Matahari sore merambat perlahan di langit jingga, memancarkan sinar hangat yang menyapa taman kecil di sudut Kota. Siera Anindita, seorang gadis kecil dengan rambut dikuncir dua, sedang sibuk menyusun batu-batu kecil di tepi jalan setapak. Tiba-tiba, seorang anak laki-laki dengan senyum lebar dan wajah ceria menghampirinya.
“Halo! Kamu lagi apa?” tanya Arka, bocah yang pindah ke daerah itu bersama kedua orangtuanya.
Siera menatapnya dengan waspada, tapi akhirnya tersenyum kecil. “Bikin jalanan buat semut.”
Arka Ravindra Wiratama yang biasa dipanggil Arka tertawa, lalu duduk di sampingnya. Begitulah awal dari sebuah persahabatan. Setiap sore, mereka bertemu di taman kecil itu, bermain bersama, berbagi cerita dan menikmati dunia kecil mereka.
Persahabatan mereka semakin erat saat masuk SD. Arka selalu melindungi Siera dari anak-anak yang suka mengganggunya. Sebaliknya, Siera menjadi tempat Arka bercerita ketika dia merasa sedih.
Ketika SMP, Arka mulai menarik perhatian orang-orang di sekitarnya terutama para gadis. Siera yang sebelumnya santai, mulai merasakan sesuatu yang aneh setiap kali melihat Arka dikelilingi teman-teman perempuannya.
Saat memasuki bangku SMA, kepopuleran Arka semakin menarik perhatian banyak orang. Penampilan yang menawan, ditambah dengan kepribadiannya yang karismatik, membuatnya menjadi pusat perhatian di sekolahnya.
Arka bukan hanya dikenal karena wajah tampan, tetapi juga karena kepandaiannya dalam olahraga, terutama basket. Setiap kali ada pertandingan, sorak penonton selalu menggema menyebut namanya. Tidak hanya itu, Arka juga sangat pintar dalam bidang akademik, menjadikannya sosok yang dikagumi baik oleh teman-teman sebayanya maupun guru-guru.
Melihat Arka yang semakin hari dikelilingi oleh banyak orang, terutama para gadis di sekolah mereka, membuat Siera merasa ada sesuatu yang mengusik hatinya. Awalnya, dia mengira itu hanya rasa tidak nyaman karena perhatian Arka, sahabatnya sejak kecil, mulai terbagi. Tetapi semakin lama, perasaan itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih rumit.
Setiap kali Siera melihat Arka tersenyum atau berbicara akrab dengan gadis lain, ada rasa sesak yang tidak bisa dia abaikan. Dia sering mencoba mengalihkan pikirannya dengan berkumpul bersama teman-temannya atau menyibukkan diri dengan menggambar dan melukis, tetapi bayangan Arka selalu kembali.
“Kenapa gue jadi begini, sih?” gumam Siera suatu sore, saat dia duduk di taman kecil mereka, tempat yang kini jarang dikunjungi Arka karena kesibukannya.
Siera tahu, dia tidak punya hak untuk merasa seperti ini. Arka bebas berteman dengan siapa saja, dan dia harus bahagia untuk sahabatnya itu. Tapi, semakin dia mencoba mengabaikan, semakin kuat rasa tidak suka muncul setiap kali melihat Arka akrab dengan gadis lain.
Namun Siera tidak berani mengungkapkan perasaannya. Dia takut hubungan persahabatan mereka berubah, atau lebih buruk lagi, berakhir. Jadi, dia memilih menyimpan semuanya dalam hati, berharap suatu saat, perasaan aneh itu akan hilang dengan sendirinya.
Yang tidak Siera sadari, setiap kali dia menyembunyikan rasa itu, senyumnya pada Arka perlahan berubah. Senyum dulu ceria dari gadis cantik itu kini terasa getir, meski Arka tidak pernah benar-benar menyadarinya.
