Terimakasih sudah mampir di karya otor yang pertama.
Maaf sebelumnya jika masih banyak kekurangan, otornya masih baru soalnya. 🙏🙏🙏
Happy reading.
"Baik, kita sepakat untuk menyetujui pernikahan ini dan setelah satu tahun pernikahan, kita akan sepakat untuk bercerai." Satu tanganku terulur untuk mengukuhkan kesepakatan dengan pria yang dijodohkan denganku. Aku, Andara Mayra Argoe soseno, anak kedua dari seorang pengusaha terkenal Argoe soeseno. Aku masih seorang mahasiswi semester akhir yang terpaksa harus menerima perjodohan demi kebahagiaan orang tuaku.
"Oke. Deal." Dengan mata elangnya dia menatapku seraya mengulurkan tangannya membalas uluran tanganku.
Barata Yudha Dirga Wijaya. Anak tunggal dari seorang konglomerat sekaligus pengusaha terpandang di indonesia. Siapa yang tak kenal keluarga Wijaya. Keluarga yang memiliki banyak cabang bisnis dari mulai property, konstruksi, manufaktur, perhotelan dan masih banyak lagi gurita bisnis keluarga Wijaya, membuat mereka terkenal diseluruh indonesia. Meski bukan satu-satnya pewaris dari keluarga Wijaya, namun Bara sudah menjadi seorang CEO yang cukup disegani oleh para pengusaha karena kepiawaiannya dalam berbisnis. Mungkin itu menjadi salah satu alasan papa menjodohkanku dengannya.
Awalnya kami menentang perjodohan ini, selain aku yang masih kuliah, mas Bara juga mengaku kalau ia sudah memiliki kekasih, sayang kedua orang tuanya tak merestui hubungan mereka karena kekasih Bara bukan dari keluarga yang setara. Yeah aku mengerti, keluarga kelas atas seperti kami memang begitu. Tak bisa sembarangan dalam menentukan pilihan.
Mas Bara pernah menolak, namun om Dirga mengancam akan mengambil seluruh fasilitas mas Bara dan akan mencoretnya dari dalam kartu keluarga jika ia masih berhubungan dengan kekasihnya itu. Tentunya sebagai anak tunggal mas Bara merasa itu tak adil, makannya ia mencoba bernegosiasi denganku. Dan memintaku untuk menerima perjodohan ini demi menutupi hubungan dia dengan kekasihnya. Dan untung saja aku juga tak berharap banyak akan pejodohan ini. Dari awal aku memang menerima pejodohan ini hanya karena demi baktiku pada orang tuaku.
Tapi dengan mengetahui kenyataan yang seperti itu tentu akan sangat menguntungkan bagiku. Selain aku yang masih kuliah, aku juga ingin berkarir. Dan tentunya aku juga sudah memiliki seseorang yang menjadi pemilik hatiku selama ini.
Aku dan mas Bara kembali masuk kedalam ruangan keluarga, dimana papa mama dan papa mama mas Bara sedang berbincang.
"Bagaimana?" Om Dirga menanyakan kesiapan kami untuk melaksanakan pernikahan bulan depan.
"Kami siap pah. Lebih cepat lebih baik." Mas Bara menjawabnya dengan cepat. Wajahnya nampak dingin dan datar tanpa ekspresi membuatku hanya diam menatapnya.
"Baiklah, kalau begitu bagaimana kalau minggu depan saja?" Mata seketika membola saat papa malah mengusulkan minggu depan. Meski sudah bernego aku rasa jika secepat itu aku belum siap.
"Pah." Aku hendak protes, namun antusias semua orang membuatku tak bisa apa-apa.
"Ahh ya benar. Minggu depan saja. Aku sudah tidak sabar ingin menggendong cucu." Aku terduduk lesu mendengar perbincangan keempat orang tua itu. Mereka begitu antusias membicarakan pernikahanku dengan mas Bara. Sementara mas Bara, ia hanya diam dan malah sibuk dengan ponselnya.
Dalam satu minggu bukan hal yang sulit bagi keluarga kami untuk menyiapkan pernikahan yang mewah dan meriah. Bahkan aku dan mas Bara tak perlu mengurusi apapun. Dari gaun pengantin sampai cincin pernikahan semuanya sudah disiapkan oleh mama dan mama mertua. Kedua calon besan itu benar benar kompak. Dan andai ini bukan kesepakatan mungkin pernikahan ini akan menjadi pernikahan yang sempurna.
