Jessica melangkah anggun keluar dari Pengadilan Agama. Hari ini dia resmi menjadi janda. Janda cantik yang mampu memikat lelaki manapun juga.
Sambil membawa sebuah dokumen akta perceraian, dia masuk ke dalam sebuah taksi online yang sudah dipesannya. “Pak, kita berangkat sekarang,” ujarnya memberikan perintah pada sopir taksi.
“Baik, Nyonya.”
“Hey! Jangan panggil saya nyonya. Saya baru saja bercerai. Panggil saya Nona Jessica,” ujarnya dengan senyum bangga.
Sopir taksi melihat pantulan wajah cantik Jessica lewat spion tengah seketika merasa berdebar dadanya. “Baik, Nona Jessica,” ujar sopir taksi itu dengan wajah tersipu. Mobil langsung melaju menuju alamat yang sudah tertera di peta gawai taksi.
......................
Jessica masuk ke dalam sebuah firma hukum setelah taksi berhenti di depannya. Ia berjalan melewati lobi dengan anggun dan menunjukkan simbol transformasi dirinya. Dari seorang istri yang merasa terjebak dalam pengkhianatan, dia berubah menjadi seorang wanita yang kuat dan mandiri, siap untuk mengambil kendali atas hidupnya dan masa depannya.
Setelah melintasi lobi, Jessica menuju lift. Saat pintu lift terbuka, dia bertemu dengan rekan-rekan kerjanya yang biasa, beberapa di antaranya mengangguk dan tersenyum padanya. Meskipun senyuman mereka terasa tulus, Jessica tahu bahwa mereka mungkin tahu tentang situasinya. Gosip kantor sulit dihindari, dan perselingkuhan suaminya bukanlah rahasia yang dapat lama disembunyikan.
“Kalian melihat Pak Noel?” tanya Jessica dengan nada suara tenang.
“Ada di ruangannya, Bu.” Salah satu staff menjawab dengan nada hati-hati.
Sebagai seorang manager umum di firma itu, Jessica terkenal dengan kecantikan dan kecerdasannya. Ia adalah atasan favorit semua staff. Baik laki-laki maupun perempuan begitu mengaguminya karena kepiawaiannya dalam meng-handle klien. Wajar saja dia menjadi manager umum di usia yang masih terbilang muda.
“Jam tiga nanti akan ada rapat staff. Bersiap, ya.” Jessica berpesan dengan senyum menawannya.
Semua staff mengangguk dan balas senyum. Mereka salut dengan profesionalisme yang dilakukan Jessica. Padahal untuk sebagian wanita mungkin akan mengambil cuti hari ini karena patah hati. Tidak untuk Jessica. Hari pertama dia menjanda, justru dia ingin merayakan itu.
......................
Jessica masuk ke dalam sebuah ruangan yang bukan miliknya. Tanpa permisi dia langsung membuka pintu dan melihat seorang laki-laki yang sibuk dengan laptopnya.
Pemilik ruangan tidak tersinggung sama sekali dengan sikap tak sopan Jessica. Justru dia tersenyum dan melepaskan pekerjaannya.
“Senang melihatmu hari ini, Miss. Jessica,” ucap lelaki itu. Sengaja dia menggunakan panggilan “Miss” bukan “Mrs”.
Jessica melengos dan menutup pintu dari dalam. Dia meletakkan dengan kasar dokumen yang sejak tadi dia bawa ke atas meja. “Kapan giliranmu?” tanya perempuan itu dengan senyum miring.
“Wow! Chill, Babe.” Noel tertawa lalu bangun dari duduknya.
Ia mendekati Jessica dan mengambil dokumen perceraian wanita itu. Dibukanya dan membaca dengan seksama sambil mengangguk paham. “Mmmmhh.” Lalu ditutupnya kembali dokumen itu.
“Jangan cuma “mmmhh” saja,” ketus Jessica.
Noel terkekeh pelan. Dia berjalan menuju kulkas dan membukanya untuk mengambil sebotol air mineral dingin. “Minum dulu,” katanya memberikan botol minuman itu pada Jessica.
Tidak menolak, perempuan itu meminum air dingin itu. Lumayan lah untuk mendinginkan otaknya sekarang.
Noel duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya. Ia memberikan kode pada Jessica untuk duduk di sampingnya. Sekali lagi Jessica menuruti apa perintah Noel. Ia langsung duduk di samping Noel sambil merapikan rok spannya.
