NovelToon NovelToon

ANTARA SURABAYA DAN YOGYAKARTA

EPISODE 1

Hari sudah menjelang malam ketika tiga orang gadis remaja turun dari sebuah taksi di depan sebuah rumah kuno yang cukup megah di bilangan jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta. Salah seorang diantara mereka mendorong pintu pagar besi yang ternyata tidak dikunci. Tapi ketika baru saja ketiganya menginjakkan kaki mereka di halaman luas rumah megah tersebut, mereka langsung disambut oleh gonggongan anjing. Serentak dua diantara ketiga gadis manis tersebut terpekik kaget dan lari tunggang langgang. Gadis yang barusan membuka pagar malah tertawa melihat kehebohan kedua temannya.

    "Sialan! Tuh anjing curiga amat! Mungkin dikiranya kita ini maling kali ya? Mana ada maling secantik aku? Dasar anjing...." Monic mengomel dengan napas turun naik tak teratur. "Hush....hush.... sana pergi!"

    Bukannya pergi, anjing yang tidak seberapa besar namun dengan bulu coklat tebal itu malah mendekati ke tiga gadis itu sambil menjulurkan lidahnya. Matanya menyorot tajam sambil mengibas ngibaskan ekornya yang bagus.

    Nishi, yang bertubuh kurus dengan wajah keturunan cina, malah mempererat pelukannya pada Monic. Sementara Sally, yang tadi membuka pagar, dengan susah payah membujuk anjingnya.

    "Tenang sobat! Sinta memang suka begitu kalau ada orang yang belum dikenalnya. Tapi percayalah, dia tidak bakal menggigit kok. Asal kalian tidak ribut aja," kata Sally menenangkan ke dua sahabatnya.

    "Apa, Sal? Sinta? Anjingmu namanya Sinta?" tanya Monic dan Nishi hampir bersamaan

    "Iya! Emang kenapa kalau namanya Sinta? Kalian keberatan?" jawab Sally.

    "Keberatan nama, Sal. Mending kalau anjingmu cantik. Lha ini, sudah jelek, galak lagi," ejek Monic yang masih sakit hati karena ketakutan dengan gonggongan Sinta tadi

    "Yeeee.... yang lagi sakit hati. Sssst, Sinta... sini sini. Ini teman teman Sally. Jangan digigit ya? Eh, kenalan dulu dong?" Sally tidak terima anjingnya dibilang jelek oleh teman temannya.

    "Hah?!" Monic dan Nishi saling berpandangan dengan mata terbelalak. Tidak tahu mau bilang apa mendengar kata kata Sally. Tapi sedetik kemudian, ke duanya melotot ke arah Sally sambil berkacak pinggang.

    "Apa apaan sih kamu?" sembur Nishi dengan wajah di galak galakkan. Tapi matanya yang sipit justru membuatnya kelihatan lucu. "Baru ketemu dan lihat wujudnya aja sudah grogi, lha kok mau dikenalin segala!"

    Sally cuma nyengir mendengar ketakutan si kurus.

    "Mending kalau kamu kenalin kita kita sama cowok cakep....," timpal Monic.

    Merasa bersalah, Sally segera menyuruh pergi anjingnya. Tapi anjing itu malah menyalak lagi. Kali ini Sally tidak perduli.

    "Ayo Sinta, pergi sana!" perintah Sally sambil mengibaskan ke dua tangannya memberi isyarat agar anjing tersebut segera menyingkir dari tempat itu. Sinta tidak jadi menyalak lagi, karena gadis bernama Sally itu kini melotot marah. Sinta langsung mengkeret. Mendengus dengus kecil, menunduk, kemudian berbalik dan melangkah pergi.

    Setelah Sinta pergi, barulah Monic dan Nishi merasa lega.

    "Wuiiihhh, kamu bisa galak juga rupanya Sal!" celetuk Nishi sambil menarik napas lega dan melepaskan pelukannya pada Monic.

    "Beda jauh dengan di kelas ya, Nis? Mana pernah kita lihat si Sally galak di kelas. Selalu baik hati dan lemah lembut. Sering traktir teman. Pantas aja banyak yang naksir. Hehehe....," Monic menimpali ucapan sahabatnya.

    "Yeeee..... kalau ada maunya tuh. Bilang aja minta ditraktir." Sally tersenyum kecil dan membetulkan letak ransel di punggungnya.

