"Lepaskan aku, Lan!! Aku akan menikah dengannya."
Nara menangis tersedu-sedu di pelukan kekasihnya. Dia meminta tetapi hatinya tak kuasa berontak saat Alan semakin mempererat pelukannya, yang mungkin akan menjadi pelukan terakhir untuk mereka.
"Aku tidak bisa, Ra. Mana mungkin aku melepaskanmu begitu saja untuk menjadi miliknya. Aku mencintaimu, Ra." Alan mencoba meyakinkan wanita itu bahwa masih ada jalan lain untuk menggagalkan pernikahan kekasihnya tersebut. Namun Nara tetap menggeleng, lemah dan pasrah.
"Setidaknya dia juga mencintaiku, Lan. Seperti kamu mencintaiku." Dalam isakannya, Nara membalas sang kekasih dengan suara pilu. Hatinya telah patah, bahkan mungkin sudah hancur tanpa ada rasa.
Alan merenggangkan pelukan tanpa ingin melepaskannya. Ditatapnya lekat-lekat, wajah wanita di hadapannya dengan sendu. Kilatan kesedihan bercampur amarah terlihat jelas dalam sorot matanya yang tajam dan menghujam.
"Jangan samakan cintaku dengan cintanya, Ra!" Suara Alan meninggi, mulai terbawa emosi yang sedari awal ditahannya sekuat hati.
"Kalau dia mencintaimu, dia tidak akan menodaimu, apalagi dengan cara pengecut seperti itu!"
Ucapan Alan membuat Nara semakin terisak mengingat kejadian buruk yang dialaminya sebulan yang lalu. Kejadian yang membuatnya menjadi wanita kotor dan hina.
Alan yang menyadari ucapannya barusan telah membuat hati Nara sakit, langsung mendekap lagi tubuh wanita yang sangat dicintainya itu.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud melukai hatimu, Ra. Aku terbawa emosi karena kemarahanku padanya."
Diciumnya dengan lembut kening Nara membuat wanita itu semakin meluapkan tangisannya di dada lelaki yang juga sangat dicintainya.
Ya, mereka berdua saling mencintai begitu dalam. Namun takdir tak lagi berpihak pada cinta yang telah mereka satukan hampir lima tahun lamanya.
Sekarang, permainan takdir memaksa keduanya harus menghadapi kenyataan pahit untuk berpisah dan saling melepaskan. Meskipun sama sekali tak menginginkannya, tetapi itulah kenyataan yang harus diterima oleh Alan dan Nara.
Nara terus terisak dalam pelukan kekasihnya. Kekasih yang beberapa hari lagi akan ditinggalkannya karena dia terpaksa harus menikah dengan lelaki lain yang sama sekali tak dicintainya.
Lelaki yang mengaku mencintainya tetapi dengan liciknya berani merenggut kesuciannya dengan tipu daya yang membuatnya sekarang harus merelakan seluruh cinta dan kebahagiaannya pergi dan berganti dengan penderitaan yang akan dia jalani seumur hidup bersama lelaki yang telah menodainya dan membuatnya saat ini mengandung akibat perbuatan tak bermoral lelaki itu.
"Apa kamu benar-benar yakin dengan keputusanmu, Ra?" tanya Alan untuk kesekian kalinya.
Lelaki itu masih tak mau melepaskan pelukannya, bahkan semakin erat menyatukan tubuh mereka hingga nafas dan degupan jantung mereka pun terdengar satu sama lain saling bersahutan.
"Yakin tidak yakin, aku tetap harus mengambil keputusan ini, Lan. Karena ada yang harus aku jaga di dalam rahimku," ucap Nara lirih dalam isak tangisnya yang penuh kesedihan.
"Aku tidak mungkin mengabaikan keberadaan janin suci ini, meskipun aku sama sekali tidak mencintai lelaki itu."
Bahkan Nara pun tak mau lagi menyebut namanya. Dia terlalu kecewa dan sakit hati atas perlakuan lelaki itu, hingga namanya pun terasa begitu menjijikkan untuk didengarnya apalagi diucapkannya.
"Bagaimana dengan hubungan kita, Ra? Cinta kita berdua? Rencana pernikahan yang sudah kita bicarakan? Haruskah semua itu berakhir begitu saja ...?"
