Pagi itu, Kinanti bangun dengan senyuman di wajahnya. Dia merasa bahagia memikirkan masa depannya bersama Fabio, pria yang sudah lama ia cintai. Pernikahan mereka tinggal beberapa minggu lagi, dan Kinanti sudah membayangkan hari-hari indah yang akan mereka jalani bersama. Dengan semangat, ia mengenakan seragam kerja pabrik, lalu menaiki angkot seperti biasa. Perjalanan ke pabrik terasa lebih cerah hari itu.
Setibanya di pabrik, suasana khas yang ramai menyambutnya, suara mesin-mesin besar bercampur dengan hiruk-pikuk para pekerja. Kinanti menjalani tugasnya dengan tekun, wajahnya berseri-seri, membuat beberapa rekan kerjanya bertanya-tanya tentang kebahagiaannya. "Kinan, wajahmu cerah sekali hari ini. Pasti karena calon suamimu, ya?" canda seorang teman. Kinanti hanya tersenyum malu.
Namun, tanpa sepengetahuan Kinanti, di rumah orang tuanya, Fabio, calon suaminya, datang bersama ibunya. Wajah Fabio tampak tegang, sementara ibunya menatap dengan pandangan tajam. Mereka langsung duduk di ruang tamu, dan suasana berubah dingin.
“Pak, Bu,” Fabio memulai, “Saya harus jujur. Saya datang hari ini untuk membatalkan pernikahan kami.”
Orang tua Kinanti terkejut. Ibunya langsung bertanya, “Kenapa, Nak? Apa ada masalah di antara kalian?”
Ibu Fabio yang angkuh segera angkat bicara. “Bukan masalah kecil, Bu. Fabio berasal dari keluarga ningrat, dan kami sudah menentukan pasangan yang sesuai untuknya. Kinanti tidak sepadan. Dia hanya gadis biasa yang bekerja di pabrik. Itu tidak pantas untuk keluarga kami.”
Kata-kata itu terasa seperti duri yang menghujam hati orang tua Kinanti. Mereka hanya bisa diam, tak mampu membalas. Fabio menundukkan kepalanya, tak berani menatap wajah kedua orang tua itu. "Maafkan saya, Pak, Bu. Saya tidak punya pilihan," ujarnya lemah.
Sore itu, ketika Kinanti pulang, ia melihat wajah ibunya yang sembab dan ayahnya yang termenung di ruang tamu. Dengan hati-hati, ia bertanya, “Ada apa, Bu? Ayah, kenapa murung?”
Sang ibu hanya memeluknya erat sambil menangis. Ayahnya mencoba bicara, suaranya bergetar, “Fabio... dia membatalkan pernikahanmu, Nak. Dia bilang kamu tidak pantas untuk keluarganya.”
Kinanti tertegun. Dunia yang sebelumnya terasa indah seolah runtuh dalam sekejap. Air mata mulai mengalir di pipinya, tetapi dia menahan tangisnya agar tidak pecah. Dengan suara bergetar, ia bertanya, “Hanya karena aku orang biasa, Ayah?”
Orang tuanya hanya mengangguk, tak sanggup berkata lebih. Malam itu, Kinanti duduk sendiri di kamar, memandang undangan pernikahannya yang belum sempat dibagikan. Hatinya hancur, tetapi ia bertekad bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Kinanti tahu, meski ia hanyalah gadis biasa, dirinya memiliki harga diri yang jauh lebih tinggi daripada sekadar status ningrat atau harta.
"Tega sekali mas Fabio memutuskan hubungan disaat semua tinggal selangkah lagi, hiks hiks."Kinanti terisak menangis tertahan, dia berusaha menahan tangisnya yang pecah berurai airmata. Dikamar nya yang sederhana. "Apa salahku mas, kenapa , kenapa...."Kinan menutup mulutnya ,ingin rasanya dia berteriak saat ini.
Hari itu adalah awal dari perjalanan Kinanti untuk membuktikan bahwa kebahagiaan tidak hanya berasal dari cinta yang gagal, tetapi dari bagaimana ia membangun kembali hidupnya.
Setelah kabar batalnya pernikahan Kinanti dan Fabio ,para tetangga Kinan tak ayal mencibir bahkan semakin menyudutkan Kinan bahwa dia akan sial seumur hidup dan sulit mendapat jodoh . "Hei, dengar enggak, kabar kalau si Kinan anak paka Karyo enggak jadi nikah, padahal katanya sih tinggal sebentar lagi."ucap salah satu tetangga Kinan.
