I don't design clothes, I design dreams.
Secuil kalimat dari Ralph Lauren, menghiasi sampul buku berwarna biru pirus. Di balik sampulnya—di halaman belakang sampul buku tersebut—ada sebuah kalimat yang ditulis tangan. Berikut isi dari catatan itu:
17 Januari 2020.
Untuk pertama kalinya, aku ingat bahwa sedari kecil, aku selalu bermimpi untuk menjelajahi dunia dan mendapatkan banyak pengalaman berharga. Sejak hari itu, aku berjanji apabila suatu hari nanti aku mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan mimpi itu, aku akan melakukan semuanya dengan sepenuh hati.
Sejujurnya, aku ingin menjadi seseorang yang memiliki kehidupan normal. Seseorang yang bisa sukses, seperti Margin, yang sekarang sudah bisa membuktikan kesuksesannya dengan mendirikan butik sendiri dan menjual baju-baju rancangannya. Seperti Margin juga, aku berkeinginan untuk mendirikan perusahaanku sendiri. Aku ingin menjadi seorang perancang busana yang sukses. Bisa diterima di lingkungan masyarakat. Bisa beradaptasi baik dengan klien maupun semua orang, dan masih banyak hal lainnya yang aku harapkan di masa depan.
Aku selalu ingin hidup seperti Margin yang sejak kecil sudah memiliki banyak teman, mendapatkan banyak pengalaman setiap kali ia pergi ke luar kota hingga ke luar negeri. Margin, ia wanita yang setiap hari tidak pernah mengeluh meskipun memiliki banyak kegiatan di luar dan di dalam ruangan. Margin adalah sosok inspiratif wanita yang tidak pernah mengenal lelah, ia selalu sabar menghadapi aku meskipun setiap hari ia harus selalu membaca buku-buku tebal yang bertumpuk-tumpuk di ruangannya, dan ia juga masih harus menggambar beberapa sketsa pakaian yang dipesan kliennya dan mencocokkan kain-kain penuh warna dan menjahitnya sendiri. Melihat Margin yang seperti itu benar-benar membuatku kagum. Margin sudah banyak menyihir penglihatanku. Sebagai seorang perancang busana, Margin benar-benar terlihat berkarisma. Ia sangat keren. Aku sungguh-sungguh terinspirasi dan jatuh cinta pada pekerjaannya. Aku berharap, aku juga bisa berkarier seperti Margin. Tidak. Aku ingin berkarier seperti Margin bukan karena aku mengagumi sosok Margin di sini. Melainkan, aku sungguh-sungguh ingin menjadi perancang busana itu karena aku memang menyukai pekerjaan ini. Aku menyukai sketsa, warna, kain, aksesori, pakaian, dan semua yang berkaitan dengan pekerjaan ini.
Tapi ... sejauh ini, aku tidak yakin dengan masa depan yang aku harapkan itu. Aku merasa seperti, itu adalah sesuatu yang akan membuatku semakin pesimis. Apalagi setelah mengingat betapa bodohnya aku, sampai-sampai aku harus melibatkan Margin dalam bermacam-macam hal termasuk mengurus masalah sekolah dan pertemananku. Mengingat betapa tidak diharapkannya aku di dunia ini sampai-sampai aku tidak memiliki orang tua yang mencintaiku. Betapa menyedihkannya kehidupanku yang bahkan tidak bisa dikatakan normal.
Bahkan hingga detik ini, aku tidak yakin akan ada seseorang yang mau membantuku untuk bisa mewujudkan mimpi-mimpiku. Aku ragu, apakah suatu hari nanti aku bisa memiliki teman atau tidak? Aku ragu, apakah aku bisa masuk ke perguruan tinggi atau tidak? Mengingat usiaku sekarang, apakah aku masih bisa melakukannya? Apakah masih ada universitas atau yayasan swasta yang mau dan bersedia menerimaku sebagai mahasiswa baru?
Meskipun aku pesimis karena kondisiku, tapi aku tidak bisa menyangkal bahwa, sampai hari ini aku masih penasaran dengan masa depanku. Apa yang akan terjadi padaku 5 tahun dari sekarang? Apakah aku masih akan menjadi seorang gadis yang hanya bisa bersembunyi di balik punggung kecil Margin? Ataukah aku dapat berubah seperti seekor kupu-kupu yang berhasil keluar dari kepompongnya dan mendapatkan sayap terindah, lalu akhirnya bisa terbang tinggi menjelajahi dunia baru?
Aku tidak pernah tahu.
Bagaimana aku akan hidup di masa depan?
Hanya ada satu hal yang pasti, aku tidak akan menyerah.
Aku akan belajar lebih giat lagi. Aku akan meminta Margin agar ia tidak pernah bosan untuk mengajariku. Pokoknya aku akan melakukan apa pun agar aku bisa mewujudkan karierku. Harus. Karena itu, mulai hari ini, aku akan selalu mengatakan kepada diriku untuk terus realistis dan tidak boleh membiarkan imajinasi menghalangi kenyataan.
Aku tahu ini terkesan sedikit aneh dan egois, tapi ... aku tidak ingin mematahkan semangatku sendiri. Seperti apa yang selalu dikatakan oleh Dokterku, “Semua manusia pantas mendapatkan kebahagiaan.”
Benar.
Sebagai seorang manusia, bukankah aku juga berhak mendapatkan kehidupan normal yang aku dambakan?
Bukankah aku juga pantas untuk bahagia dan meraih impianku?
Maka dari itu, aku tidak akan menyerahkan hidupku pada kegagalan. Jika aku gagal nanti, aku akan terus melangkah maju dan akan selalu begitu.
Ini janjiku, yang kutulis dan ditandatangani oleh diriku sendiri.
Lima tahun lalu.
"Apa ini?" Margin berjongkok kemudian mengambil sebuah benda kotak berukuran kecil yang tergeletak di bawah meja kerjanya.
Aline memalingkan mukanya ke belakang. Melihat sosok Margin yang sedang membolak-balik buku berwarna biru benhur di sebelah tangannya, spontan bola mata Aline membulat lebar. Saat Margin mengayunkan tangannya hendak membuka lembaran buku tersebut, gadis itu tiba-tiba beranjak dari sofa dan merebut buku itu dari tangan Margin. “Ini milikku!”
“Oh, Tuhan ...” Margin terkesiap. Buku yang dipegangnya langsung terjatuh ke lantai.
“Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu kaget.” kata Aline dengan suara yang hampir tidak terdengar. Gadis itu sedikit berjongkok lalu berdiri di hadapan Margin sambil menundukkan kepalanya. Buku kecil yang berhasil direbutnya dari Margin segera disembunyikannya di belakang tangannya.
Margin menggelengkan kepala melihat tingkah Aline. Ia lalu menghela napas panjang. “Aku tidak percaya kamu akan bersikap kekanakan seperti itu hanya karena sebuah buku. Baiklah, karena kamu adalah sepupu kesayanganku, aku akan memaafkanmu kali ini.”
“Benarkah?” Bola mata Aline bersinar cerah.
“Ya,” Margin menyentuh bahu Aline, “itu bukan masalah besar, asalkan ...”
“Asalkan, apa?”
Margin tersenyum licik lalu berbisik. “Asalkan kamu memperlihatkan buku itu.”
“Apa? Tidak!”
“Kenapa? Memangnya itu buku apa? Kenapa aku tidak boleh melihatnya?”
“I, ini privasiku.” sahut Aline dengan suara terbata-bata.
“Privasi? Apakah maksudmu, buku itu berisi catatan keseharianmu?”
Aline menggeleng lalu terdiam sejenak.
Apa aku tunjukkan saja pada Margin? Tapi, bagaimana jika dia malah menertawakanku? Duh.
Margin menaikkan sebelah alisnya. Ia penasaran dengan apa yang sedang dipikirkan oleh sepupunya itu.
“Al?” Margin kembali menepuk bahu Aline yang saat itu masih bergumam di dalam hati.
"Aku tidak tahu apa yang kamu tuliskan di buku itu. Tapi, jika kamu merasa keberatan untuk menunjukkannya padaku, tidak masalah. Aku akan menghargai privasimu. Tidak apa-apa.”
Alinea menarik napas panjang. Ia menegakkan kepalanya dan menatap Margin yang saat itu juga sedang menatap wajahnya. Sorot mata Margin yang tajam seolah menusuk hatinya.
Aline menggigit kukunya. Ia memandang wajah Margin dengan ragu, kemudian melirik buku di tangannya. “B, Baiklah. I, Ini... Silakan kalau kau mau melihat isinya.”
Tangan Aline bergetar saat memberikan buku tersebut.
“Kamu serius?”
Aline mengangguk. “Tapi, aku minta tolong ... Jangan memberikan komentar apa pun setelah kau melihatnya. Aku ... Soalnya, aku belum siap untuk mendengar kritikan pedas darimu.”
“Kritikanku? Memangnya kenapa aku harus mengkritikmu?”
“Sudahlah, jika memang penasaran, kau lihat saja sendiri. Ini!”
Dahi Margin sedikit berkerut mendengar perkataan sepupunya itu. Ia sama sekali tidak paham apa yang sebenarnya Aline maksud dengan kritikan. Margin menatap Aline yang masih berdiri dengan ragu-ragu sambil memandangi buku di kedua tangannya. Melihat Aline yang bertingkah seperti anak kecil, yang seolah ketakutan akan dimarahi orang tuanya, Margin tidak bisa untuk menahan tawanya.
“Kau mau melihatnya, kan? Ini, cepat ambil. Tanganku pegal memegang buku ini terus.”
Tadinya Margin ingin tertawa mendengar suara Aline yang mirip seperti anak kecil yang sedang merajuk. Tapi ia mencoba menahannya dan segera menerima buku yang baru saja disodorkan Aline.
"Kamu tenang saja, Al. Aku tidak mungkin memberikan komentar yang jahat padamu.” Kata Margin, yang kemudian berjalan melewati Aline. Margin membawa pergi buku itu dan duduk di sofa dekat jendela yang mengarah ke jalan raya.
