"Aku minta maaf, aku terpaksa mengakhiri hubungan kita ini, Mas. Aku ingin mengejar karierku. Tahun ini aku mau melanjutkan jenjang karierku." Lita atau lebih dikenal sebagai dokter umum di rumah sakit ternama di kotanya ini, tiba-tiba ingin mengakhiri pertunangan dengan sang kekasih, yaitu Lettu Bisma Dwipangga.
Bisma tersentak dengan kalimat yang terlontar dari bibir manis dokter cantik di sampingnya itu, yang sudah kurang lebih empat tahun menemani hari-harinya. Bahkan mereka sudah bertunangan sejak sama-sama ditugaskan di wilayah konflik di Indonesia bagian Timur.
Mereka kenal sudah hampir lima tahun, dari sejak dr. Lita lulus S-1 Kedokteran. Kemudian Lita melanjutkan studi ke jenjang profesi dan menyandang gelar dokter umum, lalu harus koas selama satu tahun, Letnan Bisma masih setia menunggu dr. Lita.
Ketika dr. Lita harus ditugaskan di wilayah konflik, yang ternyata wilayah yang sama dengan Letnan Bisma bertugas, yaitu di wilayah timur Indonesia, Letnan Bisma merasa bahagia. Karena dia bisa bersama-sama dengan sang kekasih bertugas tanpa harus merasakan hubungan jarak jauh. Mereka masih tertawa bersama di balik tugas negara yang membebani pundaknya.
Namun, kini, setelah sembilan bulan berlalu dan tugas selesai, tiba-tiba dr. Jelita melontarkan kalimat yang sangat menyakitkan hati Letnan Bisma, dia tidak menyangka kekasih hati yang lama ditunggunya, tega memutuskan tali kasih hanya demi mengejar jenjang karier yang lebih tinggi.
"Melanjutkan studi apalagi Lita, dokter umum aku rasa sudah cukup? Setelah kamu ditugaskan di wilayah konflik di Indonesia Timur, kamu tidak akan lagi ditugaskan ke wilayah konflik lainnya. Kamu sudah enak dan tinggal di kota ini menjadi dokter di sini," protes Bisma dengan suara sedikit meninggi.
"Itu belum cukup, Mas. Aku ingin mengejar karierku sebagai dokter spesialis, dan itu butuh waktu. Aku tidak mau membuatmu menunggu," alasan dr. Lita lagi seraya meraih jari manisnya, lalu perlahan membuka cincin tunangan miliknya yang sudah menyemat di jari manisnya kurang lebih setahun.
"Kamu tidak perlu memutuskan pertunangan kita. Kita bisa menikah saat kamu studi mengejar jenjang dokter spesialis. Aku sama sekali tidak akan mengganggu studi kamu. Aku juga tidak akan menuntutmu segera punya anak. Asalkan kita sudah menikah, aku lega," bujuk Letnan Bisma lagi berharap dr. Jelita menerima sarannya.
"Tidak, aku tetap akan melanjutkan studiku tanpa kamu di sampingku. Ini, aku kembalikan cincin ini. Aku minta maaf, karena sudah menyita waktumu selama ini. Dan terimakasih atas semua kenangan indah yang pernah kita torehkan bersama. Semoga kamu mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku, Mas." Dr. Lita berkata lirih sembari memberikan cincin yang sudah ia lepas dari jemarinya ke dalam telapak tangan Letnan Bisma, lalu dia berdiri dan bergegas dengan cepat.
Dr. Jelita pergi dengan mobilnya tanpa menoleh lagi ke belakang di mana Letnan Bisma tengah menangis meratapi luka hatinya yang ditorehkan tiba-tiba oleh perempuan itu.
Meskipun kalimat yang dilontarkan dr. Jelita begitu lirih, tapi bagi Letnan Bisma sangat menyakitkan hati. Ibarat ditusuk seribu sembilu.
"Jelitaaaaa, jangan pergiiii. Tunggu aku Litaaaa." Letnan Bisma berteriak seraya berdiri menatap kepergian mobil dr. Jelita.
***
Di kediaman orang tua Letnan Bisma
"Kenapa, ada apa tiba-tiba Jelita memutuskan pertunangan kalian? Apakah kamu mengkhianatinya selama ini, Bisma?" tanya sang mama seolah sedang menyidang Bisma.