“Kamu kapan menceraikannya?” tanya Jessica sekali lagi.
“Sebentar lagi. Masih ada yang harus aku lakukan.”
Jessica mengangkat satu alisnya. “Kamu masih mencintai Alesha, kan?” tebaknya sinis.
Noel mengangkat bahunya. “Menurutmu bagaimana?”
“Sakit jiwa kamu, Noel!” maki Jessica ingin berdiri tapi langsung ditahan Noel.
“Mau kemana?” tanya Noel memegang tangan Jessica.
Perempuan itu tidak menepis, justru kembali duduk meski dia melemparkan pandangan ke arah lainnya.
“Alesha tidak bisa diceraikan begitu saja,” kata Noel dengan nada lembut.
Jessica diam tidak menanggapi. Dia enggan bicara kalau menurutnya topik ini tidak menarik.
“Jess,” panggil Noel lagi.
“Sudahlah, Noel! Aku malas membahas ini. Kamu masih mencintainya, itu yang aku tahu!” ketusnya dengan tangan berlipat di dada.
Noel menarik napas dalam. Dia tahu kalau sekarang Jessica begitu kesal bahkan kecewa padanya. “Nanti secepatnya aku akan menceraikan Alesha,” janjinya.
Jessica tersenyum miring. “Kamu terlalu pengecut untuk mengambil keputusan itu,” sinisnya.
“Aku bukan pengecut, Jess. Ini tidak semudah yang kamu kira,” kata Noel.
“Aku bisa dengan mudah menceraikan Deon.”
“Itu kamu, bukan aku.”
Sekali lagi Jessica berdecih. Kali ini dia berdiri dan pergi tanpa ditahan oleh Noel lagi. Dengan kasar dia membuka pintu dan menutup dengan keras, tanda dia benar-benar marah pada Noel.
......................
Di ruangannya, Jessica menggeram kesal. Ia menghempaskan badannya duduk di atas kursinya sambil memijat pelipis mata. “Noel sialan!” rutuknya.
Pintu ruangan Jessica diketuk seseorang dari luar lalu masuk seorang laki-laki lainnya. “Aku ganggu, nggak?” tanya lelaki itu dengan suara lembut dan sopan.
Jessica mengangkat wajahnya dan melihat Liam berdiri di depan pintu dengan tangan masih memegang kenop.
“Masuklah,” pinta Jessica dengan nada lelah. Ia menyandarkan punggungnya di badan kursi dengan nyaman.
Liam menutup pintu dengan pelan lalu berdiri di samping meja Jessica. “Sudah makan siang?”
“Belum.” Jessica menjawab dengan mata tertutup.
“Makan siang denganku?” tawarnya tulus.
Jessica melihat Liam yang tersenyum. Liam adalah seorang pria yang memiliki penampilan menawan dan sikap yang penuh perhatian. Tingginya sekitar 180 cm dengan tubuh yang atletis, mencerminkan gaya hidup sehat yang dijalaninya. Rambutnya berwarna cokelat gelap dan selalu tertata, sedikit bergelombang di ujungnya, memberikan kesan kasual namun tetap rapi.
“Boleh, tapi sebentar lagi.” Jessica meminta waktu.
Liam mengangguk paham. “Anak-anak pada bisik-bisik. Katanya Bu Jessica bertengkar lagi dengan Pak Noel,” katanya sambil terkekeh.
Jessica mendengkus sebal. “Gila aja! Aku sudah menceraikan Deon, tapi dia tidak menceraikan Alesha!”
Liam mengangguk paham. “Sejak SMA memang kamu selalu bertengkar dengannya,” gumam lelaki itu.
“Gosh! Liam … ini bukan pertengkaran biasa. Alesha itu perempuan menjijikkan!!”
Liam menahan tawanya. “Ya, sepertinya begitu.”
“Kamu jangan tertawa. Sekarang aku benar-benar marah!”
“Sudah, sudah, sudah. Jangan emosi lagi. Kita makan siang sekarang. Ajak Noel dan bicara sekali lagi dengannya. Sepertinya aku bisa membujuk dia untuk menceraikan Alesha secepatnya,” kata Liam mencoba menenangkan Jessica.
Jessica cemberut tapi dia menurut saja ketika Liam menarik tangannya untuk berdiri agar mereka bisa makan siang sekarang.
