Terimakasih sudah mampir di karya otor yang pertama.
Maaf sebelumnya jika masih banyak kekurangan, otornya masih baru soalnya. 🙏🙏🙏
Happy reading.
"Baik, kita sepakat untuk menyetujui pernikahan ini dan setelah satu tahun pernikahan, kita sepakat untuk bercerai."
Satu tanganku terulur untuk mengukuhkan kesepakatan dengan pria yang ada dihadapanku, pria gagah yang papa jodohkan denganku.
Aku, Andara Mayra Argoe soseno, anak kedua dari seorang pengusaha terkenal Argoe soseno. Statusku masih seorang mahasiswi semester akhir, namun aku terpaksa harus menerima perjodohan demi kebahagiaan orang tuaku.
"Oke. Deal." Dengan mata elangnya dia menatapku seraya mengulurkan tangannya membalas uluran tanganku.
Barata Yudha Dirga Wijaya. Anak tunggal dari seorang konglomerat sekaligus pengusaha terpandang di indonesia. Siapa yang tak kenal keluarga Wijaya. Keluarga yang terkenal karena memiliki banyak cabang bisnis dari mulai property, konstruksi, manufaktur, perhotelan dan masih banyak lagi gurita bisnis keluarga Wijaya.
Meski bukan satu-satnya pewaris dari keluarga Wijaya, namun mas Bara sudah menjadi seorang CEO yang cukup disegani oleh para pengusaha karena kepiawaiannya dalam berbisnis. Mungkin itu yang menjadi salah satu alasan papa menjodohkanku dengannya.
Awalnya kami menentang perjodohan ini, selain aku yang masih kuliah, mas Bara juga mengaku kalau ia sudah memiliki kekasih, sayang kedua orang tuanya tak merestui hubungan mereka karena kekasihnya bukan dari keluarga yang setara. Yeah aku mengerti, keluarga kelas atas seperti kami memang kadang begitu. Tak bisa sembarangan dalam menentukan pilihan.
Mas Bara pernah menolak, namun om Dirga mengancam akan mengambil seluruh fasilitas mas Bara dan akan mencoretnya dari dalam kartu keluarga jika ia masih berhubungan dengan kekasihnya itu. Tentunya sebagai seorang anak tunggal dari keluarga kaya, mas Bara merasa itu tak adil, makannya ia mencoba bernegosiasi denganku. Dan akhirnya ia memintaku untuk menerima perjodohan ini demi menutupi hubungan dia dengan kekasihnya itu. Dan untung saja aku juga tak berharap banyak dari pejodohan ini.
Dari awal aku memang menerima pejodohan ini hanya karena demi baktiku pada orang tuaku. Tapi dengan mengetahui kenyataan yang seperti itu, tentu akan sangat menguntungkan bagiku. Selain aku yang masih kuliah, aku juga ingin berkarir. Dan tentunya aku juga sudah memiliki seseorang yang sudah lama bertahta di hatiku selama ini.
Aku dan mas Bara kembali masuk kedalam ruang keluarga, dimana papa, mama dan kedua orang tua mas Bara sedang berbincang.
"Bagaimana?" sebelumnya Om Dirga menanyakan kesiapan kami untuk melaksanakan pernikahan bulan depan. Maka dari itu kami meminta ijin pada orang tua kami untuk berbicara empat mata tentang kesiapan kami di luar.
"Kami siap pah. Lebih cepat lebih baik." Mas Bara menjawabnya dengan cepat. Wajahnya nampak dingin dan datar tanpa ekspresi, membuatku hanya diam menatapnya.
"Baiklah, kalau begitu bagaimana kalau minggu depan saja?" Mataku seketika membola saat papa malah mengusulkan minggu depan. Meski sudah bernego, aku rasa jika secepat itu aku belum siap.
"Pa." Aku hendak protes, namun antusias semua orang membuatku tak bisa apa-apa.
"Ahh ya benar. Minggu depan saja. Aku sudah tidak sabar ingin menggendong cucu." Aku terduduk lesu mendengar perbincangan keempat orang tua itu. Mereka begitu antusias membicarakan pernikahanku dengan mas Bara. pancaran kebahagiaan tergambar jelas di wajah mereka. Bagaimana jika nanti mereka tahu kalau pernikahan ini hanya pernikahan diatas kertas saja? Apakah kebahagiaan mereka akan hilang? Ah, kurasa mereka pasti akan kecewa nanti.
Disaat aku bimbang dengan keputusanku, aku tak sengaja melihat mas Bara yang hanya diam dan malah sibuk dengan ponselnya.
Hingga kesepakatan sudah dibuat dan keluarga mas bara akhirnya pamit untuk pulang.
