanya sendiri telah lama tiada, adik yang menipunya juga bukan adik kandung. Itulah yang membuat Nadira geram, karena ibunya terlalu mempercayai orang lain.
“Justru ini gara-gara Ibu, memangnya salah siapa kita harus pindah ke desa, Bu? Lagian bukannya Dira sudah kasih solusi agar kita cari kontrakan murah aja di kota, alih-alih uangnya buat beli mobil rongsokan begini,” celoteh gadis itu lagi.
Sukma memilih diam, ia tak ingin kembali berdebat dengan putrinya. Gadis yang baru saja beranjak dewasa itu terbiasa dimanja oleh suaminya, membuat Dira tumbuh menjadi gadis yang sedikit sembrono. Tak memiliki rasa takut pada siapapun.
Lagi pun Siapa yang ingin ditipu, siapa yang ingin merugi, menjadi korban penipuan, tak cukupkah itu membuatnya menerima simpati, bukannya justru mendapat penghakiman yang pedihnya tiada terperi.
“Bu, kita kembali aja ya. Di desa itu nggak asyik Bu, nggak ada sinyal. Nggak bisa nonton bioskop, nggak bisa nongkrong dan yang jelas Dira nggak punya teman,” rengeknya lagi. Masih berusaha merubah keputusan sang ibu.
“Diamlah, ibu juga sudah bilang kan… nenek itu sendiri disana, nggak kasihan kamu?”
“Kan ada pak lek.” Lirih suara Dira masih bisa didengar oleh Sukma, tapi wanita itu memilih abai.
“Nah, sebentar lagi kita akan sampai. Di sebelah rumah besar itulah rumah nenek.” Sukma menunjuk sebuah rumah dua lantai yang terlihat rusuh, sepertinya bangunan itu sudah lama kosong. Terbukti dari banyaknya rumput liar di sekitar rumah, bahkan sampai ke atas genting.
Dira merasa aneh, ibunya bilang rumah neneknya tepat di samping rumah kosong. Tapi kenapa mobil mereka tetap melaju dan berbelok memutar. Awalnya ia masih diam, tapi ibunya seperti tidak sadar. Mengulangi hal serupa hingga beberapa kali.
“Bu, kenapa kita hanya berputar-putar? dimana rumah nenek?”
“Apa maksudmu?”
Nadira menghela nafas berat, menghadap lurus ke arah ibunya yang masih sibuk mengendalikan kuda besi itu. “Sadarlah Bu, sudah lima kali kita berjumpa dengan rumah kosong yang sama. Juga berbelok di pertigaan yang sama, kata ibu rumah nenek tepat di sebelah rumah kosong kan?”
Sukma tampak berpikir keras, ia sendiri tak sadar dengan apa yang dilakukannya. Setelah melewati rumah kosong untuk yang kesekian kalinya, Sukma melirihkan laju mobil. Mencari-cari rumah nenek Ratih tapi tak melihat apapun kecuali gelap dan asap putih yang memenuhi sekitar. “Ada yang bakar sampah ya? ini asap dari mana?” gumam Sukma membuka pintu mobil.
“Ibu, Ibu mau kemana?” Dira menarik tangan ibunya, lantas membantu sang ibu menutup kembali pintu kendaraan mereka. “Lebih baik kita tetap di mobil deh Bu, Dira merasa aneh… seingat Dira juga dulu rumah nenek disini kan? tapi ini kenapa jadi tanah kosong begini?” Menunjuk ke arah lokasi dimana seharusnya rumah neneknya berada.
“Sebentar ya, ibu telepon pak lekmu dulu.” Sukma meraih ponsel dalam tas, mencoba menghubungi adik sepupu suaminya itu. “Aduh nggak ada sinyal lagi,” keluh Sukma menunjukkan ponsel pada putrinya.
Sementara itu Dira melakukan hal sama, lebih buruknya ponsel Dira mati kehabisan daya. “Itulah Bu, desa. Jaringan sulit.”
“Gimana ini Dira, mana di luar sepi banget lagi…”
“Ya nggak tau Bu, malah tanya Dira. Gimana sih? Bu, Dira pengen pipis nih..”
“Aduh kamu ini, ditahan dulu aja!” Sukma merasa frustasi akan sikap putrinya itu. Dalam keadaan genting begini bisa-bisanya malah ingin buang air kecil. Sungguh merepotkan pikirnya.