“Wah, semua ini kamu yang buat, Al?”
Tanpa menoleh sedikit pun Aline menganggukkan kepalanya seolah-olah ia mengiyakan ucapan Margin. Diam-diam Margin menolehkan kepalanya, ia tersenyum kecil melihat rona merah yang terlukis di kedua pipi Aline, jelas sekali kalau gadis itu sedikit malu-malu mendapatkan pujian darinya.
"Sketsa buatanmu ini bagus, loh, Al. Tidak kusangka kalau kamu sungguh berbakat.”
Untuk kesekian kalinya Margin memuji gambar yang ada di buku harian Aline. Aline melirik sekilas. Semburat senyum kembali terlukis di wajahnya yang tirus. Aline memperhatikan sepupunya. Margin kelihatan serius sekali melihat hasil sketsa Aline. Beberapa kali Margin berdecak kagum dan melontarkan pujian atas peningkatan gambar dan warna yang berhasil dipadukan Aline. Aline semakin tersipu malu mendengar semua pujian yang tidak henti-hentinya dilontarkan oleh Margin. Seolah-olah kuncup bunga yang tertanam di hatinya seketika bermekaran tersiram air.
Kebahagiaan selalu terlahir dari hal-hal yang sederhana.
Kurang lebih itulah paham yang diyakini oleh Aline. Aline benar-benar merasa senang hari ini. Sebab, setelah sekian lamanya ia belajar keras di bawah bimbingan Margin, akhirnya ia berhasil mendapatkan pengakuan dari Margin. Margin benar-benar telah mengapresiasi gambar-gambarnya, dan semua itu telah membangkitkan semangat dalam diri Aline.
Margin terus membolak-balikkan halaman buku, membuka lembar demi lembar kertas, melihat-lihat sketsa gaun pengantin dan setelan jas pria yang baru selesai Aline kerjakan beberapa waktu lalu. Margin terus dibuat kagum oleh hasil gambar Aline yang mulus tanpa cela. Seakan-akan Aline telah menjelma seorang perancang busana profesional.
"Hebat sekali! Ini karya paling mengagumkan yang pernah aku lihat," Seru Margin sambil mengacungkan kedua ibu jarinya ke udara. "Kau sungguh berbakat jadi perancang busana, Al."
"Eh? Perancang busana?”
Margin mantap menganggukkan kepalanya. Dahi Aline berkerut. Jelas sekali kalau Aline merasa kebingungan.
Perancang busana? Aku?
Aline menggaruk-garuk kepalanya. Margin tahu akan situasi ini, tetapi Margin tetap membiarkan Aline untuk mencerna perkataannya.
"Kamu paham maksudku, bukan? Perancang busana itu adalah orang yang menciptakan ide dan membuat bajunya sendiri, seperti aku.”
Aline tak menjawab. Ia mencoba mengatur napas—perlahan-lahan menghirup oksigen dalam-dalam, dan dengan cepat membuangnya melalui mulut. "Begitu, ya? Tapi aku sama sekali tidak yakin soal itu. Apa mungkin aku bisa menjadi seorang perancang busana sepertimu? Aku juga tidak berpikir bahwa aku berbakat dalam hal itu."
"Oh, oh," Margin memutar kepalanya menghadap Aline yang kini duduk di sebelahnya. "Kamu sungguh tidak menyadari bakatmu ini? Seriusan?”
"Iya.”
"Astaga, sayang sekali." Margin tampak kecewa, ia menyilangkan kaki, menyandarkan tubuhnya pada bantal-bantal di sofa sambil memandangi sepupunya yang polos.
Wajah Asia Aline yang saat itu terkena sinar matahari tampak seputih susu, tekstur kulitnya sehalus porselen, bibir merahnya mengilap meski tak pernah terpoles gincu, dan rambut hitam panjangnya, yang selama ini selalu dihiasi oleh seutas pita merah, jadi terlihat menarik karena hari ini ia menggerainya dengan bebas. Jarang sekali Aline menyisir rambut seperti itu, biasanya ia akan mengepang rambutnya ke belakang, dan memberikan hiasan pita sebagai pemanis di bagian atasnya.
Memang, jika dilihat sekilas, gadis itu terlihat sangat normal, namun siapa yang akan menyangka jika sebelum ini Aline pernah menderita depresi. Bahkan, beberapa bulan terakhir, Aline masih sering mengalami delusi yang membuat dirinya selalu takut berhadapan dengan orang-orang di luar rumah. Terkadang sikap Aline juga sering berubah-ubah. Secara tidak terduga, Aline suka berteriak dan marah tanpa sebab. Margin ingat, ia pernah satu kali membawa Aline ke psikolog, dan menurut hasil diagnosis dokter, Aline dinyatakan sebagai penyandang Skizofrenia—walaupun sudah melakukan perawatan namun penyakitnya tidak bisa disembuhkan hanya dengan obat-obatan saja.
Kasihan sekali anak ini. Sejak kecil ia sudah ditinggalkan keluarganya, sekarang di usianya yang tidak lagi muda ia juga masih harus hidup dalam kebingungan seperti seorang anak kecil. Entah kapan aku bisa mengubahnya menjadi sosok gadis yang dewasa dan berani menghadapi kehidupan di luar sana...
Margin bermonolog di dalam hati.
Bagaimanapun Margin merasa tak tega melihat sepupunya itu menderita sendirian. Sedari gadis itu dilahirkan, Margin sangat sayang sekali terhadap Aline. Saat itu Aline terlahir secara prematur, dan—karena kedua orang tua Aline telah tiada—sebagai kerabat—keluarga Margin membesarkannya seperti anak sendiri. Margin juga sudah menganggap Aline seperti adik kandungnya. Karena sudah dekat sejak kecil, Aline jadi tidak bisa berjauhan dengan Margin. Mereka seperti magnet yang tidak bisa dipisahkan.
Margin ingat betul, bagaimana dulu ia berusaha keras untuk membawa Aline bersamanya ke kota ini. Pada saat itu, kedua orang tua Margin marah besar. Mereka sama sekali tidak setuju jika Aline harus bersamanya. Masalahnya adalah, saat itu kondisi Aline masih perlu pantauan dari orang dewasa. Perkembangan otak Aline yang sedikit lambat dari anak-anak lainnya membuat Aline harus selalu mendapat perhatian ekstra. Aline masih harus diajarkan berbagai macam hal seperti; mengenal angka dan huruf, mempelajari emosi, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan tumbuh kembang anak kecil. Selain itu makanan Aline juga harus diperhatikan, tentu saja semua itu akan butuh biaya yang sangat besar. Sementara pada saat itu usia Margin juga baru lima belas tahun.
Orang tua Margin terus merasa cemas. Mereka khawatir jika Aline akan mengganggu pendidikan Margin selama di Jakarta. Tetapi, berkat kesungguhan Margin, gadis itu akhirnya bisa meyakinkan kedua orang tuanya. Margin benar-benar membuktikan bahwa ia bisa menjaga Aline meskipun ia juga harus kuliah dan membesarkan Aline seperti anak sendiri.
Sebenarnya, usia Margin dan Aline hanya terpaut tiga tahun. Namun, karena faktor perkembangan pada otak Aline sedikit lambat dibandingkan anak-anak lain, Margin justru merasa sangat cemas jika ia harus meninggalkan Aline bersama orang tuanya yang sibuk bekerja sepanjang hari. Margin merasa bahwa ia memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjaga sepupunya itu. Makanya, sebisa mungkin, di sela-sela kesibukannya, Margin selalu menyempatkan dirinya untuk mengajarkan berbagai mata pelajaran pada Aline, agar gadis itu tidak tertinggal dari teman-temannya. Terbukti, sekarang usaha Margin sudah mulai terlihat sedikit demi sedikit. Semakin hari Aline semakin menunjukkan perkembangan dalam dirinya, meskipun Aline tetap tidak menyadari akan hal ini.
Sungguh tidak heran jika Aline bisa mengandalkan Margin sebagai keluarganya. Margin terlahir sebagai anak yang cerdas. Semenjak berada di bangku Taman Kanak-Kanak, Margin sering mendapat berbagai macam penghargaan. Prestasinya pun banyak; mulai dari bidang akademik hingga non-akademik. Karena kecerdasannya, ia pun sering dijuluki sebagai “Gifted Children”—Margin juga sering loncat kelas. Dan, di usianya yang ke–18, Margin telah berhasil meraih gelar sarjana S1 di bidang Fashion Business. Sekarang, ia sudah mengantongi ijazah S2 dan menjadi seorang Trend Analyst. Margin juga telah sukses dengan berhasil membuka sebuah butik yang berkolaborasi dengan salah satu brand fashion ternama di kota Jakarta.
Berbanding terbalik dengan Margin—Aline, di umurnya yang sudah berkepala dua, ia baru saja lulus dari jenjang SMA, itu pun karena terpaksa. Para guru merasa kasihan melihat kondisi Aline yang terus dipermainkan teman-temannya. Juga karena Aline sering terlihat tidak lagi bersemangat menjalani pendidikannya. Aline tidak pernah menangis meskipun ia selalu mendapatkan banyak luka di sekujur tubuhnya karena ulah teman-teman kelasnya yang senang merisak. Bahkan, Aline tidak hanya mendapatkan luka fisik dan luka mental dari teman-temannya, beberapa gurunya juga sering melakukan perundungan, dengan menjadikan Aline sebagai bahan tertawaan satu kelas dan menjadikannya sebagai contoh siswa yang bodoh yang tidak bisa membaca dan menulis.
Siapapun yang melihat kejadian ini akan merasa iba. Namun, tidak demikian dengan beberapa guru di sekolah itu. Beberapa orang guru justru menginginkan agar Aline segera dikeluarkan dari sekolah dengan alasan bahwa Aline akan memberikan kesan buruk terhadap sekolahnya. Dan, sebagian guru lain justru menyayangkan hal itu. Beberapa guru yang merasa iba memilih untuk tetap mendidik Aline dengan memberikan pelajaran tambahan sepulang sekolah. Akan tetapi, karena terlalu banyak anak-anak nakal yang terus mengganggu Aline, Aline semakin tidak memiliki peluang untuk belajar di sekolah dan memilih untuk tidak datang ke sekolah lagi.