Nada keputusasaan mulai terdengar dari setiap kalimat yang keluar dari bibir Alan. Tak pelak, Nara semakin terisak mendengarnya. Dia sama putus asanya dengan sang kekasih. Kekasih yang terpaksa akan menjadi mantan kekasih. Mantan terbaiknya, mantan yang terindah.
"Maafkan aku, Lan. Bukan aku atau kamu yang menginginkan ini terjadi. Tetapi kita harus melupakan semua impian kita ...."
"Jangan pikirkan bagaimana aku tanpamu nanti. Setidaknya ada lelaki itu yang akan mengurusku. Tetapi kamu ...? Jadi aku mohon, pikirkanlah dirimu sendiri. Pikirkan hidupmu setelah ini. Lupakan aku, lupakan cerita kita, lupakan cinta kita. Carilah kebahagiaanmu yang baru. Karena aku tak bisa lagi bersamamu ...," pinta Nara pasrah.
"Tidak! Aku tidak bisa, Ra. Aku tak bisa berhenti mencintaimu, sekalipun kamu yang memintanya. Meski aku tak bisa lagi bersamamu, aku akan tetap mencintaimu, Ra," tegas Alan dengan suara sedikit keras.
"Hanya kamu satu-satunya wanita yang aku cintai sejak pertama kita bertemu. Tidak ada yang lainnya dan tidak akan pernah ada selain dirimu. Aku akan terus menjagamu, walau hanya bisa ku lakukan dari jauh. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Ra."
Mendengar semua itu, Nara kian nelangsa dan semakin merasa bersalah pada Alan. Dia hampir saja terjatuh lemas jika Alan tak sigap menopang tubuh yang masih ada dalam pelukannya itu.
"Ra ..., Ra ...!"
.
.
.
Dua orang lelaki berhadapan di depan ruang perawatan Nara. Alan dengan wajah kusut dan penuh kecemasan, menatap tajam lelaki di hadapannya yang mencoba menahan diri untuk tidak tersulut emosi atas kemarahan Alan yang ditujukan padanya.
"Terima kasih sudah membawanya kemari. Jika tidak segera ditangani, mungkin Nara akan kehilangan calon bayi kami."
Ucapan dari lelaki itu membuat hati Alan terbakar amarah lagi. Tapi mengingat mereka berada di rumah sakit, Alan menahan diri untuk tidak lepas kendali lagi. Toh, dia sudah cukup puas dua kali menghajar lelaki tak bermoral itu hingga babak belur tak berdaya.
Bahkan bekas luka akibat emosinya yang terakhir pun masih terlihat sampai sekarang. Wajah lelaki itu menampakkan luka lebam dan luka terbuka yang sudah tertutup perban di beberapa tempat.
Semalam, emosi Alan memuncak kembali setelah Nara memberitahu padanya bahwa dirinya hamil akibat dari perbuatan biadab lelaki itu.
Dan kemarahan pertama yang diluapkannya pada lelaki itu, terjadi sebulan yang lalu, saat mendapati kenyataan bahwa Nara telah dinodai oleh lelaki itu, tepat satu hari setelah dirinya melamar Nara di hadapan orangtua kekasihnya.
.
.
.
"Yoga, aku ucapkan terima kasih karena semalam kamu sudah bersedia menemaniku menemui orangtua Nara untuk melamarnya. Kamu tahu, aku tidak punya siapa-siapa di kota ini dan kamu sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri."
Alan memeluk sahabat yang juga atasannya di kantor. Yoga Mahendra, lelaki berusia dua puluh sembilan tahun, pewaris tunggal bisnis properti peninggalan orangtuanya.
"Ya," jawab Yoga pendek dengan ekspresi wajah datar, tak seperti biasanya. Namun karena masih diliputi rasa bahagia yang besar, Alan tak menyadari perubahan tersebut.
Nara di sampingnya turut mengulurkan tangan ke arah Yoga setelah Alan melepaskan pelukannya. Yoga menyambutnya dengan raut semakin tegang yang masih coba ditutupinya.
Sehari setelah melamar Nara, Yoga meminta Alan datang ke rumahnya dengan alasan pekerjaan yang harus segera mereka selesaikan di akhir pekan itu.
Setelah menyambut mereka, Yoga mempersilahkan Alan dan Nara masuk dan menunggu di ruang tamu, sementara dia mengambil minuman yang telah dia siapkan di dapur.