“Tapi sampai kapan? rumah nenek aja belum jelas dimana,” jawab gadis berambut lurus itu.
“Ya udah kita jalan lagi aja, bismillah semoga di depan ada orang yang bisa kita tanya.” Sukma kembali menghidupkan mesin, tapi sayang sekali. Sepertinya mobil mereka mogok, mesin enggan menyala. Ibu dan anak itu pun semakin panik, apalagi saat melirik ke arah rumah kosong di belakang mereka. Entah kenapa bulu kuduk merinding seolah ada mata yang mengawasi keduanya dari bangunan dua lantai itu.
“Yang benar saja Ibu…” Dira hampir menangis, sebenarnya ia sudah ketakutan sejak tadi. Keinginan pipis hanya alasan semata.
Suasana desa memang tampak aneh malam ini, setau Sukma di jam segini desa suaminya ini masih ramai. Banyak warga yang duduk di teras untuk sekedar berbincang, sembari memesan bakso atau kupang lontong yang kebetulan lewat di depan rumah. Tapi kali ini, pintu rumah para warga tertutup rapat. Lampu rumah juga mati, hanya lampu teras yang dibiarkan menyala.
“Haruskah ibu turun? kita coba tanya ke salah satu penghuni rumah.”
“Tapi Bu, gimana kalau di luar jauh lebih berbahaya?” Dira mulai khawatir, bagaimanapun juga ibu adalah satu-satunya orang tua yang dimilikinya kini.
“Tidak apa-apa, jangan takut pada makhluk halus. Kita punya Allah Dira. Kita turun bersama dan baca ayat kursi,” usul Sukma. Dira mengangguk setuju, keduanya pun turun dari mobil, bergandengan tangan menuju salah satu rumah.
Tok tok tok….
“Assalamualaikum…” ucap keduanya. Tak ada jawaban dari dalam rumah itu. Dira mengulang salam, tapi keadaan masih sama. Sunyi senyap seolah rumah itu tak berpenghuni.
Hihihihihihihi….
“Alamak… Ibu….” Nadira memeluk ibunya erat, bersembunyi di balik ceruk leher sang ibu. Suara tawa seorang wanita membuatnya hampir saja mengompol. Sukma mencoba menenangkan putrinya itu, memeluk erat tubuh Dira dan menuntunnya kembali ke mobil.
“Siapa itu? jangan ganggu kami!” teriak Sukma lantang, kali ini ia membaca ayat kursi keras-keras. Dan tiba-tiba saja ia merasakan sebuah tepukan tangan di pundaknya.
“Aaaaah….!!!”
.
Tbc
Haloha yeorobun... Ada yang kangen Rendra? Stay ya buat ketemu cogan kita. 😘👻
Wedang jahe dalam cangkir blirik tak lagi mengeluarkan uap panas, seorang wanita tua memberikannya pada sang menantu yang duduk di sofa dengan tubuh gemetar. Sementara cucu kesayangan memilih bermain ponsel dengan kabel charger yang masih menggantung.
Hampir satu jam lamanya sejak kedatangan menantu dan cucunya itu, mereka diantar oleh kyai Usman, pemilik pesantren di desanya. Sang kyai bilang cucu dan menantunya baru saja diganggu makhluk halus. Menyarankan agar dua wanita itu segera mengambil air wudhu, supaya mahluk itu tak lagi mengikuti.
“Sungguh Bu, baru kali ini Sukma mengalami hal mengerikan ini. Dulu, saat sering kesini bersama mas Bagas tidak pernah tuh ada yang aneh-aneh,” kata Sukma pada ibu mertuanya.
“Sudah, minum saja wedangnya biar tenang. Mungkin mereka mengganggu karena kalian datang di jamnya mereka muncul.”
“Maksud Ibu?”
“Maghrib itu jamnya makhluk halus muncul, kita ini hidup berdampingan dengan mereka. Kalau siang waktu manusia aktif, kalau malam ya gantian mereka yang aktif. Nah maghrib itu pergantian waktunya. Makanya kalau orang dulu pamali keluar waktu surup.” Nenek Ratih berjalan mendekati Dira, memberikan cangkir serupa untuk cucunya itu. “Minum dulu Nduk, mumpung masih hangat.”
Sebenarnya Nadira enggan, ia tak begitu suka wedang jahe. Tapi, melihat ibunya memberi kode dengan kedipan mata, ia tahu harus menerima pemberian neneknya.
