"Hei Ros! Kau beli banyak paha ayam ni nak masak ape? Nak buat ayam guring ke?"
Seorang pria bertubuh pendek berteriak, menilik kantong plastik bening berisi banyak sekali potongan paha ayam di dalam mobil angkotnya.
Dan seketika gadis berkuncir kuda itu menoleh dengan tatapan tajam, lalu berkata dengan sangat kesal.
"Kamu pikir aku emaknya Ipin Upin?
Ayam guring, ayam guring.
Nggak usah pakai bahasa Malaysia segala! Aku di Malaysia cuma satu tahun, bukan seumur hidup.
Masih bisa dan sangat fasih berbahasa Indonesia yang baik dan benar!" Rosa memarahinya.
"Jangan marah lah." dia berucap pelan.
Pria itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia segera turun dan mengangkat kantong plastik tersebut menuju rumah Rosa dengan sedikit kesusahan karena ukuran tubuhnya yang pendek, sehingga kantong plastik itu menjuntai hampir menyentuh kakinya, langkahnya yang kecil tampak begitu cepat.
Diambang pintu, seorang perempuan cantik berkerudung merah muda keluar dengan senyum tipis namun terlihat begitu manis. Dia segera mengambil kantong berisi ayam tersebut dari pria bertubuh pendek itu.
"Terimakasih Abang Jay." ucapnya begitu halus.
"Same-same kak Hana." bang Jay tersenyum senang, tubuhnya yang hanya sebatas dada Hana pun semakin pendek ketika dia membungkuk sopan.
"Same-same, same-same." Pergi sana." Rosa melewatinya, tatapan tajam dan wajah sangarnya membuat pria itu segera pergi.
"Dik, tak baik marah-marah macam tu." Hana menasehatinya dengan suara halus. Mereka berdua menuju dapur.
"Biarin lah Kak. Kalau di baik-baikin, nanti dia betah dan setiap hari menggangu kak Hana."
Hana tersenyum lalu mendesah berat, ia menilik wajah adiknya yang cantik, namun terkadang tampak seperti preman ketika ia sedang marah.
Hana menyibak anak rambut Rosa yg menjuntai, dia memandangi wajah sang adik lebih dekat.
Rosa pun menatap wajah kakak iparnya yang mulai sayu, dia membiarkan perempuan itu memandanginya lama.
"Akak rindu kepada abangmu." bisiknya.
Mata yang selalu indah bersinar penuh kehangatan kini berganti dengan genangan air mata yang nyaris tumpah.
Hana buru-buru menyekanya. Sementara Rosa terdiam sambil menahan sesak di dada.
Sudah tiga tahun berlalu, namun Hana masih saja tak bisa move on dari sang kakak yang sudah meninggal, gugur bertugas dalam sebuah konflik bagian timur Nusantara. Hana menjanda dalam usia pernikahan baru satu bulan.
*
*
*
Empat tahun yang lalu. (POV Ros)
Karena ekonomi keluarga yang selalu kekurangan. Aku yang baru saja menyelesaikan pendidikan SMA ku menerima tawaran pergi bekerja menjadi TKW di negeri Jiran kita, Malaysia.
Aku di terima di sebuah perusahaan Handphone, dan mendapatkan gaji yang lumayan dibandingkan bekerja di PT dalam negeri tercinta ini.
Ya! Sudah bukan rahasia jika standar UMR kita jauh rendah jika dibandingkan di negara lain. Itu kemudian ku sanggupi untuk berpisah dari keluarga, dan kebetulan kala itu Mas Rayan sudah menjadi seorang prajurit TNI, Bintara yang satu tahun lagi masa dinasnya usai. Dia mengantarkan aku pergi ke negeri Melayu itu, memastikan aku tinggal di tempat yang layak, dia juga memberikan sejumlah uang untuk modal ku bekerja sebelum gajian.