Satu minggu sebelum Ujian Negara dilangsungkan, guru-guru di SMA Aline mengadakan suatu pertemuan yang membahas perihal kondisi Aline yang memburuk; mereka berunding, menyampaikan pro dan kontra terkait masa depan Aline sebagai siswa yang juga berhak menentukan masa depannya, hingga akhirnya mereka mendapat keputusan dari kepala yayasan untuk meloloskan Aline dengan satu syarat, Aline harus memiliki nilai bagus di bidang lain. Dan, itulah yang membuat Aline akhirnya bisa lulus meskipun terlambat.
"Hei," Aline menyentuh bahu Margin. "Kau baik-baik saja, bukan?"
Margin menjilat bibirnya yang terasa kering dari ujung ke ujung. Ia membenamkan lamunannya, kemudian menatap Aline sebentar dan menganggukkan kepalanya dengan pelan.
"Kau itu mengkhayalkan apa, sih?" tanya Aline sembari berdiri untuk menyeret kursi rotan dan duduk di hadapan Margin.
"Aku hanya sedang memikirkan masa kecil kita." Margin menjawabnya dengan suara datar.
Aline mengeluh. "Kau pasti sedang membayangkan betapa bodohnya aku pada saat itu."
"Tidak juga. Aku tidak pernah berpikir seperti itu," sahut Margin sungguh-sungguh.
Margin memperhatikan wajah Aline yang masih memperlihatkan ekspresi kesalnya.
Margin lalu tersenyum dan menaruh telapak tangannya di atas tangan Aline yang kecil. "Aku hanya teringat tentang masa kecil kita sebelum kita pindah ke kota ini. Waktu itu, kamu suka sekali menggambar beberapa lukisan. Kamu bahkan mengatakan kepada orang tua kita, kalau kamu ingin menjadi pelukis terkenal seperti Amedeo Modigliani dan Van Gogh. Entah mengapa, saat aku membayangkan tentang hal itu, aku merasa bahwa ini adalah waktu yang tepat supaya kamu bisa memikirkan masa depanmu sekarang."
"Maksudmu?" Aline menatapnya keheranan. "Mengapa tiba-tiba kau menyuruh aku memikirkan hal sulit seperti itu? Apa mungkin, kau merasa keberatan jika aku masih tinggal bersamamu di sini? Ya?"
Margin menggeleng. "Bukan seperti itu."
Kali ini suara Margin terdengar pelan. Adalah aneh jika Margin membenarkan pertanyaan Aline. Karena sedari awal, Margin sendiri yang telah membawa Aline ke sini. Lagi pula, mengapa Margin harus merasa keberatan untuk tinggal bersama sepupunya di rumah yang seluas ini?
Aline pasti sudah salah paham, pikir Margin.
Margin menghela napas. "Aku hanya menyayangkan bakat yang kamu miliki ini. Itu, mengapa kamu tidak coba untuk melanjutkan kuliah saja?"
“Kuliah?"
"Ya, kuliah. Aku yakin, selama ini kamu pasti bosan terus berdiam diri di rumah seperti ini, bukan? Dengan kamu kuliah, setiap hari kamu akan pergi ke kampus, berinteraksi dengan orang-orang baru, memiliki teman baru, dan tentu saja kamu juga bisa menambah wawasan dan mempelajari bidang keahlian yang kamu minati nantinya. Kedengarannya menyenangkan, bukan?”
“Entahlah,” Aline memalingkan wajahnya ke luar jendela. "Sedari dulu aku memang ingin pergi ke kampus sepertimu, tapi ..."
Aline menunduk, ia tidak ingin melanjutkan perkataannya.
Itu terlalu sulit.
Margin memandangi wajah gadis itu, masih dengan sorot mata tajamnya, sama seperti pertama kali ia menatap Aline. Margin mencoba untuk mengintip isi hati Aline melalui bola matanya yang teduh. Margin meraih tangan Aline, lalu menggenggam tangan yang terasa dingin itu dengan erat.
"Jangan khawatirkan masalah biaya kuliahmu, Al. Pokoknya, di mana pun kamu ingin kuliah, aku siap. Aku akan bertanggung jawab untuk pendidikanmu. Ya?"
Margin tersenyum, senyum yang tak pernah dibuat-buat, seakan-akan senyuman Margin itu memang sengaja disampaikan untuk hati Aline yang saat ini tengah gelisah.
"Mar," Aline meneteskan air matanya. Ia benar-benar terharu mendengar ketulusan hati Margin.
“Aku selalu berterima kasih atas kebaikanmu.” Sepasang mata cokelat Aline berkaca-kaca.
"Aku serius, loh. Ya? Kamu mau kuliah, kan?”
“....”
“Kalau kamu memang mau, kapan pun aku selalu siap untuk mengantarkanmu. Kamu tinggal pilih saja kamu mau kuliah di mana, jurusan apa, aku pasti akan membantumu."
Aline masih terdiam.
Sebenarnya Aline ingin sekali mengatakan bahwa ia sudah memiliki pilihan dan ingin segera menyebutkan salah satu nama dari perguruan tinggi yang sudah lama diidam-idamkannya. Akan tetapi, kenangan masa lalu selalu terbayang di benaknya. Aline takut, kejadian serupa yang sejak dulu membuatnya merasa terisolasi akan kembali dirasakannya di kehidupan kampus.
"Kau tidak perlu begitu, Mar." ucap Aline dengan suara tertahan.
Margin menatap Aline dengan heran. "Mengapa? Kamu tidak mau menyalurkan bakatmu itu? Apa kamu sungguh tidak ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi?”
Karena bingung, Aline memainkan ujung rambutnya.
"Aku hanya tidak percaya diri." jawab Aline namun dengan suara yang terdengar samar.
"Apa yang kamu cemaskan? Sketsamu bagus. Sejauh ini, kamu juga sudah banyak mempelajari dasar untuk masuk ke Fakultas Desain. Selebihnya, itu memang tergantung pada keputusanmu. Entah kamu ingin masuk ke fakultas yang mana, aku tidak akan memaksamu untuk itu. Jurusan di dunia perkuliahan itu ada berbagai macam, dan kamu bebas memilih sesuai dengan bidang yang kamu inginkan. Apa yang membuatmu ragu, Al?"
"Aku tahu, Mar. Aku tahu, tapi ... aku tidak bisa menghindar dari rasa takutku. Tidak sekarang. Pokoknya, aku belum siap untuk kuliah dulu."
"Aline, Aline, kalau kamu masih menunggu siap mah kelamaan. Kenapa tidak kamu coba saja dulu? Lagi pula, mencari ilmu itu tidak harus menunggu kata siap, bukan? Kalau kamu terus-menerus menunggu kata siap, sampai kapan pun kamu enggak bakal siap. Belum lagi kamu masih memanjakan rasa takutmu. Mau sampai kapan, Al? Maaf. Aku bicara seperti ini karena aku peduli. Aku sayang sama kamu. Kamu memiliki bakat alami dalam bidang ini. Akan sangat disayangkan jika keahlian kamu ini tidak coba kamu asah. Memangnya kamu tidak mau mewujudkan harapan dan mimpimu? Atau kamu lebih suka berperan seperti seorang Putri tidur di sepanjang hidupmu? Hah, mau sampai kapan kamu akan menunggu waktu yang tepat itu, Al?" Perkataan Margin bernada ketus.
Aline merasa terpojok. Memang benar. Semua kalimat yang diucapkan Margin itu tidak sepenuhnya salah. Tapi, tentu saja semua itu tidaklah mudah bagi Aline. Masuk ke Fakultas Desain itu sama sekali bukan hal yang bisa dilakukan begitu saja oleh gadis seperti Aline. Belum lagi dengan adanya masa lalu yang pernah Aline alami. Banyak sekali kecemasan yang harus Aline hadapi di sini.
Semuanya benar-benar tidak mudah untukku.
Margin bisa saja menganggap enteng masalah ini. Margin bisa seenaknya berbicara seperti itu karena ia terlahir sebagai seorang jenius. Tidak seperti Aline yang hanya mendapatkan kasih sayang dari Margin. Margin bahkan tidak pernah merasakan penderitaan, seperti apa yang pernah dialami Aline selain hidupnya. Margin itu sungguh-sungguh anak yang cerdas, ia mudah beradaptasi, namun bagaimana dengan Aline? Dengan latar belakangnya yang tidak seperti kebanyakan orang lain. Aline justru membutuhkan banyak pertimbangan.
Bagi Aline, menentukan masa depan seperti ini adalah rumit. Memutuskan untuk melangkah maju itu ibarat menegakkan benang basah. Aline tidak ingin bertindak gegabah. Namun, ia juga tidak bisa menolak keinginan hatinya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Bagaimanapun, Aline tidak dapat menghindar dari keresahan hatinya. Keinginan terpendamnya dan bayangan-bayangan dari masa lalu, sering kali membuat pikiran Aline menjadi kacau. Hal itu kemudian membuat langkah Aline jadi terhambat. Ia bimbang dan akhirnya takut untuk menentukan masa depan.
Aline memiliki semangat, akan tetapi delusi yang setiap kali menghantuinya, membuat gadis itu tidak ingin melangkahkan kaki ke luar barang sekejap saja. Aline berpikir, tidak apa-apa jika ia tidak bisa menggapai semua harapan dan cita-citanya saat ini. Lagi pula, jika mimpinya saja masih bisa berubah-ubah, untuk apa ia harus terburu-buru mengambil keputusan yang sulit?
Aline mendesah pelan. Di sebelahnya, Margin masih menatapnya dengan pandangan lurus tanpa berkedip sekali pun. Aline menundukkan wajahnya. Gadis itu membisikkan sesuatu dalam hati, Sepertinya Margin lupa. Orang bodoh seperti aku tidak akan bisa menjadikan mimpi itu menjadi kenyataan....