"Iya, Aku dengar itu, bahkan katanya sudah hampir dekat dan tinggal sebulan lagi, kasian juga ya ..."ucap seorang ibu paruh baya.
"Yang jelas, si Kinan bakal sial, dan tidak akan mendapatkan jodoh kalau gagal nikah, biasanya begitu."ujar salah satu tetangga kinan bernama Wati.
Pertemuan yang Mengubah Segalanya
Di kamar rumahnya yang rapi, Fabio berdiri di depan cermin besar, merapikan kemeja mahal yang ia kenakan. Ia terlihat bersemangat, bahkan senyuman kecil tersirat di wajahnya. Hari ini, ia akan menemui Citra, mantan kekasih yang dulu ia cintai, namun hubungan mereka sempat terhenti karena Citra harus melanjutkan studinya di luar negeri. Kini, Citra telah kembali, dan Fabio merasa ada peluang untuk menghidupkan kembali hubungan mereka.
Fabio tahu, keputusan ini berisiko. Ia telah membatalkan pernikahannya dengan Kinanti, gadis sederhana yang tulus mencintainya. Namun, hatinya kini sepenuhnya tertuju pada Citra, wanita yang dianggapnya sepadan dengan dirinya—berpendidikan tinggi, cantik, dan berasal dari keluarga terpandang.
Setelah merasa puas dengan penampilannya, Fabio keluar dan melajukan mobilnya menuju sebuah kafe mewah di pusat kota, tempat ia berjanji bertemu dengan Citra. Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar tentang percakapan yang akan mereka lakukan.
Sementara itu, di sisi lain, Kinanti baru saja selesai bekerja di pabrik. Ia merasa ada yang aneh ketika salah satu temannya berkata, “Kinan, tadi aku lihat calon suamimu. Dia masuk ke sebuah kafe sama wanita cantik. Mirip Citra, sepupumu.”
Kinanti terdiam, hatinya tersayat. Sepupunya, Citra, berasal dari keluarga yang lebih mapan. Meski masih kerabat, kehidupan mereka berbeda jauh. Keluarga Citra tinggal di rumah besar dan memiliki gaya hidup serba mewah, sementara keluarga Kinanti hidup pas-pasan. Citra juga dikenal memiliki sifat angkuh, meski sering tersenyum di depan orang lain.
Fabio tiba di kafe tepat waktu, dan Citra sudah menunggunya. Dia tampak anggun dalam balutan gaun berwarna pastel, dengan senyuman yang memikat. Fabio merasa jantungnya berdebar melihat wanita yang dulu sempat ia cintai.
“Citra, lama sekali kita tak bertemu,” ujar Fabio sambil menarik kursi dan duduk di hadapan Citra.
“Ya, Fabio. Dunia memang kecil, ya? Aku dengar kamu hampir menikah,” balas Citra dengan nada ringan, meskipun senyum sinis tersirat di wajahnya.
Fabio menghela napas. “Iya, aku membatalkannya. Aku rasa itu keputusan yang tepat. Aku dan dia tidak sepadan.”
Citra tertawa kecil. “Ah, kamu memang selalu punya standar tinggi, Fabio. Jadi, apa yang membawamu ke sini?”
"Tentu saja seorang gadis cantik dan menarik sepertimu!" Fabio mengangkat kedua alisnya.
"Ha ha ha, kamu bisa saja ."Mereka berdua tertawa bersama.
Percakapan mereka terus mengalir, penuh nostalgia dan canda tawa. Fabio merasa semakin yakin bahwa Citra adalah wanita yang tepat untuknya, seseorang yang bisa mengangkat martabatnya dan keluarganya. Namun, di balik senyuman Citra, ada rencana terselubung.
Citra tahu bahwa dengan mendekati Fabio, ia bisa menunjukkan pada keluarganya, terutama Kinanti, bahwa ia selalu lebih unggul dalam segala hal. Ia ingin memastikan bahwa kesenjangan antara mereka semakin terlihat.
"Lihat saja Kinan, kini akulah pemenangnya. "Batin Citra.
Sore itu menjadi awal dari hubungan baru antara Fabio dan Citra, hubungan yang didasari bukan hanya oleh cinta, tetapi juga ambisi dan kebanggaan. Namun, tanpa mereka sadari, keputusan ini akan membawa konsekuensi yang jauh lebih besar daripada yang mereka bayangkan.