    Ke tiga sahabat itu tertawa bersamaan.

    "Yuk, kita lewat pintu samping aja," ajak Sally. "Biasanya jam segini mereka suka pada nonton TV di ruang tengah.

    Tanpa banyak protes, Monic dan Nishi segera mengikuti Sally. Mereka melintasi jalan setapak taman itu menuju halaman samping. Suasana tampak remang remang, apalagi beberapa pohon yang cukup tinggi juga tumbuh di taman tersebut. Di Yogyakarta masih banyak rumah rumah kuno yang halamannya ditumbuhi pohon pohon tinggi. Berbeda dengan Surabaya dan Jakarta yang lebih banyak memiliki halaman beton.

    Dengan bantuan lampu taman,  Nishi melihat arloji mungil yang melingkar ditangannya yang  ceking. Pukul tujuh lewat sepuluh menit. Gila. Baru jam segini kok sudah sepi? Beda sekali dengan Surabaya yang justru makin ramai pada jam segini.

    Sally cepat cepat mengetuk pintu kokoh yang terbuat dari kayu jati tua itu, sementara Nishi dan Monic cuma duduk di anak tangga sambil menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru taman. Sally kembali mengetuk. Tapi sampai lama tidak ada sahutan atau tanda tanda bahwa pintu bakal dibuka.

    "Lama sekali, sih Sal?" Jangan jangan sudah tidur semua. Tapi masa baru jam segini sudah tidur sih?" omel Nishi tak sabar.

    Monic juga ikut mengeluh. "Jangan jangan memang sudah tidak ada penghuninya lagi. Kakek kamu sudah pindah kali."

    Sally menoleh ke arah ke dua sahabatnya dengan wajah kesal.

    "Cerewet, ah! Kalau kakek sudah pindah, memangnya siapa yang beri makan Sinta? Gendruwo di pojok halaman itu?"

    Monic dan Nishi langsung terdiam dan memandang pojokan taman yang memang lebih gelap dari sekitarnya. Tanpa mengenal putus asa, Sally mengetuk pintu lagi. Lebih keras.

    "Kakeeek....!" seru Sally. "Keeek.... ini Sally datang, Keeeek....!"

    Monic dan Nishi saling pandang sambil geleng geleng kepala. Ampun deh, orang tua mana yang tahan punya cucu suka teriak teriak dengan suara jelek begitu? Tapi Sally kelihatannya tidak perduli. Dia nekat teriak teriak lagi. Nishi mendadak kuatir bila teriakan Sally nanti membangunkan tetangga kanan dan kiri.

    "Jangan teriak teriak, Sal. Ini sudah malam," Nishi berusaha mengingatkan sahabatnya.

    "Udah tahu!" sahut Sally keki.

    Ketika Nishi hendak membuka mulut lagi, tiba tiba Monic menyenggol lengannya.

    "Nis, coba kamu lihat yang di pojok taman itu. Apa itu yang melambai lambai?" bisik Monic sambil merapatkan tubuhnya ke sisi Nishi.  Mata Nishi yang sipit membelalak ketika ia ikut menoleh ke arah yang dimaksud oleh Monic. Pojok halaman yang gelap gulita itu memang membuat kulitnya merinding. Haaah! Memang benar ada yang melambai lambai di sana.

    "Hiii! Apa ya itu Mon? Masa mbak Kunti?" Nishi menutup mulutnya yang hampir saja memekik. Tubuhnya menggigil, entah karena kedinginan atau ketakutan. Di luar dugaan, Monic malah tertawa geli. Tapi ditahannya. Dia senang bisa membuat temannya ketakutan. Dasar Nishi penakut! Itu kan cuma daun tanaman yang tertiup angin, pikirnya geli. Tapi Nishi mana mungkin berpikir sama dengannya. Buktinya, dia masih saja memeluk erat tubuh Monic dengan wajah pusat pasi.

    "Sal.... aku takut nih! Kita cari hotel aja ya?" Nishi nyaris terisak.

    "Apaan, sih? Kita kan sudah sepakat mau menginap di rumah kakek?" tanya Sally bingung. Nishi langsung menunjuk ke sudut halaman yang ditunjukkan Monic tadi. Sally mengikuti telunjuknya dan mengamati dengan seksama. Matanya ditajamkan mencoba menembus gelapnya malam. Monic justru makin terpingkal pingkal. Tapi.....