Alinea Prasasti mengintip ke luar jendela. Rumah berukuran tinggi berjejer mengelilingi daerah sekitar asrama tua yang ditempatinya. Saat gadis itu menengadah ke atas, tampak sebuah jejak roket berbentuk garis lurus yang kini hanya menyisakan gumpalan-gumpalan asap putih pucat di langit biru tak berawan. Dari arah timur bermunculan beragam jenis burung yang entah dari mana asalnya. Burung-burung itu tampak seperti titik-titik hitam di atas langit seolah-olah mereka terlihat sedang berlomba terbang ke Selatan untuk memperebutkan sesuatu. Sepoian angin yang cukup kuat mampu menjatuhkan daun-daun kering yang tertinggal di pohon Cemara, Nangka, Mangga dan tanaman hijau lainnya yang tertanam di pekarangan asrama itu, daun-daun kering berwarna kuning kecoklatan tersebut kembali menumpuk di sekitar bangunan asrama, membuat tukang kebun yang baru saja selesai menyapu seluruh pekarangan itu kini dibuat kesal lagi karena pekerjaan yang telah ia lakukan setelah subuh sekarang menjadi sia-sia.
Tidak hanya itu saja, di rumah sebelah, satu-dua kali selalu terdengar suara anak-anak anjing yang menyalak keras setiap kali mereka melihat orang-orang yang berjalan melewati pintu gerbang majikannya. Di tempat Aline mengamati lingkungan sekitarnya, seperti biasa—di sana—di dalam gang-gang kecil, dan di lapang sepak bola bertanah tandus yang dikelilingi oleh bangunan pasar tradisional dan pasar ikan yang sedikit becek dan berbau anyir tampaklah sekelompok anak berseragam merah putih. Mereka berlari cepat menuju gedung sekolah dasar yang terletak di ujung persimpangan jalan. Sebagian dari anak-anak itu seolah sedang mencemaskan sesuatu. Entah mereka takut terlambat masuk ke kelas atau mungkin anak-anak itu merasa cemas karena lupa dan belum menyelesaikan pekerjaan rumah atau mungkin juga mereka merasa ketakutan akan dihukum oleh wali kelasnya. Aline tak pernah tahu.
“Hah,” Aline menghela napas panjang. Penampakan seperti itu sudah sering ia lihat setiap hari, bahkan hampir setiap pagi kecuali hari Sabtu dan Minggu. Namun, tidak ada satu pun yang istimewa di sana.
Aline merasa hari-hari yang ia habiskan di asrama itu sekarang mulai terasa menjemukan. Aktivitas yang dijalani Aline setiap hari juga tidak ada yang berbeda. Setiap pukul 04.30 pagi atau saat Aline bangun tidur, Aline memiliki agenda untuk mengingat kembali berbagai macam kejadian yang sudah ia lakukan beberapa waktu lalu. Aline harus selalu menuliskan catatan-catatan kecil; tentang bagaimana perasaannya, apa saja yang terjadi di hari kemarin, objek apa saja yang ia lihat pada hari itu, buku apa yang sudah ia baca, apa yang ia tonton dan dengarkan, apa yang membuatnya kesal di hari kemarin, apa yang dapat ia pelajari di hari kemarin, dan terakhir, Aline diwajibkan untuk menuliskan kesan, kesimpulan dan rangkuman terkait kegiatan setiap harinya selama Aline tinggal di asrama ini, selain itu, Aline juga wajib menulis sebuah pesan yang ditujukan kepada dirinya sendiri di bagian bawah lembar catatan hariannya.
Tidak ada sesuatu yang menyenangkan, yang bebas Aline lakukan di sini. Semuanya terikat pada peraturan asrama yang khusus dibuat untuk dirinya.
"Kalau terus seperti ini aku jadi tidak sabar untuk masuk ke kampus. Kira-kira, apa saja yang akan aku pelajari di sana? Apakah akan sama dengan informasi yang aku dapatkan selama ini?" Aline bergumam sendiri. Ia menutup jendela kamar dan berjalan menyambar laptop yang di meja belajar.
Sembari menyeruput cokelat hangatnya, Aline membuka sebuah situs kampus yang ia temukan di feed Instagram.
Sepasang mata Aline membelalak lebar, ketika ia melihat salah satu nama yang tertera di daftar alumni kampus, tepatnya di halaman portofolio di website tersebut. Ada sebuah artikel yang membuat Aline tertarik untuk membacanya.
Walgita Adisty merupakan salah satu fashion designer muda berbakat yang lahir dan besar di Indonesia. Melalui desain-desainnya, sosok wanita yang akrab dipanggil dengan sebutan Wawa atau Gita ini mampu memperkenalkan budaya Indonesia hingga ke kancah internasional. Walgita Adisty dikenal sebagai lulusan terbaik di Universitas Trapunto Djakarta. Walgita juga pernah mengambil program satu tahun di fakultas Fashion Design dan lulus pada tahun 1996.
Aline mendekatkan wajahnya ke depan layar. Ia menatap tak percaya, membuka salah satu galeri yang ada di sana, mengunduh sebuah foto, lalu memperbesar ukuran gambar tersebut.
Alangkah kagetnya Aline, ketika ia mengetahui bahwa wajah yang berada di artikel itu, adalah wajah wanita yang paling dikenalnya. Ia tak lain adalah dokter yang sudah lama merawat Aline, sekaligus merupakan kepala asrama di tempat tinggal Aline saat ini.
"Benar-benar di luar dugaan. Aku sama sekali tidak percaya, Dokter Gita itu ternyata seorang alumni di Trapunto." gumam Aline, masih membaca beberapa artikel Dokter Gita yang terpampang di situs itu.
Walgita Adisty mendapatkan pujian atas dua rancangannya yang dinilai memiliki sejarah.
Walgita Adisty mendapatkan penghargaan dari wali kota Jakarta.
Walgita Adisty bermimpi menjadi perancang busana yang dapat menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap budaya Indonesia, khususnya bagi kawula muda.
Dan masih banyak lagi artikel-artikel Walgita lainnya.
Aline tertegun. Hatinya tidak ingin berhenti mengagumi sosok wanita itu. Sekarang aku mengerti. Alasan Margin menyuruhku untuk tinggal di asrama Dokter Gita, mungkin salah satunya adalah ini. Mungkinkah Margin mempertemukanku dengan Dr. Gita supaya aku bisa dimentori langsung oleh Dr. Gita?, pikir Aline.
Butuh waktu sekitar satu tahun agar Aline bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Sejak hari di mana Margin menyuruhnya untuk memikirkan masa depan, jelasnya tentang kuliah. Pelan-pelan Aline mulai mencari beberapa sumber di internet yang membahas tentang program dan dunia perkuliahan. Namun, mula-mula, Aline mencari tahu terlebih dahulu tentang bagaimana caranya menemukan jati diri.
Aline kerap kali mengikuti tes bakat dan berbagai macam tes lainnya. Namun, Aline belum cukup puas dengan hasil tes yang ia dapatkan itu. Berhari-hari ia berselancar di dunia maya, singgah dari satu blog ke blog lain, menimbang-nimbang sesuatu dan terus mencari artikel lainnya.
Satu pekan berikutnya, pencarian itu pun berakhir pada sebuah artikel perkuliahan, dan pembahasan seputar jurusan-jurusan kuliah yang paling banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Pilihan Aline pun jatuh pada program Fashion Design.
Sejujurnya, salah satu alasan pertama Aline tertarik untuk memulai kehidupan baru di dunia perkuliahan, adalah ketika Aline menemukan sebuah blog, di mana salah seorang beauty blogger menceritakan pengalaman kuliahnya ketika ia mengambil program satu tahun di jurusan Fashion Desain.
Aline sempat mengirimkan surel kepada beauty blogger tersebut dan melakukan sesi tanya jawab seputar pengalamannya kuliah di bidang desain.
Melalui teks wawancaranya dengan orang tak dikenal itu, Aline jadi tahu, jika Aline masuk ke jurusan Fashion Design, Aline tidak perlu mengkhawatirkan tes yang mengharuskan ia untuk menguasai hitungan angka, atau harus bisa menggambar bagus, seperti kebanyakan orang yang ingin diterima masuk ke jurusan Arsitektur.
Alasan yang kedua—ini sebenarnya sangat sederhana—karena sedari kecil Aline itu memang tidak terlalu suka untuk belajar. Menggambar menjadi salah satu cara alternatif bagi Aline, ketika ia mencoba untuk mempelajari kehidupan sekolah dan dunia di sekitarnya. Selain itu, Aline juga suka sekali mencampur dan mencocokkan pakaian. Dari situlah, Aline mulai membangun impiannya menjadi seorang perancang busana.
Lagi pula—kalau menurut informasi yang didapatkan Aline dari seorang Youtube asal Kanada, katanya sih, semua Mahasiswa baru di Jurusan Fashion Design itu tidak perlu mencemaskan perihal materi kuliah. Tidak ada yang susah untuk dipelajari, kebanyakan juga praktik, praktik dan praktik.
Aline juga ingat, ia pernah membaca salah satu artikel terjemahan yang ditulis oleh seorang fashion writer dari Negeri Matahari Terbit.
Dalam bukunya yang tebal, penulis itu menceritakan pengalamannya. Sang penulis juga memberikan pesan untuk semua orang yang ingin berkiprah di bidang fashion, agar mereka tidak ragu-ragu belajar dan terus belajar. Tidak ada kata terlambat untuk terus belajar bahkan di usia mapan sekalipun. Kuncinya, mereka harus percaya dan tahu alasan serta tujuan mereka terjun ke dunia Mode.