“Pokoknya aku tidak mau bicara dengan Noel!” kata Jessica dengan mantap.
“Iya, Jess. Kamu tidak perlu bicara dengannya. Biar aku saja.”
Jessica mengangguk dengan wajah merengut. Liam tertawa melihat wajah Jessica seperti itu. Terlihat sangat menggemaskan di matanya.
...****************...
Di lain sisi. Alesha berjalan dengan langkah cepat dan terburu-buru di sebuah lobi hotel. Dengan menggunakan topi dan masker dia selalu menunduk ketika melewati beberapa pegawai yang berpapasan dengannya.
Kakinya berhenti di depan sebuah kamar lalu mengetuk pintu dengan tidak sabar. Tidak menunggu lama, pintu dibuka oleh seorang laki-laki yang tersenyum padanya.
“Selamat datang,” ucap lelaki itu sambil menarik tangan Alesha untuk masuk ke dalam.
Pintu ditutup dan akhirnya Alesha bisa membuka masker dan topinya. Ia bisa bernapas lega setelah jantungnya berdentam kuat dan adrenalinnya terpacu.
“Kenapa?” tanya lelaki yang sudah memesan kamar hotel untuknya. Ia mengunci pintu lalu mendekati Alesha dan mendekapnya dari belakang. “Gugup ketahuan orang lain kalau Nyonya Alesha berada di hotel bersama laki-laki lain?” bisiknya lalu menggigit pelan daun telinga Alesha hingga membuat perempuan itu bulu romanya meremang.
“Aku hanya tidak ingin Noel tahu. Dia punya banyak teman dan mungkin saja ada yang memata-mataiku,” jawab Alesha masih dengan detak jantung yang cepat.
“Tenang, Sayang. Aku akan membuatmu melupakan suamimu itu,” bisiknya lagi.
Alesha ingin melepaskan diri dari tangan lelaki itu tapi tak mampu karena begitu eratnya sang lelaki melingkarkan tangan di badannya. Bahkan lelaki itu dengan mudah membalik badan Alesha agar bisa berhadapan dengannya. Tanpa ragu lelaki tersebut meraup bibir Alesha dengan mudah.
Tak ada pemberontakan justru Alesha melakukan perlawanan atas rengkuhan itu. Seolah ada sesuatu yang dia tahan sejak tadi, dengan cepat tangan Alesha menanggalkan bajunya sendiri tanpa diminta. Ia membiarkan si lelaki menyentuh dua bagian indah miliknya dari balik penutupnya. Alesha melenguh candu. Ia mengangkat wajahnya meminta untuk segera disentuh bagian leher dengan bibir lelaki itu.
Si lelaki yang sama seperti Alesha telah menahan sesuatu sejak tadi takkan menyia-nyiakan begitu saja kesempatan itu. Setelah ia menanggalkan bajunya juga, kulit mereka segera bersentuhan. Hangat bercampur dingin karena suhu ruangan. Lelaki itu segera mengangkat Alesha dan menghempaskan tubuh mulus perempuan itu di atas tempat tidur.
Alesha bisa melihat dari bawah bagaimana menariknya lelaki yang sedang sibuk melepaskan pakaian satu persatu hingga tak tersisa satu busana pun di tubuhnya. Ia tersenyum menyeringai dan membiarkan lelaki itu melakukan hal yang sama pada dirinya. Alesha pasrah dan membiarkan tubuhnya disentuh sejengkal demi sejengkal oleh lelaki yang baru saja bercerai itu.
“Hold me, Dear,” bisik Alesha bercampur suara napas beratnya.
Lelaki itu tersenyum kemudian kembali menenggelamkan wajahnya di antara dua bagian indah milik Alesha.
......................
Sementara itu di sisi lainnya, Jessica masih tidak ingin tersenyum sama sekali. Dia bersedia makan siang bertiga dengan Noel dan Liam tapi dengan syarat dirinya harus satu mobil dengan Liam saja. Noel pakai mobilnya sendiri.
“Masih kesal?” tanya Liam yang menyetir mobil.
Jessica duduk di sampingnya dengan tangan terlipat di dada.
“Hm.”
“Kita tidak tahu apa yang direncanakan Noel,” kata Liam lagi.
“Dia kan bisa bicara sama kita, Liam.”
“Nggak semuanya bisa diceritakan ke sahabat, kan?”
“Tapi, Alesha itu—”
“Aku mengerti,” potong Liam.
