NovelToon NovelToon

Berondong Itu Adik Tiriku

Bertemu Kembali Di Pernikahan Ayah

Veltika Chiara Andung adalah seorang wanita muda dengan karier gemilang di dunia kreatif. Di usianya yang ke-27, ia telah menorehkan namanya sebagai salah satu desainer interior terbaik di kotanya. Veltika adalah perpaduan sempurna antara ambisi dan keanggunan. Rambut hitam panjangnya selalu tertata rapi, menjadi ciri khas yang mencerminkan disiplin hidupnya. Namun di balik kesuksesannya, ada luka masa lalu yang tak pernah benar-benar sembuh.

Veltika tumbuh sebagai anak tunggal dalam keluarga yang dulu harmonis. Setelah ibunya meninggal saat ia berusia belasan tahun, hubungan dengan sang ayah, Andung Bramanta, menjadi tumpuan utamanya. Ayahnya selalu menjadi sosok pelindung, sekaligus tempat ia bersandar. Namun, hubungan mereka mulai renggang ketika Andung mendadak memutuskan untuk menikah lagi. Pernikahan ini datang seperti badai di tengah laut tenang, membawa perempuan yang hampir tak dikenal Veltika masuk ke dalam hidup mereka.

Pernikahan ayah Veltika, Andung Bramanta, berlangsung di sebuah ballroom megah yang dihiasi dengan nuansa emas dan putih. Lampu kristal raksasa menggantung di langit-langit, memancarkan cahaya lembut yang memantulkan kemewahan di seluruh ruangan. Deretan meja dengan taplak satin putih dan bunga mawar putih menghiasi setiap sudut, menambah kesan elegan. Di tengah ruangan, terdapat panggung besar dengan dekorasi menyerupai taman impian, lengkap dengan lengkungan bunga dan lilin-lilin yang menyala temaram.

Para tamu yang hadir mengenakan pakaian formal terbaik mereka, bercengkerama di bawah alunan musik orkestra yang mengiringi suasana. Makanan mewah tersaji di meja prasmanan, mulai dari hidangan khas lokal hingga makanan internasional yang disiapkan oleh chef ternama. Pelayan-pelayan berseragam hitam putih berjalan sigap melayani para tamu, memastikan semua orang merasa istimewa.

Di tengah keramaian, Veltika berdiri di salah satu sudut ruangan, mengenakan gaun hitam sederhana namun memukau. Matanya mengikuti setiap langkah ayahnya yang tampak gagah dengan setelan jas hitam, berjalan mendampingi wanita yang kini menjadi istri barunya. Senyuman Andung terlihat begitu bahagia, tetapi hati Veltika justru dipenuhi kebimbangan. Ia mencoba menenangkan dirinya, namun pikirannya terus melayang pada perubahan besar yang terjadi dalam hidupnya.

Saat pasangan pengantin menaiki panggung untuk menyampaikan ucapan terima kasih, Veltika mendengar tepuk tangan riuh dari para tamu. Namun, semuanya seakan terhenti ketika ia melihat seorang pria muda muncul dari kerumunan, berjalan mendekat ke arah panggung. Pria itu tampak mengenakan jas abu-abu, dengan tatapan mata yang begitu familier. Denis Irwin Jatmiko. Tubuh Veltika menegang seketika. Dalam sekejap, semua kenangan masa lalu kembali menyeruak, membanjiri pikirannya di tengah suasana pesta yang megah.

Veltika memejamkan mata, berusaha mengusir bayangan itu, namun justru semakin jelas kenangan itu menyeruak ke permukaan. Ia teringat malam di mana dirinya terjebak dalam pesona Denis Irwin Jatmiko. Malam itu begitu nyata—aroma parfum pria itu masih terbayang, hangatnya sentuhan tangan Denis di punggungnya, dan suara baritonnya yang memanggil namanya dengan lembut.

Mereka bertemu di sebuah pesta teman, keduanya asing di tengah keramaian. Awalnya hanya obrolan ringan yang tak disengaja, tetapi tatapan Denis, tajam namun hangat, membuat Veltika tak mampu berpaling. Waktu seakan melambat ketika Denis mengulurkan tangan, mengajaknya berdansa di bawah lampu temaram. Tanpa ia sadari, ia menyerahkan dirinya pada momen itu, tenggelam dalam kenyamanan yang Denis tawarkan.