***
Keesokan paginya, Siera berdiri di depan rumahnya, menunggu Arka seperti biasanya. Setiap pagi, Arka selalu datang menjemputnya untuk berangkat ke sekolah bersama. Namun, pagi ini terasa berbeda. Sudah lebih dari lima belas menit berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda Arka akan muncul.
Dia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan singkat: “Arka, lo di mana? Gue udah siap nih.” Namun pesan itu hanya berstatus terkirim tanpa balasan.
Siera mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin Arka sedang sibuk atau terlambat. Tapi ketika waktu semakin mendekati bel masuk, dia tidak punya pilihan lain. Dengan langkah berat, gadis berambut panjang itu memutuskan untuk berangkat sendiri.
Ketika Siera tiba di depan gerbang sekolah, suara deru motor yang familiar terdengar dari belakangnya. Dia menoleh, dan benar saja, itu Arka. Hatinya yang sempat lega tiba-tiba membeku saat meihat seorang gadis duduk di bagian belakang motor Arka.
Gadis itu mengenakan seragam yang sama dengan mereka, rambutnya terurai, tampak akrab berbicara dengan Arka sambil tertawa kecil. Arka terlihat santai, seolah tidak ada yang aneh, bahkan tidak menyadari keberadaan Siera di sana.
Siera hanya berdiri mematung, menatap motor itu melewatinya tanpa sedikitpun melambat. Ada rasa sakit yang menghantam dadanya, perasaan asing yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Dia menunduk, menggenggam tali tasnya erat, mencoba menenangkan diri.
“Kenapa gue merasa seperti ini?” pikir Sierra, tetapi dia tidak berani menjawab pertanyaannya sendiri. Yang dia tahu, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatnya merasa semakin jauh dari Arka, sahabatnya yang dulu selalu ada untuknya.
Siera kemudian melanjutkan langkahnya untuk memasuki ruangan kelas mereka. Pandangannya menyapu seluruh ruangan, memastika seseorang yang ternyata belus sampai dikelas mereka. Ia menghela napas pendek lalu duduk di bangkunya.
Namun, detik berikutnya, suara langkah kaki terdengar dibalik pintu. Siera langsung menoleh, dan disalah dia. Sososk remaja tampan dengan senyum tipis yang membuatnya kesal pagi ini.
“Kok lu nggak ngabarin dulu, kalau hari ini nggak berangkat bareng gue? Ucap Siera dengan nada kesal saat Arka melewatinya dan duduk di bangku belakangnya.
Arka menatap Siera sekilas sebelum menjawab dengan santai, “Sorry banget, Sie. Tadi mendadak soalnya.”
“Seenggaknya kabarin gue, biar gue nggak kelamaan nungguin lo. Hampir telat, tau!” kesal Siera.
Arka tersenyum tipi, seolah mencoba meredakan suasana. “Tapi lo nggak telat juga kan, jadi aman aja.”
Siera mencoba untuk tetap tenang, namun hatinya sedikit tergores. “Tapi nanti pulang sekolah, lo jadi temenin gue beli alat lukis baru, kan?”
Arka tampak berpikir sejenak, lalu menggelengkan kepala. “Kayaknya nggakbisa deh, Sie. Gue udah janji mau nganterin Kyla pulang.”
Siera menatap Arka dengan pandangan tak percaya. “Loh, kan janjinya udah dari kemarin mau temenin gue, gimana sih?” tanyanya.
Arka menggaruk tengkuknya, terlihat canggung. “Maaf, Sie. Gue lupa banget soal itu. Tadi Kyla minta tolong dianterin, dan gue terlanjur bilang iya.”
Siera menggigit bibirnya, menahan kesal yang mulai membakar dadanya. Dia tahu Arka sibuk dengan kehidupannya sendiri, tapi mendengar nama Kyla yang sering disebut dari tadi membuatnya merasa semakin terabaikan. “Ohh… yaudah,” jawab Siera pelan, berusaha menyembunyikan kekecewaannya.