Gaun putih begitu indah membalut tubuhku, gaun panjang menjuntai dengan bagian tangan yang tersampir di lengan dan bagian dada juga punggung yang terbuka membuatku terkesan manis dan sexy. ah dadaku kenapa tiba-tiba sesak, mataku pun ikut memanas. Aku memejamkan mata menguatkan diriku. Ayolah May, hanya satu tahun. Setelah itu kamu bebas menikah dengan pria yang kamu inginkan.
Mas Bara begitu tampan dan gagah dengan setelan tuxedo hitam yang ia pakai. Semua wanita yang melihatnya pasti akan terpana termasuk aku, namun meski begitu nyatanya itu tak mampu membuat hatiku bergetar.
"SAH." Air mataku jatuh juga saat semua orang mengatakan sah. Kini aku telah resmi menjadi seorang istri dari Barata Yudha. Pernikahan memang sesuatu yang sakral, tak pantas rasanya jika aku dan mas Bara mempermainkannya. Tapi mau bagaimana lagi. Kami terpaksa, karena pernikahan tanpa cinta juga pastinya takkan berakhir baik bukan?
Mas Bara menatapku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan. Kemudian ia mencium keningku pelan. Mataku terpejam merasakan bibir basah mas bara menempel pada keningku.
"Cium cium cium." Mataku terbuka saat semua orang mengatakanan itu. Hello, bukankah barusan mas bara sudah menciumku.
Cup
Tanpa aba-aba mas Bara mencium bibirku. Ah lebih tepatnya menempelkannya sebentar, setelah itu ia kembali menarik dirinya. Aku segera memegangi bibirku yang sudah ternoda olehnya. Ciuman pertamaku.
Setelah melaksanakan ijab qobul kami langsung mengadakan resepsi. Kalian pasti tahu bagaimana capeknya menjadi diriku. Bukan hanya sepuluh dua puluh, atau seratus dua ratus, tapi ribuan tamu undangan yang papa dan papa dirga undang harus kusalami semuanya.
Mobil pengantin membawaku dan mas Bara berhenti disebuah rumah mewah bercat putih di kawasan elit. Aku tahu rumah itu adalah rumah kami, hadiah pernikahan dari papa Dirga untukku dan mas Bara.
Tanpa menunggu mas Bara turun, aku langsung pergi menuju kamar yang sudah kupilih menjadi kamarku.
Aku mengambil beberapa pakaian dari dalam koper milikku yang sudah ada disana. Aku buru-buru ke kamar mandi dan merendam tubuhku didalam bathub. Ahhh segar rasanya. Cukup lama aku berendam membuatku hampir saja ketiduran.
"Mas Bara ngapain disini?" Aku terkejut saat keluar dari dalam kamar mandi ternyata mas Bara sudah ada didalam kamar.
"Ini kan kamar pengantin kita. Berarti ini kamarku juga dong." Mas Bara dengan santainya membuka jas miliknya.
"Enggak ya. Ini kamarku titik. Rumah ini kan besar, mas Bara bisa pilih kamar yang lain yang bisa mas Bara tempati untuk jadi kamar mas Bara."
"Hhh. Malam ini aku harus tidur disini." Didepanku, Mas Bara dengan santainya membuka satu persatu kancing kemeja putih yang ia pakai.
"Enggak enggak. Mas bara keluar sekarang." Tak mau ia membuka bajunya didepanku aku segera mendorong mas Bara keluar.
"May, apa yang sedang kalian lakukan?" Suara papa membuat tubuhku menegang. Aku membalikkan tubuhku dan tenyata orang tua kami sedang duduk santai di ruangan yang berada disebelah kamarku.
"Pa-papa? Kalian kenapa disini?"
"Memang kenapa? Kami hanya ingin memastikan jika kalian tidak ada yang kabur malam ini." Mataku kembali membola mendengar jawaban papa Dirga.
"Kamu ngapain dorong-dorong suamimu kayak gitu?" Papa kembali menatap curiga padaku.
"Mmm."
"Gini loh pah, Mayra bilang dia lapar. Jadi ngajak makan dulu sebelum bertempur, supaya kuat katanya. Iyakan sayang?" Aku mendelik mendengar jawaban mas Bara. Aku hanya menggaruk kepalaku yang tak gatal. Kenapa sih dia harus memberikan alasan yang absurd seperti itu.