Malam itu berakhir dengan kebersamaan yang tak terduga. Denis membawanya ke tempat yang sunyi, hanya mereka berdua, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar. Ia ingat bagaimana Denis membisikkan kata-kata lembut di telinganya, menenangkannya, membuatnya merasa istimewa. Tak ada satu pun saat itu yang terasa salah. Malam itu hanya tentang mereka—dua jiwa yang saling tertarik, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi keesokan harinya.

Namun, kini kenangan itu menjadi beban. Lelaki yang pernah membuainya dengan kehangatan kini berdiri di hadapannya, tidak lagi sebagai seorang asing, tetapi sebagai adik tirinya. Veltika merasakan rasa malu, amarah, dan kebingungan berbaur menjadi satu. Apakah Denis juga mengingat malam itu? Atau bagi Denis, malam itu hanyalah cerita singkat yang tak berarti? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui benaknya, membuatnya sulit berpikir jernih.

"Vel, kenalkan ini putraku satu-satunya, Denis," suara lembut namun penuh wibawa dari Caroline, istri baru ayahnya, memecah suasana di ruang tamu mewah itu. Veltika yang sedang sibuk menyesap teh hangatnya, nyaris tersedak mendengar nama itu. Ia menoleh perlahan, dan saat pandangannya bertemu dengan pria yang berdiri di samping Caroline, jantungnya berdegup kencang.

Denis Irwin Jatmiko.

Pria itu berdiri dengan tenang, mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengan, memberi kesan santai namun tetap memikat. Tatapannya dingin namun tajam, bibirnya melengkungkan senyum tipis, seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Tapi Veltika tahu, ia tidak mungkin salah. Itu dia—pria yang pernah membuatnya lupa akan segalanya, pria yang pernah memeluknya begitu erat di malam yang tak terlupakan itu.

"Senang bertemu denganmu, Kak Veltika," ucap Denis dengan nada tenang, tangan kanannya terulur ke arahnya.

Tubuh Veltika kaku, namun ia berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Bibirnya membentuk senyuman yang dipaksakan, dan dengan sedikit ragu, ia menerima uluran tangan itu. Sentuhan Denis mengirimkan gelombang memori yang membuat kepalanya berputar. Ia mencoba membaca ekspresi Denis, mencari tahu apakah pria itu sengaja menyembunyikan sesuatu, tapi Denis tetap tenang—terlalu tenang.

"Halo, Denis. Selamat datang di keluargaku," jawab Veltika akhirnya, suaranya sedikit bergetar.

Denis hanya tersenyum kecil, tapi matanya berbicara lebih banyak daripada bibirnya. Dalam tatapan itu, Veltika tahu Denis tidak melupakan apapun. Malam itu masih hidup di antara mereka, meski keduanya sekarang berada dalam situasi yang jauh lebih rumit dan mustahil.

"Maaf ya, waktu perkenalan Denis dulu, dia lagi di Singapura, jadi baru bisa bertemu sekarang," tambah Ibu Caroline dengan nada ceria, seolah suasana canggung yang melingkupi ruang tamu itu tak pernah ada. Wanita paruh baya itu tampak sangat bahagia, jemarinya menggenggam lengan Denis dengan bangga, seperti ingin menunjukkan kepada dunia bahwa putranya adalah kebanggaannya.

Veltika berusaha keras mempertahankan ekspresinya tetap tenang, meskipun di dalam dirinya, badai emosi sedang bergemuruh. Ia menyesap teh di tangannya dengan perlahan, mencari celah untuk menghindari kontak mata lebih lama dengan Denis. Namun, Denis tampak santai. Bahkan, ada kilatan kecil di matanya yang membuat Veltika semakin gugup.

"Ah, begitu ya," sahut Veltika akhirnya, mencoba tersenyum. "Kedengarannya seru ya, tinggal di Singapura."

"Memang seru," Denis menjawab dengan nada ringan, mengangkat bahunya sedikit. "Tapi di sana terlalu sibuk, jadi pulang ke sini rasanya lebih... menenangkan."