Siera memalingkan wajahnya, menatap ke luar jendela kelas. Jawaban singkatnya tadi terasa dingin, bahkan bagi dirinya sendiri. Tapi dia tidak peduli. Perasaan kecewa yang terus menumpuk membuatnya sulit bersikap biasa.
Arka, yang duduk di belakang Siera, menghela napas pelan. “Sie, gue serius kali ini. Besok gue pasti temenin lo. Janji deh.” Suaranya terdengar lembut, penuh harapan agar Siera mau mempercayainya.
“Terserah lo aja,” jawabnya singkat, tanpa emosi. Padahal, di dalam hatinya, ada perang besar yang sedang terjadi.
Arka terlihat tidak menyadari perubahan sikap Siera. Dia hanya mengangguk, seolah masalah ini sudah selesai. Sementara itu, Siera kembali menatap buku yang ada diatas mejanya berusaha menyembunyikan ekspresi kecewanya. Dalam hatinya, ia tahu masalah ini lebih dari sekedar menunggu atau janji yang tidak ditepati, tetapi ada rasa yang tidak bisa dia ungkapkan, dan sikap Arka yang seolah tak peduli hanya membuat luka kecil di hatinya semakin terasa.
Siera menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, Namun, bayangan gadis yang tadi dibonceng Arka kembali muncul di benaknya, membuat dadanya sesak lagi. “Arka, lo beneran nggak ngerti atau pura-pura nggak ngerti sih?” batinnya.
Pagi ini, Siera bersiap untuk berangkat ke sekolah seperti biasanya. Saat keluar rumah, sama seperti kemarin, tidak ada tanda-tanda Arka akan menjemputnya untuk berangkat bersama. Gadis berparas cantik itu memutuskan untuk pergi sendiri daripada terus menunggu Arka dan berharap tanpa kepastian.
“Ya sudahlah, berangkat sendiri saja. Menunggu lama pun belum tentu si Arka datang,” gumam Siera sambil melangkah meninggalkan rumahnya.
Setibanya di sekolah, Siera langsung menuju kelasnya dan duduk di bangkunya. Ia mengeluarkan buku catatan dan mulai bersiap mengikuti pelajaran. Tak lama kemudian, Arka muncul dengan tergesa-gesa, napasnya tersengal seperti baru saja berlari.
“Kok lo ninggalin gue sih?” tanya Arka sambil menghampiri Siera dengan wajah kesal.
Siera menatap Arka heran. “Ya lo juga nggak ngabarin mau jemput.”
“Biasanya juga nggak ngabarin, tapi tetep nungguin gue,” balas Arka sambil duduk di kursinya.
“Nunggu lo? Yang ada malah kayak kemarin lagi. Gue gak mau buang waktu cuma buat nungguin orang yang nggak pasti,” jawab Siera tegas, sambil memasukkan rambutnya yang tergerai ke belakang telinga.
“Yang kemarin itu kan gue udah bilang maaf, itu nggak sengaja, Sie,” sahut Arka dengan nada menyesal.
Siera mendesah pelan sambil menggeleng. “Ya, tapi gue nggak mau kejadian kayak gitu terulang lagi, Ka. Kalau emang lo niat, kasih tau gue sebelumnya.”
Arka terdiam sejenak, lalu menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Oke, gue salah. Mulai sekarang gue bakal kasih kabar dulu.”
“Bagus kalau gitu,” kata Siera sambil menatap Arka sekilas sebelum kembali fokus ke buku catatannya.
Suasana di antara mereka perlahan mencair. Meskipun Arka terlihat sedikit kesal, ia tahu bahwa Siera hanya ingin yang terbaik untuk mereka berdua.
Sesuai janji mereka, seharusnya sepulang sekolah hari ini Arka menemani Siera membeli alat lukis barunya. Namun, Arka keluar lebih dulu dari kelas dan menyuruh Siera menunggunya di luar sekolah. Arka yang terburu-buru tidak mengatakan alasannya keluar kelas lebih dulu.