"Ooh gitu. Ya udah ayo kita makan."
"Ahha gak jadi deh. Ayo mas kita lanjutin aja." Aku kembali menarik mas Bara masuk.
"Kenapa gak bilang kalau ada orang tua kita?"
"Kamu gak nanya." Mas Bara dengan santainya masuk kedalam kamar mandi.
Ah gimana ini, masa iya kami harus tidur bersama.
Sebaiknya Sebelum ia selesai mandi aku harus tidur duluan.
Kunyalakan pendingin ruangan terlebih dahulu sebelum kubungkus seluruh tubuhku dengan selimut. Meski mungkin ia takkan macam-macam, apa salahnya waspada dan mengantisipasinya kan.
Setelah dirasa aman akupun mulai terlelap.
"Euuugh." Kurenggangkan seluruh tubuhku saat sinar matahari mulai menyelinap masuk kedalam kamar.
Eh dimana ini? Ah aku baru ingat. Eh tunggu semalam aku membungkus tubuhku dengan selimut, lalu kenapa aku bisa merenggangkan tubuhku. Kulihat tempat tidur disebelahku sudah tak ada siapa-siapa. Kemana dia? Ku cek seluruh tubuhku, masih aman dan lengkap , ya meski selimut yang semalam membungkusku sudah terberai.
"Hhhuuuft." Aku bernafas lega mendapati pakaianku masih lengkap. Tapi kemana Mas Bara?
Setelah selesai membersihkan diri aku turun menuju dapur. Disana sudah ada seseorang yang sedang mencuci piring.
"Selamat pagi non. Kenalkan saya Bik sumi, saya akan menjadi pelayan non di rumah ini." Wanita paruh baya itu memperkenalkan diri dengan begitu ramah padaku.
"Oh iya bi, saya Mayra. Semoga betah ya bi. Ngomong-ngomong bibi tahu mas Bara kemana?"
"Oh tuan muda tadi sudah berangkat ke kantor non."
"Ke kantor?" Apa dia memang secinta itu pada pekerjaannya sampai-sampai satu hari setelah pernikahan saja dia langsung bekerja.
"Non mau sarapan apa?"
"Apa aja deh bi. Yang penting sehat dan enak."
Hari-hari kujalani masih seperti rutinitasku sebelumnya. Kuliah dan main di rumah. Yeah meski cukup membosankan.
Beberapa minggu menjadi istrinya membuatku mulai terbiasa. Hidup bersama namun jarang sekali bertegur sapa. Aneh memang, tapi aku cukup bersyukur karena aku tak perlu membentengi hati agar tak jatuh cinta padanya.
"May tunggu." Saat aku hendak masuk kedalam kamarku mas Bara menghentikan langkahku. Tumben dia sudah ada di rumah sore-sore begini.
"Ya mas? Ada apa?"
"Nanti kita makan malam di luar ya?" Tumben sekali dia mengajakku makan di luar.
"Boleh."
"Okey. Aku tunggu. Jam tujuh harus sudah siap." Aku mengangguk. Tak ada pembahasan apapun lagi. Akupun masuk ke kamarku dan diapun kembali ke kamarnya.
Gaun hitam selutut dengan tali spagety membalut tubuhku, tak lupa kupoleskan sedikit make up untuk menunjang penampilanku malam ini. Kurasa penampilanku sudah cukup pantas sebagai istri dari seorang Barata Yudha.
Aku sendiri masih penasaran kenapa dia tiba-tiba mengajakku makan malam. Namun rasanya tak penting juga jika harus kutanyakan.
"Sudah siap?" Mas Bara bangkit dari duduknya dan menghampiriku. Aku mengangguk dan berjalan dibelakangnya.
Seperti biasa, tak ada pembahasan apapun ketika kami bersama. Hingga mobil berhenti di sebuah restaurant yang cukup elit. Mas Bara berjalan mendahuluiku.
Langkahnya terhenti disebuah meja yang disana sudah bada seorang wanita yang, cantik. Aku seperti kenal dengan wajahnya.
"Sayang." Mas Bara memanggil wanita itu dengan begitu lembut. Ah kenapa hatiku mendadak tak nyaman.
"Bar kamu bawa dia?" Wanita itu nampak canggung melihatku.
"Iya. Bukankah kamu penasaran dengannya?"
"May, kemarilah. Kenalkan dia kekasihku, Anastasya." Aku menghampiri mereka dan mengulurkan tanganku pada wanita itu.