    "Ohh!" Sally seketika tergagap gagap. "Disitu... disitu...ehm, di sudut itu memang biasanya agak  angker!"

    Maunya menggoda Nishi. Tapi mendengar perkataan Sally, Monic terlonjak dari duduknya seketika. Tawanya lenyap. Matanya yang bagus membelalak lebar. Nishi semakin erat memeluknya. Malah kini isaknya mulai terdengar.

    "Yang benar!" pekik Monic tertahan. Napasnya naik turun. Tapi Sally cuma mengangguk sekilas dan segera menghadap pintu dan mulai menggedor gedor pintu lagi.

    "Tidak perlu aku repeat. Nanti kalian malah pingsan, aku yang repot menggotong kalian. Mau digotong kemana? Mana pintunya belum dibukain lagi," sahut Sally dengan tampang cuek. "Lebih baik kalian bantu aku mengetuk pintu ini. Kalau perlu kalian gedor. Ok?

    "Tapi Sal, apakah....apakah omongan kamu tadi beneran?" kejar Monic penasaran.

    Hmm, ngeper juga dia, pikir Sally geli. Makanya jangan suka menakut nakuti orang lain.

    "Buat apa aku berbohong? Kalau tidak percaya, silakan ke sana sendiri," balas Sally sambil melepaskan cengkeraman Monic yang makin kuat di bahunya. Ia kembali mengetuk pintu lebih keras.

    "Sal, aku benar benar takut nih," isak Nishi memelas. "Please help me, Sal....."

    "Help, help!" gerutu Sally pura pura kesal. "Kalian kira aku juga tidak ngeri?"

    "Kenapa sih Sal, kok kamu tidak bilang kalau rumah kakekmu angker seperti ini?" Monic mengguncang guncang lengan Sally. Keringat dinginnya mulai bermunculan. Sally susah payah menahan tawa yang nyaris meledak.

    "Yeeee, katanya paling suka baca cerita horor. Tapi baru disini aja sudah ketakutan setengah mati," olok Sally dengan santai. Nishi dan Monic merapat ke tubuhnya sehingga Sally jadi risi.

    "Sal, kenapa sih pintunya dari tadi tidak dibuka juga?" Monic mulai curiga.

    "Apa kamu sudah yakin benar kalau ini rumah kakekmu? Jangan jangan kita kesasar di rumah hantu nih..." Nishi menyambung ucapan Monic.

    "Huss!" gertak Sally. "Apa apaan sih kamu, Nis? Jangan ngaco, ah! Masa aku ga kenal rumah kakekku sendiri? Dulu aku juga tinggal di sini."

    "Habis.... sepi banget sih," keluh Nishi dengan nada putus asa. Sally juga mulai merasa lelah. Dia juga heran, kenapa tidak ada seorang manusia pun yang keluar? Pada kabur kemana semuanya? Masa sudah pada tidur semua? Ah, kan baru jam segini? Masih sore, pikirnya.

    "Waduuuh, kalau sampai nanti malam pintu ini tidak ada yang membukakan juga, berarti penghuninya memang lagi tidak di rumah," kata Sally sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Monic dan Nishi langsug menatap kepadanya dengan raut wajah cemas.

    "Artinya?" tanya keduanya, seolah meminta keputusan lebih lanjut. Sally cuma angkat bahu.

    "Yaaah, apa boleh buat?" sahut Sally dengan tenang. "Berarti malam ini kita harus rela tidur di depan pintu ini."

    "Di sini????" pekik Nishi dan Monic hampir bersamaan.

    Sally menganggukkan kepalanya dengan mantap.

    "Aduuuh mama! Karma macam apa pula yang harus diterima anakmu ini?" gerutu Monic.

    "Apa tidak ada tempat yang lebih seram lagi, Sal?" tanya Nishi, tidak bisa terima dengan penjelasan Sally.

    "Oh ada, ada!" sahut Sally bersemangat. "Tuh, di situ tuh! Di sudut taman itu, kalian bisa tidur sambil mendengarkan alunan musik jazz dari para demit, kunti dan jin...."

    Tiba tiba terdengar suara Sinta menyalak, entah dari mana anjing itu, dan berlari menuju pintu pagar depan. Samar samar tampak bayangan seseorang mendorong pintu pagar yang tinggi itu.

