NovelToon NovelToon

Senja Muram

Senja nan muram

“Ant!“

“Ya nek.“

Nenek Senja memanggil.

Senja ini terasa benar-benar membikin muram. Rasanya bagai remuk redam saja.

Antony berlari mendapatkannya.

“Ada apakah gerangan?“

“Belikan nenek martabak ya!“

Antony mengeluh.

“Kau tak mau kah?“ tanya Nenek.

“Iya.“ Antony menjawab ogah-ogah. “Apa Itu?“

“Telor...“ ujar Nenek Senja. Dia sebenarnya bernama Senjawati tapi entah mengapa dia dipanggil demikian.

“Manis apa telor?“ tanya Antony memastikan lagi.

“Telor monyong!“

“Iya.“

Antony bergegas pergi dengan membawa motor yang seharga 36,5 juta. Warna merah. Waktu membeli di dealer cuma tinggal satu-satunya itu. Yang lain tak cocok. Kalau tidak beda warna atau jenisnya berbeda dan lebih murah harganya.

Sampai lokasi masih sepi, tak seperti biasanya yang selalu penuh, hanya dia seorang yang kali ini ada disini.

Antony langsung memarkir kendaraan roda dua didekat tempat penjual tersebut.

“Bang beli,“ ujarnya.

“Tunggu sebentar, kurang sedikit.“

“Iya.“

Antony menunggu. Dia langsung mengambil HP di sakunya. Lalu dibukanya sosial media yang biasa dia pakai. Tak hanya satu aplikasi. Maklum temannya banyak. Dan saat dibuka itu sudah banyak yang belum dilihat. Ribuan. Membuatnya tak bisa membuka semua. Hanya yang penting-penting saja. Yang lewat biarlah berlalu. Capek membukanya.

Si penjual masih asik mengeluarkan dagangannya dari dalam gerobak besar dengan roda dua ditambah kaki empat di depan dan belakangnya.

“Apa?“

“Martabak telor.“

“Yang berapa?“

“Telor tiga saja. Spesial, 21 ribu.“

“Tidak yang empat... Cuma 26 ribu saja.“

“Tidak Bang.“

“Nanti neneknya marah loh....“

“Jangan bilang bang.“

“Kan terlihat ini kecil, itu besar. Lagian telor ayam dan bebek kan beda,“ jelas pedagangnya. Takut pembeli yang memesan kecewa. Nanti hanya akan tak suka. Hingga tak habis. Atau habis tapi habis terbuang.

Ada perempuan yang datang. Dia membawa motor maticnya. Yang berwarna hitam. Mesin 150 CC. Tapi sering masuk bengkel. Sering hilang bawahnya, sehingga bunyi cetak-cetak. Balik bengkel lagi. Di ikat. Kemudian belt nya sudah kiwir-kiwir.

“Beli bang. Sama kaya pembeli itu. Telor.“

“Iya.“

“Yang tiga saja ya bang, 21 rebo doang," ujar cewek itu memastikan.

“Iya neng, tunggu ya setelah dia,“ kata penjualnya. Dia mulai membuat pesanan. Mengambil adonan bulat dali baskom. Banyak sekali dibuat adonan itu. Sekitar 65 biji. Setidaknya sampai laku semua. Kalau dipakai sampai esok, tak akan nikmat lagi. Lalu dibanting pada talenan, lalu ditekan-tekan dengan kuat. Kemudian dilebarkan hingga tipis dengan memutar. Tangan abangnya yang kanan memutar sembari melemparkan pada talenan halus dari keramik, sementara tangan kirinya mengimbangi pada sisi adonan melebar di seberangnya, dengan posisi empat jari ada diatas adonan itu. Diulanginya terus melempar-lemparkan adonan itu hingga membentuk lapisan tipis melebar dan bundar. Berikutnya mengambil tiga telor, dimasukkan dalam cangkir besar, dicampur bumbu dan daun bawang alias muncang. Ditambah daging dan campuran lainnya. Lalu diaduk merata. Barulah adonan yang sudah lebar tadi dimasukkan dalam minyak panas di wajan lebarnya. Setelahnya adukan telor dimasukan. Dan ditutup dengan kulit martabak yang dari adonan lebar tipis tadi. Menunggu hingga matang dengan membalikkan masakan itu hingga warnanya berubah menjadi coklat yang mengundang rasa.

“Aku dulu bang.“

“Aku dulu ya, nenek senja yang meminta sedang menunggu ini,“ ujar Antony jengkel. Masa dia yang datang dulu, tapi malah yang dilayani si cantik.

“Aku cewek ya duluan la,“ ujar perempuan itu tak hendak ingin mengalah. Masa menunggu lebih lama, tak mau. Apaan!

“Kok gitu sih?“ Antony jengkel. Didekati wanita itu. “Nama siapa?“ ujar dia bertanya.

