“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Seorang wanita bersurai panjang, tengah meremas sebuah foto berlatar belakang sebuah universitas negeri yang ada di ibu kota provinsi, jauh dari kampung halamannya.
Raut wajah yang biasanya selalu menampilkan keramahan, kelembutan, kini memerah dikarenakan menahan tangis dan memendam amarah.
Dalam keremangan cahaya lampu kuning kamar berukuran tak seberapa luas, dia menatap sekali lagi pada tiga buah gambar yang dikirim entah oleh siapa.
Potret itu menunjukkan sepasang manusia beda jenis. Si laki-laki yang tidak lain adalah tunangannya tengah merangkul wanita berambut sebahu dari arah belakang. Kemudian satu pose lainnya berhasil meluluhlantakkan hatinya, calon suaminya mengecup pucuk kepala sosok mungil yang dia sendiri tidak mengenal siapa gerangan.
Potret itu jelas diabadikan oleh seorang fotografer, sebab si laki-laki sadar akan kamera. Namun, entah apa maksudnya? mereka memilih gaya seakan pasangan selebriti yang sedang menjalani hubungan backstreet. Si wanita benar-benar menyembunyikan jati dirinya.
Nur Amala, atau yang kerap disapa Mala. Meneliti secara saksama berusaha mencari tahu siapa si sosok misterius.
“Mengapa aku merasa tidak asing dengan postur tubuhnya ya, tapi siapa?”
Sekeras apapun dia berpikir, menerka, melakukan cocok logi, tetap hasilnya nihil. Namun, hatinya meyakini kalau mengenal wanita bergaun bunga-bunga yang panjangnya sebatas lutut.
“Ya Allah, hamba harus bagaimana? Tolong berikan petunjuk-Mu ya Rabbi.” Amala meraup kasar wajahnya. Dia begitu frustasi, disaat hari pernikahan sudah semakin dekat. Tiba-tiba kenyataan pahit ini menghantam ulu hatinya.
Dua bulan lagi Amala akan melepaskan masa lajang. Sang tunangan yang bernama Yasir Huda, sudah diangkat menjadi seorang PNS. Saat ini calon suaminya masih berada di ibu kota provinsi, mengurus mutasi kerja ke kota mereka.
“Sebelum semuanya terlambat, aku harus secepatnya mencari tahu!” gumamnya penuh tekad. Dia bersyukur, Tuhan tetap menjaga kewarasannya, tidak menjadikan dirinya seorang wanita yang menghamba cinta apalagi sampai cinta buta.
Bagi Amala, jika belum sah menjadi sepasang suami istri, maka dirinya hanya sekian nol persen dalam memberikan rasa. Namun, bukan berarti dia tidak sakit hati bila dikhianati.
Wanita berbaju tidur motif polkadot itu bergegas menyimpan kembali tiga lembar foto yang salah satunya sudah kusut akibat ulah tangannya sendiri.
***
Pagi hari.
“Nak … kenapa wajahmu sembab? Kau habis menangis?” tanya Mak Syam, ibunya Amala.
Sebelum menjawab, Amala terlebih dahulu menarik kayu bakar dan hanya menyisakan bara api. Dia baru selesai merebus singkong dan menggoreng pisang kepok sebagai menu sarapan pagi.
Hari sudah mulai terang, tak lama lagi pasti sang surya menyinari bumi.
“Sedikit, Mak.” Amala menghampiri sang ibu, mengusap lengan kurus yang dibungkus baju kurung motif bunga-bunga.
Mak Syam menggeser posisi berdiri agar berhadapan dengan putri sulungnya. “Ada apa gerangan, Nak? Hatimu tengah gundah kah? Atau memikirkan calon suamimu?”
“Iya, Mak. Mala kepikiran Mas Yasir, sudah lama dia tak lagi rutin mengirim kabar,” ucap Amala, jawabannya tak sepenuhnya berdusta. Kenyataannya memang seperti itu adanya, sudah 4 bulan sang tunangan tak lagi memberikan kabar lewat surat.