Sekali lagi Jessica mendengkus kasar. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran Noel saat ini. Sahabatnya yang satu itu memang agak lain pemikirannya.
“Padahal dulu waktu jaman sekolah dan kuliah dia kan yang paling playboy! Tapi, masa menceraikan istrinya saja dia tidak sanggup?” gerutu Jessica lagi.
Liam hanya tertawa pelan. Ia mulai memasuki area perkomplekan yang menuju satu restaurant favorit mereka bertiga.
Jessica turun dari mobil. Dia melihat mobil Noel ikut parkir di samping mobil Liam, dengan cepat Jessica memalingkan wajah dengan cemberut.
Noel yang melihat ekspresi Jessica dari dalam mobil hanya bisa tersenyum pahit. Ia mengerti bagaimana kesalnya Jessica saat ini. Segera Noel turun dari mobil dan lebih dulu menghampiri Jessica.
“Jess,” panggilnya lembut.
Jessica mengabaikan Noel dan masuk ke dalam restoran lebih dulu.
“Sudah. Nanti saja dibicarakan. Dia butuh asupan untuk lambungnya terlebih dulu,” kata Liam menepuk pundak Noel lalu mengajaknya masuk ke dalam.
Setelah di dalam, mereka bertiga memesan makanan dan berada di meja yang lebih private agar obrolan mereka tidak terganggu atau terdengar pengunjung restoran yang lain.
Sembari menunggu hidangan siap, Liam mulai membuka pembicaraan dengan nada tenang. Seolah sekarang dia sebagai penengah atau wasit dalam suatu pertandingan sengit.
“Noel … Kita bertiga sudah sepakat tentang hal ini. Kalian berdua akan menceraikan pasangan masing-masing. Jessica sudah melakukan itu, tapi kenapa kamu masih belum juga?” tanya Liam hati-hati.
Noel menghela napas panjang. Ia menunduk sesaat kemudian menatap Liam. “Aku tidak bisa menceraikan secepat itu.”
“Apa karena Olive?” tanya Liam lagi.
Olive adalah anak perempuan tunggal Noel dan Alesha. Gadis kecil yang cantik itu berusia lima tahun dan sekarang duduk di TK. Noel memang sangat mencintai putrinya. Masuk akal kalau alasan mereka belum bisa berpisah karena anak.
“Olive masih membutuhkan ibunya,” kata Noel lirih.
“Alasan,” cibir Jessica.
“Kamu nggak akan mengerti, Jes. Kamu kan belum punya anak,” kata Noel yang sedikit tersinggung karena Jessica menanggapi seperti itu.
“Bukan karena aku yang nggak bisa punya anak, tapi emang aku yang gak mau!” kata Jessica balas tersinggung.
“Aku nggak bilang kamu nggak bisa punya anak,” kata Noel membela dirinya.
“Oke, oke. Cukup. Kalian jangan bertengkar disini,” kata Liam yang mulai merasa ada hawa panas dan arus tegangan listrik antara Jessica dan Noel.
“Tapi, aku yakin bukan Olive yang dia jadikan alasan.” Jessica masih bersikukuh dengan dugaannya.
“Lalu apa?” tanya Liam.
“Pasti ada hal lainnya, kan?” tebak Jessica.
Noel hanya diam dan membuang muka.
“Selama ini Alesha hampir tidak ada di rumah. Dia pura-pura sibuk kerja padahal lagi asik di ranjang sama suami orang!” sindir Jessica lagi.
Noel tidak membantah. Dia memilih diam.
“Bahkan Olive saja belum tentu sekarang bisa merasakan kasih sayang ibunya. Setiap Alesha pulang ke rumah, Olive sudah tidur. Kamu tau sendiri hal itu kan, Noel?” tuntut Jessica pada lelaki yang masih bungkam itu.
“Jess, tenang,” pinta Liam pada Jessica yang mulai terbakar juga akhirnya.
“Nggak gitu, Liam. Aku sudah berusaha tenang, loh! Tapi, please … jangan Olive yang dia jadikan alasan. Aku sayang sama Olive sama seperti anak sendiri.”
Noel memijat pelipis matanya. Faktanya memang begitu. Jessica memang sesayang itu sama Olive. Mereka sering jalan berempat dengan Olive dan Liam. Dibanding dengan Alesha, justru Olive merasa sangat nyaman saat bersama dengan Jessica.
“Jessica … biarkan Noel bicara,” kata Liam lagi.