“Untung ada kyai Usman, kalau tidak entah sampai kapan kami terjebak dalam dunia mereka,” ucap Sukma lagi.
Wijaya tersenyum, lelaki itu membenarkan ucapan mbak sepupunya itu. “Allah masih sayang Mbak Sukma, padahal kyai Usman itu jarang keluar ndalem. Kok kebetulan hari ini beliau lewat depan rumah kita. Katanya baru kundur undangan.”
“Besok ibu antar kalian sowan ya, kita harus berterima kasih. Sekarang kalian istirahat saja dulu, biar ibu siapkan makan malam.”
“Sukma bantu saja ya Bu, biar cepat selesai.”
“Ya sudah, oh iya Jaya… tolong belilah kerupuk di warung mak Samintul. Ba’da isya begini biasanya sudah buka kan?”
“Sudah Bude, kalau begitu berangkat dulu ya.” Wijaya meraih jaket yang terletak di atas kursi, mengenakan pakaian hangat itu lantas pergi meninggalkan rumah.
“Nduk, kamu istirahat saja di kamar. Itu kamarmu sudah nenek bersihkan tadi, nanti kalau masakannya sudah siap, nenek panggil.” Nenek Ratih mengusap pelan rambut panjang sang cucu, Dira pun mengangguk mengerti. Berjalan menuju kamar yang ditunjuk neneknya.
Kamar yang begitu sederhana, hanya ada dipan bambu yang berderak ketika ditindih, dan kasur kapuk yang telah usang. Juga lemari kayu dengan lobang disana sini, Dira berdecak kesal, hidupnya berubah seratus persen. Dari yang dulu serba mewah kini menjadi seperti ini, tanpa sadar air matanya menetes.
Menyesali kepergian sang ayah yang begitu cepat, penyakit sialan yang selalu disembunyikan oleh lelaki sok kuat itu ternyata adalah bom waktu yang menunggu saat meledak.
“Ayah, kenapa tega tinggalkan Dira. Bukankah ayah bilang ingin melihatku menikah kelak dan menimang cucu?” Dira mengusap air mata yang menggantung di ujung netra, kala sayup-sayup mendengar suara gamelan mengalun mistis dari arah luar kamar. Disusul oleh suara halus nan merdu seorang wanita, yang menyenandungkan sebuah tembang jawa.
Gadis itu berdiri menyibak tirai, jendela kaca di depannya menyuguhkan pemandangan rumah kosong dua lantai yang dilihatnya tadi sore. Hanya saja lampu kamar di lantai dua menyala, bayangan seorang wanita berambut panjang menari indah mengikuti irama.
Kidung jawa disampaikan penyanyi dengan begitu merdu, Dira bisa merasakan emosi sang penyanyi menyayat hati, seolah isi lagu adalah perasaan yang sebenarnya.
“Bukankah tadi ibu bilang rumah ini kosong? nah itu apa?” gumamnya lirih. Dira terpesona akan indahnya tarian wanita di rumah itu. Tubuh ramping juga rambut panjang, hidung mancung dan tangan lentik bisa dipastikan jika wanita itu pasti sangat cantik.
“Nadira, hey.. Nduk… astaghfirullah, eling Nak.” Nenek Ratih menepuk pundaknya berkali-kali.
“Aw, sakit… Nenek? ada apa?”
“Kamu lihat apa kok bengong begitu? nenek panggil berkali-kali nggak jawab ya nenek pukul aja, ojo ngelamun… ini juga, ngapain buka kelambu malam-malam begini. Lihat apa kamu di luar?”
“Ah, itu Nek.” Dira menunjuk rumah sebelah, tapi ia tertegun sebab lampu di kamar itu telah padam. Tak ada lagi gadis menari bahkan kidung Jawa beserta gamelan tak lagi terdengar, “loh kapan selesainya?”
“Apanya?” nenek mulai resah, wajah keriputnya menjadi tegang.
“Tadi lampu di lantai dua menyala, ada gadis menari dan menyanyi lagu-lagu Jawa gitu, Nek.”
“Hus, apa yang kamu katakan. Ngelindur kamu ya? rumah itu sudah kosong bertahun-tahun lamanya. Sudah, hentikan pembahasan ini dan segera susul nenek ke ruang makan!” titahnya seraya menutup kembali kelambu kamar.