“Si Arka mana sih? Udah 15 menit nunggu, belum muncul juga. Pulang duluan apa gimana?” gerutu Siera sambil melirik layar ponselnya, memastikan tidak ada pesan masuk.
Setelah menghela napas panjang. Siera akhirnya mengetik pesan. “Lo dimana? Masih lama nggak sih urusan lo?”
Cuaca panas terik hari itu membuat suasana hati Siera semakin memanas. Ia melirik bayangan pohon di dekat gerbang sekolah, berharap bisa sedikit berteduh, namun kerumunan siswa lain sudah memenuhi tempat itu. Merasa tak nyaman, Siera memutuskan untuk menjauh dari keramaian dan mencari tempat yang lebih sepi untuk menunggu Arka.
“Kalau emang gak bisa, ya nggak usah janji juga,” gumam Siera kesal sambil melipat tangan ke dadanya.
Beberapa menit berlalu tanpa ada balasan. Kesabarannya semakin terkikis. Ia melangkah ke sisi jalan, mencoba mencari ojek online, tapi ponselnya menunjukkan sinyal yang lemah.
“Ini si Arka kemana sih?” gumamnya sambil menghapus keringat di dahinya.
Tiba-tiba, suara sepeda motor berhenti di depannya. Siera menoleh dan mendapati Arka tersenyum sambil membuka kaca helmnya.
“Maaf, gue telat. Kyla tadi manggil gue dulu,” ujar Arka dengan nada bersalah.
“Kyla lagi. Kyla lagi,” Siera menggumam penuh kesal sambil mengalihkan pandangannya ke bawah. Ia telah menunggu Arka lebih dari 30 menit, dan fakta bahwa Arka lebih memilih menemui Kyla terlebih dahulu tanpa memberitahunya, hal itu benar-benar membuat emosinya memuncak.
Siera langsung menatap Arka dengan tatapan tajam. “Ka, gue nunggu di sini udah 30 menit lebih. Dan lo milih nemuin Kyla dulu tanpa ngabarin gue,” ucap Siera dengan nada kecewa.
Arka tampak terkejut melihat reaksi Siera, tetapi ia mencoba meredakan suasana. “Ya maaf, Sie. Kyla tiba-tiba manggil gue tadi. Gue juga nggak tahu bakal selama itu ngobrolnya.”
“Tapi gue udah nungguin lo dari tadi, Ka. Seenggaknya lo ngabarin gue atau balas chat gue. Lo kenapa jadi gini, sih? Bener-bener ngelupain gue banget,” balas Siera dengan sorot mata tajam yang tidak bisa disembunyikan.
Arka turun dari motornya dan mencoba mendekati Siera, tapi gadis itu mundur selangkah, menjaga jarak. “Sie, gue nggak maksud kayak gitu. Gue nemuin Kyla tadi, karena dia bilang butuh bantuan gue."
“Dan lo gak mikirin gimana gue di sini?” potong Siera dengan suara yang lebih tinggi dari biasanya. “Gue yang udah nungguin lo di sini kayak orang bodoh, ternyata lo lebih milih Kyla!”
Arka terlihat bingung, wajahnya semakin suram. “Sie, gue nggak bermaksud ngebuat lo merasa kayak gitu. Gue Cuma...”
“Cuma apa, Ka?” tanya Siera, nadanya penuh penekanan. “Cuma nggak enak sama Kyla, iya? Kalau gitu kenapa lo janji sama gue? Kalau lo tahu nggak bakal bisa, jangan janji!”
Siera bingung dengan dirinya sendiri. Seharusnya, ia tidak perlu mempermasalahkan hal ini hanya karena menunggu Arka lebih lama. Namun, ada sesuatu yang lain yang mengusik hatinya, sebuah perasaan yang membuatnya sulit untuk tetap tenang. Gadis itu merasa marah, bukan hanya karena menunggu, tetapi karena Arka lebih mendahulukan orang lain dibandingkan dirinya.