"Kamu tahu sayang. Pernikahan itu sesuatu hal yang sakral. Dan sebisa mungkin hanya dilakukan sekali dalam seumur hidup."
Papa duduk disebelah ku dan tangannya membelai rambutku lembut.
"Maka dari itu papa mewanti-wanti sama kamu. Kamu sudah memutuskan untuk menerima perjodohan ini. maka kamu harus menerima Bara, buka hatimu untuk belajar mencintainya. Jalinlah rumah tangga dengan benar bersamanya. papa yakin jika dia adalah pria yang baik. Dan papa harap kamu tidak main-main dengan ini. Jangan patahkan keyakinan papa padamu hmmm?"
Ucapan papa seolah-olah mengulitiku saat ini.
Apa mending aku batalkan saja perjodohan ini?
Tapi bagaimana dengan mas Bara?
Lama aku terdiam, hingga akhirnya papa berpamitan meninggalkanku.
Satu minggu dalam kebimbangan, akhirnya aku lebih memilih mempertahankan perjodohan ini. Sudah terlanjur basah, kenapa tidak mandi sekalian?
Aku percaya, semuanya yang terjadi padaku saat ini adalah takdir yang harus aku jalani. Jika memang aku tidak berjodoh dengannya, maka tanpa sebuah kesepakatanpun, cepat atau lambat kami pasti akan berpisah.
Dalam satu minggu bukan hal yang sulit bagi keluarga kami untuk menyiapkan pernikahan yang mewah dan meriah. Bahkan aku dan mas Bara tak perlu mengurusi apapun. Dari gaun pengantin sampai cincin pernikahan semuanya sudah disiapkan oleh mama dan mama mertua. Kedua calon besan itu benar benar kompak. Dan andai ini bukan pernikahan karena kesepakatan, mungkin pernikahan ini akan menjadi pernikahan yang sempurna untuk keluarga kami.
Gaun putih begitu indah membalut tubuhku, gaun panjang menjuntai dengan bagian tangan yang tersampir di lengan dan bagian dada juga punggung yang terbuka membuatku terkesan manis dan sexy. ah dadaku kenapa tiba-tiba sesak, mataku pun ikut memanas. Aku memejamkan mata menguatkan diriku.
Ayolah May, kamu bisa. Pernikahan ini hanya satu tahun. Setelah itu kamu bebas menikah dengan pria yang kamu inginkan. maafkan Mayra pa, ma.
Mas Bara begitu tampan dan gagah dengan setelan tuxedo hitam yang ia pakai. Semua wanita yang melihatnya pasti akan terpana termasuk aku, namun meski begitu nyatanya itu tak mampu membuat hatiku bergetar saat ini.
"SAH." Air mataku jatuh juga saat semua orang mengatakan sah.
Kini aku telah resmi menjadi seorang istri dari Barata Yudha. Pernikahan memang sesuatu yang sakral, tak pantas rasanya jika aku dan mas Bara mempermainkannya. Tapi mau bagaimana lagi. Kami terpaksa, karena pernikahan tanpa cinta juga pastinya takkan berakhir bahagia bukan?
Mas Bara menatapku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan. Kemudian ia mencium keningku pelan. Mataku terpejam merasakan bibir basah mas Bara menempel cukup lama disana.
"Cium cium cium." Mataku terbuka saat semua orang mengatakanan itu. Hello, bukankah barusan mas Bara sudah menciumku.
Cup
Tanpa aba-aba mas Bara mencium bibirku. Ah lebih tepatnya ia hanya menempelkannya saja, cukup lama sih namun ia segera menarik diri saat sepertinya ia tersadar kalau ia sudah melakukan kesalahan.
Aku segera memegangi bibirku yang sudah ternoda olehnya. Dia berhasil mencuri ciuman pertamaku.
Setelah melaksanakan ijab qobul, kami langsung mengadakan resepsi. Kalian pasti tahu bagaimana capeknya menjadi diriku. Bukan hanya sepuluh dua puluh, atau seratus dua ratus, tapi ribuan tamu undangan yang papa dan papa dirga undang harus kusalami, ya meski kurasa tidak semuanya juga, tapi energiku benar-benar terkuras hari ini.
Mobil pengantin berwarna putih lengkap dihiasi dengan pita bunga didepannya membawaku dan mas Bara berhenti disebuah rumah mewah bercat putih di kawasan elit. Rumah itu adalah rumah kami, hadiah pernikahan dari papa Dirga untukku dan mas Bara.
Tanpa menunggu mas Bara turun, aku langsung pergi menuju kamar yang sudah kupilih menjadi kamarku. kebetulan kemarin papa Dirga dan mas Bara membawaku memilih rumah di kompleks ini untuk kami tinggali setelah menikah. dan sekalian saja aku meminta satu kamar untukku pada mas Bara.