"Silahkan diminum, Lan, Ra."
"Ya, terima kasih. Apakah Bibi Asih dan asisten rumah tanggamu yang lain tidak ada, sampai kau repot-repot menyiapkan sendiri minuman untuk kami?" tanya Alan sambil meneguk minumannya, diikuti sang kekasih.
"Oh, iya. Jika akhir pekan aku sering meliburkan mereka." Sedikit gugup Yoga memberikan alasannya.
Alan tak lagi bertanya. Setelah meletakkan gelas di atas meja, dia menyerahkan berkas laporan yang diminta oleh Yoga. Atasannya tersebut menerima dan mulai membaca dan menelitinya. Matanya sesekali melirik ke arah Alan dan Nara yang duduk berdekatan di hadapannya.
.
.
.
FB : Aisha Bella
IG : @aishabella02
.
.
.
Jangan lupa untuk selalu mendukung kami dengan Like, Komentar, Favorit, Bintang 5 dan Bagikan juga kepada yang lain. Dukungan dari para pembaca sangat berarti bagi kami selaku penulis.🙏😘
Terima kasih banyak untuk semua yang telah berkenan membaca dan menikmati novel kami.
Salam cinta selalu.
💜Author💜
.
Dua jam berikutnya, Alan terbangun di atas sofa dengan kepala pusing dan tubuh yang lunglai. Dilihatnya pakaian yang dia kenakan telah berubah berantakan.
Dia tidak menemukan keberadaan Nara dan juga Yoga. Namun samar-samar telinganya mendengar suara isak tangis dari dalam kamar Yoga yang berada di bagian dalam rumahnya yang cukup luas itu.
Merasa ada sesuatu yang aneh dan terjadi tanpa sepengetahuannya, Alan yang masih merasa lemas dan pusing memaksakan diri untuk berjalan tertatih ke arah kamar Yoga seraya memanggil nama kekasihnya.
Semakin dekat dengan kamar Yoga, dia semakin jelas mendengar suara tangisan yang dia pastikan itu adalah suara Nara, kekasihnya. Alan segera membuka pintu kamar di depannya itu dan tubuhnya yang semula lemas mendadak menegang penuh amarah begitu menyaksikan pemandangan menyakitkan hati di hadapan matanya.
"Yoga, apa yang sudah kamu lakukan terhadap Nara?? Kamu tahu dia adalah calon istriku ...! Kamu sendiri yang menemaniku melamarnya semalam ...!! Dasar pengkhianat kamu, Ga ...!!!"
Alan menarik paksa tubuh Yoga yang sedang membenahi pakaiannya di atas tempat tidur dan langsung meluapkan kemarahannya seketika itu juga.
Bugh ...! Buggh ...!! Bugghh ...!!!
Pukulan demi pukulan dilayangkan Alan dengan membabibuta ke arah Yoga yang hanya pasrah oleh perlakuan sahabatnya.
Di atas tempat tidur di sisi yang lain, Nara duduk menunduk memeluk tubuh polosnya yang dia tutupi dengan selimut yang ada, sementara pakaiannya masih tergeletak di lantai. Dia terus menerus menangis histeris setelah menyadari apa yang baru saja menimpanya.
.
.
.
Seandainya Yoga tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya, Alan akan tetap menikahi Nara, meski sang kekasih telah dinodai oleh sahabatnya sendiri, yang ternyata telah memendam cinta pada Nara sejak lama. Sejak pertama kali dia melihat Nara, satu tahun yang lalu.
Bahkan dari awal peristiwa itu terjadi, Alan sudah akan melaporkan perbuatan Yoga kepada pihak yang berwajib. Namun lagi-lagi dia tidak bisa berkutik lantaran Yoga berbalik mengancamnya dengan beberapa foto yang memperlihatkan dirinya dan Nara yang sedang bersama di atas tempat tidur dan seolah sedang melakukan perbuatan asusila tersebut.
Rupanya, Yoga benar-benar sudah merencanakan semuanya dengan baik dan matang. Obat bius yang dicampurkannya dalam minuman Alan dan Nara membuat mereka berdua benar-benar tidak mengingat sedikit pun apa yang telah terjadi hari itu.