Ada pula, beberapa artikel lain yang membahas tentang kegiatan mahasiswa. Di buku itu, sang fashion writer ini memberikan semangat dan motivasi bagi para mahasiswa baru agar mereka tidak perlu khawatir jika belum menguasai basic menggambar. Toh, nantinya, pengajar juga akan membimbing mahasiswa-mahasiswinya tentang dasar-dasar membuat anatomi tubuh yang benar; menggambar ilustrasi model, membuat pattern, menggambar dan membedakan tekstur kain, menghitung skala, hingga membuat pola dan menjahit pakaian. Semua hal itu akan dicoba dan dipelajari satu per satu, termasuk mempelajari istilah-istilah fashion dalam bahasa Prancis. Juga belajar tentang bagaimana memasarkan produk itu sendiri.
Dari beberapa narasumber yang Aline temukan melalui internet itu, di setiap kesempatan, Aline pasti akan mencatat tips dan trik dari mereka—khususnya ketika mereka pertama kali memasuki dunia perkuliahan—hingga mencari tahu suka dukanya.
Selain itu, Aline juga selalu mencari perbandingan dari beberapa negara, terkait program kuliah mereka sehari-hari—tentunya di bidang yang sama—juga beberapa Event yang ada di kampus mereka. Selepas itu, Aline mulai menganalisis semua kebenaran dari informasi serta pernyataan mereka. Membandingkannya dengan kehidupan Aline dan kampus-kampus di Indonesia. Terkadang Aline memilah kembali kalimat-kalimat yang seharusnya tidak ia tulis karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kehidupan mahasiswa di Indonesia.
Untuk menyemangati dirinya, Aline mulai menyibukkan diri. Ia sering membuat sesuatu yang unik; mulai dari membuat doodle art, menuliskan kalimat-kalimat positif dari beberapa tokoh terkenal, menggambar ilustrasi dan lukisan-lukisan menarik, hingga membuat sketsa baju. Tak jarang, Aline menempel hasil kreasinya sendiri di dinding kamar. Kadang-kadang, ketika Aline sedang membutuhkan uang, ia akan menawarkan karya seninya itu pada Margin. Kemudian, Margin akan menghubungi teman-temannya dan membantu menjualkan lukisan-lukisan Aline kepada mereka.
Bagi Aline, menggambar merupakan sebuah aktivitas yang paling menyenangkan. Selain ia bisa mempelajari berbagai teknik gambar, menghilangkan kebosanan, ia juga bisa mendapatkan uang jajan dari hasil penjualan gambarnya. Ya, semacam simbiosis mutualisme, begitulah.
Aline tersenyum samar mengingat kenangan itu. Ia menarik napas panjang, lalu menundukkan kepalanya. Suara napas yang ia embuskan saat itu terdengar begitu ringan. Sedetik kemudian, tangannya mulai bergerak mengambil gagang pulpen—siap membuka lembaran kertas di hadapannya.
Untuk Aline,
Untuk hari-hari sekarang dan ke depannya. Tolong kenali dirimu! Jangan pernah ragu untuk menunjukkan bakatmu! Lakukanlah sesuatu yang baik bagi dirimu, dan jadilah inspirasi bagi orang lain tanpa berharap lebih.
Di bawah buku catatannya, Aline membubuhkan kalimat ini dengan tulisan bercetak tebal. Sebelumnya, Aline juga sudah mengisi tugas dari Dokter Gita dengan menuliskan semua objek dan kejadian yang diamatinya hari ini dalam sebuah daftar wajib—secara mendetail, pastinya.
Supaya tidak lupa lagi pada saat konseling, batin Aline.
Tak terasa sudah mau empat jam saja Aline duduk di depan monitor. Aline meletakkan buku catatan berwarna biru pirus itu di samping papan ketik. Ia merentangkan kedua tangannya, menguap sebentar, memperhatikan semua benda yang ia taruh di atas meja.
Entah mengapa, sewaktu Aline melihat sampul agendanya, ia jadi terbayang pada waktu itu. Hari di mana Aline melakukan perbincangan kecil bersama Margin. Aline pun mengingat-ingat kembali, bagaimana caranya ia bisa sampai di asrama ini.
Semua itu berawal dari sini....
Satu tahun yang lalu, di kediaman Margin, di Jakarta Selatan. Margin mengajak Aline untuk makan malam di sebuah kafe bernuansa elite. Di tengah makan malam mereka, Margin melayangkan sebuah pertanyaan serius.
"Kamu ingin melanjutkan pendidikanmu, bukan?"
Aline tidak berani menjawab pertanyaan itu. Ia terdiam seribu bahasa. Tak ada jawaban bagus yang bisa ia lontarkan. Tidak dengan alasan, maupun dorongan untuk mengutarakan semua kecemasannya di hadapan Margin.
"Jangan diam saja, Al. Aku ingin segera mendengar jawabanmu. Kalau aku mendaftarkanmu ke perguruan tinggi di kawasan Bintaro, kamu mau, tidak?" desak Margin.
Aline mengangkat wajah, memperhatikan Margin yang sedang menyuapkan potongan tenderloin steik terakhirnya.
Mulut Margin terlihat penuh, rahangnya bergerak dari atas ke bawah, terkadang lidah Margin keluar; menjilat ujung bibirnya sedikit, hanya untuk memastikan kalau tidak ada bumbu yang menempel di lipstik merahnya. Lalu, ketika Margin menenggak air minumnya, tenggorokan Margin ikut bergerak-gerak dan mengeluarkan bunyi "glup” sebanyak tiga kali—selayaknya adegan iklan minuman yang diperagakan oleh seorang model di televisi. Persis seperti itu.
Aline membanding-bandingkan hidangan di atas piringnya dengan piring milik Margin. Punya Margin terlihat bersih, hampir tidak ada sisa-sisa bumbu yang menempel di sana. Semua habis Margin lahap. Entah karena saat itu Margin sedang lapar atau memang makanan di sana terasa lezat baginya, yang jelas Margin terlihat menikmati semua hidangan itu.
"Bagaimana, Al? Mau, kan?" Margin bertanya sekali lagi.
Aline menggeleng, menjawab dengan ragu. "Tidak, Mar. Aku tidak mau."
"Mengapa?" Margin menatap Aline heran. Garis di keningnya ikut tertarik dan membentuk lipatan-lipatan yang terlihat samar.
"Aku takut, Mar. Bagaimana kalau orang-orang mencemooh aku lagi? Aku tidak ingin kembali seperti dulu."
"Ah!" Margin mengembuskan napas panjang.
"Kamu itu bagaimana, sih? Masih saja memikirkan peristiwa itu."
"Bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya? Tiga tahun, loh, Mar. Lebih dari tiga tahun. Kau tahu sendiri, kan, betapa sulitnya aku melewati hari-hari itu."
"Ah, ayolah ... Tidak baik, loh, terus terkungkung dengan masa lalu."
Hening sesaat.
Aline mengembuskan napas panjang.
“Manusia hanya bisa berkata tanpa bisa merasa ke dalam lubuk hati seseorang,” kata Aline sembari meneguk minumannya.
“Kau tidak pernah tahu, bagaimana rasanya berada dalam situasi seperti aku? Jika kau mengalami hal yang sama dengan aku, apa kau masih bisa berkata begitu?” Aline merajuk.
Margin tertegun. "Ya, memang, sih, kedengarannya perkataan aku itu sangat tidak adil bagimu."
Aline tidak bereaksi. Margin menatap mimik muka Aline. Ada guratan kesedihan di sana. Margin tahu betul, sepupunya pasti sedang berpikir bahwa ia sudah tidak peduli lagi kepadanya.
Margin mengembuskan napas pendek. Ia lalu mengambil botol air mineral, mengisi gelasnya yang kosong, dan meminum segelas air itu hingga tak tersisa.
"Kamu pasti berpikir, mengapa aku mudah sekali mengatakan hal seperti ini padamu?"
"Ya, dan aku tahu alasanmu."
"Oh, ya?"
"Hm."
"Menurutmu apa alasannya?"
"Sangat jelas, bukan? Semua itu karena kau adalah orang yang sangat beruntung. Otakmu jenius. Kau memiliki IQ 162, sering jadi pembicara di berbagai acara penting, punya banyak teman, prestasimu juga gemilang—kau juga tidak perlu mengkhawatirkan banyak hal—Tidak seperti aku, setiap waktu hanya diliputi oleh perasaan cemas. Kau bisa berkata-kata dengan mudah, karena hidupmu tidak pernah kesulitan. Benar, kan?”
Margin tersenyum kecil. "Kamu mengatakan sesuatu yang benar tentangku. Tetapi, semua yang kamu katakan itu bukanlah alasan dari perkataan aku.”
"Lantas apa?"
"Kamu penasaran, kan?"
"Katakan. Jangan bertele-tele!"
"Baiklah. Jujur saja ya, Al. Sebetulnya, tujuan aku mengatakan semua hal ini, karena aku ingin kamu bisa mempertimbangkan lagi tawaranku waktu itu. Aku ingin, kamu mulai memperhatikan dirimu yang sekarang."
"Kenapa aku harus melakukan itu?"
"Untuk kebaikanmu sendiri."
"Ha? Kebaikan apa maksudnya? Selama ini aku baik-baik saja. Aku sudah nyaman dengan kondisiku sekarang."
"Kamu bohong, Al. Jelas-jelas itu bukan jawaban yang keluar dari hatimu. Aku tahu seperti apa kamu itu. Kamu tidak bisa hidup seperti ini terus, Al.”
“Jangan sok tahu, Mar. Selama ini aku selalu baik-baik saja.”
“Kalau begitu, kenapa sampai sekarang kamu masih mengurung bakatmu?"
“Ha? Siapa yang suka mengurung bakat?"
Margin mendesah. "Anggap saja hari ini aku percaya pada ucapanmu.”
“Memang seharusnya begitu, kan?”
“Yah, mau bagaimana lagi, sedari dulu kamu memang suka membantah perkataan aku.”
"Aku tidak begitu!”
“Kamu memang seperti itu!”
“Tidak! Aku tidak pernah membantah perkataanmu.”
“Benarkah?”
“Iya.”
“Baik. Kalau memang kamu tidak pernah merasa begitu, bisakah kamu menjawab pertanyaan aku tanpa berpikir terlebih dulu?” tantang Margin.
