NovelToon NovelToon

Sekretaris "Ngegas"

1. Lamaran Ngegas

Alya, dengan rambut pirang tergerai dan anting-anting berbentuk buah nanas yang berayun lembut, berdiri tegak di depan meja resepsionis Albert Group. Gedung pencakar langit itu menjulang anggun, berkilau memantulkan cahaya matahari. Sentuhan kemewahan terpancar dari tiap sudut, dari lantai marmer yang mengkilap hingga lampu gantung kristal yang berkilauan di atas kepala. Namun, Alya, dengan sepatu kets warna-warni dan tas ransel penuh stiker, tampak kontras di tengah hiruk-pikuk para karyawan berjas rapi yang sibuk berlalu-lalang.

Resepsionis, seorang wanita paruh baya dengan rambut pendek rapi dan ekspresi yang sulit ditembus, menatap Alya dari atas ke bawah seolah sedang menilai seberapa pantas dia berada di sini.

"Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan nada datar.

Alya menyunggingkan senyum ceria. "Selamat pagi! Saya Alya Putri. Saya datang untuk melamar posisi Sekretaris Pribadi Bapak David Albert," jawabnya tanpa ragu sedikit pun.

Resepsionis melirik sepatu kets Alya sejenak sebelum kembali menatap wajahnya. "Maaf, tapi untuk bertemu Bapak Albert, Anda perlu membuat janji terlebih dahulu," katanya dengan sopan namun tegas.

"Oh, saya sudah tahu itu," balas Alya dengan percaya diri. Dia mengeluarkan kartu nama dari ranselnya yang penuh dengan stiker unicorn dan bintang. "Tapi saya yakin, lamaran saya yang luar biasa sudah cukup untuk mendapatkan perhatian beliau. Saya juga sudah mengirimkan CV saya seminggu lalu."

Ekspresi resepsionis sedikit berubah, antara bingung dan penasaran. Dia mengambil kartu nama itu dengan gerakan ragu, membaca nama yang tertera di atasnya. "Nama Anda… Alya Putri?"

"Benar sekali." Alya mengangguk penuh semangat. "Dan saya sangat yakin Bapak Albert tidak sabar bertemu dengan calon sekretaris pribadinya yang paling berbakat."

Resepsionis terdiam, menatap Alya sekali lagi dari kepala hingga kaki. Dia tampak mempertimbangkan sesuatu sebelum akhirnya menekan tombol interkom di mejanya.

"Ada seorang Alya Putri di sini," katanya singkat melalui interkom. "Dia datang untuk melamar posisi Sekretaris Pribadi Bapak Albert… ya, dia berbeda."

Alya berusaha menahan tawa kecil mendengar deskripsi itu, sementara resepsionis tetap bersikap profesional meskipun jelas-jelas merasa heran. Setelah beberapa saat, resepsionis meletakkan interkom dan menatap Alya.

"Bapak Albert akan menemui Anda. Silakan ke lantai atas," katanya dengan nada lebih sopan kali ini.

"Terima kasih!" Alya tersenyum lebar. Dia melangkah menuju lift dengan penuh percaya diri, map lamaran kerja masih tergenggam erat di tangannya.

Di dalam lift, Alya melihat pantulan dirinya di cermin kecil di dinding. Dia merapikan rambut pirangnya dan memperbaiki posisi anting-anting nanasnya yang sedikit miring. "Oke, Alya," gumamnya pada dirinya sendiri. "Ini adalah kesempatan emas. Tunjukkan siapa dirimu!"

Begitu lift berhenti di lantai atas, pintunya terbuka memperlihatkan ruang kantor luas dengan suasana minimalis namun berkelas. Aroma kopi segar tercium samar, dan suara ketukan keyboard terdengar dari berbagai sisi. Alya melangkah mantap menuju pintu besar di ujung ruangan, yang jelas merupakan kantor David Albert.

Dia mengetuk pintu dua kali dan menunggu. Suara berat namun dingin dari dalam mempersilakan masuk. Alya menarik napas panjang, kemudian membuka pintu.