Setiap kata yang keluar dari mulut Denis seolah memiliki makna tersembunyi, dan Veltika bisa merasakannya. Caroline melanjutkan pembicaraan, menjelaskan betapa bangganya ia pada Denis yang sukses dengan kariernya di luar negeri. Tapi bagi Veltika, suara Caroline seperti menjadi latar belakang samar-samar, tidak mampu mengusir pikiran-pikiran yang terus berputar di kepalanya.

Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap. Kenangan malam itu dan kenyataan hari ini saling berbenturan, menciptakan rasa canggung yang tidak bisa ia jelaskan. Dan setiap kali Denis meliriknya, senyum kecil di sudut bibirnya seolah menjadi pengingat bahwa ada rahasia besar di antara mereka, rahasia yang tak boleh sampai terungkap di depan keluarga mereka

Awal Pertemuan

Veltika merasa dadanya sesak. Dunia seperti mempermainkannya. Tak pernah ia sangka, pria muda yang pernah ia buai dalam momen penuh gairah dan kebebasan, kini berdiri di hadapannya dengan gelar yang tak terbayangkan—adik tirinya.

Malam itu seolah kembali berputar di benaknya. Dia ingat betapa santainya saat itu, membuang semua beban dengan segelas martini di tangan, membiarkan dirinya larut dalam tatapan pria muda dengan pesona yang begitu menggoda. "Sekali saja," gumamnya waktu itu, menepis pikiran-pikiran moral dan memanjakan dirinya dalam kebebasan sesaat. Namun kini, pria itu bukan lagi sekadar kenangan atau masa lalu yang bisa ia simpan rapat-rapat. Denis Irwin Jatmiko, lelaki yang pernah ia ajak menghabiskan malam penuh rahasia, kini adalah bagian dari keluarganya.

Matanya mengamati Denis yang berdiri santai di samping Caroline, mengenakan kemeja putih bersih yang digulung di lengan, memperlihatkan sikapnya yang penuh percaya diri. Senyuman tipis di bibir pria itu terasa seperti ejekan, seolah ia tahu betul betapa sulitnya posisi Veltika saat ini. Tapi Denis hanya menatapnya sekilas, seperti seorang asing yang baru pertama kali berkenalan.

"Aku tidak mungkin salah," pikir Veltika. Ia mengenali setiap garis di wajah itu, setiap nada dalam suara Denis. Namun, di saat yang sama, ia bertanya-tanya. Apakah Denis juga mengingatnya? Atau bagi Denis, malam itu hanyalah bagian dari rutinitas kehidupan mudanya yang liar?

Veltika yang tengah berdiri di sudut ruangan, berusaha menenangkan pikirannya dengan segelas wine, terhenyak saat Denis tiba-tiba muncul di sampingnya. Tanpa permisi, pria itu mengambil gelas dari tangannya dan menyesapnya perlahan. Matanya yang gelap menatap Veltika dengan intens, membuat wanita itu merasakan gelombang panas menjalar di tengkuknya.

"Aku masih merindukan dirimu yang saat itu, Kak Vel," bisiknya lembut, hampir seperti rahasia yang hanya ingin dibagi berdua. Suaranya rendah, tetapi cukup untuk membuat tubuh Veltika membeku di tempat.

Pernyataan itu seperti cambukan keras di benaknya. Ia menatap Denis dengan sorot mata yang berusaha mencari kepastian, apakah ini sekadar gurauan, ataukah pria muda itu benar-benar ingin mengungkit malam yang seharusnya terkubur dalam ingatan mereka masing-masing?

"Denis," desis Veltika pelan, berusaha terdengar tenang meski suaranya sedikit bergetar, "berhentilah bermain-main."

Denis hanya tersenyum tipis, senyum yang begitu menyebalkan, seolah ia menikmati melihat Veltika kehilangan kendali. "Siapa yang bermain-main, Kak? Aku serius." Ia menaruh gelas kosong di meja terdekat dan mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Veltika, cukup dekat hingga ia bisa merasakan aroma parfumnya yang familiar.