Di sisi lain, desakan Siera yang semakin emosional membuat Arka mera terpojok. Tanpa ia sadari, emosinya perlahan ikut terpancing, membakar ketenangan yang sebelumnya coba ia pertahankan.
“Siera! Bisa stop nggak sih? Gue kan udah minta maaf, dan sekarang gue di sini mau nganterin lo. Terus apa lagi yang kurang?” Arka meninggikan suaranya, mencoba menahan gejolak di dadanya.
Siera terkejut mendengar balasan Arka yang mulai emosi. “Kok jadi lo yang marah kayak gini sih? Lo nggak pernah loh Ka ngomong pake nada kayak gini sebelumnya.”
“Ya abisnya lo terus-terusan nyalahin gue, Sie! Gue udah bilang gue minta maaf, tapi lo nggak pernah puas,” balas Arka dengan nada frustrasi.
“Arkana! Lo nggak biasanya kayak gini, ya!” balas Siera, tatapannya tajam namun penuh kekecewaan.
“Sie, kehidupan gue bukan cuma soal lo doang, Gue juga punya hal lain yang harus gue lakuin. Lo ngerti, kan?” suara Arka mulai melembut, meski masih ada nada tegas di dalamnya. Ia mencoba mengendalikan amarahnya, tapi ada rasa frustrasi yang tak biasa disembunyikan.
“Gue ngerti Ka, tapi lo juga selalu bilang, ‘gue bakal ada buat lo, prioritasin lo, dan kemana-mana bareng lo.’ Terus kenapa sekarang lo berubah?” suara Siera mulai bergetar, menahan tangis yang hampir tak terbendung.
“Gue gak berubah, Sie. Tapi, lo harus paham…” Arka menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya meski nada suaranya tetap tajam.
“Bukan berarti karena sejak kecil kita selalu bareng, hidup gue harus terus muter di sekitar lo sampai kita dewasa, kan?” ucapnya tegas, tatapannya tajam menghujam ke arah Siera. Suaranya keras, seperti menahan sebuah kebenaran yang tak bisa dihindari.
Deg! Kata-kata itu menghantam Siera begitu kuat hingga membuatnya terdiam. Dadanya sesak, dan sejenak merasa sulit bernapas.
Tanpa sepatah kata lagi, Siera segera berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Arka yang masih berdiri terdiam, terjebak dalam rasa bersalah. Untuk pertama kalinya, Arka merasa tindakannya benar-benar membuat Siera terluka.
Sejak hari itu, Siera dan Arka benar-benar tidak lagi berbicara. Mereka berangkat ke sekolah sendiri-sendiri, tanpa saling menunggu seperti dulu. Di kelas, keheningan menjadi tembok besar yang memisahkan mereka. Tidak ada lagi tawa kecil, candaan, atau tatapan saling pengertian. Yang tersisa hanyalah jarak yang terasa dingin dan menyakitkan.
Keduanya sebenarnya saling merasakan kekecewaan. Namun, mereka terlalu terjebak dalam ego masing-masing untuk mengakuinya. Mereka sadar ada kesalahan yang harus diperbaiki, tetapi tidak ada yang berani mengambil langkah pertama.
Untuk pertama kalinya, setelah 12 tahun persahabatan, mereka berjarak. Dan anehnya, jarak itu terasa begitu asing.
Siera mulai merasakan kekosongan yang sulit ia jelaskan. Kehadiran Arka, yang selama ini mengisi hari-harinya, kini hilang. Rasanya tidak lengkap tanpa candaan spontan atau kebersamaan yang dulu terasa begitu alami. Ia merindukan Arka, meskipun mulutnya enggan mengakui.