"Mayra."
"Ana." Wanita itu membalas uluran tanganku dengan menyebutkan namanya. Ah iya, sekarang aku ingat jika dia adalah salah satu model yang cukup terkenal, Anastasya Larasati. Seharusnya keluarga mas Bara bisa mempertimbangkannya menjadi menantu karena prestasinya sebagai model.
"Silakan duduk." Wanita bernama Anastasya itu nampak ramah. Kupikir ia akan jutek atau marah-marah karena aku telah menikahi kekasihnya. Tapi bisa kunilai jika wanita itu terlihat baik.
"Maaf ya sebelumnya. Bara tak memberitahuku jika kita akan bertemu malam ini." ia tersenyum dan mencoba bersikap setenang mungkin.
"Aku sudah tahu tentang pernikahan kalian. Dan aku bersyukur karena kalian menjalaninya hanya sebatas diatas kertas. Tadinya aku begitu cemburu saat kutahu ternyata wanita yang dijodohkan dengan Bara itu secantik dirimu." Kulihat matanya nampak jujur, bahwa ia benar-benar sedang memujiku.
"Aku takut Bara akan tergoda olehmu, dan memilihmu daripada aku. tapi saat Bara menjelaskan jika kamu juga tak begitu menginginkan pernikahan ini aku cukup lega. Kuharap kalian tidak akan terlibat perasaan selamanya yah." Ia tersenyum manis, namun ia seolah memperingatkanku agar tidak jatuh cinta pada kekasihnya itu.
"Mbak ana tenang saja. Aku akan tetap teguh pada kesepakatan kami. Dan aku juga tidak mungkin menaruh perasaan pada kekasih orang. Mbak tidak usah khawatir. Aku tidak pernah memiliki niat, bahkan pernah berpikir pun tidak untuk merebut mas Bara dari mbak, karena aku sendiri sudah memiliki kekasih." Aku tersenyum melihat mbak ana dan sekilas menatap mas Bara yang ternyata sedang menatapku. Sejenak tatapan kami bertemu, hingga akhirnya kualihkan tatapanku pada mbak Ana.
"Apa ada lagi yang ingin mbak Ana sampaikan?" Tiba-tiba pelayan datang dengan beberapa makanan ditangannya.
"Mohon kerjasamanya ya. Kamu pasti tahu jika hubunganku dan Bara begitu ditentang oleh orang tua Bara. Jadi bisakah kamu mendukung kami?"
Sebenarnya aku tak mengerti maksud dari kata mendukung yang mbak ana maksud. Tapi lebih baik aku iyakan saja.
"Baik. Tidak masalah. Aku akan membantu selama aku bisa."
"Terimakasih." Ia memegang tanganku.
"Ayo makan." Kulihat ia mengambil makanan yang ia pesan.
"Ah kalau begitu aku pamit. Aku tidak mungkin menjadi orang ketiga disini kan? Apalagi suasananya begitu romantis begini. Rasanya tidak pas jika aku tetap disini. Permisi." Aku bangkit dan berjalan meninggalkan mereka. Aku cukup tahu diri dengan posisiku.
Aku pulang sendiri dengan menggunakan taksi online, kulihat meja dapur kosong. Bik sumi pasti tidak masak karena tahu aku dan mas Bara makan malam di luar. Ah perutku sudah keroncongan, akhirnya masih dengan menggunakan gaun aku memasak mie instan. Hanya itu yang aku bisa saat ini.
"Bodoh sekali kamu May. Sudah datang ke restoran enak malah pulang begitu saja." Aku terus menggerutu kesal. Kupikir mas Bara benar-benar mengajakku makan. Ternyata ada maksud dibaliknya.
Tak terasa satu mangkuk mie instant telah habis ku makan. Lumayan lah untuk mengganjal perut.
"Kenapa langsung pulang hmmm?" Mas Bara tiba-tiba datang dengan membawa paper bag yang kutahu isinya pasti makanan. Bisa kulihat dari label didepan paper bag nya.
"Ngapain juga disana. Mau jadi kambing budek nungguin orang pacaran." Aku melengos membawa mangkuk kosongku untuk kucuci.
"Ya setidaknya makan dulu. Jadi aku tidak usah repot-repot bawa makanan ini ke rumah."
"Siapa juga yang minta dibawain makanan." Aku mengambil air dan kembali duduk untuk meminumnya.