Bagaimana perasaan Kinan setelah mengetahui hal ini dan apa yang akan dilakukannya ?
Kinanti duduk di depan jendela kamarnya, menatap cincin tunangan di tangannya. Cincin itu, yang dulu melambangkan harapan dan cinta, kini hanya menyisakan luka. Gosip para tetangga tentang pembatalan pernikahannya dengan Fabio telah menyebar luas. Setiap bisikan, setiap tatapan penuh belas kasihan, seperti duri yang menusuk hati Kinanti dan keluarganya.
Melihat orang tuanya ikut terluka karena gunjingan itu, Kinanti memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Dia ingin mengembalikan cincin itu kepada Fabio, agar tidak ada lagi alasan bagi siapa pun untuk berbicara buruk tentang keluarganya. Dengan berat hati, Kinanti menghubungi Fabio dan meminta bertemu. Fabio dengan santai menyetujuinya dan menyebutkan sebuah kafe sebagai tempat pertemuan.
[Hallo, mas Fabio]
[Ya, ada apa lagi, kamu menghubungiku!]Fabio dengan suara menekan.
[Kinan, cuma mau mengembalikan cincin yang sudah mas berikan!]Kinan dengan suara tertahan.
[Baik, kamu datang saja ke kafe nanti aku sharelock]Fabio dengan dinginnya, sambil tersenyum ke arah Citra yang ada di depannya.
[Baik, Kinan ke sana sekarang]
Sore itu, dengan langkah tegap meski hatinya rapuh, Kinanti menuju kafe yang dimaksud. Dia membawa cincin itu dalam kotak kecil, berniat menutup babak menyakitkan dalam hidupnya. Namun, ketika ia tiba, pemandangan di depannya membuat jantungnya seperti berhenti berdetak.
Di sudut kafe, Fabio terlihat tertawa lepas bersama seorang wanita.
"Citra? sedang apa dia sama Mas Fabio?"gumam Kinanti.
Wanita itu adalah Citra, sepupu Kinanti sendiri. Mereka duduk berdekatan, saling melempar senyum dan tatapan mesra. Seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Kinanti merasakan air matanya menggenang, tapi ia menahan diri. Ia tahu, ini bukan saatnya menunjukkan kelemahannya. Dengan keberanian yang ia kumpulkan, Kinanti melangkah mendekat ke meja mereka.
“Mas Fabio,” panggil Kinanti dengan suara tenang, meskipun hatinya bergejolak.
Fabio terkejut melihat Kinanti berdiri di depannya. Citra, di sisi lain, tersenyum tipis, seolah menikmati momen ini.
"Ahhh iya, Kinan."Fabio pura-pura terkejut.
“Ada yang bisa aku bantu, Kinanti?” tanya Fabio dengan nada datar, mencoba bersikap biasa.
Kinanti menatap mereka berdua dengan senyuman kecil yang dipaksakan. Dia mengeluarkan kotak cincin dari tasnya dan meletakkannya di meja. “Aku hanya ingin mengembalikan ini. Cincin ini sudah tidak ada artinya lagi.”
Fabio menatap cincin itu, lalu kembali menatap Kinanti. “Kinan, aku—”
Kinanti mengangkat tangan, menghentikannya. “Tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi, Mas Fabio. Keputusanmu sudah jelas. Aku hanya berharap kalian bahagia.”
Suaranya terdengar lembut, tetapi di baliknya tersimpan luka mendalam. Dia kemudian menoleh ke arah Citra. “Selamat, Cit. Fabio sekarang milikmu. Jaga dia baik-baik.”
Citra hanya mengangguk dengan senyum yang penuh kemenangan. "Tentu... dia akan bahagia bersamaku!"
Fabio tampak canggung, ingin mengatakan sesuatu, tetapi Kinanti tidak memberinya kesempatan.
Kinanti berbalik dan berjalan keluar kafe dengan kepala tegak, meskipun hatinya hancur berkeping-keping. Di luar, angin sore menyapu wajahnya, dan akhirnya air mata yang ia tahan jatuh membasahi pipinya.
Namun di dalam hatinya, ia bersumpah untuk bangkit. Dia tidak akan membiarkan rasa sakit ini mengalahkannya.