“Siapa takut.”
“Oke. Mari kita mulai! Berapa kali dalam satu hari kamu memikirkan keinginan pribadimu?"
"Ya?"
"Berapa kali?"
"Tentu saja, sering. Selama ini aku selalu memikirkan cara untuk menghindari bayangan dari masa laluku. Bahkan—kalau saja bisa, aku berharap agar aku segera melupakannya."
"Tuh, kan, kamu sama sekali tidak pernah memikirkan kepentingan dirimu yang sebenarnya."
"Jadi menurutmu, semua yang aku pikirkan selama ini tidaklah penting?"
Margin menggeleng. "Kamu tidak paham, ya? Maksud aku itu tentang memikirkan masa depan, Al. Pernah tidak sih, kamu berpikir tentang ingin menjadi apa kau di masa depan, atau pernah tidak kamu memikirkan sebuah cara untuk mendapatkan kebahagiaanmu sendiri?"
Aline terdiam. Tidak ingin juga ia membahas hal yang dapat membuatnya terbayang pada masa lalu.
“Kalau kamu diam begini, itu artinya kau tidak pernah, bukan?”
Aline mengernyit.
Mengapa sih Margin harus bertanya seperti ini? Memangnya Margin tidak tahu bagaimana aku hidup selama ini? Mengapa aku harus memikirkan kebahagiaan aku, di saat orang lain terus-menerus menyindir kebodohanku? Bagaimana aku akan bahagia, jika setiap kali bertemu orang-orang di tempat umum, ingatanku tentang masa lalu terus membuatku merasa sesak dan menderita? Kalau memang aku harus bahagia, seharusnya ia memberitahu aku, bagaimana caranya agar aku bisa bahagia? Selama ini Margin tidak pernah tuh membicarakan tentang kebahagiaan aku. Kenapa tiba-tiba Margin jadi seperti ini? Bahagia? Bahagia macam apa yang ia bicarakan sekarang? Omong kosong!
"Aku tidak bisa memikirkan hal seperti itu." ungkap Aline.
"Kenapa?”
“Aku tidak bisa dan aku tidak pantas memikirkannya.”
“Siapa bilang? Kamu bisa jika kamu mau. Kamu itu berhak memiliki masa depan yang cerah—juga berhak mendapatkan kebahagiaan.”
"Oh ya, bagaimana caranya?" ketus Aline.
"Kamu harus punya tekad. Ikhlas masa lalumu, dan jangan pernah lagi memikirkannya." jelas Margin dengan nada tak kalah tinggi.
Aline memiringkan senyumannya. "Bicara itu memang enteng, Mar. Tapi pelaksanaannya? Kau seperti tidak tahu saja, bagaimana cemasnya aku menghadapi orang-orang di luar sana?"
"Aku tahu. Aku paham, betapa menderitanya kamu ketika berhadapan dengan orang-orang asing. Tapi, kamu juga harus segera keluar dari zona nyamanmu. Masa lalu itu tidak perlu lagi kamu takuti, Al. Toh, tidak semua orang-orang di dunia itu sama. Tidak baik juga kan, kalau kamu terlalu lama memeluk kenangan burukmu?"
"Ya, dan akan lebih baik jika aku terus menghindar. Sudahlah. Kau jangan membahas masalah ini. Jangan mengkhawatirkan aku juga. Aku akan berpura-pura tidak tahu dan tidak mengingat semuanya."
"Tidak! Tidak! Mulai sekarang, kamu tidak boleh melarikan diri. Kamu harus mencoba untuk menghadapi semua kenangan itu. Jangan mau kalah sama bayangan di pikiranmu dong, Al. Kamu harus berusaha bangkit."
"Itu sulit, Mar."
"Ya, memang. Semua itu akan sulit di awal, apa lagi jika kau tidak mau berusaha menghadapinya."
"Tapi ..."
"Tidak ada tapi, Al. Kamu harus percaya padaku! Kamu mau berubah, bukan?"
"Aku tidak yakin."
"Harus yakin dong!"
Margin meraih tangan Aline di atas meja. "Dengarkan hati kecilmu, jangan mau dikalahkan ego!"
Aline menatap bola mata Margin yang bersinar. Cara Margin bicara begitu yakin. Meskipun itu hanya kalimat sederhana, tapi langsung menjurus ke ulu hatinya.
“Kata-katamu mirip sekali dengan Dokter Gita."
"Tidak masalah. Aku tidak keberatan, kamu mau menyamakan aku dengan siapa pun—yang terpenting aku bisa membuatmu mengambil sebuah keputusan."
"Dasar keras kepala!"
"Yang keras kepala itu kamu! Aku selalu optimis."
"Jangan terlalu yakin. Belum tentu aku mau melakukannya."
"Kenapa tidak?"
Sepersekian detik, Aline menyilangkan jari-jarinya dengan gelisah. Margin memandang lekat wajah Aline yang tertunduk dalam.
“Kenapa tidak dijawab, Al? Kenapa kamu tidak mau melakukannya?”
Sejenak Aline mengangkat wajahnya. "Aku tidak ingin kau kecewa karena kelakuanku."
Bibir Aline bergetar, sudut matanya terangkat menatap Margin. Aline tahu, Margin pasti akan kesal dengan alasannya. Akan tetapi, tanpa terduga, Margin malah balas menatapnya sembari memamerkan kedua lesung pipinya.
"Aku justru akan merasa bangga jika kamu mau berusaha mengalahkan dirimu."
"Tapi ... aku tidak yakin bisa. Kau tahu kan, masa lalu dan delusiku—”
"Yah, ya ... Terus saja masa lalu! Mau sampai kapan sih, kamu bergantung pada masa lalu itu?”
Dan, akhirnya Margin marah juga.
Aline mengembuskan napasnya. "Aku tidak tahu, Mar. Mungkin selamanya aku akan terus terjebak dalam masa laluku."
Margin menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. "Kamu tahu? Masa depanmu tergantung pada pendirian yang kamu miliki, Al. Jelas, waktumu sekarang ini jauh lebih berharga daripada kenangan yang kamu miliki di masa lalu. Yah, ibaratkan saja sekarang ini kamu sedang menggenggam sebuah tanah liat di tanganmu; jika kamu mau menyentuh tanah itu, maka tanah itu akan berubah menjadi sesuatu—tapi jika kamu hanya melihat saja tanpa ada keinginan untuk mengubahnya, sampai kapan pun tanah itu tidak akan pernah berguna untuk dirimu."
Aline terdiam beberapa saat.
Lima detik kemudian Aline bertanya. "Bagaimana jika tanah liat itu tergelincir dari genggamanku?"
Margin menyeringai. "Aku pikir kamu sudah tahu jawabannya.”
Aline menatapnya dengan serius.
"Andai kata tanah itu tergelincir, kamu tinggal mengambilnya lagi, bukan? Tidak ada alasan untuk membuangnya. Tanah liat itu masih bisa dibersihkan dan dibentuk ulang. Mau bagaimanapun kejadiannya, selalu ada peluang untuk menemukan jalan,” terang Margin.
Margin menghela napas sejenak. “... aku jadi teringat perkataan Dosen di Fakultas aku dulu. Ia bilang, kegagalan itu seperti benih yang akan tumbuh jika terus disiram. Kamu tahu apa itu artinya? Kegagalan itu bukanlah sesuatu yang harus kamu hindari, melainkan harus kamu tanam dan kamu urus dengan lebih bijaksana. Kegagalan yang kamu urus akan memberikan buah yang tak terhingga nilainya." kata Margin sembari mengenang masa-masa kuliahnya.
"Oke, aku mengerti. Katakanlah aku sudah melakukan semua itu tetapi kemudian aku terjatuh hingga aku tidak bisa bangkit lagi. Bukankah itu tandanya jika aku harus menyerah pada mimpiku?"
Margin menggeleng. "Salah. Justru malah sebaliknya, kalau kamu sudah mencoba tapi ternyata masih gagal juga, berarti kamu harus lebih memotivasi dirimu untuk terus meningkatkan potensi yang ada dalam dirimu”
“Andai aku terjatuh lagi?”
Margin berdeham. “Kalau pun nantinya kamu terjatuh berkali-kali, kamu seharusnya tidak perlu takut. Jika kamu jatuh, masih ada tanganku yang selalu siap mengulurkan bantuan untukmu. Kamu mengerti? No excuses!”
Hati Aline tersentuh mendengar semua hal itu. Margin memang terkenal ambisius, tetapi Aline tidak pernah menyangka kalau ia akan memperoleh pembelajaran sepadat itu dari sepupunya. Tak heran jika Margin selalu diminta untuk mengisi acara seminar dan menjadi pembicara di TV.
"Terima kasih. Tapi sepertinya, aku tidak akan bisa mewujudkan keinginanmu itu, Mar. Kau tahu, kan? Aku ini cuma gadis bodoh yang tidak bisa melakukan sesuatu dengan benar."
"Kalau kamu merasa bodoh, semestinya kamu jangan menyerah untuk mengejar ketertinggalanmu, dong!"
"Aku tidak bisa, soalnya kan aku itu ..."
"Sudahlah. Jangan terlalu banyak alasan. Kamu itu sudah bukan anak SD lagi." potong Margin dengan nada sinis.
Aline menunduk dalam-dalam. Mendadak ia merasa dongkol.
Seharusnya aku yang marah. Aku kesal karena Margin terus-terusan menekan aku dengan perkataannya itu. Kenapa malah jadi Margin yang seperti ini? Margin kan tidak berhak menyuruh aku untuk melakukan ini dan itu. Akulah yang memiliki kuasa untuk memilih jalan hidupku. Bukan Margin!
"Hei, Aline! Kamu masih menyimak semua perkataan aku, bukan?"
Aline mengangguk. Ia masih diam dengan kepala yang menunduk dalam, sibuk memperhatikan lantai kafe yang mulai terasa dingin di bagian telapak kakinya. Sepertinya, temperatur AC di ruang VIP itu sudah sedikit dinaikkan oleh pelayan—yang tadi baru saja keluar setelah membawa makanan pencuci mulut untuk mereka.