Noel hanya mengangkat bahunya. “Aku bicara pun, Jessica nggak akan mau dengar,” ujarnya.
“Itu karena kamu terlalu pengecut! Aku nggak butuh kamu bicara, Noel. Aku maunya kamu buktikan kalau kamu bisa ceraikan Alesha. Itu saja!” desak Jessica gemas sendiri.
“Aku nggak bisa melakukan sekarang, Jess!” kata Noel menaikkan nadanya.
“Kenapa? Kamu masih sanggup tidur sama perempuan yang seperti itu? Dia itu sampah!” maki Jessica di ambang kemurkaannya.
“Jess.” Liam sedikit kaget dengan kalimat Jessica.
“Apa?! Kamu pikir aku bakalan segan buat memaki perempuan seperti Alesha. Meskipun dia istrinya sahabat aku sendiri, tetap aku jadikan perempuan itu manusia terkutuk dalam hidup aku.” Jessica sudah tidak dapat mengontrol emosinya lagi.
Liam berusaha menenangkan Jessica dan mengelus pundaknya.
“Noel! Buka pikiran dan mata kamu. Alesha sudah selingkuh dengan Deon! Mantan suamiku!! Tiga tahun kita dipermainkan!! Tolong sadar!! MEREKA ITU SAMPAH” pinta Jessica yang akhirnya suara tingginya menjadi bergetar bercampur air mata.
Noel hanya bisa menundukkan kepalanya. Fakta tak terbantahkan dan paling menyakitkan seumur hidup mereka adalah pengkhianatan Alesha dan Deon. Rumah tangga yang awalnya mereka pikir akan baik-baik saja itu ternyata hancur begitu saja saat Jessica tanpa sengaja menemukan HP rahasia milik Deon.
...****************...
Satu tahun yang lalu …
“Sayang, hari ini aku pulangnya agak larut, ya.” Deon berkata seraya memeluk Jessica dari belakang.
Pagi ini istrinya sibuk membuat sarapan untuk mereka berdua. Meski hanya sandwich, Deon selalu menghabiskan apapun yang dibuat oleh Jessica.
Deon adalah lelaki yang nyaris sempurna untuk Jessica. Dia pekerja keras, penyayang, perhatian dan tentunya penuh cinta. Banyak yang iri pada keharmonisan mereka berdua.
Lima tahun sudah mereka menikah, tapi belum memiliki anak. Bukan tidak bisa, Jessica meminta agar dirinya hamil di saat usia pernikahan mereka melewati tahun kelima.
“Yah … padahal aku mau ajakin kamu makan malam sama Noel dan Liam,” kata Jessica dengan sedih dan membalikkan badan agar bisa menatap wajah suaminya.
“Noel sama Olivia?” tanya Deon.
Jessica mengangguk. “Tapi, katanya gak sama Alesha. Kata Noel istrinya sibuk banget, Yang.”
Deon mengangguk paham. “Aku mau ikut tapi gimana ya—”
Jessica melihat ekspresi Deon yang sedikit bingung. Ia tersenyum lalu menyentuh pipi suaminya dengan lembut. “Yaudah gapapa. Kalau kamu gak bisa batalin janji kamu ketemu klien, aku gak akan maksa.”
Deon segera tersenyum lega lalu mendaratkan morning kiss sedetik ke bibir istrinya. “Thanks, Baby. You're the definition of goals, both in life and in love,” pujinya tulus.
“Gombaaaal … nanti kenyang aku kalau pagi-pagi dikasih makan gombalan,” gemas Jessica sambil menangkup pipi Deon dengan kedua tangannya.
Deon terkekeh pelan. “Sandwich udah ready? Mau sarapan sekarang.”
“Almost done! Kamu duduk dulu di sana. Nanti aku bawain.”
Deon mengangguk lalu mencium kening Jessica. Ia berjalan menuju kursi sambil tangannya sibuk dengan ponsel.
“Jadi, nanti aku pulangnya juga agak larut. Selesai makan malam langsung pulang,” kata Jessica memberikan sepiring sandwich dan susu vanila untuk Deon.
“Okay. Have fun dinner-nya, Sayang,” ucap Deon seraya tersenyum.
Jessica balas senyum lalu mencium kening Deon dan duduk berhadapan dengannya. Mereka sarapan dengan tenang sambil membahas tentang pekerjaan.
......................