Di balik meja kerja besar dari kayu mahoni, duduklah David Albert, pria yang tampaknya baru saja keluar dari majalah bisnis. Setelan jasnya sempurna, dasi sutra berwarna gelap menambah kesan profesional, dan matanya tajam meneliti setiap gerakan Alya. Di meja kerjanya terdapat laptop terbuka, beberapa berkas, dan secangkir kopi yang masih mengepul.

David menatap Alya dari atas hingga ke bawah, sama seperti resepsionis sebelumnya. "Anda Alya Putri?" tanyanya, suaranya terdengar dingin namun terukur.

Alya mengangguk, tersenyum lebar seperti biasa. "Benar, Bapak Albert. Dan saya yakin Anda sudah membaca lamaran saya yang luar biasa."

David terdiam sejenak, lalu mengambil map lamaran dari tangan Alya. Dia membukanya dan mulai membaca halaman pertama. "Lulusan terbaik universitas ternama," gumamnya, "tapi Anda datang ke sini dengan… sepatu kets?"

Alya tertawa kecil, tanpa rasa malu sedikit pun. "Benar, Pak. Sepatu kets ini adalah senjata rahasia saya. Mereka nyaman, membantu saya bergerak cepat, dan memberi saya energi ekstra. Efisiensi adalah kunci, dan sepatu ini sangat mendukung itu!"

David menatap Alya, tampak menimbang-nimbang jawabannya. "Jadi menurut Anda, sepatu ini akan membuat Anda lebih efektif sebagai sekretaris pribadi saya?" tanyanya, nada skeptis terdengar jelas.

"Tentu saja!" jawab Alya tanpa ragu. "Dalam pekerjaan saya sebelumnya, saya selalu menjadi yang tercepat menyelesaikan tugas. Mungkin karena sepatu kets ini, mungkin juga karena semangat saya. Tapi saya yakin, kecepatan adalah salah satu keunggulan yang saya tawarkan."

David meletakkan map itu dan bersandar di kursinya. "Baiklah," katanya, "ceritakan pengalaman kerja Anda."

Alya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia mulai berbicara dengan antusias, tangannya bergerak-gerak saat menjelaskan berbagai proyek yang pernah dia tangani. Dia menceritakan bagaimana dia pernah mengatur jadwal yang kacau menjadi tertata rapi, bagaimana dia menghadapi klien yang sulit dengan kesabaran luar biasa, dan bagaimana dia selalu berhasil memenuhi target meskipun situasinya tidak mendukung.

"Dan yang paling penting, Pak," tambahnya, "Saya selalu bekerja dengan hati. Saya percaya bahwa jika saya mencintai apa yang saya lakukan, hasilnya akan lebih baik. Itu sebabnya saya yakin, bekerja dengan Anda akan menjadi pengalaman luar biasa."

David mengangkat alis, terkejut dengan kepercayaan diri Alya. "Anda tahu," katanya akhirnya, "saya biasanya tidak memberikan kesempatan kepada seseorang hanya berdasarkan wawancara pertama. Tapi Anda… berbeda."

Alya tersenyum penuh kemenangan. "Terima kasih, Pak. Saya yakin Anda membuat keputusan yang tepat."

David berdiri dari kursinya, membuat Alya sedikit terkejut. Tinggi badannya, ditambah aura otoritas yang kuat, membuatnya terlihat lebih mengintimidasi. Namun, senyum tipis muncul di wajahnya. "Baiklah, Alya. Saya memutuskan untuk memberi Anda kesempatan. Mulai besok, Anda resmi menjadi Sekretaris Pribadi saya. Tapi ingat, pekerjaan ini tidak mudah."

Alya hampir melompat kegirangan, tapi dia berhasil menahan diri. "Terima kasih banyak, Pak! Saya janji, Anda tidak akan menyesal."

David mengangguk sekali, kemudian kembali duduk. "Kita lihat saja nanti, Nona Putri. Sampai jumpa besok."