Aku begitu senang, tak jauh dari perusahaan tempat ku bekerja terdapat sebuah kos yang bagus, jika ku lihat lebih seperti sebuah apartemen, ada tiga lantai dan semua penghuninya adalah pegawai perusahaan tersebut.
Sayangnya, kost tersebut sudah penuh, bahkan ada yang satu kamar di huni dua, tiga orang. Hingga seorang perempuan yang baru saja pulang menyapa ku.
"Kalau nak, adik boleh satu kamar dengan Akak." ucap Kak Hana ketika itu.
Aku yang baru saja bertemu dengannya sampai melongo memandangi wajah cantik kak Hana.
Dia tipe perempuan yang bertubuh mungil, wajahnya bersih, kulitnya tampak lembut, bibirnya mungil, basah dan pink alami. Bola matanya hitam pekat dengan bulu mata lentik tertata. Dan yang paling membuat aku takjub adalah hidungnya yang kecil, namun ujungnya begitu runcing seperti boneka.
"Halo!" dia mengibas tangannya pelan, menyadarkan aku yang kelewat mengaguminya.
"Ah, aku, ak_" Niat hati aku ingin mengatakan, ingin bertanya kepada Mas Rayan.
Dan ketika aku menoleh, ternyata kakak laki-laki ku itu juga sedang mengagumi boneka hidup di hadapan kami. Kak Hana pun tersipu malu kala itu.
Akhirnya, aku pun menyetujuinya. Aku tinggal satu kamar dengan kaka Hana, yang ternyata dia menyewa satu unit yang lumayan besar, di sana ada dua kamar dan ruang tamu yang cukup luas. Sehingga aku merasa nyaman dan tidak sungkan kepadanya.
Sementara aku sibuk menata pakaian ku di kamar, dua orang yang beberapa tahun diatas ku itu duduk di ruang tamu, berbincang dengan tegang meskipun berusaha untuk tidak memperlihatkannya. Kakak ku menyukai Hana, dan sepertinya, Hana pun demikian, terlihat dari sikapnya yang salah tingkah berbicara dengan Mas Rayan.
Hari-hari berlalu, Minggu dan bulan pun berganti. Aku menikmati hari-hari ku di sana. Dan ternyata hubungan Mas Rayan dan kak Hana semakin dekat walaupun terjalin hanya lewat telepon saja.
Hingga satu tahun kemudian.
Aku memutuskan untuk pulang ke negeri tercinta guna menemui orang-orang kesayanganku. Puasa di negeri orang tidak lah senikmat di kampung sendiri. Suasana sahur dan berbuka membuatku mengeluh rindu akan masakan ibu. Namun kak Hana menghiburku, dia seperti Kakak perempuan bagiku.
"Dik, Abang kau nak datang." ucap kak Hana ketika kami baru saja pulang bekerja. Kak Hana adalah atasanku. Dan baru ku tahu, ternyata dia juga adalah pemilik dari apartemen yang kami tempati, dia bahkan tak mengatakannya.
Ku pikir, mas Rayan hanya ingin menjemputku, mengingat aku adalah adik perempuan satu-satunya yang belum pernah bepergian sejauh ini. Ternyata aku salah, Mas Rayan datang untuk melamar kak Hana, mereka sudah sepakat untuk menikah.
Begitu indahnya, pernikahan yang sederhana, hanya di isi oleh acara ke agaman yang tidak terlalu ramai.
Akhirnya, Mas Rayan membawa sosok tercinta itu pulang ke Indonesia. Tak di sangka pula, kak Hana bersedia meninggalkan pekerjaan dan rumahnya yang nyaman hanya untuk mendampingi sang suami yang baru saja usai masa dinas. Keduanya sibuk mengurus pernikahan mereka hingga usai, dan pulang ke rumah ibu untuk mengadakan syukuran kala itu.
Cinta diambang tugas, begitulah seorang prajurit bahkan hanya mendapatkan waktu beberapa hari untuk menikah.