Jesica sampai di kantor firma dan berpapasan dengan Liam. Lelaki itu memakai outfit kerja di pagi hari di kantor, terlihat sangat profesional dan rapi. Dengan jas yang pas di tubuhnya, kemeja putih bersih, dan dasi yang elegan. Rambutnya tertata rapi, dan senyumannya yang hangat. Penampilannya yang berwibawa mencerminkan dedikasi dan etos kerjanya yang tinggi.
“Morning, Jess,” sapa Liam mengimbangi langkah Jessica yang sedikit terburu-buru.
“Hai, morning.” Jessica balas menyapa disertai senyum semangatnya. “Noel sudah datang?”
“Belum. Katanya dia harus mengantar Olivia ke rumah ibunya.”
“Kok Noel yang antar? Alesha kemana?”
“Aku nggak nanya. Itu kan urusan rumah tangga dia,” kata Liam mengedikkan bahu.
“Hmm … kamu kapan berumah tangga?” tanya Jessica usil.
“Udah deh, Jess. Jangan merusak mood di pagi hari,” jawab Liam sambil tertawa pelan. “Kecuali ada satu cewek lagi yang seperti kamu, baru aku akan menikah.”
Jessica ikut tertawa dan memukul pelan lengan Liam. “Please, deh. Masih belum move on juga?” ledeknya.
“Sulit, Jess. Gimana bisa move on kalau dari sekolah sampai sekarang bareng terus,” ungkapnya.
Jessica tidak terlalu menanggapi. Ia hanya menekan tombol lift dan masuk ke dalam bersama Liam.
Sebenarnya Liam dan Jessica pernah berpacaran selama dua tahun saat kuliah. Ajaibnya ketika mereka yang dari sahabat terus jadi pacar, mereka masih bisa kembali lagi jadi sahabat. Lagipula waktu pacaran dulu memang tidak ada bedanya dengan hubungan persahabatan mereka. Hanya saja saat berpacaran mereka jadi lebih sering kontak fisik. Itu saja.
“Malam ini jadi, kan?” tanya Jessica mengalihkan pembicaraan.
Lelaki tampan berkacamata itu mengangguk. “Aku sudah reservasi restorannya. Deon ikut?”
“Dia nggak bisa ikut. Sibuk banget sama klien,” ujarnya.
“Kalau gitu cuma kita berempat, ya?”
Jessica mengangguk lalu bercermin di kaca lift sambil merapikan rambutnya dengan tangan. “Hari ini pasti akan menyenangkan,” ucapnya seraya tersenyum.
“Kenapa?”
“Ada Olivia,” jawabnya lebih lebar senyumnya.
Liam ikut tersenyum. Jessica paling senang bermain dengan anak sahabatnya itu. Apalagi sekarang dirinya mulai berpikir ingin ikut program hamil. Deon masih belum tahu rencananya, dia ingin membuat kejutan saja pada lelaki itu.
......................
Malamnya mereka sudah sampai di sebuah restoran. Liam dan Jessica datang lebih dulu. Mereka berdua memesan makanan sembari menunggu Noel datang bersama Olivia. Noel harus menjemput anaknya terlebih dahulu di rumah ibunya.
“Masih lama ya?” tanya Jessica sambil melihat jam di HP. Dia gelisah menunggu kedatangan gadis kecil itu.
“Mungkin sebentar lagi,” jawab Liam sambil menatap ke arah pintu masuk.
Dan, baru saja Liam mengatakan itu pintu terbuka juga dan masuk dua orang pengunjung. Noel datang sambil menggendong putri kesayangannya. Jessica yang melihat itu langsung berdiri dan bersorak pelan sambil merentangkan tangan.
“Halo, My Princess,” sapa Jessica dengan suara imut ciri khas saat bicara pada anak kecil.
Olivia melihat Jessica langsung tersenyum senang dan bertepuk tangan. Ia juga mengulurkan tangan minta digendong sama sahabat ayahnya itu.
“Sorry lama,” kata Noel setelah Olivia diambil alih oleh Jessica.
“Gapapa,” jawab Liam yang menatap tersenyum pada Jessica. Ia senang memandang saat Jessica bermain dengan Olivia yang sudah mereka anggap sebagai keponakan.
“Kalian sudah pesan makanan?” tanya Noel lalu duduk setelah kerepotan membawa Olivia.