"Aku berjanji, suatu saat kalian akan merasakan kesakitan seperti yang kurasakan!" Kinanti mengepalkan tangannya.
Fabio dan Citra boleh saja mengkhianatinya, tetapi Kinanti tahu, dia lebih kuat daripada yang mereka kira. Hari itu menjadi awal dari perjalanan Kinanti untuk menemukan kebahagiaan sejati yang tak tergantung pada orang lain.
Pulang ke Rumah yang Sunyi
Langit mulai gelap ketika Kinanti melangkah pelan menuju rumah kecilnya di pinggir desa. Wajahnya terlihat lelah dan matanya sedikit bengkak, hasil dari air mata yang tadi ia tumpahkan di sepanjang perjalanan pulang. Saat sampai di depan rumah, suara sayup-sayup penggorengan terdengar dari dapur kecil mereka.
Ibu Kinanti, Bu Wati, sedang memasak makan malam sederhana. Asap dari penggorengan berisi telur dan kuah sayur bening menyelimuti ruangan sempit itu. Bu Wati memaksakan senyum saat melihat Kinanti masuk ke rumah, meskipun di dalam hatinya ia tahu ada sesuatu yang berat sedang dipikul putrinya.
“Kinan, sudah pulang? Ibu masak sayur bayam sama telur. Maaf ya, cuma ini yang ada,” ujar Bu Wati sambil melirik Kinanti yang duduk di kursi dengan napas terengah.
“Enggak apa-apa, Bu. Ini sudah lebih dari cukup,” jawab Kinanti, mencoba tersenyum walau hatinya masih terasa perih.
Sementara itu, di luar rumah, suara tetangga yang bergosip terdengar jelas. Beberapa wanita sedang bercakap-cakap di depan rumah mereka.
“Kasihan, Bu Wati sama Pak Karyo. Gagal jadi besan keluarga ningrat,” ujar salah satu tetangga dengan nada mengejek.
“Iya, padahal anaknya Fabio itu cocok banget buat mengangkat derajat mereka. Eh, malah ditinggal begitu saja,” sambung yang lain sambil tertawa kecil.
Pak Karyo, ayah Kinanti, yang baru saja pulang dari pekerjaan serabutan, hanya bisa duduk di kursi bambu tua di teras rumah. Ia mendengar setiap kata dari para tetangga, tapi memilih diam. Sebagai kepala keluarga, hatinya teriris mendengar cibiran itu. Ia merasa gagal memberikan kehidupan yang layak bagi istri dan anaknya, apalagi setelah pertunangan Kinanti dibatalkan sepihak.
Melihat ayahnya termenung di luar, Kinanti bangkit dan menghampiri. Ia duduk di sebelah ayahnya, berusaha memberikan dukungan meski dirinya sendiri sedang rapuh.
“Pak, jangan dengarkan mereka. Kinan masih di sini, masih bekerja untuk kita semua. Kita enggak butuh orang lain buat bahagia,” ujar Kinanti sambil menggenggam tangan ayahnya.
Pak Karyo menoleh, menatap wajah putrinya yang tampak lebih dewasa daripada usianya. “Maafkan Bapak, Nak. Bapak belum bisa membahagiakan kamu.”
Kinanti menggeleng sambil tersenyum lembut. “Pak, selama kita masih bersama, itu sudah cukup buat Kinan.”Kinan juga menguatkan Sang Ayah. "Bagi Kinan, Ayah dan ibu sehat itu sudah lebih dari cukup."
"Mba Kinan, seminggu lagi Kirana mau ujian, belum bayar SPP 2 bulan, kalau enggak dibayar... Kiran enggak bisa ikut ujian Mba,"lirih Kirana adik Kinanti yang duduk di bangku SMA.
"Hhh, iya dek, nanti besok habis gajian mba langsung ke kasih uangnya ke ibu, biar ibu yang ke sekolah kamu ya."Kinan menatap nanar wajah adiknya, dengan senyuman tipisnya.
Malam itu, mereka makan bersama dengan suasana penuh keheningan. Meski sederhana, kehangatan keluarga kecil itu tetap terasa.
Namun, jauh di dalam hati Kinanti, ia bertekad untuk mengubah nasib keluarganya. Baginya, cibiran dan hinaan dari orang-orang tak akan menghentikannya.