Tak ada bulan madu, bahkan rasa bahagia karena sudah saling memiliki itu harus tertelan paksa karena tuntutan pekerjaan.
Kak Hana mengantarkan Mas Rayan menuju stasiun kereta api di pusat kota. Aku menjadi saksi bagaimana harunya perpisahan pengantin baru yang baru seminggu itu.
Mas Rayan memeluk kaka Hana begitu erat, menciumi wajahnya dan membenamkan wajahnya begitu lama di pundak kak Hana. Tatapannya sendu namun cinta yang terpancar dimatanya sungguh jelas terlihat.
"Abang hati-hati." ucap kak Hana pelan, tak henti mata beningnya menatap wajah sang suami yang terlihat sangat gagah dengan pakaian khas prajurit, lengkap dengan ransel dan baret di kepalanya.
"Aku mencintaimu, Hana ku." Mas Rayan pun membalas ucapan kak Hana dengan sangat mesra.
Kereta pun berjalan pelan, menyisakan tangan Mas Rayan di ambang pintu yang terus melambai.
Pintu demi pintu terlewati hingga jauh sekali lambaian mas Rayan sudah tak terlihat lagi. Kak Hana menangis dalam diam.
Aku tahu, rasanya pasti ingin berteriak, meraung-raung keras ditinggalkan sang suami selagi hangat-hangatnya. Namun kak Hana bisa menahannya.
_
_
_
Hai, readers... jumpa lagi dalam karya ku... Semoga suka.
Lanjut Bab 2...
Perjalanan jalur laut yang panjang, tiga Minggu setelahnya kapal yang berlayar dari laut Sumatera itu tiba di pulau unjung perbatasan Indonesia.
Hari-hari yang berlalu, sepi dan rindu tentulah menyelimuti malam yang pasti panjang, siang pun terasa lama. Pagi gelisah, sore mencekam kala matahari tenggelam dan sebagian bumi menyambut malam.
Kak Hana mulai tenang ketika mendapatkan kabar bahwa sang suami sudah tiba di pulau tersebut. Suara merdu saling menemani, hari-hari penuh rindu kini sedikit terobati.
Malam itu, giliran mas Rayan yang bertugas. Berjaga disekitar tempat mereka membuat tenda, dengan membawa senjata Laras panjang beserta ponsel yang selalu setia. Ia pun berdiri di tepi tebing menikmati keindahan diatas ketinggian. Dia menceritakan segala yang di lihat oleh matanya kepada Hana.
Siapa sangka, suara tembakan menggema dari arah yang tak terduga. Ponsel yang masih tersambung dengan kak Hana mendadak senyap. Tak bersuara setelahnya.
"Ibu! Bang Rayan Bu!" teriak kak Hana, berlari keluar dari kamarnya dan menggedor pintu kamar ibu dengan panik, ibu sedang sholat.
Ibu dan bapak langsung keluar dengan paniknya lalu bertanya. "Ada apa Nak Hana?"
Air mata kak Hana sudah berderai tak tau jumlahnya. Dia menangis tergugu sambil menatap wajah ibu, memegangi tangan Ibu dengan ketakutan.
"Bang Rayan Bu! Ade suare tembakan kat sane. Bang Rayan tinggalkan ponsel die entah kemane." Kak Hana menunjukkan ponsel di tangannya, benar masih tersambung tapi tidak ada suara apapun.
"Pak!" Ibu mulai khawatir. Wajah tuanya semakin berlipat bersamaan dengan jatuhnya air mata.
"Tenang Bu, mungkin sedang bersembunyi atau berlari. Atau bisa juga sedang tidak boleh berbicara. Namanya juga di hutan, sedang bertugas." Bapak menenangkan dua wanita yang sudah terlihat ketakutan.
"Tapi Bang Rayan!" Dia semakin menangis dengan tubuh gemetar.