“Coba datangi rumah orang tuanya! Tanya pada calon ibu mertua mu, bukankah sebulan yang lalu mereka menyambangi Yasir?” ujar Mak Syam, mencoba membantu meringankan kegundahan hati putri sulungnya.
“Rencananya nanti siang, Amala mau berkunjung ke rumah Bi Atun,” papar Amala.
“Bagus itu, biar hatimu lega. Jangan lupa bawa buah tangan bila mau bertamu!”
“Iya, Mak.”
“Mala, apa kau tidak merasa ada yang beda dengan adikmu?” tanya Mak Syam, wajah tuanya terlihat sendu.
“Beda bagaimana, Mak? ‘Kan, setiap bulan Nirma masih rutin mengirim kabar, terus dia juga tak lupa menyelipkan satu lembar foto terbarunya.”
Mak Syam mengangguk, tetapi terlihat seperti belum puas. Sebagai seorang Ibu yang mengandung, melahirkan dan menyusui, dirinya memiliki ikatan batin cukup kuat. Namun, sukar menafsirkan. Hanya saja dia merasakan sesuatu yang janggal.
“Sudah 3 kali Nirma mengirim foto dirinya, tetapi Mamak perhatikan dia selalu mengenakan topi dan jaket kerah tinggi. Bahkan wajahnya hampir separuh tertutup benda itu.”
Deg.
Amala memalingkan wajahnya begitu cepat, menatap aneh pada sang ibu. Entah mengapa hatinya langsung resah. “Mak, dimana Mamak simpan foto terakhir yang Nirma kirim?”
“Ada di buffet, rak paling atas. Ada apa, Mala? Kenapa kau terlihat gelisah?” tanya Mak Syam, dia menelisik raut wajah putrinya yang terlihat sedikit pias.
Amala tidak menjawab pertanyaan ibunya, dia beranjak dan membuka lemari tua terbuat dari kayu jati yang ada di ruang tamu. Mencari album berisi foto adik semata wayangnya yang saat ini tengah berkuliah di kota provinsi.
“Ya Allah, inikah petunjuk dari-Mu ya Rabbi?” lirih Amala, pelupuk matanya berkaca-kaca kala melihat gaun selutut bermotif bunga-bunga. Dress yang dikenakan Nirma, sama persis seperti milik si wanita misterius.
Amala membawa album tipis itu ke dalam kamarnya, dia mengunci pintu kayu yang sudah terlihat keropos dimakan Rayap. Tubuhnya terasa panas dingin, susah payah melangkah mendekati dipan, mengangkat tilam bersprei hijau polos. Amala mengambil foto yang semalam disembunyikan di sana.
“Amala, ada apa Nak?” suara Mak Syam terdengar cemas, dia masih berusaha mengetuk pintu yang dikunci.
Berulangkali Amala menghela napas panjang, dia harus tetap tenang. Jangan sampai ibunya menaruh curiga dan berakhir darah rendahnya kambuh.
“Tidak apa-apa Mak. Mala hendak ganti baju, baru ingat kalau kemarin Dhien mengatakan berangkatnya pagi ini, bukan siang hari!” serunya sedikit keras.
“Oh … Mamak kira ada apa, kau ini mengejutkan saja.”
Setelahnya Amala mendengar langkah kaki sang ibu yang menjauhi kamarnya, sepertinya mamaknya kembali ke dapur.
“Tidak salah, ini memang Nirma. Mengapa kau tega Dek?” gumamnya pilu, buliran air mata pun sudah jatuh berderai membasahi pipi.
Amala meletakkan semua foto di atas meja kayu yang ada di dalam kamar sederhananya. Dari 6 foto itu, Nirma dan si wanita misterius mengenakan gaun yang sama. Hanya saja sang adik memadupadankan dengan jaket jeans.
Tak ada sedikitpun keraguan dalam hatinya, dia yakin sekali kalau adiknya lah yang menjadi kekasih gelapnya Yasir. Entah apa maksud Nirma memotong pendek rambut indahnya, padahal ia tahu betul kalau saudari kandungnya itu sangat menyukai rambut panjang.