Duh, dingin.
Aline merasa sebentar lagi kakinya pasti akan membeku.
"Maaf ya, Al. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk mengatakan sesuatu yang membuatmu sedih. Aku hanya mencoba untuk membuatmu kembali optimis seperti dulu."
"Tidak usah dipikirkan."
Margin memperhatikan wajah Aline.
"Aku minta maaf.”
“Iya.” sahut Aline datar.
Margin sangat senang karena Aline tidak marah padanya. Mendadak Margin jadi bersemangat lagi membahas masa lalu Aline.
“Kamu ingat, tidak? Sewaktu kamu masih SD, di depan guru-guru dan orang tua kita, kamu dengan bangga menyerukan bahwa kelak kau pasti akan menjadi orang terkenal. Aku sebenarnya sempat kaget loh, melihat semangatmu yang berapi-api itu.”
“Hm, aku tidak ingat soal itu.”
“Bohong sekali. Kalau tidak ingat, mana mungkin kamu masih menyimpan foto-foto itu?”
“Kau yang menimbunnya di kamar, bukan aku!” protes Aline.
Margin tertawa lalu meminta maaf lagi. “Ya, aku memang melakukannya. Aku melakukannya, karena aku berharap kamu dapat mewujudkan impian itu sekarang.”
“Ha! Kau tidak salah?”
“Apanya yang salah dengan berharap?”
Dahi Aline berkerut. Hatinya mencerocos mengesalkan sesuatu.
Duh, Margin, Margin... Kau itu yang benar saja? Kau percaya pada perkataan aku di masa kita masih duduk di bangku SD? Bukankah kau itu seorang genius, Mar? Kau pasti paham kan, apa yang aku ucapkan dahulu itu tidak benar-benar serius. Itu semua hanyalah celotehan iseng aku saja. Memang kau pikir, saat itu aku sudah mengerti, apa yang dinamakan dengan cita-cita? Aku kan mengatakan itu, karena aku tidak mau membuat orang tuamu malu. Merekalah yang menyuruh aku. Aku hanya mengatakan semua itu demi menjaga nama baik keluargamu. Lagi pula, apa kau lupa, ya? Kau sendiri juga sudah melupakan dan mengubah impian dari masa kecilmu, kan?
Aline terus berkeluh kesah di dalam hati.
Margin yang melihat perubahan dari wajah Aline merasa tidak enak.
"Maaf, Al. Jujur, aku terus berbicara begitu, karena aku tidak ingin melihat kamu terjebak dalam masa lalu. Aku ingin melihatmu berkembang, Al. Aku sangat menyayangimu. Karena itu, aku mohon sekali saja, tolong pikirkan lagi tentang masa depanmu.”
Omongan Margin kala itu membuat Aline berpikir keras. Bagaimana Aline bisa melakukan semua yang dikatakan Margin kepadanya? Sementara, perkataan teman-teman SMA Aline di masa lampau, masih sering terngiang di telinganya. Saat itu juga, di ruangan yang sama, Aline jadi teringat pada perkataan teman-teman di sekolahnya.
"Lihat deh, si Aline bodoh itu! Masa dia dapat nilai seni rupa lebih besar dari kita? Padahal kapasitas otaknya kan sempit, bisa-bisanya dapat pujian dari Pak Guntur."
"Benar banget. Kok, bisa-bisanya ya, si Aline berani datang ke sini lagi? Kalau dipikir-pikir, tuh anak sudah kayak siswi abadi saja.”
“Nilai rapor di bawah KKM saja dia masih berani ke sekolah? Nggak tahu malu banget.”
“Mana mungkin dia malu, dia kan tidak punya ayah dan ibu. Pantaslah hidupnya bodoh begitu, tidak ada yang peduli padanya.”
“Menang gaya sama wajah doang, tuh anak otaknya mah enggak ada isinya.”
Semua orang di ruang kelas itu turut membicarakan dan menertawakan Aline. Bagi mereka, mengolok-olok orang yang memiliki kelemahan adalah sebuah lelucon yang hebat. Mereka tak pernah berpikir bagaimana perasaan orang yang mereka ejek. Seolah tak berdosa, kehilangan rasa, mereka berlaku seenaknya.
Sementara, di sisi lain, Aline merasakan kupingnya panas mendengar semua perkataan pedas itu. Namun, Aline selalu menahan emosinya. Ia bertingkah seakan-akan ia adalah makhluk luar angkasa idiot, yang tak pernah mengerti bahasa manusia. Setiap kali mereka membicarakannya, Aline selalu tertawa di hadapan mereka. Ia sama sekali tidak pernah menunjukkan ekspresi marah maupun sedih. Tetapi suatu waktu, di semester akhir, jenjang sekolah menengah atas ....
"Hei, Aline! Lo nggak malu ya, Lin? Bedak kamu merek apa, sih? Tebal banget perasaan. Kok, bisa sih, kamu masih berkeliaran di sekolah ini? Usia kamu kan sudah kepala dua, masa kamu masih mau sekolah di sini? Seharusnya kamu keluar dari sekolah ini. Malu-maluin nama baik sekolah saja. Udah pergi sana! Kamu tuh harusnya nikah terus duduk-duduk manis di rumah kamu yang gede itu, atau kalau nggak ada yang mau sama kamu, kamu kerja saja sana. Banyak kan orang-orang seumuran kamu yang udah kerja. Ups, salah... Usia kamu ini kan memang sudah waktunya buat masuk dunia kerja—Bukan malah duduk manis di bangku SMA seperti kita-kita. Menolak tua ya, kamu? Sadar diri dong, Lin!"
Dan, tiba-tiba...
Byur! Secepat kuda berlari, seragam Aline pun basah oleh cairan alpukat yang telah dicampur dengan air beraroma tak sedap.
Bullying. Body shamming.
Ia baru pertama kali mendapatkan perlakuan seburuk itu dari teman sekelasnya. Aline merasa sakit hati. Selama ini, ia selalu diam karena mereka hanya menyakitinya dari omongan biasa, tetapi ketika sudah memakai kekerasan seperti ini, apa harus mereka dibiarkan begitu saja? Rasanya tidak adil. Calon penerus bangsa berkelakuan seperti orang tanpa didikan. Sungguh miris!
Beragam olok-olokkan pun rutin Aline dapatkan sewaktu ia berada di SMA yang sama. SMA Damar Rembulan, sekolah swasta yang menjadi pilihan terakhir dari Margin, ketika Aline berada di puncak semester akhir.
Benar juga. Pada saat itu, Aline sering berpindah-pindah sekolah karena masalah yang sama. Ia juga pernah menjadi seorang siswi yang dicap sebagai murid tak tahu malu. Datang seenaknya ke sekolah, duduk di kelas tanpa pernah memperhatikan pelajaran, mengerjakan soal-soal ujian pun selalu asal-asalan.
Aline juga ingat, dulu, setiap kali ulangan semester, ia sering kedapatan oleh guru pengawas ketika tengah asyik menyalahgunakan fungsi penghapusnya sebagai tutor untuk mengisi soal-soal pilihan ganda. Akibatnya, Margin jadi bulan-bulanan guru, Margin dipanggil ke sekolah dan diberikan teguran keras untuk lebih memperhatikan Aline.
Ya, selama itu, Aline merasa bahwa ia tidak dapat melakukan sesuatu dengan benar. Makanya, hari itu, Aline pun sempat memiliki keraguan. Kala Margin menawarkan Aline untuk melanjutkan kuliah di Universitas sesuai kehendak hatinya. Alih-alih senang, Aline justru merasa minder.
Aline mengingat umurnya yang sudah berkepala dua, bahkan hampir mendekati kepala tiga. Tentu saja, ini bukanlah perkara yang mudah. Aline memiliki banyak kebimbangan di sini. Banyak kecemasan-kecemasan yang Aline rasakan, terlebih lagi ketika ia dituntut untuk menjawab perkara masa depannya pada saat itu.
Jujur, jangankan untuk memilih jurusan kuliah, Aline sendiri sering merasa, kalau ia ragu dengan kemampuan yang dimilikinya. Ia hampir tidak tahu arah; bagaimana dan ke mana ia akan melanjutkan langkahnya. Kalau menurut istilah keren dari anak Fakultas Psikologi, sih, Quarter Life Crisis. Konon katanya, gejala seperti ini memang sering dialami oleh sebagian masyarakat di usia delapan belas sampai tiga puluh tahunan.
Demikianlah segala sesuatu yang pernah Aline rasakan di kehidupan silam. Asam, manis, pahit, semua berkumpul menjadi satu. Menumpuk dalam pikirannya, kemudian mulai menggerogoti sel-sel inti di kepalanya, lantas terbentuklah virus-virus gelap yang membangunkan delusi dan perubahan suasana hati Aline—Dan akhirnya menyebabkan gadis itu mengalami gangguan Skizoafektif.
Semua itu terjadi karena Aline tidak pernah bisa mengutarakan semua peristiwa yang menimpanya, kepada Margin maupun orang lain. Orang lain siapa coba? Teman saja Aline tidak punya. Tidak ada yang bisa Aline andalkan ketika itu. Pokoknya, hal yang bisa Aline lakukan pada saat itu, hanyalah merenungkan diri dan mencoba untuk berinteraksi dengan hati kecilnya. Mencari penyembuhan sendiri.
Beruntung, tak lama setelah Aline mendapat perawatan dari Dokter Gita, penyakit Aline berangsur-angsur pulih.
Aline menemukan sebuah artikel yang sedikit lebih dapat membangunkan semangatnya kembali. Usai membaca artikel itu, Aline jadi yakin, bahwa segala sesuatu yang ingin ia capai, dapat ia lakukan mulai dari nol.
Tidak ada kata terlambat untuk mempelajari sesuatu.
Kalimat yang bercetak tebal di atas judul artikel itu bagaikan mantra penguat Aline—setiap kali hatinya sedang diliputi oleh perasaan gelisah.