“Sudah. Tinggal tunggu aja,” lanjut Liam yang menjawab. Jessica sudah tidak ingin bicara dengan dua sahabatnya setelah ada Olivia.
“Alesha sibuk banget. Heran! Bahkan malam ini katanya nggak pulang,” gerutu Noel terdengar kesal.
“Memangnya dia sibuk apa?” tanya Liam akhirnya.
“Tau sendiri kan kalau dia manager marketing mobil. Kerjaannya ya keluar kota buat kunjungan. Sekarang saja dia lagi di Bandung,” jelas Noel. “Kuminta dia buat resign tapi katanya masih ingin menjadi wanita karir. Aku cuma kasihan sama Olive,” ungkap Noel sambil menatap putrinya dengan sendu.
Liam mengangguk paham tanpa berani memberikan solusi ataupun komentar.
“Kalau gitu Olivia tinggal sama aku aja,” celetuk Jessica seenaknya.
“Mending bikin sendiri deh, Jess.” Noel menjawab dengan nada meledek.
“Rencananya sih begitu. Besok aku mau ke Obgyn buat ikut program,” kata Jessica dengan tenang.
Liam dan Noel saling pandang. Terkejut dengan berita ini. Apakah wanita yang lebih cinta sama pekerjaan ini akhirnya benar-benar akan memiliki seorang anak?
“Serius?” tanya Liam.
Jessica mengangguk tersenyum. “Rumah tanggaku sudah lewat lima tahun dan semuanya baik-baik saja. Saatnya level up kan, guys?”
Liam dan Noel hanya tersenyum. Mereka senang dan lega akhirnya Jessica sudah terbuka hatinya ingin memiliki anak. Deon pasti akan senang juga, pikir Jessica.
......................
Sudah terlalu larut malam. Jessica sudah tiba di rumahnya sekitar tiga jam yang lalu tapi suaminya belum juga pulang. Ia menelpon Deon berkali-kali tapi tidak diangkat. Semakin gelisah hati dibuatnya.
“Kemana dia? Kenapa belum pulang juga?” gumam Jessica sambil mondar mandir di ruang tamu.
Lima belas menit kemudian terdengar suara mobil dari luar. Jessica lega lalu membuka pintu menyambut suaminya.
Deon keluar dari mobil sambil membawa tas kerjanya. Dia sempoyongan berjalan menuju pintu. Entah kelelahan atau apa.
“Sayang,” panggil Jessica.
Deon mengangkat wajahnya dan sedikit terkejut melihat Jessica berdiri di ambang pintu. “Kamu belum tidur, Sayang?” tanya dia sembari mengusap wajahnya.
“Are you drunk?” tanya Jessica dengan kening mengernyit.
Deon meringis pelan. Dia mendekati Jessica dan seketika tercium bau alkohol yang menyengat dari mulut dan tubuh suaminya.
“Hmph!” Jessica mengibaskan tangannya di depan hidung. “Kenapa bisa mabuk sih, Sayang?”
“Klienku ngajakin minum. Tapi, sebagai imbalannya dia bersedia investasi di perusahaanku,” kata Deon dengan senang dan semangat.
Jessica menghela napas. Ia paham betul bagaimana cara Deon menarik perhatian kliennya. Ia harus rela setiap kali klien-kliennya mengajak minum-minum atau makan di luar.
“Sini, aku bantu.” Jessica mengambil tas Deon lalu memapah lelaki itu masuk ke dalam kamar.
Deon yang berjalan terhuyung-huyung akhirnya tiba juga di atas tempat tidur. Jessica merebahkan badan suaminya lalu satu persatu melepaskan sepatu beserta kaos kakinya. Ia juga membantu melepaskan baju kerja Deon. Hingga tak berapa lama lelaki itu terlelap di bawah selimut tebal.
“Hhh.” Jessica menarik napas panjang. Sekarang saatnya ia meletakkan tas Deon ke ruang meja kerja suaminya. Sambil menenteng tas itu tiba-tiba saja dia merasa ada sesuatu yang bergetar di dalamnya.
Jessica merogoh isi tas dan meraba isinya. Seketika tangannya menyentuh satu benda yang bentuknya tentu tidak asing.
“HP?” gumamnya pelan lalu menarik tangannya yang sudah menggenggam satu ponsel.
Ia menatap gawai di tangannya lalu melemparkan pandangan ke atas nakas samping tempat tidur. Di sana ada HP Deon. Lalu di tangannya HP siapa?
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!