“Sungguh kalian sangat hebat. Selamat ya, telah berhasil menikam ku dari belakang. Menjadikan diri ini layaknya manusia paling bodoh di muka bumi. Dan kau adikku tersayang, ini balasan mu atas pengorbananku? Benar-benar pasangan tidak tahu malu!”
Srek.
Amala mengoyak potret dimana Yasir mencium rambut Nirma. Hatinya benar-benar meradang, tak menyangka dua orang yang begitu dia percaya ternyata mendua dan menjalin hubungan terlarang.
Tujuannya sekarang ialah ke rumah calon mertuanya, atau sudah menjadi mantan. Entahlah! Dia tidak peduli lagi akan status dirinya, fokusnya cuma ingin mencari tahu serta membongkar hubungan terlarang Yasir dan Nirma.
Amala mengobrak-abrik isi lemari, senyumnya begitu sinis kala ...?
.
.
Bersambung.
Harap bersabar membaca setiap Bab- nya ya, agar bisa menyelami alur ceritanya 🙏😊
Terima kasih banyak semuanya 🌹
Amala keluar dari dalam kamar, sambil menyandang tas tangan, benda yang tadi dia cari pun sudah ada di dalam tas nya, cincin pertunangan dengan Yasir Huda.
Amala mengenakan baju kurung, celana panjang serta hijab lebar menutupi bagian dada. Wajahnya terlihat segar, sebab ia membubuhkan bedak tipis agar tidak terlihat seperti orang habis menangis. Tak lupa mengoleskan madu murni di bibir sensualnya.
Amala memiliki kecantikan alami, turunan dari mendiang bapaknya. Postur tubuh ramping, wajah manis dengan lesung di kedua sudut bibirnya. Alis tebal dan bulu mata lentik, pipi sedikit tembam, dagunya berbelah tengah.
Namun, kecantikan Amala tersembunyi dibalik busana longgar dan hijab lebar. Sehingga di mata khalayak ramai, dirinya hanya dipandang biasa saja. Malah dimata kaum Adam, cenderung tidak menarik dikarenakan cara berpakaiannya serba tertutup. Tidak mau bersolek seperti wanita lain yang selalu berusaha tampil semenarik mungkin demi mengundang perhatian para Kumbang jantan.
“Sudah selesai berdandan nya? Apa yang kau poles, Mala? Wajahmu masih begitu-begitu saja,” tanya salah satu sahabat Amala.
“Terus, kau berharap yang bagaimana? Mirip biduan kampung kah? Yang pipinya seperti habis kenak tonjok saking tebalnya mereka memakai perona pipi.”
“Ya nggak segitunya juga. Oh ya … Mak Syam tadi berpesan, kau disuruh mengambil uang hasil jual buah pinang di tempat Bang Agam,” Dhien berucap sambil menahan senyum geli.
Badan Amala seketika lemas, wajahnya pun ikut memelas. Satu nama yang disebutkan oleh Dhien, berhasil membuatnya menjadi seperti ‘hidup segan, mati pun tak mau.’
Mak Syam, sudah pergi ke ladang, memeriksa tanaman cabai dan jahe yang tidak lama lagi siap panen.
“Tengoklah wajahmu itu Mala? Udah seperti Ayam makan karet,” Dhien tertawa puas.
“Dhien, boleh aku minta tolong?”
“Tidak.”
“Awas kau, ya!” Amala memicingkan mata, menatap sinis sahabatnya yang masih tertawa kecil. Dia pun mulai melangkah ke warung sembako yang berseberangan dengan rumahnya.
‘Ya Allah, semoga bukan Bang Agam yang menjaga warung,’ di setiap ayunan kakinya, dia berdoa, berharap tidak bertemu dengan sosok yang selalu berhasil membuat dirinya merasa terintimidasi hanya ditatap sepersekian detik.