“Claudia. Kamu?“

“Antony SG.“

“Wih... kayak artis pemain itu ya?“

“Ya enggak lah. Orang aku punya nama Antony Satrio Nggautomo.“

“N dong bukan G.“

“Terserah.“

Keduanya terlibat perbincangan serius.

Tapi berikutnya terganggu. “Ini mateng dua-duanya.“

Abang tukang martabak memberikan pesanan keduanya. Sama-sama. Biar tak ada yang iri. Karena kalau yang satu masak, maka yang lain sudah dimasukkan lagi. Sehingga pada waktu pengepakan terakhir di tempatnya, bisa berbarengan.

“Ya sudah. Makasih ya bang.“

“Iya.“

Keduanya pulang. Antony bilang, “Besok ketemuan ya.“

“Oke....“

Jalan senja

Antony mendatangi rumah Claudia dengan membawa mobil ayahnya. Mobil keren dengan tampilan yang demikian modern. Tak sia-sia jika digunakan untuk apel. Bahkan tak akan memalukan. Juga tidak akan diejek kalau dibawa kondangan ke tempat teman yang tengah punya hajat.

Mumpung masih di rumah dan belum dibawa pergi sama bokap nya, maka sedikit dipakai untuk bersenang-senang membawa sang gadis tak akan kentara. Lagipula sayang jika mobil bagus begitu tak dipakai buat suatu keperluan dan hanya mangkrak saja di garasi. Mendingan dipakai kabur saja. Aman.

“Kemana kita?“

“Jalan dulu.“

“Yuk....“

Claudia menurut. Dia pamit sebentar sama kedua orang tuanya. Untung tadi sudah siap. Jadi tinggal berangkat. Bayangkan kalau masih kucel. Mesti mandi, gonta-ganti baju, berikutnya pakai bedak, kan repot. Memakan waktu yang tak sedikit.

Kemudian masuk ke kendaraan mewah milik teman barunya itu. Benar-benar nyaman. Enak buat dipakai jalan jauh. Apalagi untuk tour atau wisata, tak akan membuat badan pegal. Apalagi kali ini, palingan Cuma keliling ota, maka tak perlu membawa balsem segala untuk dioles kalau encok nya datang.

Sejenak keliling kota melupakan aktivitas sehari-hari mereka yang hanya berisi tugas dan tugas, dari para guru yang tiap hari selalu ada materi melalui daring. Mana kuotanya sedikit dan jaringan internetnya benar-benar kecepatan keong. Menambah berat beban di kepala.

Melihat indahnya senja, matahari di bawah yang mulai tenggelam, tampak sangat besar, bahkan mungkin lebih besar dari baskom atau ember sampah di sekolah yang ukurannya besar tercampur bau pula.

Namun tidak untuk mentari senja ini. Dia nampak kemerahan. Berbeda dengan siang yang menjangkau suhu 6000 derajat. Dan kuning keemasan. Kali ini benar-benar tiada daya. Sisi miringnya itu membuat panasnya tak berarti. Bahkan mata juga mampu menatapnya. Menambah indahnya suasana. Bahkan kalau perlu, benda bulat itu tak usah tenggelam. Dan biarkan menggantung disana. Atau bisa memakai galah untuk menopangnya. Agar tetap pada posisinya itu.

Pandangan beralih pada suasana kota. Dimana banyak berjajar lampu-lampu malam. Yang terang benderang. Disitu banyak orang berjualan. Toko-toko dengan berbagai dagangannya, yang tinggi berjajar di tepian jalan, serta menambah semakin cepatnya mentari senja masuk dalam peraduannya dinaungi bayangan gedungnya yang tinggi.

“Aduh...“ Ant berteriak. “Hampir saja!“

Dia mendadak mengerem sampai kendaraan mewahnya berhenti.

Tiba-tiba, ada sesuatu yang mengganggu pandangan matanya saat tengah menatap keindahan alam senja itu.

“Antony kau....“

“Eh abang.“

Ada orang yang melintas di depan kendaraannya. Tiba-tiba dan begitu saja. Pada manusia yang kurang waspada, posisi tersebut dapat membuatnya terkejut. Bisa saja lalai. Keliru menginjak gas. Padahal inginnya rem. Banyak kasus terjadi. Sehingga terjadi kejadian yang kurang diinginkan. Baik itu menabrak, kecebur kolam, atau menginjak kotok ayam. Sangat berbahaya.

Untung dikenalnya orang tersebut, jadi hanya kaget saja yang dirasa.

“Hihi... kacau dia,“ keduanya terkekeh dan melanjutkan perjalanan. “Jalan tak lihat-lihat, untung aku sempat melihat. Mana aku tengah asik menatap lembayung senja yang indah itu.”

Kalau sampai menabrak bakalan berabe. Kalau sampai mati, juga akan kebayang, jika hanya cacat, maka akan merawatnya seumur hidup. Itu akan sangat memakan biaya, dan sengsara.