"Ya kan kita niatnya mau makan malam di luar. Bibi juga gak masak. Kupikir kamu pasti kelaparan." Ternyata dia cukup perhatian juga.
"Hhmm ya makasih." Aku membuka bungkus makanan tersebut, kelihatannya memang enak, tapi aku sudah kenyang. Terpaksa kusimpan makanan itu di lemari pendingin. Sayang kan kalau di buang.
"Kenapa di simpan?"
"Aku udah kenyang. Buat besok aja."
Aku berjalan menuju kamarku. Aku segera mengganti pakaianku dengan baju tidur.
Ahh enam bulan lagi aku akan wisuda. Aku harus segera menyelesaikan skripsiku mana aku harus magang juga.
Seperti biasa, setiap pagi aku sarapan sendirian, karena mas Bara sudah berangkat ke kantor. Dia memang sedisiplin itu orangnya. Dan aku kebalikannya. Terbiasa menjadi putri satu-satunya mama dan papa. Aku terbiasa dimanja dan akhirnya mendarah daging kan sampe sekarang.
Siang ini aku berencana ingin menemui papa, aku akan minta bantuan papa agar aku bisa magang di kantornya.
Cukup lama aku berdiri didepan ruang meeting. Kebetulan kata resepsionis, papa sedang melakukan meeting saat ini. Tahu begitu mending tadi aku telepon saja. Mau bikin kejutan malah tersiksa seperti ini.
Pintu ruang meeting akhirnya terbuka.
"Papa... Aku kangeeeeen." Aku memeluk papa yang baru keluar dari ruangan meeting.
"Loh putri manja papa ada disini?" Papa membalas pelukanku dan mengacak rambutku pelan. Papa membawaku berjalan menuju ruangannya.
"Emang gak boleh ya? Aku kan kangeeen." Aku bergelayut manja di lengan papa.
"Bener cuma kangen? Rasanya gak mungkin sampe ke kantor kalau cuma kangen. Ke rumah juga kan bisa." Hah. Papa tahu saja kalau aku ada maksud lain.
"Hehe. Tau aja. Aku boleh magang disini ya?" Aku menatap papa memelas.
"Magang?"
Aku mengangguk.
"Disini?"
Aku kembali mengangguk. Papa nampak sedang berpikir sejenak.
"Giman kalau kamu magang di kantor suamimu saja? Sekalian kamu juga bisa melayani suamimu disana." Aku menghentikan langkahku. Aku memandang tak suka pada papa.
"Gak mau. Mas Bara juga pasti akan keberatan jika harus satu kantor sama istrinya." Aku mencoba mencari alasan.
"Ah enggak mungkin. Kamu gak keberatan kan Bar kalau Mayra magang di kantor kamu?" Papa seolah sedang berbicara pada mas Bara.
"Gak papa kok pah, Bara sih oke-oke aja."
"Gak papa kok pah, Bara sih oke-oke aja." Mataku membola saat suara mas Bara menjawab pertanyaan papa. Aku segera membalikkan badan melihat kearah belakangku.
Ya tuhan, ternyata ada mas bara dan asistennya berdiri di belakangku. Jangan-jangan tak hanya mendengar pembicaraanku, dia juga pasti melihat sikap manjaku pada papa tadi.
"Gimana sayang? Besok kamu sudah bisa mulai magang di kantor suamimu." Aku hanya menggaruk kepala yang tak gatal mendengar ucapan papa.
"Kok mas Bara ada disini sih?"
"Iya tadi aku habis meeting sama papa. Kebetulan perusahan kita menjalin kerjasama untuk proyek baru."
Tak menunggu waktu lama papa menyuruhku ikut pulang bersama mas Bara.
Aku kini duduk bersebelahan dengan mas bara. Dengan asisten lie yang mengemudi didepan sana.
"Kupikir setelah menikah kamu tidak akan semanja itu sama papa. Ternyata masih sama." Ucapaan mas Bara membuatku mendelik.
"Apa maksud mas Bara? Memangnya tidak boleh manja sama papa sendiri?" Aku menatap tak suka padanya.
"Ya boleh saja kalau merasa masih anak kecil." Aku merasa tersinggung dengan ucapannya.
"Jadi maksud mas Bara aku masih anak kecil?"
"Ya yang bersikap manja begitu kan cuma anak kecil."
"Asisten lie?"
"Iya nona?"
"Berhenti disini."
Ciit
Asisten lie menghentikan mobilnya. Kedua orang itu langsung melihatku.