Pantas saja waktu itu, Alan terbangun dengan pakaiannya yang tidak rapi lagi. Yoga bertindak dengan rencana yang runtut sehingga membuatnya menang mutlak dua kali dengan memperdaya dirinya dan sekaligus Nara. Sebaliknya, dialah yang terpaksa harus menyerah karena kalah telak.
Dan akhirnya, seperti inilah takdir hidup yang harus Alan dan Nara jalani. Kisah kasih mereka harus berujung kandas di saat impian indah pernikahan itu bahkan sudah hampir terwujud nyata.
"Alan ...."
Terdengar suara Nara memanggil nama kekasihnya, membuat Alan bergegas masuk ke dalam ruangan diikuti Yoga. Pintu ruangan itu memang sengaja dibiarkan terbuka agar Alan bisa memantau kondisi Nara dari luar.
"Aku di sini, Ra."
Alan menghampiri Nara yang sudah membuka matanya dengan tubuh yang masih terlihat sangat lemah. Ditariknya tangan Alan lalu digenggamnya erat-erat.
Alan membalasnya, lalu sebelah tangannya mengusapi kepala kekasihnya dan mencium kening Nara dengan tulus dan penuh kasih.
"Aku akan selalu menjagamu, Ra. Apapun yang terjadi!"
Yoga mengikuti masuk dan menyaksikan semuanya. Hatinya terasa sesak dan mendidih melihat wanita yang dicintainya terlihat begitu nyaman bersama Alan yang juga mencintai Nara.
Lelaki yang dikenal dingin dan arogan itu berusaha menahan emosinya. Dia mencoba bersabar, membiarkan sepasang kekasih yang akan segera terpisah itu, menikmati waktu mereka yang tersisa beberapa jam ke depan, sebelum dia menikahi Nara sesuai rencananya.
Sudut mata Nara menangkap kedatangan Yoga, lelaki yang dibencinya karena telah menodainya dan membuatnya mengandung anak dari lelaki itu. Ada ketakutan yang seketika terlihat dalam sorotan matanya yang redup.
Alan tidak peduli dengan keberadaan Yoga di dalam ruangan. Yang ada dalam pikirannya hanyalah Nara, kesehatan Nara dan ... kondisi kandungannya. Hatinya seketika terasa sesak jika mengingat hal terakhir tersebut.
Namun dia tidak lagi bisa egois dengan hanya memikirkan Nara seorang, karena sekarang ada nyawa lain di dalam tubuh kekasihnya yang tak lama lagi akan menjadi istri orang lain, yakni sahabatnya sendiri. Sahabat yang telah menikamnya dari belakang.
"Kamu tidak apa-apa, Ra? Di mana yang masih terasa sakit?"
Alan memastikan keadaan Nara tidak seburuk ketakutannya saat melihat wanita itu tiba-tiba terjatuh lemas tak sadarkan diri dalam pelukannya.
Nara menggeleng lemah. Dia terus menggenggam tangan Alan, tidak ingin ditinggalkan oleh lelaki itu, meskipun ada Yoga di sana yang memperhatikan interaksi mereka berdua dengan amarah yang tertahan di dalam dirinya.
Biarlah kali ini dia mengalah, membiarkan wanita yang dia cintai, yang sedang mengandung calon anaknya itu, tetap bersama lelaki yang dicintainya.
Biarlah saat ini dia menahan kecemburuannya karena melihat calon istrinya terus bermanja pada lelaki lain, yang tak lama lagi akan menjadi mantan kekasihnya, mantan tunangannya, mantan calon suami Nara.
Karena saat hari berganti esok, dialah yang akan resmi menyandang status sebagai suaminya, suami dari Nara, wanita yang telah dicintainya sejak lama, dan akhirnya bisa dimilikinya, meski dengan cara yang salah, cara yang gila, cara yang licik dan penuh tipu daya.
Apapun yang kamu pikirkan tentang diriku, aku tidak peduli, Ra. Namun satu yang pasti dan benar adanya adalah bahwa aku mencintaimu ....
"Jangan pergi, Lan." Tatapan Nara memelas dan penuh harap, tak ingin ditinggalkan oleh lelaki yang sangat dicintainya itu.
"Temani aku malam ini. Aku takut ...." Bola mata wanita itu bergerak ke samping, melirik sekilas ke arah Yoga yang berdiri jauh dari tempat tidur.