Bisma menggeleng dengan wajah yang masih sedih. Bu Sindi, sang mama tidak pernah melihat Bisma semurung ini sebelum-sebelumnya. Ia sangat khawatir, kenapa tiba-tiba tunangan anaknya itu memutuskan hubungan tanpa sebab.
"Lantas?" Pak Saka, sang papa menimpali, tidak kalah penasarannya dari Bu Sindi.
"Jelita memutuskan hubungan pertunangan hanya karena dia akan melanjutkan studinya ke jenjang dokter spesialis. Meskipun aku sudah meyakinkan bahwa aku tidak akan mengganggu studinya, Jelita tetap ingin kami berpisah," jelas Bisma sedih.
"Sudah papa duga, dokter itu memang tidak serius denganmu. Dia pergi ketika menurutnya ada yang lebih baik darimu," cetus Pak Saka. Bu Sindi dan Bisma merasa ada yang janggal dengan ucapan Pak Saka barusan.
"Ada yang lebih baik dariku? Menurut Papa, Jelita pergi karena ada orang lain yang lebih baik dari aku?" Bisma terlihat sangat penasaran dan gelisah.
"Papa tidak tahu, papa hanya menyimpulkan. Kamu cari tahu sendiri kenapa Jelita memutuskan hubungan kalau memang bukan kamu yang mengkhianatinya?" ujar Pak Saka seraya menatap kembali koran yang sejak tadi dibacanya. Mendapat jawaban dari papanya seperti itu, Letnan Bisma kembali murung. Kesedihannya semakin menggebu.
"Mama akan cari tahu kenapa Jelita memutuskan hubungan begitu saja, padahal kalian sudah bertunangan. Mama akan menemui mamanya Jelita. Mereka harus menjelaskan kenapa anaknya tiba-tiba memutuskan pertunangan tanpa sebab. Kalau hanya sekedar ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, kenapa sampai harus memutuskan hubungan, Bisma juga tidak menuntut dia untuk berhenti berkarir. Pasti ada alasan lain di sebalik ini," duga Bu Sindi yakin dengan tatapan nyalang ke depan, menyiratkan kemarahan.
Wanita paruh baya yang dikenal lembut tapi tegas itu, kini wajahnya berubah garang, ia tidak terima sang anak dicampakkan begitu saja tanpa sebab yang jelas.
"Mama jangan lakukan hal yang tidak-tidak, papa tidak mau hubungan pertemanan antara keluarga Jelita hancur begitu saja hanya karena ulah anaknya," risau Pak Saka sembari menatap wajah istrinya yang penuh amarah.
Pada saat yang sama, sebuah motor matik memasuki halaman rumah. Seorang gadis berparas ayu dan berpenampilan sederhana, menaruh motor matiknya dengan benar, di depan halaman rumah.
Semua mata tertuju ke luar sana, menatap Haura yang baru pulang dari kampus. Haura segera memasuki rumah yang sama. Namun ia masuk lewat pintu samping. Lalu siapakah Haura itu?
"Dia dari mana, Ma?" pikiran Bisma teralihkan pada sosok Haura perempuan muda 20 tahun yang sudah kurang lebih lima tahun tinggal di rumah kedua orang tua Bisma.
Bisma tidak kenal dekat dengan Haura, sebab sejak pertama kali Haura tinggal di rumah ini, Bisma sudah melanglang buana menjadi seorang Perwira Angkatan Darat, dan tidak sempat dikenalkan lebih dekat dengan Haura yang sudah diangkat sebagai anak oleh kedua orang tua Bisma.
Pak Saka dan Bu Sindi merasa kesepian setelah ketiga anaknya sukses semua. Anak kedua dan yang paling bungsu sudah berumah tangga serta memilih tinggal di rumahnya masing-masing bersama pasangannya. Tinggal Bisma yang belum menikah, sedangkan ia merupakan anak tertua di keluarga ini.
Oleh sebab itu, mereka berdua memutuskan mengangkat Haura, gadis piatu yang hidup sebatang kara. Haura masih memiliki seorang ayah, akan tetapi ayah kandung Haura sedang dirawat di sebuah yayasan khusus untuk orang dengan gangguan jiwa.