 

EPISODE 2

Seseorang membuka pintu pagar, dan terdengar suara motor memasuki halaman. Pembicaraan Sally, Nishi dan Monic langsung terhenti. Ketiganya terdiam dan berusaha menajamkan pendengaran. Wah ada harapan, nih! Aku tidak perlu tidur di halaman, pikir Monic.

    Ketiga cewek manis itu segera berjingkat menuju halaman depan. Di sana, mereka mendapati seorang cowok tinggi besar turun dari motor Kawasaki Ninja 250 cc di sisi rumpun bunga bunga bougenville. Mereka langsung bersembunyi di balik pohon mangga yang cukup besar.

    "Ssst, apa dia salah seorang yang kos di sini? Kok aku belum pernah melihatnya?" bisik Sally kepada ke dua sahabatnya sambil menempelkan jari di bibirnya. Cowok itu mengunci motornya lalu merapikan rambut dan bersiul siul kecil sambil melangkah menuju pintu samping.

    "Dia pasti lewat sini," bisik Sally lagi. "Ayo, kita tanya ke dia."

    Ketika cowok itu hampir melewati pohon mangga, tiga buah kepala muncul bersamaan.

    "Mas.....!"

    Senandung kecil cowok itu langsung terhenti seketika dan berganti dengan pekik tertahan. Hihihihi, Sally, Nishi dan Monic tidak dapat menahan tawa geli mereka.

    "Maaf ya, Mas, kalau kami mengagetkan," Sally menyapa sambil mendekat. Cowok itu mundur selangkah, sambil mulutnya bergumam tak jelas. Matanya dengan curiga langsung melihat tiga pasang kaki cewek cewek dihadapannya. Tentu saja Sally, Monic dan Nishi serentak ikut melihat ke bawah juga.

    "Asli, nginjak tanah nih, Mas! seru Monic sewot.

    "Waaah, Mas pikir kita ini rombongan peri, ya? Mana ada peri yang pakai jeans dan bawa ransel seperti kita ini, Mas? Oooo, mungkin karena kita cantik ya Mas?" Nishi ikut keki.

    Cowok itu seperti baru tersadar. Dia cepat cepat menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

    "Ah, tidak! Saya tidak menuduh begitu," sahutnya. "Cuma tadi saya kira rombongan kuntilanak....."

    "Sembarangan!" semprot ke tiga cewek itu berbarengan. "Emangnya bukan?" lanjut Monic sambil mendelik.

    "Lho?! Jadi kalian....." Wajah cowok itu memucat seketika.

    "Hehehe enggak kok. Kita kita ini asli manusia. Aduuuh, masa cantik cantik gini dikira kuntilanak. Mana ada kuntilanak secantik aku? Kalau peri sih mungkin sama," kata Nishi sambil tertawa hahahihi.

    Cowok itu tertawa kecil. "Kok kalian bisa berada di tempat ini, mau nyari siapa? Ini kan tempat kos cowok? Atau.... kalian mau ketemu pacar kalian yang kos di sini? Yang mana? Siapa namanya?"

    "Saya mau ketemu kakek saya, Mas," jawab Sally.

    "Heiiii yang kos di sini semuanya masih muda muda. Belum ada yang kawin. Mana ada kakek kakek?" potong cowok itu. Sally tentu saja keki sekali

    "Ok ok, aku tahu!" jawab Sally dengan cemberut. "Kakekku justru pemilik rumah ini. Kakek Soemantri."

    "Oalaaahh... Kalau begitu kamu ini cucunya pak Soemantri? Aduuhh maaf ya?" jawab cowok itu sambil menangkupkan ke dua tangannya di depan dada.

    Sally nyengir melihat tingkah cowok ganteng dihadapannya. "Kok dari tadi aku ketok ketok tidak ada yang menjawab, Mas?"

    "Pak Soemantri sedang ke Ambarawa. Diantar oleh Mas Soni. Yang lain mungkin pada keluar," jawab cowok itu.

    "Oh ya? Pantesan...."

    "Eh sampai lupa. Masuk aja yuuk?' ajak cowok itu dengan ramah dan simpatik. Monic dan Nishi menarik napas lega. Pundak mereka rasanya sudah nyaris lumpuh karena menyandang ransel terus dari tadi.

    Cowok itu rupanya memiliki kunci pribadi.

    "Kalian bertiga ini tadi dari mana?" tanya cowok itu seraya memasukkan anak kunci ke lubangnya.