Kinanti berjanji pada dirinya sendiri ia akan bangkit dan menunjukkan pada dunia bahwa gadis desa sederhana seperti dirinya pun bisa sukses dan bahagia tanpa bergantung pada siapa pun.
Di sebuah rumah besar bergaya kolonial, keluarga Fabio sedang berkumpul di ruang tamu. Ibu Fabio, Ny. Astari, duduk di kursi berlapis beludru sambil menyeruput teh hangat. Senyum puas terukir di wajahnya, memikirkan rencana besar yang akan segera terwujud. Fabio, yang duduk di sampingnya, terlihat tenang namun ada sedikit kecanggungan dalam ekspresinya.
“Kita harus segera meresmikan hubungan Fabio dengan Citra,” ujar Ny. Astari dengan nada tegas. “Keluarga Citra itu mapan, terhormat, dan sejajar dengan kita. Ini adalah keputusan yang tepat.”
Ayah Fabio, Pak Dimas, hanya mengangguk setuju sambil membaca korannya. Baginya, hubungan ini bukan hanya soal cinta, melainkan aliansi strategis yang bisa menguntungkan keluarga mereka.
“Sudah ada kabar dari keluarga Citra, Bu?” tanya Fabio dengan suara datar, meskipun hatinya tak sepenuhnya merasa lega.
“Mereka sudah setuju dengan pertemuan keluarga. Minggu depan, kita akan makan malam bersama di restoran mewah di kota,” jawab Ny. Astari dengan antusias.
Fabio mengangguk perlahan. Dia memang menyukai Citra, wanita cerdas dan cantik yang selama ini diam-diam masih ada di hatinya. Namun, di sudut kecil hatinya, ada rasa bersalah yang terus menghantui—terutama pada Kinanti. Dia tahu bahwa keputusan membatalkan pertunangan mereka melukai banyak hati, tapi baginya, itu adalah langkah untuk masa depan yang lebih cerah.
“Kita harus memastikan semuanya berjalan lancar,” lanjut Ny. Astari. “Keluarga Citra pasti menginginkan acara yang megah dan elegan. Aku akan menyuruh event organizer terbaik untuk mengurus ini.”
Fabio hanya diam, membiarkan ibunya mengambil kendali penuh. Bagi keluarga ini, pernikahan bukan sekadar soal perasaan, melainkan alat untuk memperkuat status sosial mereka.
Sementara itu, di rumah keluarga Citra, suasana tak jauh berbeda. Citra tersenyum lebar sambil mendengarkan ibunya, Bu Ratih, berbicara dengan penuh semangat tentang rencana pertemuan keluarga.
“Kamu benar-benar beruntung, Citra. Fabio itu lelaki yang sempurna—ganteng, berasal dari keluarga terpandang, dan punya masa depan cerah,” kata Bu Ratna sambil memegang tangan putrinya.
“Iya, Bu,” jawab Citra sambil tertawa kecil. “Fabio memang pilihan terbaik. Lagipula, aku yakin aku bisa membuatnya bahagia.”
Di dalam hati, Citra tahu hubungan ini juga merupakan cara untuk membuktikan dirinya lebih unggul dari Kinanti. Meski mereka bersepupu, Citra selalu memandang rendah Kinanti yang hidup sederhana. Baginya, merebut Fabio dari Kinanti adalah kemenangan besar yang patut dirayakan.
Rencana pertemuan kedua keluarga sudah disusun rapi. Dalam waktu dekat, pernikahan Fabio dan Citra akan diumumkan secara resmi. Semua tampak sempurna di permukaan, namun tak ada yang tahu, apakah kebahagiaan itu benar-benar tulus, atau hanya sekadar permainan status dan ambisi.
Hari itu, suasana rumah Kinanti dipenuhi keheningan setelah Pak Karyo, ayah Kinanti, menerima undangan pernikahan dari adiknya, Pak Herman, ayah Citra. "Saya berharap, Mas Karyo datang di acara pernikahan Citra, bagaimana pun Mas satu-satunya kakak laki-laki saya."Pak Herman sambil tersenyum kikuk.
"Oh iya, mengenai pakaian juga ,tolong diperhatikan ya, secara acara ini diadakan sangat mewah dan dihotel bintang lima, kalau bisa enggak malu-maluin ya!" Ratih ibu Citra sambil mengibaskan kipasnya, untuk membuat adem tubuhnya.
"Iya, Insyaallah kami datang."Pak Karyo dengan senyum tipis menatap istrinya.