Aku keluar tanpa kata.
"Enak aja dibilang anak kecil. Udah gede gini masa dibilang anak kecil. Kecil-kecil gini udah bisa bikin anak kecil." Aku berjalan dengan menggerutu kesal.
"Ooo yah?" Suara mas Bara menghentikan langkahku. Aku melirik kebelakang, ternyata dia mengikutiku dari tadi.
"Ayo kita buktikan?" Ia tersenyum smirk lalu berjalan mendekatiku dan memanggul tubuhku bak karung beras.
"Mas Bara lepas mas. Iiih." Aku memukul punggungnya yang kekar. Sepertinya pukulanku tak berarti apa-apa untuknya. Ia kembali mendudukkanku diatas jok mobil.
"Lain kali jangan turun ditengah jalan seperti itu." Ia menatapku sekilas lalu mengalihkan tatapannya ke depan.
"Jalan lie."
Aku mendengus kesal melihatnya. Kulihat ia kembali sibuk dengan ponselnya. Aku memilih melihat jalan yang mulai basah oleh air hujan. Yeah saat aku turun tadi gerimis memang sudah mulai turun, namun aku abaikan.
Asisten lie mengirimku ke rumah. Dan mas Bara pun ikut turun.
"Tumben masih siang pulang."
"Bukankah kita akan membuktikan jika anak kecil ini sudah bisa membuat anak kecil?" Ia tersenyum dengan menaik turunkan alisnya. Aku melotot melihatnya.
"Iiih." Dengan takut aku langsung berjalan cepat menaiki tangga untuk pergi menuju kamarku. Aneh rasanya melihat dia seperti itu.
"Aku di rumah. Besok saja kita ketemu di kantor." Kudengar sayup-sayup mas Bara sedang menelpon dengan seseorang. Aku berjalan melewati kamarnya.
"Iya sayang, besok kita makan siang bareng." Heah dia sedang menelpon pacarnya. Aku berjalan turun menuju meja makan. Saatnya makan siang.
"Iya. Iya. Ya udah aku makan siang dulu yah. Bye."
"Hmmm i love you too." Aku memutar bola mata malas. Ternyata ABG tua seperti mereka juga bisa seperti itu. Eh tapi kalau aku lihat-lihat. Usia mas Bara sepertinya tidak jauh berbeda dengan usia Bang Erik dan kak Satria.
Oh iya. Kenalkan, bang erik adalah kakakku satu satunya, kebetulan dia masih di belanda mengurusi bisnis papa yang disana. Sedangkan kak satria, dia adalah calon suamiku. Harapanku begitu. Dia masih menjalani S3nya di L.A dan ia akan melamarku saat ia sudah lulus nanti. Makannya aku mau menerima perjodohan dengan mas Bara karena kesepakatan berpisah setelah satu tahun, dan setelah kita berpisah aku bisa melanjutkan hubunganku dengan kak Satria.
Aku menyantap makan siang yang sudah disiapkan oleh bik sumi. Disusul oleh mas Bara yang kini duduk di hadapanku.
Kaus putih press body dan celana pendek diatas lutut membuat dia lumayan tampan. Stop.stop. aku tak boleh melihatnya terlalu lama, apalagi sampai mengaguminya seperti itu. Bukankah dari mata bisa turun ke hati. Selama ini aku selalu berusaha menutup mata tak ingin melihatnya, apalagi memandanginya.
"Kenapa? Terpesona?" Ia menatapku.
"Enggak. Biasa aja." Aku segera mengalihkan pandanganku.
"Kita lihat. Apakah benar pesonaku yang tampan ini, takkan mampu membuatmu jatuh cinta pada kekasih orang." Ia berbicara seolah menantang perkataanku saat aku bicara dengan mbak anastasya malam itu.
"Mas Bara tidak berniat membuatku jatuh cinta sama mas Bara kan? Karena tidak seperti itu perjanjian kita sebelumnya." Aku berusaha mengabaikannya.
"Kita tidak tahu kan dengan takdir masa depan. Bisa saja semuanya berubah." Aku menatapnya tajam, mendengar perkataanya itu seolah ia sudah memiliki niatan yang berbeda saat ini.
"Tunggu tunggu. Apa jangan-jangan mas Bara sendiri yang sudah jatuh cinta padaku? Iya?"
Uhuk uhuk. Kulihat ia yang sedang minum langsung tersedak.