"Dia pulang kuliah," sahut Bu Sindi. Bisma hanya mengangkat bibir kanannya tipis seakan tidak lagi tertarik membahas Haura anak angkat kedua orang tuanya. Bisma kembali pada masalahnya, dia terlihat murung dan sedih. Hal ini membuat Bu Sindi tidak bisa tinggal diam.
Apa yang akan Bu Sindi lakukan terhadap Bisma. Lelaki tangguh di medan konflik yang merupakan seorang Danton itu, kini bagai kerupuk yang melempem ketika diputuskan hubungan kasih oleh sang tunangan?
"Haura kemarilah!" Bu Sindi memanggil Haura yang saat ini sedang berada di dapur bersama salah satu pembantu di rumah ini.
"Ya, Ma," sahut Haura menyebut mama terhadap Bu Sindi seperti permintaan wanita paruh baya itu lima tahun lalu. Kasih sayangnya sama seperti kasih sayang yang ia berikan terhadap ketiga anak-anaknya.
"Kamu pasti bisa membuat kopi yang enak untuk kakakmu. Kakakmu baru pulang, dan sepertinya hari ini akan nginap di rumah ini. Jadi, tolong kamu buatkan kopi untuknya, sekalian kamu akrabkan diri dengannya. Kalian jarang ketemu, tentunya harus lebih kenal dan akrab satu sama lain. Ayolah," titah Bu Sindi seraya mendorong pelan tubuh Haura ke pantry di dapur itu.
"Baik, Ma." Haura patuh, lalu segera melaksanakan titah sang mama. Haura sudah tidak bingung lagi bagaimana membuat kopi yang enak dan pas seperti apa yang dikatakan mama angkatnya tadi. Sebab dia pernah pengalaman menjadi seorang Bartender saat sekolah SMA dulu. Saat itu Haura sekolah sambil bekerja paruh waktu sepulang sekolah, padahal saat itu dirinya sudah diangkat sebagai anak dari keluarga Pak Saka. Akan tetapi, Haura tidak mau terlalu keenakan menerima kasih sayang dan biaya hidup yang diberikan dengan tulus oleh kedua orang tua angkatnya itu.
"Haura ingin mandiri, Ma. Terlebih, Haura ingin punya pengalaman bekerja setelah lulus sekolah nanti," alasannya kala itu. Bu Sindi dan Pak Saka tidak bisa melarang Haura untuk tidak mencoba hal yang ingin digelutinya, selama itu positif pada akhirnya mereka membiarkan Haura bekerja atas dasar kemauannya.
Dan kini setelah lulus SMA, Haura punya keinginan yang tinggi, yaitu ingin menjadi Desainer ternama. Seperti pekerjaan paruh waktu yang kini digelutinya, yakni bekerja di salah satu butik milik Bu Sindi sendiri. Haura bekerja paruh waktu di butik Bu Sindi atas kemauan sendiri, sambil bekerja, ia belajar mendesain gaun-gaun.
Wangi kopi sudah menguar di udara, Haura telah siap membuat kopi itu. Lalu ia segera membawa kopi itu ke ruang keluarga di mana di sana ada Bisma dan Pak Saka papa angkatnya.
Haura tiba di sana, sikapnya masih malu-malu bertemu tatap dengan kakak angkatnya itu. Sebab dengan Bisma terbilang sangat jarang bertemu. Pernah bertemu, itupun hanya kali, saat dirinya mengantar kepergian Bisma tugas ke wilayah konflik Indonesia dan ketika kepulangan Bisma dari sana. Selebihnya, Haura kenal Bisma lewat cerita Bu Sindi maupun foto Bisma yang diperlihatkan. Beda dengan kedua saudara Bisma, Arani dan Birawa, mereka beberapa kali bertemu dan sudah lumayan dekat, bahkan mereka sudah menganggap Haura seperti adiknya sendiri.
"Kak Bisma, kopinya, Kak." Haura meletakkan kopi itu di meja di depan Bisma. Cangkir itu diletakkan bersama tatakannya, saat menapaki meja, air kopi itu sedikit tumpah dan membasahi tatakan. Bisma dan kedua orang tuanya kompak memusatkan perhatian pada kopi yang diletakkan Haura tadi.