"Aku tidak akan ke mana-mana, Ra. Aku akan bersamamu sepanjang malam ini."
Anggukan kepala dan ciuman hangat di punggung tangannya, membuat sudut bibir Nara sedikit terangkat dan menampakkan senyum tipis.
Pintu ruangan terbuka lagi, sepasang suami-istri paruh baya masuk tanpa permisi dan langsung menghampiri Nara. Mereka adalah kedua orangtua Nara. Alan menyambut mereka dan mencium punggung tangan mereka bergantian.
"Kamu tidak apa-apa, Nak? Apa yang terjadi?" Ibu sudah berdiri di samping putri tersayangnya. Lagi-lagi Nara menggeleng lemah.
Bapak yang menyadari keberadaan Yoga di sana, wajahnya seketika berubah suram dan penuh amarah. Sementara lelaki itu tahu diri dan hanya diam di tempatnya.
Meskipun Yoga sudah mendatangi kediaman orangtua Nara dan menyatakan pertanggungjawabannya untuk menikahi Nara, orangtua Nara tetap tidak menyetujuinya karena bagi mereka calon menantu mereka adalah Alan dan dialah yang seharusnya menikah dengan si putri sulung.
Tapi entah mengapa, sekalipun belum mendapatkan restu dari calon mertuanya, Yoga tetap bersikeras menyiapkan pernikahannya dengan Nara esok hari. Hanya ijab qobul di rumah lelaki sebatang kara itu, dan tanpa dihadiri orang lain selain penghulu dan para saksi.
Terkesan egois memang, tetapi Yoga dengan kekuasaannya tidak ingin dibantah. Dia ingin pernikahannya dengan Nara dilaksanakan sesegera mungkin dan harus sah secara agama juga hukum negara, sehingga ke depannya tidak akan ada pihak lain yang bisa menganggu pernikahannya dengan wanita yang dicintainya tersebut.
Cinta gila yang membuatnya menghalalkan segala cara demi dapat memiliki Nara meskipun harus merebutnya dengan paksa dari calon suami seharusnya, yaitu Alan sahabatnya sendiri.
"Besok pagi, Nara akan saya bawa pulang ke rumah dan pernikahan kami akan dilaksanakan tepat pukul sepuluh pagi. Saya harap Bapak dan Ibu hadir tepat waktu karena Bapak harus menjadi wali nikah Nara."
.
.
.
Jangan lupa untuk selalu menyemangati kami dengan Like, Komentar, Bintang 5, Vote & Favorit.
Terima kasih banyak untuk semua pembaca yang telah berkenan membaca dan menikmati novel kami.
Salam cinta dari kami.
💜Author💜
.
Malam semakin larut, Alan setia menemani Nara. Kedua orangtua Nara baru saja pulang karena tidak ingin berlama-lama bertemu dengan Yoga yang masih tidak diakui sebagai calon menantunya.
"Tidurlah, Ra. Jangan pikirkan apapun. Jangan khawatirkan apapun lagi. Semua akan baik-baik saja." Diciumnya kening Nara sebagai ucapan selamat malam agar wanita terkasihnya itu segera tidur dengan lelap.
"Lan, aku takut ...."
"Ssttt ...! Jangan takut, Ra. Aku di sini, di sisimu selalu. Aku tidak akan pernah jauh darimu. Aku pastikan itu!"
Diusapinya punggung tangan Nara yang digenggamnya, mencoba menyalurkan kehangatan dan ketenangan untuknya. Nara tersenyum samar membalas senyuman Alan.
Namun senyuman itu seketika menghilang manakala mata sayunya bersitatap dengan pandangan mata Yoga yang mengarah padanya. Dia langsung memalingkan wajahnya ke samping, mencari perlindungan dengan membalas lebih erat genggaman tangan Alan.
Alan yang memahami situasi tersebut menoleh ke arah Yoga yang duduk di atas sofa. Pandangan matanya masih terpaku menatap Nara yang sudah menyembunyikan wajahnya dari jangkauan mata lelaki itu.
Tak ingin membuang energinya untuk bersitegang dengan Yoga, Alan memilih untuk memusatkan perhatiannya kembali pada Nara.
"Jangan terlihat lemah di depannya, Ra. Jadilah Nara yang kuat dan berani mengambil sikap," ucap Alan lirih agar tak sampai terdengar oleh Yoga.