    "Ya dari rumah, Mas," sahut Monic polos.

    "I.. iyaaa! Maksud saya tuh, rumah kalian di mana?"

    "Di Surabaya!"

    "Surabaya? Jauh amat? Kalian datang ke Yogya cuma bertiga? Berani?"

    "Iya! Kenapa tidak?"

    "Tadi naik apa dari Surabaya ke Yogya?"

    "Naik kereta api."

    "Wah... tentu capek ya?"

    "Tentu"

    "Ceritanya lagi berlibur, nih?"

    "Iya! Eh, ngomong ngomong kapan pintunya dibuka Mas? Perasaan dari tadi Mas nanya melulu!"

    "Hehehe, maaf! Habis susah sekali nih kunci! Emmph... ops! Nah... ayo masuk!"

    Sally, Monic dan Nishi segera menghambur masuk. Cowok itu juga menyusul masuk setelah menutup pintu.

Monic dan Nishi menebar pandangan berkeliling, mengamati isi ruangan luas rumah kuno itu. Ternyata tidak seseram yang mereka bayangkan. Jelas saja! Karena seluruh perabotan di ruangan itu bukan perabot perabot kuno seperti dalam bayangan mereka. Bahkan hampir seluruh furniture di ruangan itu di dominasi oleh model model mutakhir. Kecuali seperangkat gamelan Jawa yang tergeletak rapi di sudut ruangan.

    Berbeda dengan Monic dan Nishi yang tengah asyik mengamati isi ruangan, Sally justru sibuk mencuri curi pandang ke arah cowok simpatik tadi. Siapa sih dia? Kayaknya aku belum pernah melihat dia deh! Hmm, mungkin penghuni baru.

    "Saya tinggal ke kamar dulu ya?" pamit cowok itu seraya melangkah.

    "Eh, Mas....!" Sally buru buru mencegah. Tapi sesudah itu ia malah bingung sendiri mau berkata apa.

    "Ya?" cowok itu berbalik dengan alis terangkat.

    "Mmm... anu, Bi Asih kok tidak kelihatan ya?"

    "Mungkin sudah tidur kali? Memangnya kenapa?"

    "Ah, tidak apa apa kok!"

    Ketika cowok itu sudah masuk ke kamar, Sally segera menghempaskan tubuhnya di sofa, di samping Monic dan Nishi. Ketiganya tenggelam dalam kelelahan. Nishi bahkan sudah berkali kali menguap. Matanya yang sipit makin tampak kecil saat mengantuk.

    "Cakep juga ya, tuh cowok," guman Sally perlahan. "Aduuhh kenapa aku tadi tidak sekalian tanya namanya ya?"

    "Memangnya selama ini kamu belum pernah ketemu dia, Sal? Kamu sekeluarga kan sering berkunjung ke sini?" tanya Monic dengan heran.

    "Terakhir kali aku dan keluargaku ke sini kira kira enam bulan lalu," sahut Sally. "Setahuku yang kos di rumah kakek ini cuma lima orang. Mas Wisnu yang sudah hampir lulus, Mas Rendy, Mas Santoso, serta Mas Joni dan Mas Beni yang sama sama kuliah di Teknik Sipil. Kalau yang barusan ketemu kita, sepertinya aku belum pernah lihat."

    "Eh, kayaknya dia masih kecil ya? Mungkin masih baru semester satu ya?" timpal Monic.

    "Ih, ngatain masih kecil lagi. Sendirinya juga baru kelas 12 juga....." Nishi nyeletuk.

    Ke tiga cewek itu tertawa. Rasanya liburan kali ini bakal menyenangkan.

- - -

Mohon dukungannya dengan memberikan like dan komen ya teman teman.......

EPISODE 3

Pikiran Sally masih melayang layang membayangkan wajah ganteng cowok tinggi besar yang baru saja mereka temui. Siapa ya namanya? Duuh kenapa tadi aku tidak menanyakannya?

    "Pada menggosip apa, nih? Kelihatannya asyik sekali."

    Sebuah suara menghentikan percakapan mereka bertiga. Karuan saja muka ke tiga cewek itu merona merah. Rupanya cowok yang jadi bahan perbincangan mereka keluar dari kamarnya. Sambil menggulung lengan bajunya, cowok itu mendekati mereka. Dia kelihatan rapi dan enak dipandang. Mau kemana ya?