Semenjak hari itu, Aline terus berusaha keras untuk bangkit dan membuang kecemasannya—juga semua hal yang bersangkutan dengan masa lalu yang sampai sekarang masih terus terbawa dalam kehidupan Aline.
Sedikit demi sedikit, perlahan tapi pasti, semakin banyak Aline membaca dan menemukan konten-konten positif dari internet, ia pun menjadi lebih terinspirasi dan bersemangat untuk melakukan suatu perubahan.
Satu bulan pun berlalu—dari pembicaraannya dengan Margin pada malam itu. Pagi-pagi sekali, Aline mencari Margin ke butik.
Masih dengan pakaian tidurnya, Aline berseru, mengatakan pada Margin, kalau ia tertarik untuk meneruskan pendidikannya di bidang desain. Mendengar hal itu Margin yang pada saat itu sedang menikmati roti panggangnya langsung tersedak dan terheran-heran.
Dalam hati, Margin bertanya-tanya. Dapat mimpi apa Aline semalam?
"Kamu serius, kan?" tanya Margin setengah tak percaya. Ia menganggap bahwa Aline masih mengigau.
"Seratus persen, Mar. Aku sudah memikirkan ini masak-masak. Aku ingin menjadi seorang perancang busana."
"Oh, akhirnya," Margin merangkul pundak Aline.
"Syukurlah. Sedari awal, aku juga sudah yakin, kamu pasti akan menyadari bakatmu. Walau kamu tidak menemuiku sekarang, aku begitu yakin, lusa kamu pasti akan datang padaku dan mengatakan bahwa kamu ingin menjadi seorang desainer."
"Kau terlalu berlebihan, Mar. Bagaimana kau bisa tahu aku akan mengatakan hal ini?”
“Insting, Al.”
“Masa? Ah, aku jadi curiga, jangan-jangan kau bisa membaca pikiranku, ya?"
Margin tergelak. "Tidaklah, sayang. Aku kan bukan cenayang. Tenang saja, aku tidak pernah membaca pikiranmu."
Garis bibir Aline sedikit bergeser ke samping, menampakkan seringai dingin yang diikuti candaan Margin.
"Sudahlah, kamu ingin kuliah, bukan? Ayo kita bersiap-siap!"
Nampaknya hari itu Margin benar-benar bahagia mendengar keputusan Aline. Setelah Aline mengutarakan keinginannya untuk mengambil program Fashion Design di Universitas Trapunto Djakarta, wajah Margin bersinar cerah. Ia lalu mengantar Aline pergi.
Namun, Margin tidak lantas menemani Aline untuk mendaftar di rektorat kampus. Melainkan, Margin mengajak Aline untuk bertemu dengan Dokter Gita di asramanya. Kata Margin, sebelum Aline memasuki dunia kampus, Aline harus belajar banyak terlebih dahulu, menguasai semua kecemasan dan ketakutannya, dan harus tetap menjalani konseling bersama Dokter Gita di asrama itu.
Awalnya, Aline merasa kecewa begitu harapannya dipatahkan. Aline pikir, Margin akan sungguh-sungguh mendukungnya. Namun ternyata, sikap Margin kepadanya masih seperti dulu. Aline jadi merasa, kalau ia selalu diperlakukan seperti gadis gila yang membutuhkan pengawasan dokter selama berjam-jam. Walaupun memang, setiap kali Aline tidak bisa mengendalikan bayangan dari masa lalu yang mendadak muncul di saat Aline sedang berada di tengah publik, tapi Aline merasa ia tidak pernah merugikan atau bahkan melukai orang lain karena kondisinya. Ia tidak gila—hanya memiliki sedikit rasa trauma.
Aline tidak mengerti, mengapa Margin begitu ngotot menyuruhnya untuk tinggal di asrama tua itu. Padahal kampusnya berada di kawasan Jakarta Selatan. Dekat dengan rumah dan tempat kerja Margin. Namun sekarang, setelah mengetahui alasan Margin yang sebenarnya, Aline sudah tidak ingin lagi melayangkan protes kepada sepupunya itu.
Kembali lagi ke masa sekarang.
Tadi, Aline telah membaca beberapa artikel, dan mengetahui masa lalu dari Dokter Gita, yang ternyata pernah berprofesi sebagai seorang perancang busana. Aline akhirnya mengerti, mengapa Margin mengirimnya ke sini. Kini, alih-alih merasa dongkol kepada Margin, Aline merasa bersyukur karena ia sudah berada di tempat yang tepat.
Terlebih lagi, setelah Aline mengetahui kalau Dokter Gita merupakan alumni terbaik dari kampus yang sudah lama diidolakan oleh Aline. Tentu saja, hal ini membuat Aline semakin bersemangat untuk memperdalam ilmunya.
Di benak Aline sudah muncul berbagai macam pertanyaan yang ingin ia sampaikan pada Dokter Gita. Kebetulan, besok sore adalah jadwal konselingnya. Aline sudah tidak sabar. Baru kali ini, ia ingin segera melompat ke hari Senin. Laksana jentayu menantikan hujan, Aline benar-benar rindu pada Dokter Gita. Bila sudah bertemu, Aline akan mengajaknya berbincang-bincang. Aline sudah membayangkan akan seperti apa reaksi Dokter Gita, ketika ia tahu bahwa Aline telah membaca semua artikel tentangnya.
Ah, jadi tidak sabar.
Aline menutup buku catatannya. Kalau biasanya sih, Aline ogah-ogahan dan memilih untuk mengabaikan jadwal pertemuan itu dengan berbagai alasan. Tapi sekarang ini, Aline menginginkan hal yang sebaliknya. Ia ingin sekali mengorek lebih banyak informasi dari Dokter Gita. Aline ingin mengetahui, seperti apa cerita masa lalu Dokter Gita, hingga mempertanyakan alasan Dokter Gita memutuskan untuk mengganti gelar Master of Design miliknya dengan Dokter Spesialis Kejiwaan.
Sepanjang hari, Aline terus memikirkan banyak hal. Ia masih berselancar di internet, berusaha mendapatkan berbagai informasi seputar dunia fashion dan prospek kerja yang sudah berhasil dibuktikan oleh para alumni kampus.
Aline sibuk membanding-bandingkan rancangan baju miliknya dengan portofolio milik orang lain. Beberapa menit kemudian, di saat Aline akan menutup halaman web itu, tak sengaja mata Aline tertuju pada kolom paling bawah. Di sana tertulis kata "Tour Virtual", dengan huruf-huruf kapital yang digambar menggunakan teknik pointilisme.
Ternyata, setelah dibuka, kolom itu merupakan kolom kejutan bagi pengunjung web. Di sana juga tercantum petunjuk untuk memasuki ruang virtual kampus. Karena rasa ingin tahunya cukup besar dibandingkan ketakutan yang selama ini hinggap dalam pikiran Aline, Aline pun lantas menekan tombol mouse di bagian kiri dari tangan kanannya.
Ada sebuah logo merah berbentuk pita, kalau diperhatikan logo itu bukan sembarang logo. Itu adalah sebuah huruf kapital yang tersusun dengan abjad lainnya. Ketika Aline memperkecil layar tersebut, pita yang tadinya terlihat membentuk huruf T itu lalu menampilkan sebuah gerbang dengan tulisan Trapunto Djakarta.
Berdasarkan pengamatannya, Aline dibawa masuk ke dunia simulasi di dalam website tersebut. Aline seperti sedang melakukan perjalanan menyenangkan dengan mengenal ruangan-ruangan di kampusnya. Dari mulai masuk ke gerbang kampus, perpustakaan, kantin, lapangan olahraga, ruang kelas menjahit, dan ruang-ruang kelas lainnya. Sungguh pengalaman menyenangkan menurut Aline.
"Teknologi sekarang pesat sekali. Hebat. Aku benar-benar seperti menjelajah lingkungan kampus secara langsung." Aline berseru riang. Sesekali Aline menyesap minuman cokelatnya yang sudah terlalu dingin. Ia membuka halaman tengah catatannya, menggambar sebuah coretan tak beraturan, yang kemudian ia sebut sebagai Trapunto Maps. Tapi sepertinya hanya Aline saja yang dapat membaca peta buatannya tersebut.
"Sekarang sudah selesai. Aku akan menyimpan ini untuk besok." Aline beranjak dari kursi belajar, melangkah menuju tempat tidurnya.
Di saat semua orang tengah sibuk beraktivitas di luar, Aline memilih untuk menyegarkan dirinya di kamar. Membaca majalah fashion, menonton acara Met Gala dan melakukan hobinya.
Sebentar lagi akan senja. Aline menggelar karpet yoga di balkon, ia memasang musik klasik dan menutup kupingnya dengan earphone—lanjut bermeditasi. Sebetulnya, ini adalah cara yang disarankan Dokter Gita agar Aline dapat lebih rileks dan terhindar dari gangguan delusinya.
Di jam makan malam, biasanya sih, Aline selalu ikut makan di kantin. Tetapi karena hari ini ia sedang bosan, Aline hanya meminta beberapa potong roti dan membawanya ke kamar.
Begitulah, selama satu tahun Aline berada di asrama ini, ia selalu melakukan berbagai hal baru, yang terkadang terasa membosankan.
Tetapi, di balik semua itu, ada banyak keuntungan besar yang didapatkan Aline selama ia tinggal di asrama ini; Aline jadi dapat berbaur dengan orang lain, mempelajari karakter, dan terlibat dalam organisasi kebersihan. Dan—keuntungan besarnya, ia lebih dekat dengan Dokter Gita, seorang perancang busana yang juga lulusan Universitas Trapunto Djakarta.
Aline sudah mulai terbiasa menguasai pikirannya. Tidak seperti dulu; emosional dan kadang bertingkah aneh. Aline yang sekarang sudah berbeda. Ia dapat berbincang dengan orang di luar ruangannya tanpa merasa takut—Juga berkat rutin melakukan konseling, dan mendapat dukungan khusus dari Margin, kini, Aline benar-benar merasa siap menghadapi kehidupan di kampus esok hari.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!