"Apa kamu ingat bagaimana kamu menatapku malam itu? Bagaimana kamu membisikkan—"

"Berhenti," potong Veltika tegas, suaranya kini lebih keras. Ia melangkah mundur, mencoba menjaga jarak. "Jangan membawa itu ke sini, Denis. Ini sudah cukup rumit."

Namun, Denis hanya menatapnya dengan senyum yang tak berubah, tatapan penuh teka-teki yang membuat Veltika tidak tahu apa yang sebenarnya pria itu inginkan darinya. "Hidup memang rumit, Kak Vel," katanya santai. "Tapi aku tidak pernah menyesali malam itu. Bagaimana denganmu?"

Veltika mengalihkan pandangannya, tidak sanggup menjawab. Perasaan bersalah, amarah, dan sesuatu yang lain, sesuatu yang tak ingin ia akui, bercampur aduk di dadanya. Ia mengepalkan tangan, mencoba menahan gejolak yang hampir tumpah.

"Aku tidak mau membahas ini lagi," ujarnya akhirnya, dengan suara yang dingin. Tanpa menunggu jawaban Denis, Veltika berbalik dan meninggalkan ruangan itu. Tapi di balik ketegasannya, hatinya tetap bergetar. Kata-kata Denis terus terngiang di kepalanya.

Dan jauh di dalam hatinya, Veltika tahu, ia pun masih mengingat malam itu malam yang kini menjadi bayangan gelap di setiap langkahnya.

Saat berjalan keluar dari ruangan, Veltika tidak bisa mengabaikan ingatan yang tiba-tiba menyerbu benaknya. Malam itu, Denis membelainya dengan lembut, begitu penuh perhatian, seolah-olah ia adalah sesuatu yang sangat berharga. Tangannya yang hangat menyentuh pipinya, menyusuri rambut hitam panjangnya dengan gerakan perlahan.

"Aku ingin kamu tahu, Vel... aku tidak akan melupakan ini," suara Denis terdengar di telinganya, rendah dan sarat emosi. Kata-katanya saat itu seperti janji yang tidak pernah diucapkan dengan lantang, namun sangat jelas terasa di hati mereka berdua.

Ia ingat bagaimana ia membiarkan dirinya larut dalam momen itu, menyerahkan semuanya tanpa berpikir tentang apa yang akan terjadi esok hari. Saat itu, ia hanya seorang wanita yang haus akan perhatian dan kehangatan, tanpa peduli konsekuensinya.

Namun kini, kenangan itu menjadi racun yang menggerogoti ketenangannya. Setiap detail malam itu, tatapan Denis yang dalam, sentuhan jemarinya di sepanjang leher Veltika, dan aroma tubuhnya yang memabukkan, terus menghantui, menyeretnya kembali ke masa lalu yang tak bisa ia ubah.

Ia meremas kedua tangannya, mencoba menahan perasaan yang terus bergulir tanpa kendali. Hatinya berteriak ingin melupakan, tetapi tubuhnya tetap merasakan bekas sentuhan itu, seolah-olah Denis masih ada di sana, membelainya dengan kasih sayang yang tak pernah ia duga.

Di tengah lorong yang sepi, Veltika berhenti, menutup matanya, dan menarik napas panjang. Ia harus menguatkan dirinya. Denis sekarang adalah adik tirinya—itu adalah kenyataan yang tak bisa dihindari. Tetapi, di lubuk hati terdalamnya, ia tahu bahwa dirinya masih belum bisa sepenuhnya melepaskan kenangan malam itu.

Veltika mempercepat langkahnya, hampir berlari menuju toilet. Pikirannya kacau, hatinya berdegup kencang tak keruan. Begitu sampai di dalam, ia langsung menuju wastafel, memutar keran dengan cepat. Air dingin mengalir deras, memenuhi cekungan wastafel. Dengan kedua tangannya yang gemetar, ia menciduk air itu dan membasuh wajahnya berkali-kali.

Namun, itu tidak cukup. Rasa sesak di dadanya tidak mereda. Ia menutup keran dan menatap bayangannya di cermin. Matanya memerah, rambut hitam panjangnya sedikit berantakan, tetapi yang paling menyakitkan adalah ekspresi di wajahnya, penuh keterkejutan dan ketakutan.