Di sisi lain, Arka pun merasakan hal yang sama. Setiap kali ia melewati jalan yang dulu sering mereka lewati bersama, ada kehampaan yang mengusik hatinya. Seperti ada bagian dari dunianya yang hilang. Ia merindukan percakapan kecil tentang hal-hal remeh, lelucon yang hanya mereka berdua mengerti, dan kenyamanan yang tak tergantikan.
***
"Loh, Sie, kok nggak berangkat sekolah bareng Arkana lagi?" tanya Bunda Siera dengan nada penasaran bercampur khawatir. Ia heran, karena beberapa hari terakhir, Siera selalu berangkat sendiri tanpa ditemani Arka, yang biasanya rajin menjemputnya.
"Gak apa-apa, Bund. Arka kayaknya lagi sibuk. Jadi, Siera berangkat sendiri dulu aja," jawab Siera, berusaha terdengar santai. Namun, ada ketegangan samar yang terselip dalam suaranya, sesuatu yang tidak luput dari perhatian Bundanya.
"Oh, ya sudah. Kamu berangkat hati-hati, ya, sayang. Nanti kalau ketemu Arka, kasih tahu dia main-main ke rumah. Bunda buatin cookies kesukaan kalian berdua. Udah lama juga dia nggak ke sini," ujar Bunda dengan lembut, meskipun terlihat masih bingung dengan perubahan yang mendadak itu.
"Hehe… iya, Bund, nanti Sie sampaikan ke Arka," sahut Siera sambil tertawa kecil, berusaha menyembunyikan rasa canggungnya.
Bunda tersenyum hangat. "Kalau Arka sudah nggak sibuk, pasti dia senang mampir. Bunda kangen anak laki-laki bunda satu itu," katanya sambil tertawa kecil, mengenang kebersamaan mereka.
Siera mengangguk pelan, tetapi di dalam hatinya, ada rasa ragu yang sulit ia abaikan.
Gimana mau ngajak dia ke rumah, Bund. Sekarang aja dia nggak mau ngomong sama aku, batinnya.
Ia melangkah pergi dengan perasaan berat.
Kata-kata Bundanya tentang cookies dan tawa hangat bersama Arka dulu hanya terasa seperti kenangan yang perlahan menjauh dari hidupnya.
***
Beberapa hari berlalu, Arka menjadi semakin diam. Ia bahkan hanya melangkah melewati Siera begitu saja ketika mereka berpapasan, seolah Siera adalah sosok asing yang tak lagi berarti.
Siera mulai merasa gelisah. Perasaan bersalah yang semula ia abaikan kini perlahan menyelinap masuk. Ia tahu dirinya harus melakukan sesuatu. Meskipun ia merasa bukan sepenuhnya salahnya, ia tidak ingin hubungan mereka semakin memburuk.
Meminta maaf bukan berarti aku salah, tapi aku nggak mau semuanya berakhir seperti ini, pikir Siera.
Siera mencoba memberanikan diri. Ia mencari kesempatan untuk berbicara dengan Arka. Hari itu, ia melihat Arka sedang berjalan menuju tempat parkir. Dengan napas yang sedikit gugup, Siera menghampirinya.
"Ka, boleh ngobrol sebentar? Gue mau...." ucap Siera, suaranya terdengar ragu, namun tulus.
"Sorry, Sie. Gue buru-buru," potong Arka dengan jawaban singkat, suaranya dingin dan tanpa ekspresi. Tanpa menunggu respons, ia melangkah pergi, meninggalkan Siera yang terdiam di tempat.
Siera menatap punggung Arka yang semakin menjauh, merasa hampa. Ia belum sempat mengatakan apa yang ada di hatinya, tapi kini ia sadar, mungkin Arka tidak lagi peduli.
Sepulangnya ke rumah, Siera duduk di balkon kamarnya, memandang langit sore yang selalu memberinya rasa tenang. Namun kali ini, warna jingga yang biasanya menenangkan hatinya terasa hampa. Ia memegang buku harian kecil di tangannya, tempat ia biasa menuliskan segala perasaan dan pikirannya. Namun, hari ini tangannya ragu untuk menulis. Hatinya terlalu penuh, dipenuhi emosi yang bercampur aduk dan sulit ia ungkapkan dengan kata-kata.