Kamar besar dengan dekorasi layaknya kamar pengantin kini ada dihadapanku. lilin-lilin dan beberapa hiasan bunga menghiasi kamar ini. Tak lupa juga ada begitu banyak kelopak mawar bertaburan menghiasai tempat tidur.
kakiku perlahan melangkah memasuki kamar pengantin kami, lebih tepatnya kamar yang sebelumnya kupilih dan ku minta pada mas Bara untuk menjadi kamarku.
Andai yang kunikahi saat ini adalah orang yang ku cintai, tentu semuanya akan terasa sangat berbeda saat ini.
Aku mengambil pakaianku dari dalam koper milikku yang sudah ada disana. Kuambil beberapa helai pakaian ganti untuk.
wangi lilin aroma therapy membuatku cukup relax. Kurasa, dengan berendam di bathub itu akan membuatku lebih baik malam ini. Ahhh segar rasanya.
Cukup lama menikmati tubuh yang direndam di air hangat, membuatku hampir saja ketiduran.
"Mas Bara ngapain disini?" Aku terkejut saat keluar dari dalam kamar mandi ternyata mas Bara sudah ada didalam kamar.
"Ini kan kamar pengantin kita. Berarti ini kamarku juga." Mas Bara dengan santainya membuka jas miliknya.
"Enggak ya. Ini kamarku titik. Rumah ini kan besar, mas Bara bisa pilih kamar yang lain yang bisa mas Bara tempati untuk jadi kamar mas Bara."
"Hhh. Malam ini aku harus tidur disini." Didepanku, Mas Bara dengan santainya membuka satu persatu kancing kemeja putih yang ia pakai.
"Enggak enggak. Mas bara keluar sekarang." Karena tak mau ia membuka bajunya didepanku aku segera mendorong mas Bara keluar.
"May, apa yang sedang kalian lakukan?" Suara papa membuat tubuhku menegang. Aku membalikkan tubuhku dan tenyata orang tua kami sedang duduk santai di ruangan yang berada disebelah kamarku.
"Pa-papa? Kalian kenapa disini?"
"Memang kenapa? Kami hanya ingin memastikan jika kalian tidak ada yang kabur malam ini." Mataku kembali membola mendengar jawaban papa Dirga.
"Kamu ngapain dorong-dorong suamimu kayak gitu?" Papa kembali menatap curiga padaku.
"Mmm."
"Gini loh pah, Mayra bilang dia lapar. Jadi ngajak makan dulu sebelum bertempur, supaya kuat katanya. Iyakan sayang?" Ia tersenyum dengan tangan yang merengkuh pinggangku. Aku mendelik mendengar jawaban mas Bara, kenapa sih dia harus memberikan alasan yang absurd seperti itu.
"Ooh gitu. Ya udah ayo kita makan."
"Ahha gak jadi deh. Ayo mas kita lanjutin aja." Aku melepaskan tangannya dari pinggangku dan langsung menarik mas Bara masuk.
"Kenapa gak bilang kalau ada orang tua kita?" Aku langsung bertanya setelah kukunci pintu kamar kami.
"Kamu gak nanya." Mas Bara kembali membuka kemejanya.
"iih mas. Bisa gak sih lepas bajunya di kamar mandi saja?"
Ia hanya tersenyum dan dengan santainya ia masuk kedalam kamar mandi.
Ah gimana ini, masa iya kami harus tidur bersama.
Sebaiknya Sebelum ia selesai mandi aku harus tidur duluan.
Kunyalakan pendingin ruangan terlebih dahulu sebelum kubungkus seluruh tubuhku dengan selimut. Meski mungkin ia takkan macam-macam, apa salahnya waspada dan mengantisipasinya kan.
Setelah dirasa aman akupun mulai terlelap.
"Euuugh." Mataku perlahan terbuka saat sinar matahari mulai menyelinap masuk kedalam kamar. Kurenggangkan tubuhku perlahan yang terasa sangat pegal pagi ini.
Eh ini dimana?
Ruangan yang nampak asing membuatku berpikir keras mengingat-ingat apa yang sebelumnya terjadi.
Ah aku baru ingat. Eh tunggu, semalam aku membungkus tubuhku dengan selimut, lalu kenapa aku bisa merenggangkan tubuhku. Kulihat tempat tidur disebelahku sudah tak ada siapa-siapa. Kemana dia? Ku cek seluruh tubuhku. Syukurlah semuanya masih aman dan lengkap, ya meski selimut yang semalam membungkusku sudah terberai.
"Hhhuuuft." Aku bernafas lega mendapati pakaianku masih lengkap. Tapi kemana Mas Bara?