Sampailah Amala, di warung milik salah satu orang paling kaya wilayah mereka. Bibirnya menyunggingkan senyum samar kala mendapati yang jaga warung bukan bang Agam, tetapi salah satu pekerjanya.
“Makcik, sapanya lembut, “Saya mau ambil uang hasil jual pinang kemarin,”
“Tunggu sebentar ya, Mala. Saya panggilkan dulu Nak Agam,” ujar wanita paruh baya yang langsung bergegas ke belakang warung.
Belum sempat Amala protes, sosok tadi sudah menghilang dibalik pintu penghubung warung dan ruang istirahat.
‘Sia-sia aku tersenyum, tetap saja harus berhadapan dengan dia. Ya Allah, tolong jaga lisan dan anggota tubuh ini agar tidak melakukan hal bodoh seperti yang sudah-sudah.’
Amala asik melamun, dia duduk di kursi kayu panjang, dalam hati terus menggerutu. Sampai tak mendengar ayunan langkah kaki.
“Ada perlu apa, Nur?”
Amala kenal betul suara bariton ini. Hanya dia seorang yang memanggil nama depannya, tidak seperti lainnya yang menyebut ‘Amala’.
“Hah …?”
Seperti gerakan slow motion, wajah yang tadi menunduk mulai mendongak, netranya langsung menatap bahu lebar berbalut kaos oblong, naik lagi pada jakun menonjol dan garis leher jenjang. Bukannya sadar diri malah semakin menjadi, Amala mengangkat lebih tinggi dagunya sampai pandangannya terpaku pada rimbunnya bulu-bulu halus di rahang tegas, hidung bagaikan perosotan, dan berakhir pada bola mata hitam pekat seperti langit malam tanpa bintang.
“Ehem … sudah selesai belum, Nur?”
“Belum, Bang. Eh ….”
Hampir saja Amala terjengkang, beruntung tangannya refleks berpegangan pada tepian meja. Gadis berumur 23 tahun itu terlihat salah tingkah menahan rasa malu luar biasa. Dia menunduk dalam tanpa berani menatap sang lawan bicara. Sikapnya tak ubahnya seperti seseorang yang ketahuan tengah mencuri.
Baru saja tadi dia berdoa, meminta Sang Khaliq agar menjaga lisan dan sensor geraknya. Namun baru hitungan menit, lihatlah apa yang sudah dia lakukan ini! Bertambah panjang saja daftar kekonyolannya bila berhadapan dengan laki-laki bernama lengkap Agam Siddiq.
“Itu, Bang. Anu_ Mamak bilang, saya disuruh mengambil uang hasil jual pinang kemarin,” cicitnya lirih dengan kosa kata terbata-bata.
“Mau di bayar uang atau ambil belanjaan?” tanya pria yang senantiasa menatap ke depan, tanpa berniat bersitatap.
“Kalau boleh belanjaan saja, Bang,” lirih Amala.
“Masuk dan ambil sendiri barang yang kau inginkan!” Agam langsung berlalu dari sana.
Lagi dan lagi Amala kalah cepat. Dia baru saja hendak protes, tetapi sosok pria dewasa yang masih betah melajang di umurnya 27 tahun itu sudah melangkah cepat menjauhinya.
Mau tak mau Amala mulai memasuki warung sembako berukuran luas, lebih besar daripada bangunan rumahnya. Tadi bang Agam tidak menyebutkan berapa rupiah hasil penjualan pinang. Jadi, jangan salahkan dia kalau mengambil belanjaan lebih dari harga jual.
Tak seberapa lama, tas jinjing yang terbuat dari karung beras sudah terisi penuh. Banyak yang Amala ambil, mulai dari gula, minyak goreng, dan bumbu dapur lainnya. Aksinya itupun tidak ada yang memantau, makcik penjaga warung entah di mana keberadaannya, seakan sengaja membiarkan dia mengambil apa saja.
“Kau habis dari mana, Amala?” goda Dhien, yang duduk di bangku kayu bawah pohon mangga depan rumah Amala.
“Merampok,” jawab Amala sekenanya, lalu masuk dalam rumah dan meletakkan belanjaan tadi di atas amben dapur.