"Aku?" Ia menunjuk wajahnya sendiri. "Jatuh cinta sama anak kecil sepertimu?" Ia beralih menunjukku.
"No no no. Itu takkan mungkin. Kamu bukan tipeku." Wajahnya berubah datar.
"Ya ya. Pegang kata-katamu. Ingat kesepakatan kita."
"Kesepakatan apa ini?" Kulihat mama datang bersama mama Arum, mama mertuaku.
"Eh mama kesini?" Aku dan mas Bara bangkit menyalami mereka.
"Kesepakatan apa hm? Kok sama suami main kesepakatan-kesepakatan? Kayak bisnis aja." Mas Bara ikut menyalami mereka. Kami kembali duduk di meja makan.
"Itu mah. Mm besok aku mau magang di kantor mas Bara. Dan kami sepakat untuk profesional dalam bekerja gitu." Aku mencoba memberi alasan pada mereka.
"Ooh gitu. Mama kira ada kesepakatan apa."
Aku menyiapkan piring untuk mama dan mama Arum agar ikut makan bersamaku dan mas Bara. Dan akhirnya kamipun makan siang beraama.
"Mama dan mama Arum tumben main ke sini?"
"Iya, tadi mama dan mama Arum habis dari mall. Kebetulan kami tadi lihat baju bagus buat kamu. Nih." Mama memberikan beberapa paper bag untukku. Aku mencoba mengintip isinya.
"Udah nanti aja dilihatnya sekalian di pakai. Sekarang makan aja dulu."
"Mama kira kamu masih kerja Bar." Mama Arum tersenyum melihat anaknya yang sedang lahap memakan makanannya.
"Iya, hari ini kerjaan Bara gak begitu padat ma. Jadi Bara pulang aja, sekalian nemenin istri kan."
"Ah iya iya. Kalian kan pengantin baru. Yaudah yuk jeng kita pulang. Siapa tahu mereka mau bikinin kita cucu."
Uhuk uhuk
Kini aku yang tersedak. Mas Bara langsung memberikan minum untukku.
"Mama makan dulu lah. Kenapa buru-buru sih." Aku mencoba menenangkan tubuhku.
"Udah kenyang. Iya kan jeng. Ayo." Mama dan mama Arum pun akhirnya pergi. Aku kembali melanjutkan makan siangku setelah mengantar para mamaku sampai depan.
"Mereka niat banget kayaknya pengen cepet punya cucu." Mas Bara kembali melihatku yang duduk didepannya.
"Biarin aja. Atau mas Bara aja yang bikin buat mereka."
"Mana bisa bikin sendirian."
"Ya sama pacar mas lah bikinnya."
"Yang pengen cucu kan mamaku dan mamamu. Ya yang bikin harus aku dan kamu. Katanya kecil-kecil juga udah bisa bikin anak kecil." Ia tersenyum smirk menatapku, seolah ia memang sengaja menggodaku.
"Iish apaan sih." Karena kesal aku melempar satu paper bag kecil di hadapanku pada mas Bara. Kulihat sesuatu yang berenda merah keluar dari sana mengenai wajah mas Bara.
"Waaaw." Mas bara mengambil sesuatu yang keluar dari paper bag itu dan memperlihatkannya dihadapanku.
"Sepertinya ini sangat cocok untukmu." Pipiku terasa panas melihat apa yang sedang mas Bara perlihatkan padaku. Celana dalam warna merah dengan renda disisi sisinya membuatku malu membayangkan jika nanti aku memakainya. Segera kuambil benda itu dari tangan mas Bara. Tak lupa kuambil juga semua paper bag yang ada disana dan membawanya ke kamar.
Ah aku tak percaya, ternyata semua isi didalam paper bag paper bag itu adalah dalaman yang seksi dan juga lingerie transparan untukku.
"Apa kamu sudah siap?" Kulihat kepala mas bara menyembul dari balik pintu. Sontak aku segera membereskan pakaian-pakaian seksi itu dan menyimpannya.
"Mas bara ih." Kulemparkan bantal pada kepalanya. Membuat ia segera pergi. Ah kenapa malu sekali rasanya. Apalagi tingkah mas Bara yang mendadak omes membuatku semakin kegerahan karenanya.
Kusimpan pakaian-pakaian haram itu jauh ke dalam lemari. Aku tak ingin mas Bara sampai melihatnya, ia pasti akan kembali menggodaku nanti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!