Ia memutuskan untuk menunduk, membenamkan wajahnya ke dalam air yang masih memenuhi wastafel. Kesegaran air itu menjalar ke seluruh tubuhnya, sejenak membuatnya lupa akan kekacauan di pikirannya.

“Kenapa harus dia...?” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam di antara suara air yang beriak.

Ingatan Denis, tatapannya, senyum kecil yang tadi dilemparkan dengan begitu santai, dan bisikan yang ia lontarkan begitu saja—semuanya kembali menghantam dirinya seperti gelombang pasang. Malam itu, sentuhan Denis, kehangatannya, dan bagaimana mereka saling terhubung... semua terasa begitu nyata, begitu hidup, bahkan hingga kini.

Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Tetapi percuma, perasaan itu terlalu kuat, dan air matanya akhirnya jatuh, bercampur dengan air dingin yang mengalir dari wajahnya. “Kenapa harus seperti ini?” tanyanya lagi, kali ini lebih tegas, lebih penuh emosi.

Namun, tidak ada jawaban. Yang ada hanyalah bayangannya di cermin yang kembali menatapnya, mencerminkan kerumitan hati yang tak bisa ia ungkapkan pada siapa pun.

Tinggal seatap

Malam telah larut, dan pesta pernikahan yang mewah itu mulai sepi. Para tamu perlahan-lahan meninggalkan ballroom, membawa serta pujian dan doa untuk pasangan baru. Di sudut ruangan, Veltika berdiri dengan mata yang lelah, menatap jalan masuk tempat mobil-mobil tamu berjajar menunggu. Ia hanya ingin segera pulang dan mengistirahatkan pikirannya yang sudah penuh dengan berbagai emosi.

"Vel, pulang sama Denis, ya. Dia kan belum tahu arah rumah kita," ujar ayahnya dengan nada tegas namun tetap lembut.

Veltika terdiam sejenak, matanya melirik ke arah Denis yang berdiri tidak jauh darinya. Pria itu tampak santai dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana, sesekali berbicara dengan supir yang akan mengantar mereka.

"Baik, Ayah," jawab Veltika akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.

Di dalam mobil, Veltika duduk di kursi belakang, tepat di samping Denis. Sang supir di depan sibuk memastikan semua siap sebelum perjalanan dimulai. Suasana di dalam mobil terasa berat, tidak ada percakapan di antara mereka. Hanya suara mesin mobil dan deru AC yang mengisi keheningan.

Veltika mencoba mengalihkan perhatiannya ke luar jendela, memandangi lampu jalan yang berkelap-kelip, namun ketegangan itu tidak bisa ia abaikan. Ia tahu Denis ada di sampingnya, dan meskipun pria itu tidak mengatakan apa pun, keberadaannya cukup untuk membuat Veltika merasa gelisah.

Tiba-tiba, tanpa peringatan, Denis mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Veltika yang berada di pangkuannya. Genggaman itu hangat dan kuat, memancarkan keberanian yang tidak diharapkan Veltika.

"Kamu masih sama seperti yang dulu," bisik Denis pelan, nyaris tidak terdengar di tengah dengung mobil.

Veltika menoleh, kaget dengan tindakannya. Matanya bertemu dengan tatapan Denis, tatapan yang penuh dengan kenangan lama. Ia ingin menarik tangannya, ingin melepaskan diri dari momen yang semakin menjerat perasaannya, tapi tubuhnya seakan membeku.

"Berhenti, Denis," ujar Veltika akhirnya, suaranya sedikit bergetar. Namun, Denis hanya tersenyum kecil, seolah tidak peduli dengan peringatan itu.

"Aku tidak bisa berhenti, Kak Vel. Kamu tahu itu," jawabnya, masih dengan nada rendah, namun ada keteguhan di balik kata-katanya.

Veltika menggigit bibir, mencoba mengendalikan emosi yang berkecamuk dalam dirinya. Tangannya tetap dalam genggaman Denis, meskipun pikirannya berteriak untuk melepaskannya. Malam itu, perjalanan pulang terasa seperti perjalanan menuju masa lalu yang penuh dengan perasaan yang tidak pernah tuntas.