“Ayo berangkat!” ajak Amala, setelah mengunci pintu rumah.
Dhien pun sigap, dia yang mengemudikan motor Astrea berwarna merah putih miliknya. Amala sendiri tidak bisa naik motor, dan tidak memiliki kendaraan roda dua itu. Dia hanya punya sepeda ontel.
Laju motor tua milik Dhien begitu lambat. Apalagi ditambah medan jalan berbukit dan belum beraspal. Sepanjang jalan diapit oleh perkebunan karet dan semak belukar tumbuhan pakis serta rumput liar.
Kampung mereka berada di pelosok, jauh dari kota kecamatan apalagi ibu kota provinsi. Alat komunikasi pun belum ada, para warga mengandalkan surat-menyurat sebagai sarana berbagi kabar kepada sanak saudara yang tinggal di luar daerah maupun provinsi. Untungnya arus listrik sudah masuk di wilayah pemukiman warga yang rata-rata bekerja sebagai penyadap karet dan petani.
Di tahun pertengahan 1990 an ini, alat komunikasi melalui udara masih sulit. Adapun telepon umum atau Wartel, letaknya hanya di kota-kota saja.
.
.
Selang 20 menit kemudian.
“Dhien, parkiran saja motor nya di rumah itu!” Amala menunjuk halaman rumah tetangga bi Atun, yang terlihat tidak berpenghuni. Mungkin pemilik rumah sedang bekerja di ladang.
Dhien pun menurut, dia memarkirkan motornya di bawah pohon coklat.
“Kita lewat belakang saja, Dhien,” ajak Amala, mereka berjalan melewati kebun coklat dan melompati parit kecil.
Begitu sampai di belakang rumah bi Atun, mereka dikejutkan oleh pekikan suara nyonya rumah.
“Dari dulu Ibuk memang lebih setuju kalau Yasir menikahi Nirma daripada Amala. Putri bungsu mendiang Abidin itu setara dengan anak kita, Pak!”
“Tapi, nggak gini juga caranya Buk! Apa kata orang? Mala sudah menjadi tunangan Yasir sejak 5 tahun lalu, tetapi tiba-tiba Nirma yang dipersunting!”
Deg.
Jantung Amala seperti di remas, tatapannya berkunang-kunang.
“Amala, hei! Mala …?”
.
.
Bersambung.
Harap bersabar membaca setiap Bab- nya ya, agar bisa menyelami alur ceritanya 🙏😊
Terima kasih banyak semuanya 🌹
“Amala, hei! Mala?!” Dhien menepuk pelan pipi sang sahabat, dia terlihat cemas melihat wajah Amala yang pias. Posisi mereka sudah memasuki area dapur yang lebih rendah dari bangunan rumah panggung.
Amala mengerjap, berusaha mempertahankan kesadarannya, agar tetap waras. Apa yang baru saja dia dengar seperti bunyi meriam bambu yang memekakkan gendang telinga.
“Aku tidak apa-apa, Dhien,” bisiknya lirih, rungunya masih mendengar perdebatan panas antara ibu dan bapaknya Yasir Huda. Untung posisi mereka tertutupi dinding kayu, sehingga leluasa menguping tanpa takut ketahuan.
“Ibuk nggak peduli! Demi Tuhan. Ibuk nggak sudi punya menantu tidak berpendidikan seperti Amala. Malu Pak! Ibuk malu! Bapak apa nggak kasihan melihat anak kita! Dia pasti juga enggan memiliki calon istri yang tidak setara!” pekik bi Atun, menggebu-gebu.
“Dia tidak mungkin bisa berbaur dengan teman-teman Yasir, ataupun kolega kita yang derajatnya jauh diatasnya. Selama ini saja hidupnya hanya berkutat di ladang. Berteman pun dengan perempuan nggak jelas! Bapak tahu bukan? Sahabatnya dia yang ditinggal minggat oleh suaminya, pasti perempuan nggak bener, makanya suaminya kabur!”