Tanpa berpikir banyak, aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah dirasa cantik, akupun keluar dari kamar dan mengamati seluruh penjuru lantai atas. Ku cari keberadaan mas Bara dan juga para orang tuaku yang semalam ada disini. Tapi aku tak menemukan siapapun disini. Sepertinya orang tua kami sudah pulang, karena rumah ini terlihat begitu sepi sekarang.
Perlahan, kulangkahkan kakiku untuk turun menuju dapur. Kulihat disana sudah ada seseorang yang sedang mencuci piring.
suara laangkaah kakiku membuat ia melihat kearahku.
"Selamat pagi non. Kenalkan saya Bik sumi, saya bertugas sebagai pelayan nona di rumah ini." Wanita paruh baya itu memperkenalkan diri dengan begitu ramah padaku.
"Oh iya bi, saya Mayra. Semoga betah ya bi. Ngomong-ngomong bibi tahu mas Bara kemana?"
"Oh tuan muda tadi sudah berangkat ke kantor non."
"Ke kantor?" Apa dia memang secinta itu pada pekerjaannya, sampai-sampai satu hari setelah pernikahan saja dia langsung bekerja.
"Kalau mama, papa semua apa mereka sudah pulang bi?"
"Tuan dan nyonya semuanya sudah pulang sejak semalam non."
Aku bernafas lega mendengar ucapan bik sumi.
"Oh iya, pagi ini non mau sarapan apa? Biar nanti bibi buatkan."
"Apa aja deh bi. Yang penting sehat dan enak."
Hari-hari kujalani masih seperti rutinitasku sebelumnya. Kuliah dan main di rumah. Yeah meski cukup membosankan, tapi itulah pekerjaanku sehari-hari.
Beberapa minggu menjadi istrinya membuatku mulai terbiasa. Hidup bersama namun jarang sekali bertegur sapa. Aneh memang, tapi aku cukup bersyukur karena aku tak perlu membentengi hati agar tak jatuh cinta padanya.
"May tunggu." Saat aku hendak masuk kedalam kamar, mas Bara menghentikan langkahku. Tumben dia sudah ada di rumah sore-sore begini.
"Ya mas? Ada apa?"
"Nanti kita makan malam di luar ya?" Tumben sekali dia mengajakku makan di luar.
"Boleh."
"Okey. Aku tunggu. Jam tujuh harus sudah siap." Aku mengangguk. Tak ada pembahasan apapun lagi. Akupun masuk ke kamarku dan diapun kembali ke kamarnya.
Gaun hitam selutut dengan tali spagety membalut tubuhku, tak lupa kupoleskan sedikit make up untuk menunjang penampilanku malam ini. Kurasa penampilanku sudah cukup pantas sebagai istri dari seorang Barata Yudha.
Aku sendiri masih penasaran kenapa dia tiba-tiba mengajakku makan malam. Namun rasanya tak penting juga jika harus kutanyakan langsung padanya.
"Sudah siap?" Mas Bara bangkit dari duduknya dan menghampiriku. Matanya begitu tajam menatap diriku.
Aku segera menunduk dan mengaggukkan kepalaku menjawab pertanyaannya.
Ah kurasa cukup dia saja yang menatapku, aku tak mau menatapnya.
Seperti biasa, tak ada pembahasan apapun ketika kami bersama. Hingga mobil berhenti di sebuah restaurant yang cukup elit.
Mas Bara berjalan mendahuluiku. Langkahnya terhenti disebuah meja yang disana sudah ada seorang wanita cantik. Wajah wanita itu terasa tak asing di ingatanku.
"Sayang." Mas Bara memanggil wanita itu dengan begitu lembut. Ah kenapa hatiku mendadak tak nyaman.
"Bar kamu bawa dia?" Wanita itu nampak canggung melihatku.
"Iya. Bukankah kamu penasaran dengannya?"
"May, kemarilah. Kenalkan dia kekasihku, Anastasya." Aku menghampiri mereka dan mengulurkan tanganku pada wanita itu.
"Mayra."
"Ana." Wanita itu membalas uluran tanganku dengan menyebutkan namanya.
Ah iya, sekarang aku ingat jika dia adalah salah satu model yang cukup terkenal, Anastasya Larasati. Seharusnya keluarga mas Bara bisa mempertimbangkannya menjadi menantu karena prestasinya sebagai model.
"Silakan duduk." Wanita bernama Anastasya itu nampak ramah. Kupikir ia akan jutek atau marah-marah karena aku telah menikahi kekasihnya. Tapi bisa kunilai jika wanita itu terlihat baik.
"Maaf ya sebelumnya. Bara tak memberitahuku jika kita akan bertemu malam ini." ia tersenyum dan mencoba bersikap setenang mungkin.