Tanpa sadar, air matanya mulai menetes. Ia merindukan Arka. Merindukan kehadirannya, suar hangatnya, bahkan kejahilannya yang dulu sering membuatnya kesal. Tapi di balik rasa rindu itu, ada kemarahan yang tak bisa ia abaikan. Mengapa Arka tidak mencoba memperbaiki hubungan mereka? Mengapa dia memilih untuk diam dan semakin menjauh?
Kenapa harus jadi begini? gumam Siera pelan. Matanya menatap kosong ke buku harian di pangkuannya, seolah berharap jawaban datang dari sana. Tapi yang ia temukan hanya keheningan.
Di tempat lain, Arka duduk di kamarnya, memandangi sebuah foto lama di atas meja belajarnya. Foto itu adalah kenangan ketika mereka bermain bersama Siera di taman saat mereka kecil yang diabadikan oleh ibunya bertahun-tahun lalu. Dalam foto itu, mereka tampak begitu bahagia, tanpa beban, tanpa jarak.
Senyum kecil muncul di wajah Arka. Ia mengingat bagaimana Siera saat itu, dengan tawa lepas dan pipi merahnya setelah berlarian. Namun, senyum itu segera memudar. Rasa bersalah mulai merayapi hatinya. Ia merasa bodoh telah membiarkan egonya menguasai situasi. Ia tahu ada hal yang harus ia lakukan, tapi apa?
Arka menarik napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Di balik keraguan itu, ia juga memikirkan sesuatu yang lain. Mungkin ini adalah keputusan yang terbaik, pikirnya.
Lagi pula, ke depannya hidup Arka tidak akan selalu tentang Siera. Ia punya mimpi sendiri, ambisi yang ingin ia kejar. Jarak ini, meskipun menyakitkan, mungkin adalah awal agar Siera terbiasa hidup tanpa kehadirannya. Selama ini, Siera terlalu bergantung pada Arka, dan Arka tahu, suatu saat, mereka harus berjalan di jalan masing-masing.
Namun, meskipun ia mencoba meyakinkan dirinya, rasa kehilangan itu tetap membayangi. Ia menatap foto itu sekali lagi, lalu meletakkannya kembali di tempat semula, seolah berusaha mengabaikan gelombang emosi yang mendesaknya.
Di dua tempat yang berbeda, Siera dan Arka sama-sama tenggelam dalam perasaan mereka. Rindu, marah, dan kebingungan bercampur menjadi satu, sementara ego dan ketakutan terus menahan mereka dari menyelesaikan segalanya.
***
Situasi Siera dan Arka semakin rumit. Teman-temannya di Sekolah mulai menyadari perubahan mereka berdua, terutama Cindy, teman sebangku Siera, mulai menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Siera tampak lebih pendiam dari biasanya, dan senyum cerianya seperti menghilang.
"Sie, lo sama Arka kenapa sih?" tanya Cindy pelan.
"Nggak ada apa-apa kok, Cin," jawab Siera singkat. Nada suaranya terdengar datar, tapi jelas ada sesuatu yang ia sembunyikan.
"Nggak ada apa-apa gimana? Tuh, dia sampai tukeran tempat duduk sama Baim," kata Cindy sambil menunjuk ke bangku di pojok kelas mereka.
Siera spontan menoleh. Pandangannya tertuju pada bangku itu, dan benar saja, tas Arka kini ada di sana. Tapi sosok pemiliknya tak terlihat di mana pun. Hatinya mencelos, seperti ditikam perlahan oleh kenyataan yang tak ingin ia terima.
Harus banget sampai segininya ngejauhin gue, ya? batinnya penuh sesak. Seakan semua yang terjadi selama ini belum cukup, kini Arka bahkan sengaja menghindari duduk di dekatnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!