Cukup! Amala sudah muak mendengar dan menyaksikan manusia arogan dan tidak tahu malu seperti keluarga Yasir ini. Apalagi mereka begitu lancang menghina status Dhien, yang memang benar seorang istri ditinggal kabur suaminya.
“Assalamualaikum, Bibi, Paman!” Amala sengaja bersuara lantang, agar yang lainnya juga dengar, “Boleh Mala bergabung?”
Amala dan Dhien menaiki undakan tangga. Mereka berjalan tenang mendekati beberapa orang yang duduk lesehan di lantai beralaskan karpet. Ternyata sedang ada pertemuan penting.
Semua pasang mata yang ada di ruang tamu luas itu terbelalak tanpa terkecuali. Terlebih orang tuanya Yasir. Namun, bi Atun begitu lihai menyembunyikan rasa terkejut sekaligus gugupnya. Dia menyilangkan tangan di atas dada, gayanya sangat arogan.
“Apa kau mendengar perdebatan kami tadi, Mala?” tanya bi Atun, tatapan matanya begitu sinis.
“Alhamdulillah saya mendengarnya, Bi,” balas Amala, ekspresi wajahnya begitu tenang.
Beberapa orang disana sibuk menelisik wajah serta gesture Amala, mereka dibuat terkesima oleh sikap tenang sekaligus berwibawa anak sulung Mak Syam. Bahkan tanpa sungkan Amala menyalami tangan mereka seraya tersenyum simpul.
“Bibi, Paman, apa kabar?” sapanya lembut sambil menyalami punggung tangan orang tua Yasir.
“Seperti yang kau lihat! Kami baik-baik saja. Tak usah berbasa-basi, kalau kau memang mendengar pembicaraan tadi. Tanpa diperjelas semestinya kau paham!” ketus wanita berpakaian kurung yang memakai perhiasan berlebihan, sudah mirip toko emas berjalan. Dia juga langsung mengelap tangannya pada baju, menganggap sentuhan Amala, layaknya kuman.
Amala menghela napas pelan, dia memindai setiap wajah yang sebelumnya sangat manis bila bertutur kata dengannya. Namun, sekarang raut mereka terlihat berbeda. Kerabat bi Atun ini begitu tunduk, dikarenakan ekonomi keluarga Yasir jauh diatas mereka.
“Dasar manusia-manusia penjilat!” dengus Dhien berbisik, dia juga ikut geram.
Amala mengelus lengan Dhien, berusaha menenangkan. Netra coklat Amala menangkap seonggok barang tergeletak di atas lantai papan, koper baju milik Nirma. Senyumnya pun luntur berganti dengan ekspresi datar.
Amala kembali memandang wajah bi Atun, sosok yang sebelumnya begitu ia hormati. Sedangkan paman Kasim, terus menunduk enggan bertatap.
“Sebelumnya saya ingin menghaturkan kata maaf terlebih dahulu, maaf bila nanti lisan saya tidak terjaga dalam berucap. Harap maklum, karena saya bukanlah gadis berpendidikan, tidak juga berharta. Namun, bukan berarti saya tidak memiliki etika, gini-gini saya dididik oleh seorang ibu hebat,” Mala berhenti sejenak.
“Bi … tak mengapa kalau memang Bibi tidak menyukai saya. Namun, perlu saya ingatkan! Dulu, kalianlah yang tiba-tiba datang melamar, memuji saya setinggi langit, menaruh harapan besar pada hubungan saya bersama Mas Yasir. Meminta saya memperluas rasa sabar selama masa penantian_”
“Lalu, setelah semua yang kalian inginkan saya sanggupi tanpa kata tapi. Pantaskah saya mendapatkan kata-kata tidak manusiawi ini? Pantaskah kalian mencampakkan saya layaknya sampah?”
Amala mengangkat sebelah tangannya, guna menghentikan protes yang hendak dilayangkan oleh ibunya Yasir.