Dira menggaruk kepala yang tak gatal, ia yakin mendengar bunyi gamelan dan suara wanita bernyanyi, bahkan tarian indah wanita itu masih terekam jelas dalam ingatan. “Ah, apa benar yang dikatakan nenek? hiii… serem sekali sih.” Nadira segera berlari keluar kamar.
***
Usai makan malam bersama, Sukma sengaja masuk kamar lebih dulu. Ia sibuk bernostalgia dengan semua kenangan manis bersama mendiang Bagas. Saat mereka masih pengantin baru dulu, kamar inilah yang menjadi saksi bisu kebahagiaan keduanya. Sukma mengusap bulir bening pada pipi, menatap potret Bagas yang terpajang di dinding.
Tak sedikitpun ibu mertuanya merubah tatanan kamar putranya, hanya membersihkan saja hingga tak ada sedikitpun debu menempel. Seolah-olah kamar itu memang berpenghuni selama ini.
Cukup larut dalam ingatan membuatnya terperanjat kala mendengar suara ketukan pada jendela kamar. Malam sudah larut, penghuni rumah telah terlelap kecuali dirinya. Namun, siapa yang iseng mengerjainya malam-malam begini?
Sukma membatu, ada perasaan was-was dalam hati. Apalagi saat menyadari bahwa ketukan jendela memiliki ritme aneh, tiga kali-tiga kali.
Tok tok tok, tok tok tok…
Siapa usil malam-malam begini, apa itu Wijaya? batin hatinya.
Tok tok tok, tok tok tok
“Wijaya?”
Tak ada sahutan dari balik jendela, tapi suara ketukan terus berlanjut. Sukma meletakkan kembali potret sang suami, lantas bergegas mengambil selimut dalam koper. Rasa panik membuat tangannya tak henti bergetar, bahkan berkeringat. Tak jarang pula tergelincir saat berusaha membuka resleting kopernya.
Krak krak krak
Kali ini suara burung gagak, hewan yang dianggap sebagai pembawa kabar kematian itu berputar mengelilingi rumah. Sukma naik ke atas ranjang, detak jantungnya berpacu berkali-kali lipat, ia meringkuk dibalik selimut tebal yang ditarik hampir menutup kepala, sementara keringat dingin membanjiri tubuhnya.
Brak brak brak…
Srek Srek Srek...
Seolah tak ingin berhenti, suara aneh selanjutnya berasal dari luar pintu kamar. Seperti seseorang sengaja memukul pintu menggunakan sapu penebah kasur, Sukma merasa yang terjadi malam ini sudah tak masuk akal, ia memilih abai, memejamkan mata sambil terus merapal doa. Berusaha tidur hingga suara itu menghilang dengan sendirinya.
.
Tbc
Pemandangan pagi di desa memang sangat indah, apalagi di daerah pegunungan yang masih asri dengan berbagai macam tanaman, membuat udara disekitar menjadi sangat segar. Berbeda dengan di kota, polusi udara dimana-mana. Bahkan pagi sekalipun, di depan rumah Sukma sudah penuh asap bus kota, mobil dan motor yang berebut jalan.
Sukma melakukan peregangan otot sambil menunggu ibu mertuanya di depan rumah. Mereka berencana pergi ke pasar untuk berbelanja sayur mayur dan beberapa lauk pauk.
“Pagi Mbak, gimana semalam? nyenyak tidurnya?” sapa Wijaya yang kebetulan baru datang dari kandang ayam.
“Eh Jaya, kamu semalam usilin Mbak ya?”
Lelaki yang tengah sibuk mencuci tangan dan kaki di samping rumah itu mengernyit heran, tak memberikan jawaban hingga ia menyelesaikan kegiatannya, lantas berjalan mendekati Sukma. “Apa maksud Mbak?”
“Halah, ngaku aja deh, nggak lucu tau. Kamu kan yang semalam ketok-ketok jendela kamar Mbak? terus ketok pintu juga.”
“Astaghfirullah Mbak, ngapain aku kurang kerjaan begitu? lagian semalam aku nginep di rumah Narso, kita nonton bola sampe pagi. Ini juga baru pulang langsung ke kandang ayam kutip telur buat disetor.”
Sukma tercengang, jika memang bukan Wijaya pelakunya lantas siapa? mungkinkah setan yang menyesatkannya kemarin sore?
“Ada apa? kalian ngomongin apa?” tanya nenek Ratih, wanita tua itu membetulkan posisi jilbabnya yang miring.