"Mengapa semua ini harus terjadi pada kita, Lan? Kita yang saling mencintai, tetapi mengapa dia yang harus menjadi ..., mengapa dia yang akan menikahiku besok?"
Nara meralat kalimatnya karena tak sanggup untuk menyebut lelaki itu sebagai suaminya. Baginya, lelaki yang tak bisa menjaga kehormatan wanitanya, apalagi wanita yang dia akui sangat dicintainya, adalah lelaki pengecut yang tak pantas menerima sebutan sebagai seorang suami.
"Aku sudah kotor, Lan. Kotor karena perbuatannya. Aku bukan Nara yang suci seperti dulu lagi. Mungkin memang ini takdirku, harus menjalani sisa hidupku bersama lelaki berperilaku buruk sepertinya."
Nara terus mengeluarkan semua keluh-kesah yang selama ini dipendamnya seorang diri. Hanya kepada Alan, dia bisa menceritakan segala beban yang dirasakannya.
"Jangan berkata seperti itu lagi, Ra. Jangan merendahkan dirimu sendiri karena sesuatu yang bukan merupakan kesalahanmu."
"Bagiku kamu tetaplah Nara-ku, Nara yang dulu. Nara, wanita terbaik yang akan aku cintai sepanjang hidupku ...."
Alan menyeka airmata yang mulai mengalir membasahi wajah wanita yang sangat dikasihinya itu. Nara menangis tanpa isak suara, menandakan betapa dalam kesedihan yang tengah menyelimuti perasaannya.
"Mulai besok, mungkin aku tidak akan bisa sedekat ini lagi denganmu. Kamu akan menjadi milik orang lain. Ada dia yang akan selalu bersamamu. Mungkin dia juga akan melarangmu untuk bertemu denganku."
Nara menggeleng lemah. Membayangkan dirinya yang akan hidup jauh dari Alan membuatnya kembali tersedu. Alan melanjutkan ucapannya.
"Tapi satu hal yang harus kamu tahu dan harus selalu kamu ingat, aku tidak akan berubah, Ra. Rasa cintaku padamu tidak akan pernah hilang sekalipun kita ditakdirkan berpisah dengan cara seperti ini."
Alan mencium punggung tangan Nara dengan lembut. Matanya terpejam, hatinya teriris mengingat sebentar lagi dia harus rela melepaskan sang kekasih untuk dinikahi lelaki lain.
Ditahannya sekuat tenaga agar dia tidak menangis di hadapan Nara. Dia tak ingin menambah kesedihan Nara jika sampai wanita itu melihat dirinya menangis. Dia harus tetap terlihat kuat di hadapan Nara supaya wanita itu juga kuat dan sanggup menjalani hidupnya tanpa ada dirinya.
"Aku akan selalu menjagamu dari jauh, Ra. Akan aku pastikan bahwa dirimu selalu baik-baik saja di sana. Karena jika sampai sekali saja dia menyakitimu lagi, aku akan menghabisinya dan membawamu pergi darinya!"
.
.
.
Pagi menyapa, diiringi rintik hujan yang membasahi bumi sejak dini hari tadi. Alan terbangun setelah beberapa saat tertidur. Tangan Alan yang bergerak membuat Nara turut terbangun dan menyadari bahwa hari telah berganti.
Alan yang melihatnya segera mengalihkan perhatian wanita itu agar tidak memikirkan apa yang akan berlangsung hari ini, beberapa jam lagi.
"Aku ke kamar mandi dulu." Nara hanya mengangguk pelan.
Alan berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Dia melewati sofa dan melihat Yoga yang masih tertidur di sana. Terbersit amarah dan rasa sesak di hatinya, tetapi tetap ditahannya dengan helaan nafas panjang, agar Nara tidak melihatnya.
Beberapa menit kemudian, lelaki itu keluar dari kamar mandi. Dilihatnya Nara sudah duduk di atas tempat tidur. Wanita itu sudah khusyuk dengan kewajibannya, meskipun harus dilakukan dengan gerakan yang terbatas.
Alan tertegun menatap paras cantik berbalut mukena putih tersebut. Kecantikan alami nan sempurna ciptaan Yang Maha Kuasa, terlihat indah di hadapan matanya.