"Aku sudah tahu tentang pernikahan kalian. Dan aku bersyukur karena kalian menjalaninya hanya sebatas diatas kertas. Tadinya aku begitu cemburu saat kutahu ternyata wanita yang dijodohkan dengan Bara itu secantik dirimu." Kulihat matanya nampak jujur, bahwa ia benar-benar sedang memujiku.
"Aku takut Bara akan tergoda olehmu, dan memilihmu daripada aku. tapi saat Bara menjelaskan jika kamu juga tak begitu menginginkan pernikahan ini, aku cukup lega. Kuharap kalian tidak akan terlibat perasaan selamanya yah." Ia tersenyum manis, namun ia seolah memperingatkanku agar tidak jatuh cinta pada kekasihnya itu.
"Mbak ana tenang saja. Aku akan tetap berpegang pada kesepakatan kami. Dan aku juga tidak mungkin menaruh perasaan pada kekasih orang. Mbak tidak usah khawatir. Aku tidak pernah memiliki niat, bahkan pernah berpikir pun tidak untuk merebut mas Bara dari mbak, karena aku sendiri sudah memiliki kekasih." Aku tersenyum melihat mbak ana dan sekilas menatap mas Bara yang ternyata sedang menatapku. Sejenak tatapan kami bertemu, hingga akhirnya kualihkan tatapanku pada mbak Ana kembali.
"Apa ada lagi yang ingin mbak Ana sampaikan?"
Tiba-tiba pelayan datang dengan beberapa makanan ditangannya.
"Mohon kerjasamanya ya. Kamu pasti tahu jika hubunganku dan Bara begitu ditentang oleh orang tua Bara. Jadi bisakah kamu mendukung kami?"
Sebenarnya aku tak mengerti maksud dari kata mendukung yang mbak ana katakan. Tapi lebih baik aku iyakan saja ucapannya.
"Baik. Tidak masalah. Aku akan membantu selama aku bisa."
"Terimakasih." Ia memegang tanganku.
"Ayo makan." Kulihat ia mengambil makanan yang ia pesan.
"Ah kalau begitu aku pamit. Aku tidak mungkin menjadi orang ketiga disini kan? Apalagi suasananya begitu romantis begini. Rasanya tidak pas jika aku tetap disini. Permisi." Aku bangkit dan berjalan meninggalkan mereka. Aku cukup tahu diri dengan posisiku. mana mungkin aku mengganggu makan malam sepasang kekasih itu? aku juga tak mau jadi kambing budek diantara mereka.
Aku pulang sendiri dengan menggunakan taksi online. Kurasa perutku mulai keroncongan, tapi kulihat meja dapur kosong. Bik sumi pasti tidak masak karena tahu aku dan mas Bara akan makan malam di luar.
Bagaimana ini? Kurasa aku takkan kuat jika harus menahan lapar sampai besok. Akhirnya dengan masih menggunakan gaun aku pun langsung memasak mie instan. Hanya itu yang aku bisa saat ini.
"Bodoh sekali kamu May. Sudah datang ke restoran enak malah pulang begitu saja." Aku terus menggerutu kesal. Kupikir mas Bara benar-benar mengajakku makan. Ternyata ada maksud dibaliknya.
Tak terasa satu mangkuk mie instant telah habis ku makan. Lumayan lah, perutku lumayan kenyang saat ini.
"Kenapa langsung pulang hmmm?" Mas Bara tiba-tiba datang dengan membawa paper bag yang kutahu isinya pasti makanan. Bisa kulihat nama resto yang kukunjungi tadi dari label didepan paper bag itu.
"Ngapain juga disana. Mau jadi kambing budek nungguin orang pacaran." Aku melengos membawa mangkuk kosongku untuk kucuci.
"Ya setidaknya makan dulu. Jadi aku tidak usah repot-repot bawa makanan ini ke rumah."
"Siapa juga yang minta dibawakan makanan." Aku mengambil air dan kembali duduk untuk meminumnya.
"Ya kan kita niatnya mau makan malam di luar. Bibi juga gak masak. Kupikir kamu pasti kelaparan." Ternyata dia cukup perhatian juga. Tapi sayang dia kurang pengertian padaku.
"Hhmm ya makasih." Aku membuka bungkus makanan tersebut, kelihatannya memang enak, tapi aku sudah kenyang. Terpaksa kusimpan makanan itu di lemari pendingin, sayang juga kalau di buang.
"Kenapa di simpan?"
"Aku udah kenyang. Buat besok aja."
Aku berjalan menuju kamarku. Aku segera mengganti pakaianku dengan baju tidur.