Alya mengangguk penuh semangat, lalu melangkah keluar dari kantor itu dengan hati berbunga-bunga. Di dalam lift, dia tidak bisa menahan senyumnya. "Ini dia," katanya pada dirinya sendiri, "Kesempatan emasku baru saja dimulai."

2. Tatapan Tajam Sang Bos

Alya memulai hari pertamanya di Albert Group dengan semangat yang membara. Ia mengenakan kemeja cerah bermotif bunga tropis dan rok pensil biru elektrik, dipadukan dengan sepatu kets kesayangannya yang berwarna-warni. Penampilannya yang energik dan unik tampak mencolok di tengah suasana formal kantor yang penuh karyawan berjas rapi.

Tiba lebih awal, Alya menata meja kerjanya dengan efisien. Ia meletakkan beberapa alat tulis, menyiapkan laptop, dan menambahkan bingkai foto kecil bergambar dirinya bersama kucing peliharaannya. "Sedikit sentuhan ceria tidak akan merugikan, kan?" gumamnya sambil tersenyum.

Tak lama kemudian, langkah sepatu yang terdengar tegas mendekat. David Albert, CEO perusahaan, muncul di ambang pintu tepat pukul delapan pagi. Pria itu mengenakan setelan jas gelap yang sempurna, dasinya terikat rapi, dan kacamata hitam melengkapi penampilannya yang tajam dan berkelas. Tatapannya tertuju langsung pada Alya.

"Selamat pagi, Bapak Albert!" sapa Alya dengan senyum cerah, tangannya sedikit melambai. "Saya Alya Putri, Sekretaris Pribadi Anda."

David hanya mengangguk kecil sambil melepas kacamata hitamnya. Ia tidak mengatakan sepatah kata pun, tetapi matanya dengan jelas menelusuri penampilan Alya dari ujung kepala hingga sepatu ketsnya yang mencolok. Tanpa komentar, ia berjalan melewati meja Alya menuju ruang kerjanya.

Alya menelan ludah, sedikit gugup. "Oke, Alya. Ini hanya awal. Tunjukkan kalau kamu bisa," katanya dalam hati.

Setelah meletakkan tas kerjanya di meja, David akhirnya berbicara, suaranya rendah namun dingin. "Alya."

"Ya, Pak?" Alya langsung menoleh dengan semangat.

"Kopi," jawabnya singkat, tanpa memberikan instruksi lebih lanjut.

"Baik, Pak! Apakah Bapak suka kopi dengan gula atau susu?"

David mengangkat wajahnya, menatap Alya. "Tanpa gula. Hanya kopi berkualitas. Dan pastikan tidak terlalu panas."

"Dimengerti, Pak!" jawab Alya sambil mencatat di kepalanya. Ia berjalan cepat menuju pantry, tangannya sibuk mencari biji kopi terbaik di rak. Sambil menunggu mesin kopi menyeduh, Alya bergumam, "Tidak apa-apa, Alya. Dia memang kaku, tapi kamu bisa meluluhkan hati bos dingin ini."

Beberapa menit kemudian, Alya kembali dengan secangkir kopi yang disajikan di cangkir keramik putih. "Kopi Anda, Pak. Tanpa gula, seperti yang Bapak minta," katanya sambil meletakkan cangkir itu di meja David dengan hati-hati.

David mengambil cangkir itu, menyesap sedikit tanpa mengucapkan terima kasih. Namun, alisnya sedikit terangkat, menunjukkan bahwa kopi itu memenuhi ekspektasinya.

"Baik," katanya singkat, sebelum melanjutkan membaca dokumen di depannya.

Alya menarik napas lega dan kembali ke mejanya. Ia mulai sibuk menangani email, memfilter pesan penting, dan menyusun jadwal David untuk hari itu. Ia bekerja dengan cepat, tetapi tetap tidak bisa mengabaikan tatapan tajam David yang sesekali melirik ke arahnya.