Seandainya semua ini tidak terjadi, kita pasti bisa mewujudkan impian kita untuk beribadah bersama-sama setiap waktu, Ra.
Untuk sejenak, Alan terdiam dan larut dalam lamunannya. Banyak sekali impian indah mereka yang ingin segera mereka wujudkan. Sayangnya, takdir seketika berbalik arah memisahkan keduanya.
Kembali tersadar sesaat kemudian, Alan segera melangkah dari depan kamar mandi. Tak ingin meninggalkan wanita yang dicintainya hanya berdua dengan Yoga yang masih terlelap, lelaki itu memilih untuk menunaikan dua rakaatnya di ruangan tersebut.
Dia mengambil tempat di samping tempat tidur dan segera memulainya seorang diri.
Khusyuk mereka melaksanakan dua rakaat pagi masing-masing, tanpa mengetahui jika Yoga telah membuka mata dan menyaksikannya.
Lelaki itu terus memperhatikan dua orang di hadapannya yang masih menunaikan ibadah dengan sepenuh hati. Ada sesak yang menyeruak di dadanya melihat wajah-wajah tenang dan damai itu.
Seharusnya dia yang lebih pantas menjadi pendampingmu, Ra. Tapi aku mencintaimu ...!!
Tak ingin berlama-lama menyaksikan kehangatan dan kebersamaan sepasang kekasih yang akan segera dipisahkannya itu, Yoga bangkit dari sofa dan memilih untuk keluar dari ruangan sembari menghubungi asisten pribadinya.
"Siapkan segala sesuatunya. Dan pastikan kedua orangtua Nara datang sebelum acara dimulai!"
"Baik, Pak. Semuanya sudah siap. Sebentar lagi seorang sopir akan menjemput beliau berdua."
"Siapkan juga pakaian kami. Aku akan pulang bersama Nara dan Alan. Ingat pesanku, jangan sampai ada satu pun pihak luar yang mengetahuinya."
"Sesuai perintah Anda, Pak."
Yoga menutup sambungan teleponnya lalu pergi meninggalkan ruangan Nara dan menuju ke sebuah ruangan bersuasana tenang dan beralaskan karpet di ujung koridor.
Di dalam ruangan, Alan dan Nara sudah menyelesaikan kewajiban mereka. Nara kembali berbaring ditemani Alan yang duduk di samping tempat tidur. Wajah Nara berubah sayu dan sedih.
"Lan, jangan tinggalkan aku ...." Di dalam sorot mata itu tersirat permohonan yang begitu mengiba, membuat Alan segera menggelengkan kepalanya dengan tegas.
"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, apapun yang terjadi, Ra. Meskipun nanti hanya bisa kulakukan dari jauh, tapi kupastikan aku akan selalu ada dan bersamamu. Aku akan terus menjagamu dan memastikan kebahagiaanmu."
"Bagaimana aku bisa bahagia jika aku dijauhkan dari sumber kebahagiaanku? Kamulah kebahagiaanku, Lan."
Alan meraih kedua tangan Nara, menariknya bersamaan dan menyatukannya dengan kedua tangannya sendiri.
"Bagaimanapun juga, sebentar lagi kamu akan menjadi miliknya. Berusahalah untuk menerima kenyataan ini, tetapi jangan menjadi lemah karenanya. Kamu harus tetap kuat dan jangan sekalipun kau tunjukkan kelemahanmu di hadapannya!"
"Tapi aku tidak akan bisa bahagia, Lan. Apa kamu juga akan bahagia setelah ini?"
"Aku akan bahagia jika kamu juga bahagia. Karena itu, berbahagialah ...." Alan menampakkan senyuman tipis di wajahnya.
"Jika kamu tidak bisa bahagia karena lelaki itu, berbahagialah karena dia ...." Tangan kanan Alan membawa tangan kanan Nara dan diletakkannya di atas perut Nara dengan lembut.
"Dia lebih membutuhkanmu. Dia membutuhkan kasih sayang dan perhatianmu. Cintailah dia ...."
.
.
.
Jangan lupa untuk selalu menyemangati kami dengan Like, Komentar, Bintang 5, Vote & Favorit.
Terima kasih banyak untuk semua pembaca yang telah berkenan membaca dan menikmati novel kami.
Salam cinta dari kami.
💜Author💜
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!