Kutatap langit-langit kamarku. Enam bulan lagi aku akan wisuda. Aku harus segera menyelesaikan skripsiku, dan aku juga harus magang sebelum itu. Tapi aku harus magang dimana? Apa papa mau membantuku?
Seperti biasa, setiap pagi aku sarapan sendirian, karena mas Bara sudah berangkat ke kantor. Dia memang sedisiplin itu orangnya. Dan aku kebalikannya. Terbiasa menjadi putri satu-satunya mama dan papa, aku terbiasa dimanja dan akhirnya mendarah daging sampe sekarang.
Siang ini aku berencana ingin menemui papa, aku akan minta bantuan papa agar aku bisa magang di kantornya.
Cukup lama aku berdiri didepan ruang meeting. Kebetulan kata resepsionis, papa sedang melakukan meeting saat ini. Tahu begitu mending tadi aku telepon saja. Mau bikin kejutan malah tersiksa sendiri seperti ini.
Pintu ruangan meeting akhirnya terbuka. Mataku berbinar melihat cinta pertamaku itu keluar dari sana.
"Papa... Aku kangeeeeen." Aku langsung memeluk papa yang baru keluar.
"Loh putri manja papa ada disini?" Papa membalas pelukanku dan mengelus rambutku pelan. Papa langsunhgmembawaku berjalan menuju ruangannya.
"Emang gak boleh ya? Aku kan kangeeen." Aku bergelayut manja di lengan papa.
"Bener cuma kangen? Rasanya gak mungkin sampe ke kantor kalau cuma kangen. Ke rumah juga kan bisa." Hah. Papa tahu saja kalau aku ada maksud lain.
"Hehe. Tau aja."
"paaa, aku boleh magang disini yaa?" Aku menatap papa memelas.
"Magang?"
Aku mengangguk.
"Disini?"
Aku kembali mengangguk.
Papa nampak berpikir sejenak.
"Giman kalau kamu magang di kantor suamimu saja? Sekalian kamu juga bisa mendekatkan diri lebih jauh dengan suamimu disana." Aku menghentikan langkahku. Aku memandang tak suka pada papa.
"Gak mau. Mas Bara juga pasti akan keberatan jika harus satu kantor sama istrinya." Aku mencoba mencari alasan.
"Ah enggak mungkin. Bara pasti setuju kok. Kamu gak keberatan kan Bar kalau Mayra magang di kantor kamu?" Papa seolah sedang berbicara pada mas Bara.
"Gak papa kok pah, Bara sih oke-oke aja."
"Gak papa kok pah, Bara sih oke-oke aja." Mataku membola saat suara mas Bara menjawab pertanyaan papa. Aku segera membalikkan badan melihat kearah belakang.
Ya tuhan, ternyata ada mas bara dan asistennya berdiri di belakangku. Aku yakin, ia tak hanya mendengar pembicaraanku saja, dia juga pasti melihat sikap manjaku pada papa tadi.
"Gimana sayang? Besok kamu sudah bisa mulai magang di kantor suamimu." Aku hanya menggaruk kepala yang tak gatal mendengar ucapan papa.
Tanpa menyuruhku masuk ke ruangannya papa malah langsung menyuruhku pulang bersama mas Bara.
"Kok mas Bara ada disini sih?" Aku menatapnya yang berjalan bersebelahan denganku.
"Iya tadi aku habis meeting sama papa. Kebetulan perusahan kita menjalin kerjasama untuk proyek baru."
Mas Bara membukakan pintu mobil belakangnya untukku, kemudian ia masuk dari pintu yang lain dan duduk bersebelahan denganku.
"jalan Lie."
dengan santainya mas Bara menyuruh asistennya untuk mengemudikan mobil.
Sepertinya enak sekali jika aku juga punya asisten pribadi. bisa menyuruhnya apapun yang aku mau.
"Kupikir setelah menikah, kamu tidak akan semanja itu sama papa. Ternyata masih sama." Di perjalanan, mas Bara mulai membuka suaranya.
"Apa maksud mas Bara? Memangnya tidak boleh manja sama papa sendiri?" Aku mendelik menatap tak suka padanya.
"Ya boleh saja kalau merasa masih anak kecil." Aku merasa tersinggung dengan ucapannya.
"Jadi maksud mas Bara aku masih anak kecil?"
"Ya yang bersikap manja begitu kan cuma anak kecil."
aku memicing menatapnya.
"Asisten lie?"
"Iya nona?"
"Berhenti disini."
Ciit
Asisten lie menghentikan mobilnya. Kedua orang itu langsung melihatku.
Aku keluar tanpa kata.
"Enak aja dibilang anak kecil. Udah gede gini masa dibilang anak kecil. Kecil-kecil gini udah bisa bikin anak kecil." Aku berjalan dengan menggerutu kesal. Aku bahkan menendang kaleng bekas karena kekesalanku pada mas Bara.