***

Sesampainya di rumah, Veltika tidak ingin berlama-lama berada di dekat Denis. Begitu mobil berhenti di depan pintu utama, ia segera turun tanpa menunggu apa pun. Ayahnya dan Caroline sudah masuk lebih dulu, dan suasana rumah terasa senyap, hanya terdengar langkah kaki mereka yang melewati lantai marmer.

Denis berjalan perlahan di belakangnya, seperti sedang menikmati pemandangan rumah baru yang kini menjadi tempat tinggalnya. Namun, Veltika tidak memberinya waktu untuk berbicara atau bahkan bertanya. Ia langsung bergegas menuju tangga, melewati ruang tamu tanpa menoleh.

"Kak Vel, tunggu sebentar," panggil Denis.

Veltika mengabaikannya, langkahnya semakin cepat. Ia tidak peduli bagaimana Denis akan menemukan kamarnya sendiri, atau apakah pria itu akan tersesat di rumah yang besar ini. Pikirannya hanya dipenuhi oleh satu hal: menjauh darinya secepat mungkin.

Begitu sampai di depan pintu kamarnya, ia segera masuk dan menutup pintu dengan keras, menguncinya tanpa ragu. Napasnya memburu, dan ia menyandarkan punggungnya ke pintu kayu yang dingin.

"Apa yang sebenarnya dia inginkan dariku?" gumamnya, setengah berbisik.

Ia mencoba menenangkan diri, namun bayangan Denis yang menggenggam tangannya di mobil terus menghantui pikirannya. Tatapan pria itu, cara bicaranya, semuanya membawa Veltika kembali pada malam yang ingin ia lupakan.

Di luar kamar, Denis berdiri di tengah lorong, menatap pintu yang baru saja tertutup. Ia tersenyum kecil, menaruh tasnya di lantai, dan bergumam pelan, "Kamu mungkin bisa lari sekarang, Kak Vel, tapi tidak untuk selamanya."

Ia melangkah perlahan, mencari tahu sendiri di mana kamarnya. Mungkin tidak ada yang memberitahunya, tapi ia tahu, malam ini hanyalah awal dari pertemuan yang lebih panjang.

"Tuan Denis," suara lembut namun tegas milik seorang wanita paruh baya memecah keheningan lorong. Wanita itu mengenakan seragam rapi, membawa secangkir teh di nampan, dan berjalan mendekat dengan langkah anggun. "Saya pembantu di rumah ini, nama saya Bu Sri. Kalau butuh sesuatu, tolong beri tahu saya," ucapnya dengan sopan.

Denis menoleh, menganggukkan kepala sambil melemparkan senyum ramah. "Terima kasih, Bu Sri. Tapi sepertinya saya sedikit tersesat. Bisa bantu tunjukkan di mana kamar saya?"

Bu Sri tersenyum kecil, seolah sudah memahami situasinya. "Ah, maaf, Tuan Denis. Sepertinya Nona Veltika lupa memberitahu di mana kamarnya. Mari, saya antar ke kamar yang sudah disiapkan untuk Tuan," katanya sambil mempersilakan Denis mengikuti langkahnya.

Denis membawa tasnya dan berjalan di belakang Bu Sri, matanya sesekali menyapu sekeliling lorong yang dipenuhi dekorasi modern namun tetap terasa hangat. "Rumah ini besar sekali," komentarnya ringan.

"Benar, rumah ini memang luas, Tuan," jawab Bu Sri tanpa menoleh. "Tapi jangan khawatir, lama-lama Tuan akan terbiasa."

Mereka sampai di depan sebuah pintu kayu dengan ukiran sederhana. Bu Sri membuka pintu itu dengan lembut dan menyalakan lampu kamar. Di dalam, terlihat ruangan yang nyaman dengan tempat tidur besar, meja kerja, dan jendela besar yang menghadap taman belakang.

"Ini kamar Tuan. Jika ada yang kurang, silakan beri tahu saya," kata Bu Sri sebelum meletakkan teh di meja kecil di samping tempat tidur.

Denis melirik kamar itu, kemudian tersenyum pada Bu Sri. "Terima kasih, Bu Sri. Saya rasa ini sudah lebih dari cukup."

"Baik, kalau begitu saya permisi," Bu Sri sedikit membungkuk sebelum meninggalkan ruangan, menutup pintu dengan pelan.