    "Boleh ikut?" tanyanya sambil tersenyum simpatik. Isi dada Sally langsung berlompatan melihat senyum itu. Nishi menoleh ke arah Monic. Monic menoleh ke arah Sally. Sally menggigit bibirnya dengan resah. Mau menengok kemana lagi? Di sebelahnya adalah dinding ruangan. Masa mau menoleh ke dinding? Tapi dia lakukan juga untuk mencairkan suasana

    "Sal, ngapain lihat dinding?" seru Nishi

    "Habis... kalian semua nengok ke kanan, ya aku ikut ikutan hehehehe," Sally memamerkan senyumnya yang paling manis kepada ke dua sahabatnya, berharap cowok itu mengagumi senyumnya.

    "Aku buatkan minum dulu ya? Dari tadi belum disuguhi apa apa, maaf ya?" Sally berdiri dan berjalan ke dapur sambil menentramkan dadanya yang berdebar debar. Busyet deh, kenapa aku jadi norak begini? Cuek bebek aja deh!

    "Nah begitu dong, Sal! Dari tadi kek, sudah tahu orang kehausan," teriak Monic. Sally mendelik ke arah sahabatnya yang cuma disambut dengan cengengesan.

    Sally mengambil empat buah gelas dan membuka lemari es. Hmm, ada sirop markisa dan beberapa botol air dingin. Cukuplah untuk semuanya.

    Ditengah keasyikannya membuat minuman, sebuah suara perempuan mengagetkannya.

    "Non Sally, ya?"

    Sally terlonjak dan menoleh cepat.

    "Astaga! Bi Asih! Bikin orang kaget saja! Untung gelas gelas ini tidak jatuh."

    Perempuan berusia lima puluh lima tahun itu tertawa sambil mendekat. Rambutnya yang sudah beruban masih awut awutan. Maklum masih baru bangun tidur.

    "Aduh, Bibi kira siapa? Dari tadi Bibi dengar ribut ribut, tapi Bibi tidak berani keluar. Tidak tahunya tamu dari jauh," ujar Bi Asih. "Sama siapa ke sini, Non? Sama Bapak dan Ibu? Apa Mas Bobi ikut juga?"

    "Tidak ada, Bi" sahut Sally

    "Tidak? Tidak ada yang ikut? Lalu Non Sally ke sini sama siapa?"

    "Sama teman teman, BI," sahut Sally sambil tersenyum karena melihat kekagetan Bi Asih.

    "Perempuan semua, Non?" tanya Bi Asih masih terheran heran.

    Sally mengangguk. Dibiarkannya Bi Asih menggantikannya membuat minuman..

    "Tuh... mereka lagi pada istirahat di ruang tengah.," kata Sally.

    "Astaga! Apa tidak takut Non ke sini cuma bertiga? Cewek semua lagi. Padahal Surabaya itu jauh banget dari sini."

    "Memang jauh, Bi," jawab Sally. "Tapi kalau kita takut melulu, kapan kita maju? Ya memang harus hati hati, Bi. Untungnya teman saya yang keturunan Cina itu bisa beladiri karate. Ah sudah Bi, yuk ke depan. Mereka pasti sudah mau pingsan kehausan."

    Mereka berdua beriringan meninggalkan dapur. Bi Asih membawa nampan berisi empat gelas es markisa dan satu kaleng biskuit.

    "Oh iya," seru Bi Asih tiba tiba, teringat sesuatu. "Tadi yang bukain pintu buat Non, siapa ya? Rasanya semua pintu sudah Bibi kunci ketika mas mas itu keluar."

    "Kita tadi manjat pohon lalu buka genteng buat masuk, Bi."

    "Haaa?!"

    "Hehehe tidak kok, Bi. Ehm... tadi yang bukain pintu cowok cakep hehehe. Aku juga tidak tahu siapa namanya. Belum pernah lihat. Orang baru ya, Bi?"

    Sejenak Bi Asih mengerutkan keningnya lalu tersenyum.

    "Ooo maksudnya Mas Richard ya Non?"

    "Siapa? Siapa, Bi? Richard?" tanya Sally menggebu gebu.

    Bi Asih mengangguk.

    "Kok kayak nama orang bule ya? Tapi memang posturnya menyerupai bule sih."