“Kalau Bibi dan Paman memang tidak menginginkan saya. Maka, kembalikan status saya seperti semula dengan cara terhormat sebagaimana dulu kalian meminta saya dengan cara yang sama pula,” Amala menekankan kata terhormat.
“Satu hal lagi, tolong katakan kepada anak kalian yang berpendidikan tinggi itu! Supaya tidak menjadi seorang pengecut. Walaupun keluarga saya miskin, bukan berarti harga diri kami boleh diinjak-injak. Nirma memang anak Yatim, tetapi bukan yatim piatu. Jika kalian menginginkan dia, lakukanlah dengan proses yang benar. Bukannya secara gratisan seperti ini.”
Suasana yang tadi memanas kini berubah senyap serta menegangkan. Seseorang berdecak kagum melihat bagaimana tenangnya Amala dalam menyikapi. Intonasi suaranya tetap terjaga, raut wajahnya tidak menunjukkan emosi apapun selain datar. Dia terlihat begitu anggun sekaligus berkelas.
Bik Atun berusaha menyerang Amala dengan kata-kata beracunnya, tetapi malah dirinya sendiri yang terkena bisa racun. Sampai wanita paruh baya itu kehabisan kata-kata dan berakhir kehilangan muka.
Tak berselang lama, Amala dan juga Dhien keluar dari dalam rumah melalui pintu depan. Dagu Mala terangkat tinggi, pancaran matanya begitu datar. Tepat saat kakinya menginjak tanah, sepasang orang yang sebelumnya begitu berarti dalam hidupnya, terlihat turun dari motor RX-KING.
Tubuh Nirma mendadak kaku, mulutnya terkunci rapat, bola matanya berkaca-kaca, dia begitu takut pada sosok Amala. Selama ini, sang kakak lah yang membiayai kuliahnya.
“Mb_ak, Mala?” cicit Nirma, berusaha menyunggingkan senyum, tetapi bibirnya malah bergetar hebat.
Amala dan Dhien melangkah pasti. Begitu bersisian dengan Nirma dan juga Yasir, Dhien memilih berlalu, meninggalkan sang sahabat menghadapi orang tidak punya rasa malu.
Nirma memilin jemarinya, dia terlihat sangat gugup. Untuk bersuara saja tak sanggup, tenggorokannya terasa tercekat. Buliran bening pun mulai membasahi pipi mulusnya. Sungguh dirinya merasa bersalah sekaligus menyesal. Tidak seharusnya dia menikung saudara kandungnya sendiri.
“Apa yang kau tangisi, Nirma?” Mala bertutur datar, nadanya begitu menusuk. Tidak ada lagi panggilan ‘Dek’ yang tersemat seperti biasanya.
Tubuh Nirma bergetar, dia mendongak menatap wajah datar sang kakak. Hatinya bagaikan ditikam sembilu kala tak lagi mendapati binar hangat pada pancaran mata kakaknya, “Mbak, Maaf.”
“Bolehkah aku tahu! Kata maaf mu itu untuk apa?” Mala tidak memutuskan pandangan mereka, tak pula menganggap Yasir ada.
Nirma tidak kuat lagi, dia mengikis jarak hendak memeluk kakaknya, tetapi hampir saja dirinya tersungkur kala Amala bergeser kesamping, menghindari bersentuhan fisik dengan adiknya sendiri. Beruntung Yasir menahan tubuhnya.
“Kau keterlaluan, Mala!” Yasir mendesis geram, tangannya masih melingkari pinggang Nirma.
Amala tetap bergeming, pandangannya lurus kedepan. Mengabaikan beberapa pasang mata yang ikut menonton dibalik tirai tipis jendela rumah.
“Aku tunggu kedatanganmu di rumah! Jangan khawatir, pintu rumah kita masih terbuka lebar untukmu! Itupun kalau kau masih menganggap kami sebagai anggota keluargamu.”
“Dan engkau, Yasir ….”
.
.
Bersambung.
Harap bersabar membaca setiap Bab- nya ya, agar bisa menyelami alur ceritanya 🙏😊
Terima kasih banyak semuanya 🌹
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!