“Macet...“

Antony mengeluh pada suatu simpang yang kali ini tengah padat-padatnya kelihatannya penghuni kota tengah asik dan keluar semua menikmati cerahnya suasana

Jalan lagi meskipun merayap mereka-mereka ini saling rebut dulu untuk menghindari kemacetan dan belum tentu menuju rumah atau tempat tujuan mereka hanya akan jalan-jalan melewatkan hari.

Makan senja

“Mampir restoran ini yuk,“ ajak Antony. Dia pandangi daerah sekitarnya. Dimana banyak tempat yang menawarkan berbagai keunggulan jualannya. Namun hanya pada warung makan yang tempat duduknya melebihi 40 kursi itu yang dipilihnya.

Claudia hanya mengangguk saja. Biasa nanti akan mengobrol santai sembari makan-makanan yang asik, sehingga tak akan terasa sampai larut nanti.

Diparkirnya mobil. Belum banyak yang datang mungkin sebentar lagi akan penuh. Bahkan tempat tersebut biasanya tak akan cukup. Mana tukang parkirnya tidak ada. Malahan sibuk melayani mobil orang. Dicarinya tempat sendiri. Nanti kalau keluarnya meminta bayaran, akan digetok kepalanya.

“Memesan tempat dulu.“

Dipandangnya sekitar, masih banyak yang luang jadi akan bisa menempati tanpa mesti berebut dengan banyak pengunjung.

Dibawah lampu temaram dan lilin di meja sangat romantis pada suatu sudut dekat jendela dan bisa menikmati suasana luar dengan asik juga.

“Kau mau makan apa?“ ujar Antony sembari melihat menu yang ada di buku menu itu. Banyak sekali. Bahkan kalau dipesan semua, perutnya lah yang tak akan muat. Tapi ingin. Karena gambar-gambarnya juga keren.

“Kau?”

“Sandwich, burger, kebab dan timun.“

“Aku hmmmm... takoyaki sama tortila. Itu saja sudah cukup, sama nasi goreng, mie goreng dan spaghetti daging sapi... sudah,“ kata Claudia sembari melemparkan buku menunya.

“Minumnya campur, moccacino sama black jablay.“

“Serem ya namanya,“ ujar Antony.

“Tapi enak. Itu hanya nama dari minuman yang hanya berupa es campur di tambah cream yang nikmat berwarna hitam,“ terang Claudia yang sangat menyukai minuman aneh tersebut.

Lumayan lama mereka menunggu. Maklum namanya makanan cepat saji, ya menunggunya lama. Mesti meracik yang sesuai dengan pesanan. Apalagi banyak sekali masakan yang disajikan. Dan kesemuanya itu mesti siap. Jika tidak sesuai, atau keliru dalam penyajian, maka para pengunjung akan kecewa, serta menjadi satu temuan bagi mereka yang nantinya membuat para pelanggan beralih pada tempat rumah makan yang lain.

Sambil menunggu itu mereka mengobrol santai diselingi dengan main HP.

Tak berapa lama keluar apa yang dipesan. Persis, sesuai. Tidak kelewat sedikitpun.

“Asik ya....“

“Yuk habiskan.“

“Mumpung masih panas.“

“Iya....“

Habis sudah semua dicicipi, tak bisa dihabiskan dan masih ada sisa. Paling yang habis nasi goreng sama tortila doang.

Tinggal bayar. Biasanya kalau di kota besar, membayar dulu makanan. Tapi ini sebaliknya, makan dulu, baru bayar. Mereka sudah percaya sama pelanggan. Karena kalau makan yang sudah dibayar namu habis atau tidak itu sudah menjadi hak pembeli. Tapi kali ini mereka sebaliknya. Biar menikmati dulu apa yang mesti dinikmati. Enak bisa dibayar, kalau tidak enak bisa dimuntahkan. Meskipun begitu kebanyakan mereka akan membayar sesuai dengan tarifnya. Meskipun masakan yang dimakan tak sesuai selera. Tapi karena sudah budayanya demikian, maka apa yang sudah mereka nikmati mesti dipertanggungjawabkan diakhirnya. Dalam kasus ini tentu saja mengenai pendanaannya. Mereka juga akan sedih, kalau hal itu terjadi padanya, dimana para pelanggan tak mau membayar, apa kata dunia. Bakalan tekor nanti.

“Mahal?“

“Nggak terlalu, masih cukup kok uangnya,“ ujar Antony sembari merogoh sakunya yang penuh dengan uang. Dan beberapa diantaranya jatuh berserakan di lantai serta menggelinding, namun dibiarkan saja.

“Sudah ah pulang.“

“Ya.“

“Nanti kau ditunggu sama keluargamu kalau sampai larut malam.“

Mobil meluncur cepat dan langsung masuk ke rumah dalam kondisi aman.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!