“Ini lo Bude, katanya mbak Sukma dengar orang ketuk pintu dan jendela tadi malam.”
“Jam berapa to Nduk?”
“Jam berapa nggih Buk, mungkin sekitar jam 1 malam kalau nggak salah. Oh iya, yang dipintu itu malah kayak orang mukul pake sapu penebah, bukan Ibu itu?”
Nenek Ratih diam sejenak, wajah keriputnya tampak begitu khawatir. “Sudah jangan dipikirkan, mungkin kamu hanya salah dengar. Lebih baik kita cepat berangkat, sebelum kehabisan tempe kesukaan Dira.”
Sukma mengangguk mengerti, meski dalam hati masih belum puas akan jawaban ibu mertuanya itu. Mereka berjalan beriringan menuju pasar yang memang tak jauh dari rumah.
Sepanjang jalan, hampir semua warga menyapa nenek Ratih, sekedar berbasa-basi dan menanyakan siapa wanita cantik yang tengah bersama beliau. Nenek Ratih menjawab semua dengan sabar, Sukma tak heran melihat semua ini. Mendiang bapak mertuanya dulu memang sempat menjabat sebagai kepala desa, beliau terkenal memiliki kinerja yang sangat baik selama masa jabatannya, hingga seluruh warga begitu baik pada keluarganya.
***
Selepas sholat maghrib, nenek Ratih mengajak cucu dan menantunya itu sowan ke ndalem kyai Usman. Mereka naik mobil bersama Wijaya sebagai drivernya. Sebenarnya Dira enggan ikut, ia lebih betah di rumah karena neneknya sengaja memasang wifi sebelum mereka datang, sedangkan jika keluar rumah maka ponselnya tak akan berguna. Dan ia bisa mati bosan mendengarkan percakapan para orang dewasa.
Tapi, tentu saja ibunya melarang. Menurut Sukma sudah sepantasnya Dira ikut sowan, karena yang diselamatkan kyai Utsman sore itu adalah mereka berdua.
Kendaraan berbelok pada sebuah gerbang besi besar berwarna hijau, di sampingnya terdapat plang bertuliskan pondok pesantren tahfidzul quran al-kautsar. Mereka berhenti di depan sebuah rumah sederhana, yang berdiri di samping bangunan besar mirip mushola. Dira melihat bagian dalam bangunan terbagi menjadi dua, sisi kiri penuh dengan para gadis seusianya. Sementara di sisi kanan anak laki-laki yang kemungkinan masih berusia sekitar 6-12 tahun.
“Mereka sedang ngapain Nek?” tanya Dira pada sang nenek.
“Tentu saja sedang mengaji Cah ayu, kamu mau ngaji disana juga?” Nenek Ratih tersenyum menampilkan kulit wajahnya yang keriput, terutama di bagian mata.
“Hah? nggak perlu Nek, Dira sudah pernah ngaji, dulu waktu kecil.”
Nenek Ratih terkekeh pelan, kepala menggeleng heran atas jawaban cucunya itu. Tapi ia tak lantas membantah jawaban sang cucu, melainkan lebih memilih bersama-sama masuk ke ndalem kyai Usman. Sebab bu nyai Hasna, istri beliau telah menyambut di depan pintu.
“Assalamualaikum bu nyai.”
“Waalaikumsalam, masya Allah Mbah Ratih. Sudah lama tidak bertemu, sehat Mbah?”
“Alhamdulillah, seperti yang Bu nyai lihat,” jawab nenek Ratih, wanita tua itu berjalan tertatih saat menaiki beberapa undakan kecil di depan pintu ndalem kyai Usman. “Ya keluhannya cuma ini, dengkul ini Bu nyai… maklum sudah sepuh,” ucapnya lagi sambil terkekeh.
Bu nyai Hasna membawa tamunya menuju ruang tamu, mempersilahkan mereka duduk lesehan di atas karpet. Tak lama kemudian, kyai Usman keluar bersama dua santri yang membawa teh panas dan beberapa cemilan untuk dihidangkan.
“Monggo, monggo disambi,” kata beliau menunjuk pada beberapa toples berisi makanan ringan yang telah terbuka. Tanpa sungkan Dira meraih keripik pisang kesukaannya, ia tak peduli meski ibunya memberi kode agar gadis itu lebih sopan. “Nggak apa-apa, biarkan. Yang namanya suguhan itu ya untuk dimakan, bukan cuma dilihat,” imbuh Kyai Usman lagi.