Denis menaruh tasnya di sudut kamar, duduk di tepi tempat tidur, dan menghela napas. Namun, senyum tipis kembali muncul di wajahnya. Pikirannya masih tertuju pada Veltika, pada cara wanita itu menghindarinya sepanjang malam ini.

"Kak Vel..." Denis bergumam, memandang ke arah jendela. "Sepertinya aku harus berusaha lebih keras untuk membuatmu berhenti lari dariku."

***

Veltika membolak-balikkan tubuhnya di atas ranjang, mencoba mencari posisi tidur yang nyaman, namun matanya tetap terbuka. Pikiran-pikirannya berputar, membawa dirinya kembali ke masa dua tahun yang lalu—momen pertama kali dia bertemu Denis.

#Dua Tahun Lalu#

Udara malam di sebuah lounge hotel mewah dipenuhi dengan aroma parfum mahal dan suara denting gelas yang beradu. Veltika duduk sendirian di sudut ruangan, mengenakan gaun hitam elegan yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Dia baru saja selesai menghadiri sebuah acara kerja dan memutuskan untuk bersantai sejenak, mengusir lelah dengan segelas martini di tangan.

Saat itu, dia tidak mengira bahwa pandangan matanya akan bertemu dengan sepasang mata cokelat yang begitu tajam namun penuh pesona. Denis, yang saat itu tampak seperti pria muda penuh percaya diri, berjalan mendekat dengan senyum tipis yang memancarkan keberanian.

"Sendirian di tempat seperti ini? Bukankah itu terlalu berisiko untuk wanita cantik seperti Anda?" katanya dengan nada rendah, hampir seperti berbisik.

Veltika, yang biasanya tak tertarik pada pria muda, mendapati dirinya tertarik pada aura misterius Denis. "Risiko adalah bagian dari hidup," jawabnya ringan, mencoba mengalihkan perhatian, namun tidak bisa menghindari tatapan Denis yang memaku dirinya.

Percakapan mereka mengalir begitu saja malam itu. Denis dengan cerdas dan humoris, sementara Veltika merasa seakan dia bisa melupakan segala beban hidupnya untuk sesaat. Sampai akhirnya, obrolan ringan berubah menjadi tatapan yang lebih dalam, tawa kecil berganti dengan keheningan yang sarat makna.

Tatapan mata Denis terus tertuju pada bibir merah muda milik Veltika, Denis menyukai cara Veltika menceritakan semua ke gundahan di hatinya. sampai Denis mendaratkan kecupan pada bibir Veltika. Ini pertama kalinya dalam hidup Veltika, sesuatu yang membuat jantungnya berdebar kencang. keduanya saling berpandangan, terbawa hawa nafsu yang menelisik masuk kesanubari. keduanya bergelut dalam ciuman yang hangat.

Malam itu, Veltika melakukan hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Mereka meninggalkan lounge bersama, melangkah ke kamar hotel yang menjadi saksi bisu dari malam penuh hasrat. Denis yang saat itu tampak seperti pria asing yang mempesona, mengisi malam Veltika dengan sentuhan lembut namun penuh gairah.

Namun, keesokan paginya, semua berubah menjadi kebingungan. Veltika bangun dan menyadari betapa gegabah keputusannya malam itu. Ia meninggalkan Denis tanpa sepatah kata, merasa bahwa itu hanyalah kesalahan yang tak boleh terulang.

#Kembali ke Masa Kini#

Di atas ranjangnya, Veltika menggigit bibirnya, mengingat setiap detail pertemuan mereka. Kini, pria yang pernah ia tinggalkan tanpa pamit itu ada di rumahnya—sebagai adik tirinya.

“Denis…” gumamnya pelan, merasa dadanya sesak. Pikirannya bercampur antara rasa bersalah, penyesalan, dan kebingungan yang tak kunjung hilang.

Veltika menghela napas panjang, menutup matanya dengan paksa, berharap bisa mengusir bayangan itu. Namun, rasa canggung dan rahasia yang mereka simpan bersama terus menghantui pikirannya. Malam terasa semakin panjang, dan tidur tetap tak kunjung datang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!