    "Iya, Non! Katanya neneknya masih berdarah keturunan Inggris. Dia penghuni baru di rumah ini. Pindahan dari perumahan sebelah. Katanya tidak kerasan di tempatnya yang lama, tidak tahu kenapa," Bi Asih menjelaskan panjang lebar sehingga Sally mengurungkan niatnya untuk bertanya macam macam.

    Jadi namanya Richard? Keturunan bule. Hmm, keren juga namanya, tidak kalah cakep sama orangnya, pikir Sally sambil senyum senyum sendiri mengiringi langkah Bi Asih.

    Di ruang tengah Sally mendapati ke dua sahabatnya tengah mengobrol ceria dengan cowok itu. Sally sempat mengutuki dirinya sendiri. Wah, rugi tidak ikut ngobrol sejak tadi!

    "Lho, Mas Richard kok sudah pulang?" tanya Bi Asih seraya meletakkan ke empat gelas itu di meja. Richard tersenyum.

    "Iya, Bi. tadi ada yang ketinggalan. Tapi saya mau pamit lagi kok," ujarnya.

    "Di minum dulu Mas," kata Bi Asih.

    "Iya, terima kasih Bi." Richard mengangkat gelas dan meneguk minumannya separuh.

    "Tadi yang buat minuman ini Non Sally kok Mas, bukan saya," sahut Bi Asih, membuat Sally mendelik. Wajahnya merona merah karena malu.

    "Oh ya? Kalau begitu, terima kasih, Sal.... yuk semuanya, saya pergi dulu!" pamit Richard. Monic, Nishi dan Bi Asih mengangguk. Hanya Sally yang menggerutu habis habisan dalam hati. Benar benar sial, belum sempat ngobrol, udah main kabur aja....

    "Oh ini ya teman teman Non Sally?" sapa Bi Asih ramah. "Ayo silakan minum. Pasti kalian haus sekali."

    Tanpa menunggu komando dua kali, Monic dan Nishi menenggak isi gelasnya masing masing hingga tuntas. Tapi Sally tidak! Tentu Bi Asih heran melihat Sally hanya diam tanpa menyentuh gelasnya.

    "Non... kok melamun?" tegurnya mengagetkan Sally. Monic menoleh ke arah Sally dengan wajah bingung.

    "Kenapa, Sal? Kamu sakit?"

    "Ah tidak ada apa apa!" sahut Sally gugup. "Lagi ingat yang di rumah aja."

    "Bukannya ngelamunin cowok barusan? Mas Richard?" sindir Nishi sambil menahan senyum. Monic terkikik geli. Sally melotot ke arah Nishi. Mereka belajar telepati dimana sih kok bisa menebak dengan tepat apa yang ada di pikiranku?

    Ketika Sally mencubit Nishi, Monic malah ikut menggodanya. "Tadi dia sempat menanyakan kamu lho, Sal. Wah kamu pasti bakal ke ge-er an deh."

    Tidak urung Sally penasaran juga. "Nanya apa?"

    Monic saling pandang dengan Nishi sambil menahan tawa. Bi Asih segera berinisiatif untuk menyingkir. "Bibi taruh tas tas ini ke kamar ya Non?" katanya sambil mengangkat tas mereka.

    "Iya Bi. Terima kasih ya?" sahut Sally. Lalu setelah Bi Asih pergi, dia segera mendesak ke dua sahabatnya lagi. "Tadi dia nanya apa sih?"

    "Dia tanya begini, 'Eh itu yang cucunya pak Soemantri siapa sih namanya?' Ya kita jawab namanya Sari, eh bukan, Sally. Terus dia nanya serius banget ke kita, 'Sudah punya pacar atau belum?'"

    "Terus kalian jawab apa?" tanya Sally harap harap cemas. Monic tersenyum senyum. Bahkan Nishi sudah tertawa tergelak gelak. Rasanya senang sekali bisa membuat wajah sahabatnya jadi aneh begitu. Stres, cemberut, merah padam. Persis warna pelangi ya?

    "Kita jawab aja kalau Sally itu sudah dijodohkan oleh orang tuanya, sudah tunangan, bahkan segera mau dikawinkan saat lulus kelas 12...."

    "Monic!" Sally memekik dengan panik. "Fitnahmu lebih kejam dari pembunuhan!"

    "Bodo amat!"

    Monic dan Nishi makin tergelak gelak.

- - -

Jangan lupa author tunggu komen dan like nya ya pembaca....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!