“Terima kasih Kyai,” jawab Sukma.
“Jadi begini, kedatangan kami yang pertama untuk bersilaturahmi pada keluarga kyai dan bu nyai. Yang kedua mengantar cucu dan menantu saya mengucapkan terima kasih karena sudah membantu mereka kemarin sore.” Nenek Ratih menjelaskan maksud kedatangan mereka.
“Oalah, tidak perlu sungkan mbah. Selama ini mbah Samiran dan keluarga sudah seperti keluarga kami sendiri, dulu saat kami masih pendatang beliau selaku kepala desa sangat memperdulikan kami, kini beliau sudah tidak ada, sudah seharusnya kami ikut menjaga keluarga beliau. Ini istri dan anak almarhum Bagas kan?”
“Iya Kyai,” jawab Wijaya.
“Cah ayu namanya siapa?”
Nadira yang masih asyik menikmati keripik terkesiap, dengan sedikit gagap ia menyebutkan nama lengkapnya. “Na-nadira Indri, Kyai.”
“Nadira Indri, nama yang cantik seperti anaknya. Panggil saja saya abah ya, anggap sebagai orang tuamu. Nadira, mau mengaji disini? dulu ayahmu juga mengaji bersama abah dan umi.”
Nadira diam sejenak, melirik ke arah ibunya berada. Wanita yang melahirkannya itu mengangguk setuju, begitupun nenek dan pak leknya.
“Biar nanti diantar Mas Wijaya, kalau pulangnya itu urusan abah. Disini juga ada beberapa santri yang bisa mengantarmu.”
“Ehm, lihat nanti saja deh Kya…i, eh abah. Nanti Dira pikir-pikir lagi,” jawabnya malu-malu. Kyai Usman terkekeh pelan, tapi pada akhirnya mengangguk setuju.
Percakapan terus berlanjut, begitupun Nadira yang tak kunjung berhenti menikmati keripik pisang dan teh panas, hingga ia merasa kantong kemihnya telah terisi penuh, gadis itu butuh membuang hajatnya kini.
Nadira menarik-narik ujung pakaian ibunya. “Bu, pengen pipis,” ucapnya.
Sukma menghela nafas panjang, tak sengaja bu nyai Hasna mendengar ucapan gadis itu. “Oh mau ke toilet ya, di luar ada. Nadira jalan aja di sebelah rumah ini, nanti ada toilet disana.”
“Baik Umi.” Nadira bergegas keluar rumah, ibunya sempat menawarkan diri untuk mengantar. Tapi, gadis itu menolak.
Nadira sempat melirik ke arah mushola, beberapa santri putri menatap ke arahnya. Ia tak begitu peduli, lebih memilih segera mencari keberadaan toilet. Sebelah ndalem kyai Usman rupanya adalah sebuah lorong kecil yang menghubungkan antara ndalem beliau dengan bangunan pesantren.
Nadira melihat toilet tepat di samping sebuah pintu bertuliskan area dapur putri. Pintu yang terlihat usang itu sedikit terbuka, di dalamnya tampak gelap tak ada lampu penerang, hanya bias cahaya dari arah mushola.
Nadira merasa bulu kuduknya berdiri kala melewati pintu tersebut, tapi ia tak peduli. Keinginan buang air kecil sudah tak tertahan, ia segera masuk ke dalam toilet dan menuntaskan hajatnya.
“Ah, lega…” gumamnya lirih. Setelah dirasa cukup, ia segera membersihkan diri dan keluar dari toilet. Saat itulah Nadira mendengar sebuah musik mengalun lirih dalam bangunan gelap tepat disampingnya.
“Suara apa itu?” ucapnya mencoba mengintip lewat pintu kayu usang yang hampir copot. Mata Nadira menangkap pergerakan dari sebuah kain berwarna putih, kain putih itu mengeluarkan seberkas cahaya di dalam gelap. Jantung Nadira berdebar kuat, tubuhnya mendadak kaku, kakinya tak mampu melangkah seolah ada tangan tak kasat mata yang menahan geraknya. Keringat dingin bercucuran, sementara suaranya tercekat di tenggorokan.
Nadira diam membatu, hanya nafas yang terdengar nyaring di telinga. Ia semakin panik kala kain putih berjalan mendekat, Nadira memilih memejamkan mata, dan…
“Aaaaahhhh…!”
.
Tbc
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!