"Ooo ya?" Suara mas Bara menghentikan langkahku. Aku melirik kebelakang, ternyata dia mengikutiku dari tadi.
"Mas Bara ngapain ngikutin aku?"
"Mau membuktikan kalau anak kecil juga bisa bikin anak kecil." Ia tersenyum smirk lalu berjalan mendekatiku dan memanggul tubuhku bak karung beras.
"Mas Bara lepas mas. Iiih." Aku memukul punggungnya yang kekar. Sepertinya pukulanku tak berarti apa-apa untuknya. Ia kembali mendudukkanku diatas jok mobil.
"Lain kali jangan turun ditengah jalan seperti itu." Ia menatapku sekilas lalu mengalihkan tatapannya ke depan.
"Jalan lie."
Aku mendengus kesal melihatnya. Kulihat ia kembali sibuk dengan ponselnya. Aku memilih melihat jalan yang mulai basah oleh air hujan. Yeah saat aku turun tadi, gerimis memang sudah mulai turun, namun aku abaikan.
Asisten lie mengirimku ke rumah. Dan anehnya mas Bara pun ikut turun.
"Tumben masih siang pulang."
"Bukankah kita akan membuktikan jika anak kecil ini sudah bisa membuat anak kecil?" Ia tersenyum dengan menaik turunkan alisnya. Aku melotot melihatnya.
"Iiih." Dengan takut aku langsung berjalan cepat menaiki tangga untuk pergi menuju kamarku. Aneh rasanya melihat dia seperti itu.
"Aku di rumah. Besok saja kita ketemu di kantor." Kudengar sayup-sayup mas Bara sedang menelpon dengan seseorang. Kamar kami yang bersebelahan membuatku bisa mendengar percakapannya saat aku berjalan melewati kamarnya.
"Iya sayang, besok kita makan siang bareng." Heah, ternyata dia sedang menelpon pacarnya.
Tak ingin berlama-lama mendengarnya, aku segera berjalan turun menuju meja makan.
"Iya. Iya. Ya udah aku makan siang dulu yah. Bye." Kulihat ternyata ia juga sedang berjalan menuju kearahku.
"Hmmm i love you too." Aku memutar bola mata malas. Ternyata ABG tua seperti mereka juga bisa seperti itu. Eh tapi kalau aku lihat-lihat. Usia mas Bara sepertinya tidak jauh berbeda dengan usia Bang Erik dan kak Satria. Tiga, empat tahun diatasku.
Oh iya. Bang erik apa kabar ya? Kakakku satu satunya itu kebetulan masih di belanda mengurusi bisnis papa yang ada disana. terakhir ketemu saat pernikahanku dan sampai saat ini dia belum ada kabar.
Dan kak Satria, memikirkannya dadaku mendadak sesak. dia adalah calon suamiku, harapanku selama ini begitu. Dia masih menjalani S3nya di L.A dan ia berencana akan melamarku saat ia sudah lulus nanti. itulah kenapa aku mau menerima perjodohan dengan mas Bara. Karena kesepakatan berpisah setelah satu tahun, dan setelah kita berpisah aku bisa melanjutkan hubunganku dengan kak Satria kembali.
Aku menyantap makan siang yang sudah disiapkan oleh bik sumi. Disusul oleh mas Bara yang kini duduk di hadapanku.
Kaus putih press body dan celana pendek diatas lutut membuat dia terlihat lumayan tampan.
Stop.stop. aku tak boleh melihatnya terlalu lama, apalagi sampai mengaguminya seperti itu. Bukankah cinta bisa hadir dari mata turun ke hati? Selama ini aku selalu berusaha menutup mata tak ingin melihatnya, apalagi memandanginya. Jangan sampai dirimu kebablasan Mayra.
"Kenapa? Terpesona?" Ia menatapku.
"Enggak. Biasa aja." Aku segera mengalihkan pandanganku.
"Kita lihat. Apakah benar pesonaku yang tampan ini, takkan mampu membuatmu jatuh cinta pada kekasih orang ini." Ia berbicara seolah menantang perkataanku saat aku berbicara dengan mbak anastasya malam itu.
"Mas Bara tidak berniat membuatku jatuh cinta sama mas Bara kan? Karena tidak seperti itu perjanjian kita sebelumnya." Aku berusaha mengabaikannya.
"Kita tidak tahu kan dengan takdir masa depan. Bisa saja semuanya berubah." Ucapannya membuatku menatapnya tajam, mendengar perkataannya itu seolah ia sudah memiliki niatan yang berbeda saat ini.