"Ada apa dengan Haura?" Hati kecil Bu Sindi menjadi heran, tapi semua pikiran itu kembali normal. Wajar kopi di dalam cangkir itu tumpah, sepertinya Haura memang gugup bertemu dengan Bisma yang pada saat ini tatapnya bagai orang yang sedang marah, imbas dari kesedihan yang ditorehkan dr. Jelita yang memutuskan hubungan pertunangan terhadap Bisma.
Setelah meletakkan cangkir itu, Haura perlahan mendekat dan menyalami tangan Bisma dengan cukup menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
Sejenak Bisma merasa keder, ketika ia sudah siap menerima uluran tangan gadis itu, ternyata Haura hanya menangkup kedua tangannya di dada.
"Sok cantik dan terlalu percaya diri," cibir Bisma dalam hati. Entah kenapa, Bisma kurang suka dengan sikap Haura barusan.
"Kak Bisma, segera diminum kopinya selagi hangat," ujar Haura mempersilahkan. Bisma tidak menoleh atau menyahut, dia hanya menatap ke arah lain dengan pikiran masih kalut.
"Coba kopi buatan adikmu, enak sekali dan pas. Kamu pasti akan ketagihan dengan kopi buatannya," timpal Pak Saka sembari beralih kepada Bisma. Koran yang sejak tadi dibawah pengawasannya, kini kembali diletakkan di meja.
Bisma mulai meraih gagang cangkir dan membawanya dekat dadanya, wangi kopi arabika asli ini cukup menggoda seleranya. Perlahan Bisma mulai mendekatkan bibir cangkir itu ke mulutnya dan meneguk kopi itu.
Bisma terlihat menikmati kopi buatan Haura, sesekali ia menghisap harum kopi itu oleh hidungnya. "Enak sekali kopi ini, rasanya pas," puji Bisma di dalam hati.
"Bagaimana Bisma, enak bukan kopi buatan adik kamu?" sela Pak Saka sembari menatap ke arah Bisma.
"Lumayan, Pa." Bisma menjawab tanpa mau mengatakan yang sebenarnya, lagipula itu tidak penting dibahas, hanya sebuah kopi saja.
Acara minum kopi sore di ruang keluarga itu, kini berlalu. Haura kembali ke kamarnya. Kamar Haura berada di lantai bawah, dekat dengan ruang tengah yang hampir tidak terjamah, karena ruang tengah hanyalah ruang penghubung dengan ruangan lainnya seperti dapur, ruang tamu, dan ruang keluarga.
Bisma memasuki kamarnya yang selalu ia singgahi jika sedang akan menginap saja. Di dalam kamar itu, ia termenung sembari mempermainkan cincin tunangan yang dikembalikan dr. Jelita siang tadi.
Pikiran Bisma kacau kembali, ia tidak terima dengan perlakuan kekasihnya itu yang tiba-tiba memutuskan hubungan pertunangan secara tiba-tiba.
"Lita, ijinkan malam ini aku menemuimu. Aku mohon, sekali ini saja," pinta Bisma di dalam saluran telpon. Tentu saja yang dia hubungi adalah dr. Jelita, Bisma ingin tahu lebih jelas apa alasan dr. Jelita memutuskan pertunangan itu.
Di balik pintu kamar yang Bisma tempati, Bu Sindi ternyata sedang mengintip sang anak. Dia merasa iba dengan Bisma yang seperti memohon cinta terhadap dr. Jelita.
"Kasihan Bisma, sampai patah hati seperti itu. Dia memang tidak cocok dengan Jelita yang egois dan terlalu mendiri. Aku harus menemukan pengganti Jelita agar Bisma tidak kecewa berlarut-larut," gumamnya sembari menyusun sebuah rencana. Ide ini muncul seketika dan menurutnya ini lebih baik untuk Bisma.
"Tunggu kejutan mama, Bisma. Kamu akan mendapatkan pengganti Jelita jauh lebih baik dari dia, yang jelas perempuan satu ini tidak egois dan tahu tata krama dan sopan santun, serta sabar. Dia pasti cocol dengan kamu yang sedikit keras kepala," rencana Bu Sindi sembari tersenyum gembira. Bu Sindi berlalu dari balik pintu kamar Bisma.
Malam ini setelah Isya, Bisma sudah menyiapkan diri. Tubuhnya sudah wangi dan rapi dengan kemeja kotak-kotak yang melekat di tubuhnya. