Track!
"Ah! Hampir saja!" Lee berseru karena kaget. Wajah memerah menahan amarah, tiba-tiba ada anak panah hampir menusuk wajahnya. Han Zian dan Lee Hwan tengah asik menempa pedang dari besi bersama di halaman. Tiba-tiba datang lah Lio Feng bersama pasukannya, berjumlah lima belas orang. Mereka dituduh melakukan kesalahan yang tidak pernah mereka lakukan dan kini harus meninggalkan ibu kota Shogun.
"Ada apa ayah? Mereka menyerang kita!" tanya Han Zian melihat anak panah menancap di tanah, yang mengarah kerahnya.
"Aku tidak ingin melihat kalian lagi di kota ini, sekarang juga kalian angkat kaki." bentak Lio Feng mengancam Lee dan Han Zian, sambil mengacungkan pedang miliknya kearah mereka.
"Aku tidak mengerti maksud anda, Tuan Lio Feng?" tanya Lee kepada Lio Feng dengan tenang. Walaupun sudah diserang, Lee tidak terpancing amarah.
"Sampah!" bentak Lio Feng. Wajahnya memerah penuh amarah, dengan aba-aba itu, lima belas muridnya menyerbu Lee dan Han Zian. Pedang mereka berkilauan dibawah sinar matahari yang siap menghantam.
Lee dan Han Zian, meski kalah jumlah, tetap melawan dengan gagah berani. Pedang mereka beradu dengan cepat, menghalau serangan demi serangan. Namun, menghadapi jumlah lawan yang jauh lebih banyak, mereka mulai kewalahan. Terlebih, serangan mendadak Lio Feng membuat Lee terluka di lengan yang parah.
Melihat situasi yang semakin kritis, Lee dan Han Zian memutuskan untuk mundur. Dengan sisa tenaga yang ada, mereka melarikan diri kedalam hutan. Mereka tahu, jika terus bertahan nyawa mereka akan melayang.
Sang anak kaisar yang menyaksikan semuanya dari kejauhan tersenyum sinis. Ia tahu betul potensi kekuatan yang dimiliki Han Zian. Jika dibiarkan berkembang, Han Zian bisa menjadi ancaman besar bagi kekuasaannya. Oleh karena itu, ia tidak akan membiarkan Han Zian dan Lee hidup.
Kemudian di suatu hari, sebuah sekte dari Pulau Hindi yang mengagumi kekuatan "Naga Putih" datang menghadap Kaisar. Mereka percaya bahwa keturunan Pahlawan Pulau Askara memiliki kekuatan magis sama dengan kakeknya dan ingin membawanya untuk dilatih. Agar dirinya bisa menjaga diri dan bisa menjadi penerus sang Kakek dikemudian hari. Namun, Kaisar menolak permintaan mereka.
Alasannya sederhana, pemimpin sekte itu memiliki persaudaraan dengan pendekar Naga Hitam, musuh bebuyutan dari Pahlawan Pulau. Kaisar khawatir sekte tersebut hanya ingin memanfaatkan keturunan pahlawan untuk kepentingan pribadi, atau bahkan membahayakannya.
Perselisihan antara Kaisar dan sekte tersebut sampai ke telinga sang Pangeran. Merasa terancam posisinya sebagai pewaris tahta, Pangeran segera memerintahkan Lio Feng, pemimpin perguruan Elang Hitam, untuk menyingkirkan Han Zian dan Lee. Ia yakin bahwa keduanya adalah keturunan Pahlawan Pulau Askara yang dicari oleh sekte tersebut. Dengan kematian Han Zian dan Lee, tidak akan ada lagi yang bisa mengancam kekuasaannya di Pulau Askara.
Didalam tengah hutan, Han Zian dan Lee Hwan semakin terdesak. Dikejar oleh pendekar Elang Hitam bersama muridnya yang gesit dan terlatih. Napas mereka tersengal-sengal, keringat membasahi wajah, dan langkah kaki mereka mulai terasa berat. "Han Zian!" ucap Lee Hwan, suaranya serak karena kelelahan. "Kita harus segera mencari tempat persembunyian. Lukaku semakin parah."
Hutan belantara yang gelap dan sunyi menjadi satu-satunya pelarian mereka. Pepohonan yang menjulang tinggi dan semak belukar yang lebat seolah-olah ingin menelan mereka hidup-hidup. Suara dedaunan yang bergesekan dan kicauan burung waktu sore menambah rasa takut mereka. Lee Hwan, dengan luka menganga di lengannya, berusaha menahan rasa sakit.
Semakin jauh mereka masuk ke dalam hutan, rasa takut mereka semakin menjadi-jadi. Bayangan-bayangan aneh muncul di balik pepohonan, dan suara-suara misterius terdengar dari kesunyian alam. Han Zian menggenggam erat tangan ayahnya, berusaha memberikan semangat. Namun, dalam hati, ia juga merasa ketakutan.
"Ayah, kita tidak punya banyak waktu! Darahmu terus mengalir, dan kita dikejar oleh pasukan Lio Feng. Pohon besar itu bisa menjadi perlindungan sementara, tapi kita harus waspada dengan binatang buas yang mungkin mengintai di sekitar sini."
***
Sementara itu, pasukan Lio Feng semakin jauh masuk ke dalam hutan belantara. "Sialan! Mereka terlalu cepat," gerutu Lio Feng, frustrasi karena Han Zian dan Lee terus menghilang dalam rimbunan pepohonan.
"Guru, hutan ini sangat luas. Mereka pasti akan tersesat dan kelelahan," kata salah seorang muridnya.
"Benar, Guru. Apalagi salah satu dari mereka terluka. Bau darahnya pasti akan mengundang perhatian binatang buas," tambah murid lainnya, nada suaranya penuh kepuasan.
Lio Feng mengangguk setuju. "Mereka tidak akan bertahan lama di sini. Hutan ini akan menjadi kuburan mereka!" ucapnya, senyuman licik terukir di wajahnya.
"Tapi kita harus tetap waspada, Guru. Kita tidak boleh lengah," ingatkan murid lainnya.
"Tentu saja. Kita harus menemukan mereka dan menyelesaikan tugas ini," tegas Lio Feng.
"Tuan kita sudah memerintahkan untuk membunuh mereka. Kita tidak boleh gagal."
Dengan semangat membara, mereka terus menyusuri hutan belantara, tak gentar menghadapi segala bahaya yang mungkin mengintai. Senjata-senjata mereka siap digunakan untuk mengakhiri hidup Han Zian dan Lee.
Di tengah perjalanan, Lio Feng dan murid-muridnya tiba-tiba dihadang seekor harimau jantan yang menerjang keluar dari semak-semak. Murid-muridnya panik. "Guru, ada harimau!" teriak salah seorang murid.
Lio Feng, dengan nada memerintah, berkata, "Bunuh harimau itu!"
Tanpa ragu, seorang murid langsung menyerang harimau dengan pedangnya. Namun, harimau itu lebih cepat dan lebih kuat. Dengan satu lompatan, harimau itu menerkam murid tersebut dan menggigit kepalanya hingga putus.
Melihat kejadian itu, murid-murid lain ketakutan. Namun, Lio Feng malah semakin marah. "Jangan lemah! Bunuh harimau itu!" perintahnya, menunjuk seorang murid lainnya.
Murid yang ditunjuk gemetar ketakutan, tetapi karena takut pada gurunya, dia terpaksa maju. Namun, nasibnya sama seperti murid sebelumnya. Harimau itu dengan mudah mengalahkannya.
Lio Feng mulai panik. Dia tidak menyangka harimau itu sekuat ini. Dia dan sisa murid-muridnya berusaha melarikan diri, melemparkan senjata mereka ke arah harimau. Namun, harimau itu terus mengejar mereka hingga berhasil menangkap seorang murid lagi. Akhirnya, Lio Feng dan sisa muridnya berhasil lolos dari hutan itu. Mereka kembali ke perguruan Elang Hitam dengan keadaan babak belur.
Sementara itu, tiba-tiba, Han Zian melihat sebuah bayangan samar-samar melintas di hadapannya. Bayangan itu berbentuk seorang tua kehijauan yang pernah muncul dalam mimpinya. Orang tua itu menunjuk ke arah semak-semak, seolah memberikan petunjuk. Han Zian mengikuti petunjuk itu dan menemukan sebuah jalan setapak yang tersembunyi. Jalan itu membawanya dan Lee ke sebuah desa kecil di tepi hutan.
Sesampainya di desa itu, Lee terlihat sangat terkejut. "Ini Desa Jiang Hu," gumamnya dengan suara serak. Han Zian bertanya, "Kenapa Ayah? Ada apa dengan desa ini?"
Lee menceritakan tentang masa lalunya di desa itu. Dia menceritakan tentang ayahnya, kakek Han Zian, yang sangat dihormati oleh penduduk desa.
Han Zian semakin penasaran. Dia ingin tahu lebih banyak tentang kakeknya dan hubungannya dengan desa ini. Tiba-tiba, Lee batuk darah. Wajahnya pucat pasi. Han Zian panik dan memanggil bantuan.
Saat memasuki Desa Jiang Hu, Han Zian harus menghadapi kenyataan pahit. Ayahnya kini terbaring lemah di tanah, tubuhnya terkulai oleh sakit yang tak tertahankan, Racun mematikan telah menjalar.
Dengan lembut anak bertubuh kuat itu menyokong tubuh ayahnya. Menatap wajah pucat yang pernah penuh semangat, dan darah hitam yang mengalir dari mulut sang ayah. Han Zian begitu terpukul, hatinya dibalut kesedihan mendalam.
Dengan cepat, Han Zian mengambil air sungai dan membersihkan darah dimulut ayahnya. "Ayah, bertahanlah!" ucapnya, suaranya terputus oleh kesunyian desa. Saat ia memandang Desa Jiang Hu yang sepi.
Malam mulai menyelimuti Desa Jiang Hu, membuat pandangan pemuda bermata hijau jadi putus harapan. Jalan-jalan tampak kosong, tak terdengar suara langkah kaki. Kedua pria itu terus berjalan, mencari tempat berlindung. Namun, rumah-rumah di desa Jiang Hu tampak tertutup dan tak ada seorangpun. Dengan hati berat, Han Zian memapah ayahnya yang semakin lemah, melanjutkan perjalanan tanpa tujuan yang jelas.
Dari kejauhan, saat kunang-kunang terbang mendekati sungai, tampak seorang wanita cantik hendak menggapai serangga bercahaya itu. Wanita itu bernama Hu Rong, salah satu warga Desa Jiang Hu. Namun, perhatiannya kini teralihkan kepada dua pria yang terlihat lelah, berdiri di tepian dekat sungai dan mencari pertolongan. Hu Rong pun berjalan mendekati mereka dengan penasaran, ingin mengetahui yang terjadi dan membantu mereka.
"Apa yang terjadi?" Hu Rong bertanya dengan lembut, mencoba memahami situasi mereka.
Han Zian menatapnya dengan ragu, tetapi Lee yang lemah tersenyum menatap Hu Rong.
"Kami ... membutuhkan bantuan," kata Han Zian, dengan suara lembut.
Hu Rong memahami kondisi ini tampak berbahaya bagi nyawa Lee, ia segera mengajak mereka ke rumahnya untuk diberikan pertolongan. Ayahnya adalah seorang Tabib, bernama Cii Xian. Seorang ahli pengobatan dan sekaligus pendekar terkenal di Desa Jiang Hu.
Sesampainya di rumah Hu Rong. Han Zian meletakkan Lee di tempat tidur. Sementara itu, wanita bermata jernih pergi mencari ayahnya dengan panik. Dilihatnya sang ayah yang berada di belakang rumah tengah Membelah kayu bakar, ia pun menghampiri dengan tergesa.
"Ayah, cepat! Ada orang terluka parah." Hu Rong menarik tangan ayahnya.
Tanpa ragu, Tabib Cii segera mengikuti Hu Rong. Hingga ia melihat kondisi seorang pria yang terkulai lemah di rumahnya.
Sang tabib mengusap darah di sudut bibir Lee, dan mengetahui kejanggalan. "Ini Racun mematikan!" ucapnya seraya mengernyit. "Kita harus bertindak cepat!"
Denga segera Tabib Cii mendudukkan Lee dan memulai pengobatan untuk mengeluarkan racun dari tubuhnya. Ia memfokuskan tenaga dalamnya, memukul pundak Lee dengan tepat. Racun mematikan akhirnya keluar dari tubuh Lee bersama darah dan cairan.
"Racun ini sangat berbahaya," katanya serius. "Racun murni yang mematikan. Beruntung bisa mengeluarkan tepat waktu."
Lega melihat ayahnya pulih, tetapi khawatir akan dampak racun tersebut. Han Zian mendengar penjelasan Tabib Cii dengan cemas. "Apakah ayahku bisa disembuhkan?" tanyanya penuh harap.
Tabib Cii menarik napas dalam-dalam, lalu ia berkata. "Tidak ada obat yang bisa menyelamatkan nyawanya. Aku memiliki ramuan, hanya bisa untuk bertahan beberapa jam saja."
Lee terlihat pasrah, namun Han Zian tidak menyerah. "Tidak ada harapan?" tanyanya lagi.
Sang tabib menggelengkan kepalanya, matanya menunjukkan rasa hibah. "Maaf, anak muda kita telah berusaha maksimal."
Lalu sang tabib bertanya kepada Han Zian karena penasaran. "Mengapa ayahmu terluka dan ada racun yang mematikan?"
Han Zian mengepal tinju, matanya memerah. "Kami diusir oleh Perguruan Elang Hitam dari ibu kota Shogun. Mereka tidak ingin melihat kami lagi disana, dan langsung menyerang kami secara bertubi-tubi."
Tabib Cii terkejut, lalu dirinya teringat masa lalunya, tentang kisah pilu gurunya yang meninggal karena racun mematikan.
"Setelah guruku meninggal, para guru di ibu Kota Shogun mengucapkan bela sungkawa. Tetapi Perguruan Elang Hitam hanya berucap melalui muridnya, dengan alasan gurunya sibuk di kekaisaran Ryu Jin.
Tabib Cii menatap jauh, kenangan pahit muncul. "Guruku, seorang pendekar tak terkalahkan. Dia memiliki kekuatan Naga Putih. Namun, dia dibunuh oleh istrinya yang dipengaruhi Pendekar Naga Hitam. Setelah itu, mereka melarikan diri, meninggalkan kesedihan yang tak terhenti."
Lee menatap Tabib Cii dengan mata terkesiap. "Apakah gurumu bernama Gun Yoga?" tanyanya lemah.
Tabib Cii terkejut, keningnya mengkerut. "Kau kenal beliau?"
"Dia ... ayahku." Lee berucap lemah.
Tabib Cii terguncang, matanya berkaca-kaca. "Kau anak Guru Gun Yoga?!"
Tabib Cii menghampiri Lee dan memeluknya, air matanya tumpah tak tertahankan.
"Aku titip anakku padamu," bisik Lee. Napas terakhir Lee menghilang di pelukan Tabib Cii.
"Tuan Lee! Tuan Lee!" Tabib Cii memanggil dengan panik. Memastikan hembusan napasnya dan urat nadi Lee. Ia pun semakin pasrah ketika tidak ada lagi embusan napas tersisa dan menangis histeris di atas tubuh Lee Hwan anak kandung gurunya.
"Ayah!" Han Zian berteriak, hatinya hancur. Teriakannya membangunkan warga desa. Matanya berlinang air mata dan hatinya seakan pecah.
Han Zian memeluk ayahnya erat, menangis terisak. Sementara itu, Tabib Cii turut terguncang, kesedihan membalut hatinya.
Hu Rong, yang sering mendengar cerita Guru Gun Yoga dari ayahnya, tidak dapat menahan air mata. Ia pun menangis melihat kematian seorang keturunan pahlawan di rumahnya.
***
...Keesokan harinya, warga Desa Jiang Hu berkumpul untuk menguburkan Lee Hwan di samping kuil Desa Jiang Hu. Upacara pemakaman berlangsung khidmat, sesuai adat istiadat desa....
...Setelah upacara pemakaman selesai, warga Desa Jiang Hu kembali ke rumahnya masing-masing. Tinggallah Han Zian, Hu Rong, dan Tabib Cii Xian berada di depan pemakaman Lee Hwan. ...
"Aku akan balas semuanya!" Han Zian berjanji dalam hati, amarah memancar di matanya.
"Mari kita pulang, Anakku." Tabib Cii mengelus pundak Han Zian.
Mereka berjalan perlahan, meninggalkan persemayaman Lee. Tabib Cii merasa dirinya harus membantu Han Zian, untuk memulihkan kekuatan yang berada didalam tubuhnya, kekuatan Naga Putih, kekuatan sang Kakek.
Setelah sampai di rumah, Tabib Cii menatap Han Zian dengan mata bijak. "Aku melihat semangat kakekmu dalam dirimu. Aku akan mengajarkanmu ilmu Kultivasi dan memulihkan kekuatan Naga Putih. Bersiaplah, Han Zian, perjalanan panjang menanti."
Tabib Cii memimpin Han Zian ke sebuah taman, dekat kolam air jernih. "Minum air ini dan fokuskan pikiranmu. Biarkan aura kakekmu bangkit dalam dirimu."
Han Zian meminum air tersebut, menutup matanya, dan memusatkan pikiran. Tubuhnya Han Zian bersinar, terlihat oleh Tabib Cii yang mampu melihatnya.
"Membersihkan aura, adalah langkah awal. Kau harus mengurangi emosi dan fokus pada kekuatan sejati." Tabib Cii menatap Han Zian dengan serius, berkat la dengan penuh wibawa seorang Guru.
Han Zian membuka mata secara perlahan, dengan ekspresi tenang dan fokus. "Aku merasakan energi hangat mengalir dalam tubuhku, seperti kekuatan bangkit kembali."
"Air ini memulihkan tenagamu." Tabib Cii mengangguk pelan dan tersenyum, berkata kepada Han Zian dengan lembut. "Baik, Han Zian! Jika kau siap. Kita mulai tahap selanjutnya melatih kultivasi tahap awal pada dirimu."
"Semangat lah Han Zian! Kau penerus pendekar Naga Putih yang terakhir!" ucap Hu Rong yang mengikuti mereka, menyambut kekuatan Naga Putih yang pulih didalam tubuh Han Zian dengan senyum.
Pagi yang cerah, matahari mulai menyinari Desa Jiang Hu. Sawah-sawah membentang luas, diapit oleh dua gunung besar yang bernama pangeran dan permaisuri. Di halaman rumah sang tabib menyuruh pemuda bermata hijau yang kini tinggal serumah dengannya. Melatih fisiknya, mengambil air dari sungai menggunakan dua bambu dan ember terbuat dari kayu, mengisi tong besar yang ada di halaman rumah.
Anak wanitanya yang cantik, melihat Zian Penuh semangat saat menempa air dari sungai, ia mulai terpesona dan ingin lebih dekat kepadanya. Lalu Hu Rong membawa kan air dan makanan untuk Zian dan ayahnya yang berada di depan rumah.
Han Zian melatih dirinya dari halaman rumah ke sungai, berjarak 1 Kilo meter. Tanpa ada rasa letih yang membuatnya lelah. Hari masuk waktu sore, seperti biasa sang tabib kembali mencari kayu bakar untuk persiapan nanti malam. Sedangkan Zian beristirahat di halaman rumah sambil melihat pemandangan indah desa. Hu Rong menghampirinya dan bicara kepada Zian, sambil menikmati pemandangan diwaktu senja, sampai malam tiba.
Hari berganti, pagi pun tiba, seperti biasa desa Jiang Hu memperlihatkan pemandangan yang kontras dan kesejukannya yang menyelimuti desa seperti di musim dingin.
Zian kembali melakukan rutinitas dengan menempa air dari sungai ke halaman rumah. Namun, karena sudah sekian lama ia melatih fisik, sang tabib merasa Zian sudah cukup latihan fisik. Ia menyuruh Zian dan Hu Rong pergi ke pasar, ingin melihat pergerakan Zian dan ingin melihat kekuatan Naga Putih yang ada didalam tubuhnya. Apakah kekuatan itu bisa dipergunakan kapan saja atau hanya waktu tertentu saja.
Setelah Zian Dan Hu Rong sampai di pasar mereka mulai memasuki pasar Jiang Hu. Hu Rong membeli es khas desa, yang sedang disukai dari kalangan pemuda pemudi desa. Pasar terlihat ramai pedagang dan pembeli. Setalah sudah hampir selesai belanja di pasar, tiba-tiba Hu Rong dikagetkan oleh pengemis bertubuh kekar menyenggol tubuhnya dan ia mengambil dompet wanita cantik itu dari sakunya. Zian sontak kaget melihatnya, beruntung mata Zian melihat tangan pengemis itu bergerak menuju saku Hu Rong. Zian bergerak cepat menangkap tangannya dan pelintir tangan pengemis itu. Tak disangka pengemis itu melawan dengan jurus yang cukup bagus, Hu Rong kawatir dengan Zian, wajah nya terlihat gelisah. Namun, Zian berhasil menaklukan pengemis itu dengan gerakan cepat yang membuat pencuri tersebut bingung dan membuatnya jatuh.
Keramaian pasar langsung teralihkan oleh insiden tersebut. Saat Zian mengambil kembali dompet dari tangan pencuri, tetapi tanpa diduga si pencuri menendang tubuhnya dengan keras. Pencuri tersebut tidak ingin menyerah, segera mengeluarkan jurus bela diri yang cukup memukau lalu mencoba menyerang Zian.
Dengan sigap, Zian melawan menggunakan gerakan yang membuat orang-orang di pasar terbelalak, takjub melihat kecepatan mengelak dan pukulan yang hanya sedikit tetapi mampu melumpuhkan sang pencuri. Lalu zian dan Hu Rong pergi meninggalkan pasar karena selesai belanja. Dengan keindahan jurusnya yang tidak biasa, penduduk desa dan para pedagang segera mengira-ngira siapa sosok pemuda yang tampak sakti tersebut.
Dari sudut yang tidak jauh di keramaian pasar itu, Tabib Cii yang menyamar sebagai kakek tua dengan tongkat, tersenyum tipis. Ia bergumam dalam hati, "Aku melihat bayangan putih yang membuat gerakan Han Zian secepat kilat. Ternyata kekuatan Naga Putih mulai bereaksi di tubuhnya."
Ketika pencuri tersebut hendak dipukuli oleh kerumunan massa, Tabib Cii menghampiri dan menyelamatkannya. Dengan tenang, ia meminta kerumunan untuk membubarkan diri.
Sementara itu, Hu Rong dan Han Zian menuju pulang kerumah. Untuk memasak dan menyajikan makanannya di meja makan.
Tabib Cii segera pulang lebih dulu agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dengan cepat ia bejalan sampai ke rumahnya. Kini ia sedang menyiram bunga di halaman ketika mereka datang. "Cukup lama kalian di pasar," katanya dengan nada pura-pura marah.
Wanita desa dengan bibir yang tipis itu, menjelaskan kejadian di pasar kepada ayahnya, memuji kecepatan Han Zian dalam menangkap pencuri.
Wajah yang terlihat tua berpura-pura kaget, dengan lembut ia bertanya, "Apakah benar yang dikatakan anakku?"
"A ...aku merasa seperti ada yang membantuku bergerak cepat," jawab Zian dengan terbata-bata.
Tabib Cii tersenyum bijak. "Kekuatan Nga Putih dalam tubuhmu mulai bangkit setelah kau meminum air dari kolam dan berlatih kemarin. Kekuatan itu akan membantumu dalam keadaan apa pun."
Han Zian terdiam sejenak, mencoba memahami ucapan sang tabib barusan. "Apakah artinya aku bisa menggunakan kekuatan ini kapan saja, Paman?" tanyanya ragu tetapi penuh harap.
"Benar," jawab sang tabib seraya mengangguk dan tersenyum tipis. "Namun, ingatlah, kekuatan itu bukan hanya untuk melindungi dirimu. Naga Putih adalah lambang kehormatan dan tanggung jawab. Gunakan dengan bijak, jangan terlena oleh kekuatan pada dirimu. Karena kekuatan sejati bukanlah untuk nafsu, melainkan untuk tujuan yang benar."
Han Zian menarik napas dalam-dalam, merasa beban sekaligus kekuatan baru di dalam dirinya. Ia mengepalkan tangan dan berkata dengan tekad, "Aku akan menggunakannya untuk tujuan yang benar. Aku tidak akan menyia-nyiakan kekuatan ini!"
Bibir Sang tabib tersenyum puas. "Baiklah, lanjutkan pekerjaan kalian untuk mengisi meja makan, aku sudah lapar."
Hu Rong dan Zian mengangguk serempak, lalu bergegas ke dapur. Tabib Cii merasa lega dengan suasana seperti ini. Ia memandang sawah yang terbentang luas dan diapit oleh gunung, yang diterangi sinar matahari. Matanya berkaca-kaca, pikirannya melayang kepada guru Gun Yoga.
Sang tabib tertegun sejenak. "Aku akan selalu mengingatmu, dalam senang maupun tenang, dalam duka maupun luka. Kau adalah sosok yang mewarnai hidupku, aku bangga menjadi muridmu. Walau kini kepahlawananmu hanya tinggal cerita, tetapi aku yakin, akan ada jalan kembalikan kepahlawananmu yang melegenda, situ saat nanti." katanya dalam hati.
Kepalanya mendongak ke langit yang cerah. Walau perih mengingat kisah guru tercinta, menerima perilaku yang tidak bisa diterima secara logika. Lalu ia tak bisa membendung lagi air matanya, yang jatuh ketanah. Anak dan ayah yang baik hati harus menanggung beban yang begitu memilukan.
"Ayah, makanan sudah siap," seru Hu Rong dari arah dapur, membuyarkan lamunannya.
"Ya, aku segera menyusul," jawab Tabib Cii yang kaget kehadiran Hu Rong, sambil menyeka air matanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!