Undangan tersebut terbuat dari kertas berlapis emas dengan aksen elegan, menggambarkan kemewahan pernikahan yang akan diadakan di salah satu hotel bintang lima di kota.
"Baiklah kami pamit dulu, kebetulan saya banyak baju-baju kebaya yang sudah tidak terpakai, mungkin bisa digunakan untuk kalian ke pesta!"Irma dengan gaya angkuhnya. Dan mereka berlalu dari rumah sederhana Karyo, Pak Herman memberikan beberapa bahan makanan untuk pak Karyo.
Bu Wati membaca undangan itu dengan perasaan campur aduk. “Bagaimana, Pak? Apa kita akan datang?” tanyanya sambil melirik wajah Pak Karyo yang tampak berat.
Pak Karyo menghela napas panjang.
“Herman sudah mengundang kita. Kalau kita tidak datang, mereka pasti menganggap kita tidak menghormati keluarga. Lagipula, ini pernikahan anak mereka. Kita harus tetap menjaga hubungan baik.”
Kinanti, yang duduk di pojok ruangan sambil menunduk, mendengarkan percakapan itu tanpa berkata apa-apa. Hatinya terasa seperti diiris. Bagaimana mungkin ia harus menghadiri pernikahan mantan tunangannya dengan sepupunya sendiri?
“Pak... apa harus aku ikut?” tanya Kinanti dengan suara lirih.
Pak Karyo menatap putrinya dengan penuh kasih. “Nak, Bapak tahu ini berat buatmu. Tapi kadang, kita harus kuat menghadapi kenyataan, meskipun pahit.”
Bu Wati, yang merasa hatinya ikut tercabik, mencoba menenangkan Kinanti. “Kinan, jangan pikirkan mereka. Kita pergi hanya untuk menjaga nama baik keluarga. Tidak perlu merasa kecil hati.”
Hari pernikahan pun tiba. Hotel mewah tempat acara berlangsung dipenuhi tamu undangan dari berbagai kalangan, mulai dari pengusaha sukses hingga pejabat tinggi. Fabio tampak gagah dengan jas mahal yang membalut tubuhnya, sementara Citra anggun dalam gaun pengantin berhiaskan kristal yang memantulkan cahaya. Keduanya terlihat seperti pasangan sempurna yang penuh kebahagiaan.
Ketika keluarga Kinanti tiba, suasana berubah sejenak. Beberapa tamu mulai berbisik-bisik, membicarakan status keluarga Kinanti yang jauh berbeda dari keluarga Citra.
“Itu kan keluarga sepupunya yang miskin. Kasihan ya, jauh sekali nasib mereka,” ujar salah satu tamu.
Kinanti hanya bisa menunduk, menahan rasa malu sekaligus perih di hatinya. Ia mencoba menghindari kontak mata dengan Fabio maupun Citra, tetapi tetap saja pandangan mereka bertemu. Fabio tampak canggung, sementara Citra menyambut kedatangan mereka dengan senyum tipis penuh kemenangan.
Dua jam sebelumnya...
“Yah, ini sudah cukup bagus. Yang penting kita datang dengan niat baik,” ujar Kinanti sambil mengenakan rok polos dan blus sederhana.
Sementara itu, Kirana membantu merapikan jilbabnya. “Kak, jangan pikirkan apa yang orang lain katakan. Kita harus tetap percaya diri.”
Namun, Kinanti masih merasa kurang puas. Cermin di lemarinya sudah usang dan buram, sehingga sulit baginya melihat wajahnya dengan jelas saat merapikan riasan sederhana. Di tengah keresahannya, Pak Karyo masuk ke kamar membawa sebuah cermin berbingkai kayu tua.
“Nak, Bapak menemukan cermin ini di bawah pohon besar waktu pulang dari kebun. Kalau mau, pakailah. Cerminnya masih bagus, meski bingkainya terlihat tua,” kata Pak Karyo sambil menyerahkan cermin itu.
Awalnya Kinanti ragu. Ada sesuatu yang aneh dengan cermin itu—bingkainya terlihat berukir, namun entah mengapa terasa seperti memiliki aura yang berbeda. Namun, karena butuh, ia menerimanya.
Kinanti duduk di depan cermin tua itu, memegang alat rias seadanya. Saat ia mulai bercermin, matanya tiba-tiba membelalak. Bayangan yang ia lihat di cermin bukanlah dirinya yang biasa. Wajah yang ia lihat sangat cantik—kulitnya tampak halus, matanya berbinar, dan riasannya terlihat sempurna meskipun ia hanya memakai lipstik tipis.
“Kirana!” seru Kinanti terkejut.
Kirana mendekat dan ikut melihat ke cermin. Ia pun tertegun. “Kak... itu benar-benar wajah Kakak? Kenapa bisa seperti ini?”
Kinanti memandang cermin itu dengan takjub sekaligus bingung. Meski wajahnya terlihat cantik, ada perasaan aneh seolah cermin itu memiliki kekuatan mistis. Ia merasa seperti ada sosok yang memandang balik dari dalam cermin, tapi sosok itu tidak menunjukkan wujudnya.
Meski awalnya ragu, Kinanti akhirnya menerima perubahan itu. Dengan wajah yang kini terlihat begitu memikat, ia dan Kirana berangkat ke pesta pernikahan sepupu mereka.
Sesampainya di hotel mewah tempat acara berlangsung, perhatian para tamu segera tertuju pada Kinanti. Meski mengenakan pakaian sederhana, kecantikannya memancar dengan luar biasa.
“Siapa itu? Cantik sekali, ya,” bisik beberapa tamu.
Kinanti hanya bisa menunduk, merasa tidak nyaman dengan semua perhatian yang mendadak tertuju padanya. Namun, ia tetap berusaha membawa dirinya dengan anggun, meskipun hatinya masih dipenuhi kebingungan tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan cermin tua itu.
Saat Fabio dan Citra melihatnya, ekspresi mereka berubah. Citra tampak tidak percaya dengan penampilan Kinanti yang begitu memesona, sementara Fabio hanya bisa terdiam dengan tatapan yang sulit diartikan.
Kinanti sadar, ada sesuatu yang berubah malam itu. Tapi ia tidak tahu apakah perubahan itu adalah berkah, atau malah awal dari sesuatu yang lebih rumit.
“Kinan, terima kasih sudah datang,” ujar Citra dengan nada manis yang terkesan palsu.
Kinanti memaksakan senyum. “Selamat atas pernikahan kalian. Semoga bahagia.”
Ketika Fabio hendak menyapa, Kinanti berpaling dan berjalan pergi bersama orangtuanya. Di dalam hati, Kinanti merasa lega telah melakukan hal yang benar, datang untuk menghormati keluarga, sekaligus menunjukkan bahwa dirinya cukup kuat menghadapi semua ini.
"Kinanti... kenapa dia sangat berbeda malam ini?"Fabio dalam batinnya . "Wajahnya terlihat sangat cantik dan menarik!"Fabio meneguk salivanya saat melihat Kinanti yang memakai dress polos sederhana , namun terlihat sangat menarik.
Meski perih, momen itu menjadi titik awal bagi Kinanti untuk benar-benar melepaskan luka lamanya. Kini, ia bertekad untuk fokus pada hidupnya sendiri, tanpa bayang-bayang masa lalu. Baginya, kebahagiaan sejati tidak tergantung pada orang lain, melainkan dari usahanya sendiri untuk bangkit dan menemukan jalan hidup yang lebih baik.
"Aku akan ... selalu mengingat sakit hati yang telah kau torehkan padaku dan juga keluargaku, Fabio!" Kinanti dalam batinnya, dan dia mengepalkan tangannya.
"Mba, mau makan tidak? sepertinya makanan disini sangat enak,"seru Kiran.
"Silahkan, kamu makan saja sana, Mba mau ambil minum saja."
"Ya sudah, Kiran ke sana dulu ya mba."
Kinanti mengambil minuman buah yang disediakan, dengan tatapan kosong dia berjalan hingga menabrak laki-laki yang bertubuh tinggi dan tegap, naas, minuman itu tumpah mengenai jas mahal milik laki-laki tersebut.
"Arrrgh, sh*t hei... lihat-lihat kalau jalan!"seru laki-laki tersebut dengan menggeram menahan marahnya.
"Hahh, mmmmaaf, tuan... sssaaya tidak sengaja,"ucap Kinan. Kinan mencoba membersihkan menggunakan tisunya.
"Cukup, cukup, sungguh sial malam ini!"Laki-laki tersebut mendengus dan berlalu pergi dari hadapan Kinanti.
"Ya Allah, ada apa denganku?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!