Lalu ibu mengisyaratkan untuk diam, menekan telunjuknya di depan bibirnya sendiri. Mendengarkan bagaimana suasana di seberang sana. Namun percuma, hingga pagi hari dan sampai nomor telepon Mas Rayan tidak bisa di hubungi lagi, kemungkinan sudah kehabisan baterai.
Dua hari sudah kak Hana menunggu, wajahnya pucat dan kuyu memikirkan Mas Rayan. Dua haripun nyaris tak makan, hanya beberapa sendok saja, terkadang malah tidak sama sekali.
Akhirnya setelah menunggu dengan rasa cemas luar biasa. Kabar duka pun sampai ke telinga Ibu, bapak dan kak Hana.
Kak Hana yang kala itu berada di asrama ditemani ibu dan bapak, hanya bisa menjerit keras, menangis sejadi-jadinya, lalu pingsan berkali-kali.
Suasana kacau dan mencekam menunggu jenazah Mas Rayan tiba dari pulau seberang.
Aku yang baru saja kembali bekerja di negeri Melayu seorang diri, akhirnya memutuskan untuk pulang kembali untuk menemui jenazah Mas Rayan. Aku tidak peduli lagi pekerjaan yang aku tinggalkan, aku harus bertemu dengan mas Rayan untuk terakhir kalinya.
Berhari-hari kak Hana duduk mematung menatap langit yang biru di teras rumah, dia begitu putus asa. Terlebih lagi peti jenazah mas Rayan hanya bisa di buka sebentar lalu dimakamkan. Kak Hana, sempat tak mau pulang dari makam Mas Rayan ketika itu, namun akhirnya pingsan lagi dan kami membawanya pulang kembali.
"Kak Hana." aku memanggilnya pelan, lalu duduk di sampingnya.
Dia bahkan tak menoleh, air matanya menggenang lagi, seperti tak pernah habis air matanya padahal minumnya dapat di hitung.
Setiap pagi ia bangun lebih awal dibandingkan kami semua. Dia menjemur bantal disaat mata hari belum muncul, mencuci sarung bantalnya setiap pagi. Jika di tanya, dia akan menjawabnya 'agar selalu bersih dan wangi'. Padahal bukan itu, setiap malam dia membanjirinya dengan air mata, Hingga matanya sembab dan hilang keindahannya.
Perlahan.
Jika luka di tangan dokter bisa mengobatinya, tapi luka di hati, hanya waktu yang bisa menyembuhkannya. Seiring waktu kak Hana mulai membuka diri. Kami mulai sering bercerita, tapi tidak seperti dulu lagi. Dia lebih sering murung sendirian.
(POV end)
*
*
*
Hari ini, tepat ketiga tahun sudah hari meninggalnya M Rayan Dwi Aryanto. Hana mulai berkutat di dapur memasak ayam yang tadi di pesan Rosa. Sudah menjadi kegiatan rutin bagi mereka membagikan makanan kepada anak-anak dan tetangga di sekitar mereka.
Itu pula membuat Hana semakin di kenal walaupun jarang keluar.
"Sudah beres kak." Rosa menepuk-nepuk kedua tangannya, ia begitu senang melihat nasi kotak sudah bertumpuk rapi, siap di bawa ke mesjid dan di bagikan sore ini.
"Alhamdulillah." Hana tersenyum lega.
"Ros mau mandi dulu! Mana tahu nanti ustadz Yusuf kepincut sama aku." Rosa mencium keteknya sendiri, lalu tersenyum aneh.
Hana pun terkekeh geli melihat tingkah adik iparnya. "Banyak-banyak doa je. Banyak kan berjuang di sepertiga malam." ujar Hana.
"Jangankan sepertiga malam, semalam penuh pun aku akan berjuang Kak."
Kedua bersaudari itu tertawa bersama-sama.
Sekilas ada kebahagiaan yang membuatnya merasa hangat, itu pula yang membuatnya betah di rumah mertua. Namun belum ada yang bisa membuka hatinya hingga saat ini.
"Kalau ibu sih, lebih setuju sama ustadz Fairuz." ibu yang sejak tadi diam kini menyahut.
"Kok ustadz Fairuz sih Bu?" Protes Rosa, urung meraih handuk, iapun duduk menghadap sang ibu.
"Bukan buat kamu, tapi buat Hana." Sang ibu tersenyum, Begitupun Hana hanya tersenyum tipis lalu menunduk.
"Kamu masih muda Nak, jangan berlarut akan kesedihan, masa depanmu juga harus dipikirkan." Ibu mengusap lengan Hana dengan lembut, Namun sepertinya hati Hana masih terlalu rapat untuk di goyahkan.
Ros pun tak berani berkata, lantaran takut Hana tersinggung.
"Sudah cukup kamu bersedih atas kehilangan Rayan. Ibu yakin dia pun tidak ingin kamu terus seperti ini." lanjut ibu lagi.
"Hana sedang berusaha Bu. Walaupun..." ucapannya terhenti.
Kalau sudah begini, ibu pun tak akan melanjutkan percakapan mereka lagi. "Mandi gih, Ibu tungguin." titah sang ibu kepada Hana.
Dia pun mengangguk.
Pengajian para ibu-ibu belum di mulai, hanya saja sudah ramai. Anak-anak pun dengan riang menunggu. Terutama semua anak yatim dan fakir, mereka sengaja di kumpulkan hari ini.
Hana Langsung membagikan nasi kotak untuk anak-anak terlebih dahulu. Wajah cantiknya berseri melihat kebahagiaan mereka yang mendapat nasi kotak beserta selembar uang berwarna biru. Senyumnya mengembang, namun pikirannya melayang, membayangkan ada sosok Rayan disampingnya, menemaninya.
"Terimakasih Hana, sudah membuat anak-anak bahagia." sejak tadi, Ustadz Fairuz lah yang ada disampingnya membantu Hana.
Bukan rahasia lagi, ustadz Fairuz menyukai Hana sejak lama. Namun Hana belum menunjukkan respon apa-apa.
"Sama-sama Ustadz. Hana hanya menyampaikan sedikit rezeki dari almarhum suami." jawab Hana, kaku. Sedang berusaha mengubah bahasa bicaranya.
Ustadz Fairuz tersenyum, dia semakin kagum akan kesetiaan Hana pada suaminya yang sudah tiada. Jika boleh di kata, Fairuz ingin sekali menjadi Rayan yang selalu dicintai oleh Hana, meskipun sudah tiada.
Begitulah aktivitas Hana seminggu sekali, Hingga satu hari di pengajian yang sama.
Sesi ceramah sekaligus berbagi cerita bersama ibu-ibu itu selalu saja menjadi momen seru. Ustadz-ustadz muda dan ganteng menjadi daya tarik tersendiri bagi para kaum emak-emak, yang gadis dan janda pun kian merapat.
"Cintailah makhluk Allah sekedarnya saja, jangan melebihi cintamu kepada Allah."
Satu kalimat pendek memulai suasana serius di tengah masjid tersebut.
Ustadz bernama Yusuf itu masih sangat muda, namun kata-katanya selalu mampu membuat para wanita menanti wejangannya.
Berbagai nasehat terus terlontar, seperti di sengaja di tujukan kepada sosok Hana yang masih sangat rapat menutup hatinya.
"Biarkan yang sudah pergi menjalani kehidupan barunya dengan tenang, jangan kau bebani dia dengan rasa cintamu yang berlebihan. Kasihan dia, langkahnya tertahan karena tangisanmu yang terus menyeru. Jangan di tunda surganya yang sudah nampak di depan mata, jangan buat syahidnya jadi sia-sia." akhir dari ucapan ustadz Yusuf.
Mata sang ustadz pun langsung tertuju kepada Hana seperti pedang yang menghunus tepat sasaran. Senyumnya tipis, lembut bermakna.
Hana pun terperangah.
Hana melihat sekelilingnya dengan gerakan mata yang pelan, jelas dalam pandangan semua orang sedang menatap dirinya dengan iba. Sang ibu mertua pun tak dapat lagi membendung tangisnya, dia memeluk Hana sambil menumpahkan luka yang sejujurnya sama, hanya berusaha terlihat tegar agar tidak semakin membuat rapuh sang menantu yang hampir hilang kewarasannya.
Hana pun menangis dalam diam, air matanya bercucuran jatuh tercecer membasahi mukena berwarna biru muda, seiring tubuhnya yang mungil terguncang oleh pelukan sang ibu yang meraung pilu.
"Ibu ikhlas kalau kamu menikah lagi Nak! Hana anak ku." rintih sang ibu mendekap Hana semakin erat.
Kata orang, perlihatkan lukamu kepada air, agar sisa kotoran yang menyakitimu hanyut berlalu. Lalu tunjukkan kepada angin, agar perihnya terbawa bersama hembusan hingga mengering.
Entah angin ataupun hujan, yang jelas semuanya akan berperan dalam menyembuhkan, tapi tidak dengan tetangga.
Itu hal yang berbeda.
Jika sebagian ikut menangis iba atas apa yang menimpa Hana, maka sebagian pula akan berkata.
"Kasihan ya, dia jadi tidak waras karena di tinggal mati suaminya "
"Bangkit Nak! Jangan biarkan rasa cintamu menjadi kelemahan, lalu menjadi fitnah yang menyakitkan. Hati ibu sakit..." bisik ibu, jelas dia mendengar berbagai macam bisikan-bisikan setan berwujud manusia di dalam rumah Allah itu, menyakiti perasaan menantunya.
*
*
*
"Sepertinya, Akak akan pulang saja ke Malaysia. Akak merasa tak enak hati kepade Ibu. Sejak hal kemarin itu, Akak rase memang patut orang kate Akak ni tak sihat. Hati dan jiwa akak memang lah sakit." Tiba-tiba saja Hana berkata demikian.
Rosa melepaskan beberapa lembar pakaian yang akan di lipatnya, lalu kembali melemparnya ke dalam keranjang. Ia mendekati Hana, lalu berkata dengan heran.
"Tapi, kak Hana sudah tidak memiliki siapa-siapa di sana, Kak Hana akan sendirian." ucap Rosa.
Hana mendesah berat, lalu memegang tangan sang adik dengan lembut. "Dah biase kan, dulu pun Akak sendirian?" dia tersenyum, lalu kembali berkata. "Atau, kau ikut akak tinggal di Malaysia, ibu dan bapak pun?"
Rosa pun terkejut, lalu berkata dengan wajah di lipat. "Ibu tidak akan mau Kak. Sudah jelas alasannya, tidak mau berjauhan dengan almarhum kakek dan nenek. Sekarang malah nambah lagi, tidak mau berjauhan dengan....."
Rosa menjeda ucapannya.
Seketika wajah Hana pun menjadi mendung, seperti mentari yang bersinar kini tertutup awan yang tebal.
"Sebenarnya, ... Akak pun tak nak berjauhan dengan Bang Rayan." dia berkata lirih.
Beberapa saat keduanya terdiam.
"Ya sudah, kak Hana tidak usah pulang. Di sini aja, di rumah kita. Di rumah Mas Rayan, rumah kak Hana." Ros menunjuk rumah minimalis di samping rumahnya. Posisi satu rumah ibunya di bagi menjadi dua, di luar terlihat dua namun di dalam terdapat pintu yang menyatukannya.
Ketika Hana dan Rayan menikah, saat itu ayah dan ibu mertuanya langsung memperbaiki sebagain rumahnya yang sudah rapuh, menjadi rumah kecil yang cantik. Meskipun sulit dan bertahap, kedua suami istri yang sudah tua itu berusaha mendirikannya, menyisihkan uang setelah panen, dan sekarang sudah selesai tapi Rayan sudah meninggal.
Hari berikutnya, hal yang membuat orang juga menggeleng oleh rasa cinta Hana kepada Rayan, di setiap akhir bulan ia akan mendatangi stasiun kereta api tempat dimana terakhir kali berpisah dengan sang suami. Hana datang hanya sekedar berdiri, menikmati angin yang menerpa akibat berlalunya kereta api, hingga lengang dan barulah ia kembali.
"Kak, Ros mau ikut."
Hari ini Ros sengaja mengintilinya, tidak ingin sang kakak terus menerus terpuruk dalam kesendirian, larut dalam lamunan di stasiun kenangan itu.
"Akak tak lame lah." kata hana sambil merapikan kerudungnya.
Namun Ros tetap saja tidak mengurungkan niatnya, ia keluar lebih dulu menunggunya di depan rumah
"Hei Ros! Kamu mau kemana?" Mak Romlah, si tetangga usil itu bertanya kepada Ros.
"Mau ke kota, menemani kak Hana." ucap Rosa, tidak terlalu menghiraukan perempuan paruh baya itu, Mak Romlah adalah ibu dari Jay, supir angkot yang bertubuh kecil mungil yang menyukai Hana.
"Ngapain kamu menemani Hana, paling dia cuma melihat kereta api berangkat." Mak Romlah pun lanjut berkata, sambil mencebik.
"Mau apa juga bukan urusan Emak." kesal Ros, sejak lama dia sering kali berdebat dengan Emak Romlah yang sering mengatai kakak iparnya tidak waras.
"Harusnya kamu itu kasih paham kakak iparmu itu, supaya berhenti mendatangi stasiun hanya untuk menunggu kakakmu, si Rayan tidak akan pulang. Kamu harus tegas, biar dia sadar dan bisa melanjutkan hidup." oceh perempuan itu bermaksud menasehati Rosa. Perempuan itu tak suka dengan Hana, lantaran Jay selalu saja mengincarnya.
"Mas Rayan memang tidak akan kembali, tapi aku tidak punya hak melarang kak Hana untuk mencintai suaminya." Ros menjawabnya dengan stok sabar yang mulai menipis.
"Tapi enggak sebegitunya lah Ros, kesannya kayak sedikit, .... Stres." Berbisik di ujung kalimatnya, namun bisikan kecil itu mampu membangunkan emosi Ros yang sejak tadi di tahan-tahannya.
"Mak! Kak Hana itu tidak stres, tidak gila! Yang stres itu emak! Yang gila itu kalian yang tidak pernah capek ngurusin hidup orang!"
"Heh! Di bilangin malah ngatain. Lu itu yang stres, kakak iparnya nggak waras, Lu malah ikutan." Seorang tetangga, ibu muda yang tadi mengobrol dengan emak Romlah pun kini menyahut.
"Bukan urusan Lu juga! Mending urusin noh laki Lu yang tiap malem nongkrongin biduan." kesal Rosa, dia melirik emak Romlah dengan sinis.
"Kamu nyindir anak saya?" emak Romlah pun jadi kian emosi.
"Iya, siapa lagi. Si biduan kampung yang baru di cerai, sekarang sibuk menggoda suami orang! Tiap malem kerjanya karaokean, mending suaranya bagus, mirip kaleng rombeng!" Ros tersenyum menang.
"Awas kamu ya Ros!" kesal perempuan itu.
Namun Ros segera menuju taksi, menyeret tangan kakaknya yang baru saja keluar, dengan wajah bingung.
"Adik bertengkar lagi?" tanya Hana setelah di dalam mobil.
Ros hanya menoleh, lalu membuang pandangannya keluar jendela.
Hana mendesah berat, dia sudah tahu apa penyebabnya.
"Maafkan Akak."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!