"Tunggu tunggu. Apa jangan-jangan mas Bara sendiri yang sudah jatuh cinta padaku? Iya?"
Uhuk uhuk. Kulihat ia yang sedang minum langsung tersedak.
"Aku?" Ia menunjuk wajahnya sendiri. "Jatuh cinta sama anak kecil sepertimu?" Ia beralih menunjukku.
"No no no. Itu takkan mungkin. Kamu bukan tipeku." Wajahnya berubah datar.
"Ya ya. Pegang kata-katamu. Ingat kesepakatan kita."
"Kesepakatan apa ini?" Kulihat mama datang bersama mama Arum, mama mertuaku.
"Eh mama kesini?" Aku dan mas Bara bangkit untuk menyalami mereka.
"Kesepakatan apa hm? Kok sama suami main kesepakatan-kesepakatan? Kayak bisnis aja."
Mama dan mama Arum pun duduk di kursi sebelah kursiku dan mas Bara.
"Itu mah. Mm besok aku mau magang di kantor mas Bara. Dan kami sepakat untuk profesional dalam bekerja, gitu." Aku mencoba memberi alasan pada mereka.
"Ooh gitu. Mama kira ada kesepakatan apa."
Aku menyiapkan piring untuk mama dan mama Arum agar ikut makan bersamaku dan mas Bara. Dan akhirnya kamipun makan siang bersama.
"Mama dan mama Arum tumben main ke sini?"
"Iya, tadi mama dan mama Arum habis dari mall. Kebetulan kami tadi lihat baju bagus buat kamu. Nih." Mama memberikan beberapa paper bag untukku.
"Apa ini ma?" Aku mencoba mengintip isinya.
"Udah nanti aja dilihatnya sekalian di pakai. Sekarang makan aja dulu."
"Mama kira kamu masih kerja Bar." Mama Arum tersenyum melihat anaknya yang sedang lahap memakan makanannya.
"Iya, hari ini kerjaan Bara gak begitu padat ma. Jadi Bara pulang aja, sekalian nemenin istri kan."
"Ah iya iya. Kalian kan pengantin baru. Yaudah yuk jeng kita pulang. Siapa tahu mereka mau bikinin kita cucu."
Uhuk uhuk
Kini aku yang tersedak. Mas Bara langsung memberikan minum untukku.
"Mama makan dulu lah. Kenapa buru-buru sih." Aku mencoba menenangkan tubuhku.
"Udah kenyang. Iya kan jeng. Ayo." Mama dan mama Arum pun akhirnya pergi. Aku kembali melanjutkan makan siangku setelah mengantar para mamaku sampai halaman rumah.
"Mereka niat banget kayaknya pengen cepet punya cucu." Mas Bara kembali melihatku yang duduk didepannya.
"Biarin aja. Atau mas Bara aja yang bikinin buat mereka."
"Mana bisa bikin sendirian."
"Ya sama pacar mas lah bikinnya."
"Yang pengen cucu kan mamaku dan mamamu. Ya yang bikin harus aku dan kamu. Katanya kecil-kecil juga udah bisa bikin anak kecil." Ia tersenyum smirk menatapku, seolah ia memang sengaja menggodaku.
"Iish apaan sih." Karena kesal aku asal melempar satu paper bag kecil di hadapanku pada mas Bara. Kulihat sesuatu yang berenda merah keluar dari sana mengenai wajah mas Bara.
Kuliat ia sedikit menegang.
"Waaaw." Mas bara mengambil sesuatu yang keluar dari paper bag itu dan memperlihatkannya dihadapanku.
"Sepertinya ini sangat cocok untukmu." Pipiku terasa panas melihat apa yang sedang mas Bara perlihatkan padaku. Celana dalam warna merah dengan renda disisi-sisinya membuatku malu membayangkan jika nanti aku memakainya.
"iiish." Segera kuambil benda itu dari tangan mas Bara. Tak lupa kuambil juga semua paper bag yang ada disana dan membawanya ke kamar.
Ah aku tak percaya, ternyata semua isi didalam paper bag paper bag itu adalah dalaman yang seksi dan juga lingerie transparan untukku.
"Apa kamu sudah siap?" Kulihat kepala mas bara menyembul dari balik pintu. Sontak aku segera membereskan pakaian-pakaian seksi itu dan menyimpannya.
"Mas bara ih." Kulemparkan bantal pada kepalanya. Membuat ia segera pergi.
Ah kenapa malu sekali rasanya. Apalagi tingkah mas Bara yang mendadak omes membuatku semakin kegerahan karenanya.
Kusimpan pakaian-pakaian haram itu jauh ke dalam lemari. Aku tak ingin mas Bara sampai melihatnya lagi, ia pasti akan kembali menggodaku nanti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!