Sekitar pukul 09.30, suara panggilan dari dalam ruang kerja David terdengar melalui interkom. "Alya, ke sini."

Alya segera berdiri dan melangkah masuk. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyanya dengan nada antusias.

David menunjuk ke layar laptopnya. "Saya butuh laporan keuangan bulan lalu. Siapkan segera."

"Baik, Pak! Saya akan segera mencetaknya," jawab Alya.

Dia kembali ke meja kerjanya, mencari dokumen yang diminta di sistem komputer, lalu mencetaknya dengan cepat. Dalam waktu lima menit, Alya kembali ke ruang kerja David dengan dokumen di tangan.

"Laporan keuangan bulan lalu, Pak. Semoga sesuai dengan yang Bapak butuhkan," katanya sambil meletakkan laporan itu di meja David.

David membuka dokumen tersebut, membaca dengan cermat. Setelah beberapa menit, dia berkata, "Tidak buruk. Rapi."

Alya tersenyum kecil. "Terima kasih, Pak. Jika ada hal lain yang perlu diperbaiki, saya siap menyesuaikannya."

David menatapnya selama beberapa detik. "Tidak ada. Lanjutkan pekerjaanmu."

"Baik, Pak," jawab Alya, lalu kembali ke meja kerjanya.

Saat pukul 10.00 mendekat, Alya ingat permintaan David untuk kopi kedua. Kali ini, ia memutuskan untuk menambahkan sentuhan kecil dengan mengganti cangkirnya menggunakan mug khusus yang bertuliskan "CEO of Excellence" yang ia temukan di pantry.

Ia mengetuk pintu ruang kerja David sebelum masuk. "Kopi kedua Anda, Pak. Semoga ini membantu Anda tetap segar sepanjang hari."

David menatap mug itu sejenak sebelum mengambilnya. "Mug ini…"

"Saya menemukannya di pantry, Pak. Saya pikir tulisan itu cocok untuk Anda," jawab Alya dengan senyum ramah.

David hanya mengangguk, lalu menyesap kopi itu. "Kopi ini lebih baik dari yang pertama," komentarnya singkat.

"Terima kasih, Pak. Saya senang bisa membantu," jawab Alya dengan tulus.

Pukul 11.00, David kembali memanggil Alya. "Dokumen untuk presentasi rapat dengan investor, sudah siap?"

Alya mengangkat laptopnya. "Sudah, Pak. Saya sudah memformat ulang dokumen untuk mempermudah penyampaian poin-poin utama. Boleh saya kirimkan untuk Anda tinjau?"

David mengisyaratkan Alya untuk mendekat. "Tunjukkan di sini."

Alya berdiri di samping David, membuka file di layar laptopnya dan menjelaskan beberapa perubahan yang ia buat. "Saya menambahkan visual ini agar lebih menarik, dan saya juga memperbaiki beberapa data yang terlihat kurang akurat di versi sebelumnya."

David mengangguk pelan sambil memeriksa dokumen itu. "Kerja bagus," katanya akhirnya, kali ini dengan nada yang lebih ringan.

Alya merasa lega. "Terima kasih, Pak. Saya akan mencetaknya untuk presentasi nanti."

Sebelum Alya keluar dari ruang kerja, David memanggilnya lagi. "Alya."

"Ya, Pak?"

David menatapnya. Kali ini tatapannya tidak seintimidasi biasanya. "Pastikan Anda terus bekerja seperti ini. Saya tidak punya waktu untuk kesalahan."

Alya tersenyum kecil, tetapi dengan nada penuh keyakinan, ia menjawab, "Jangan khawatir, Pak. Saya tidak akan mengecewakan Anda."

Hari pertama Alya di Albert Group berakhir dengan kepuasan tersendiri. Meski bosnya dingin dan sulit ditebak, Alya merasa berhasil membuktikan dirinya. Sambil membereskan mejanya sebelum pulang, ia berkata pelan, "Satu langkah kecil hari ini, tapi aku yakin ini awal dari petualangan besar."

3. Sepatu Kets vs. Sepatu Pantofel

Hari kedua Alya di Albert Group dimulai dengan penuh semangat. Seperti biasa, ia mengenakan sepatu kets kesayangannya yang warna-warni, kali ini dipadukan dengan rok midi hitam dan blus putih polos. Penampilannya yang ceria membuatnya terlihat menonjol di antara karyawan lainnya yang kebanyakan berpakaian formal.

Pagi itu, seperti biasa, ia datang lebih awal. Setelah menata mejanya, ia langsung bersiap menyelesaikan tugas-tugas administratif yang sudah tertunda sejak kemarin. Namun, ia segera terganggu oleh suara langkah sepatu hak tinggi yang mendekat.

"Alya," panggil Ibu Ratna, kepala divisi administrasi, dengan suara tegas.

Alya mendongak dan menyambut wanita itu dengan senyum ramah. "Selamat pagi, Ibu Ratna. Ada yang bisa saya bantu?"

Ibu Ratna memandang Alya dari ujung kepala hingga ujung kaki, berhenti lama di sepatu ketsnya. "Saya ingin membicarakan penampilan Anda."

"Penampilan saya?" tanya Alya, sedikit terkejut.

"Ya," jawab Ibu Ratna tegas. "Sepatu itu, Alya. Saya sudah memperingatkan Anda kemarin. Sepatu kets tidak pantas untuk lingkungan kerja seperti ini. Kita di Albert Group harus menjaga citra profesional."

Alya mengerutkan kening sejenak, tetapi dengan tenang ia menjawab, "Tapi, Ibu Ratna, sepatu ini sangat nyaman dan mendukung saya bekerja dengan cepat. Saya sering harus mondar-mandir mengurus keperluan Pak Albert. Dengan sepatu ini, saya bisa lebih efisien."

Ibu Ratna mendesah panjang. "Efisiensi itu penting, tetapi penampilan juga sama pentingnya, Alya. Anda adalah sekretaris pribadi CEO. Semua orang memandang Anda sebagai representasi perusahaan."

Alya tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Saya mengerti, Bu. Tapi saya yakin Pak Albert lebih fokus pada hasil kerja saya dibandingkan sepatu yang saya pakai."

"Anda terlalu percaya diri," balas Ibu Ratna, menyipitkan mata. "Jangan sampai keyakinan Anda itu menjadi bumerang. Ini peringatan terakhir saya."

Alya hanya mengangguk sopan. Setelah Ibu Ratna pergi, ia kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia tidak ingin terlalu memikirkan komentar tersebut, apalagi hari itu jadwalnya padat.

---

Sekitar pukul sembilan pagi, David Albert memasuki kantor dengan setelan jas rapi dan ekspresi yang seperti biasa—dingin dan sulit ditebak. Tatapannya segera jatuh pada Alya yang sibuk mengetik di meja kerjanya.

"Alya," panggil David tanpa basa-basi.

Alya langsung berdiri. "Ya, Pak Albert. Ada yang bisa saya bantu?"

David berjalan ke meja kerjanya dan meletakkan tas kulit hitamnya dengan tenang. "Saya butuh laporan revisi untuk proyek Diamond Star sekarang."

"Baik, Pak. Laporan itu sudah saya siapkan pagi ini," jawab Alya sambil mengambil dokumen dari mejanya. Ia menyerahkannya dengan hati-hati.

David menerima dokumen tersebut tanpa menatapnya. Namun, saat Alya hendak kembali ke mejanya, ia mendengar suara dingin itu lagi.

"Alya."

Ia berbalik. "Ya, Pak?"

David menatap sepatu kets Alya dengan alis yang sedikit terangkat. "Sepatu itu—"

Alya langsung merasa darahnya berdesir. Namun, ia tetap menjaga ekspresinya tetap tenang. "Ada yang salah dengan sepatu saya, Pak?"

David mengangguk pelan, masih dengan tatapan tajamnya. "Tidak sesuai dengan dress code kantor. Tapi, jika Anda merasa sepatu itu membuat Anda lebih produktif, saya tidak akan melarangnya... untuk saat ini."

Alya menghela napas lega. "Terima kasih, Pak. Saya pastikan produktivitas saya tidak akan mengecewakan Anda."

David tidak menjawab. Ia kembali fokus pada dokumen di tangannya, meninggalkan Alya yang tersenyum kecil sebelum kembali ke mejanya.

---

Hari itu berlalu dengan cepat. Alya berhasil menyelesaikan berbagai tugas, termasuk mengatur jadwal rapat David dan menyiapkan bahan presentasi untuk pertemuan dengan investor. Ia bekerja dengan cekatan, berlari ke sana kemari di antara meja dan printer.

Namun, sebelum jam makan siang, insiden kecil terjadi. Saat Alya sedang membawa setumpuk dokumen ke ruang arsip, ia tidak sengaja bertabrakan dengan seorang karyawan junior. Tumpukan dokumen itu jatuh berserakan di lantai.

"Oh, maaf!" seru pria itu, buru-buru membantu Alya mengumpulkan dokumen.

"Tidak apa-apa," jawab Alya sambil tersenyum. "Untung saya pakai sepatu kets. Kalau sepatu pantofel, mungkin saya sudah terjatuh tadi."

Pria itu terkekeh. "Sepatu Anda memang menarik perhatian. Saya pikir Anda sangat percaya diri memakainya di kantor seperti ini."

Alya tertawa kecil. "Saya pikir selama saya bekerja dengan baik, sepatu seharusnya bukan masalah besar."

Setelah semua dokumen terkumpul, Alya kembali ke meja kerjanya. Namun, ia merasa beberapa pasang mata mengawasinya, termasuk tatapan dingin Ibu Ratna dari kejauhan.

---

Sore harinya, David memanggil Alya ke ruangannya lagi. Ia duduk di kursinya, memandangi layar laptop dengan dahi berkerut.

"Alya, bahan presentasi ini sudah lengkap?" tanyanya.

"Sudah, Pak. Semua poin penting sudah saya masukkan, termasuk data terbaru dari tim pemasaran," jawab Alya sambil menunjukkan beberapa file di laptopnya.

David membaca sekilas lalu mengangguk. "Bagus. Presentasi ini sangat penting untuk investor kita. Pastikan semuanya berjalan lancar."

"Tentu, Pak. Saya akan memastikan semuanya siap," balas Alya.

David memperhatikan Alya sejenak, lalu berkata, "Dan satu hal lagi. Saya melihat Anda sangat gesit hari ini. Jika itu berkat sepatu Anda, saya tidak akan mempersoalkannya untuk sekarang. Tapi, jika saya merasa Anda mulai mengabaikan citra profesional perusahaan, saya tidak akan ragu untuk mengambil tindakan."

Alya menahan senyum. "Terima kasih atas pengertiannya, Pak. Saya akan terus menjaga keseimbangan antara efisiensi kerja dan citra profesional."

David hanya mengangguk, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Sementara itu, Alya keluar dari ruangan dengan perasaan campur aduk—antara lega dan sedikit waspada.

---

Saat jam kerja berakhir, Alya menyadari bahwa ia telah melalui hari yang cukup panjang. Namun, meski ada beberapa teguran tentang penampilannya, ia tetap merasa bangga karena berhasil menyelesaikan semua tugasnya dengan baik.

Di lift, saat hendak pulang, ia bertemu Ibu Ratna lagi. Wanita itu memandang Alya dengan pandangan tidak puas.

"Alya," katanya singkat, "saya harap besok Anda datang dengan sepatu yang lebih pantas."

Alya hanya tersenyum tipis. "Baik, Bu. Saya akan mempertimbangkannya."

Namun dalam hatinya, Alya tahu bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja. Baginya, yang terpenting adalah kenyamanan dan hasil kerja yang maksimal. Dan untuk saat ini, sepatu ketsnya masih menjadi pilihan terbaik.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!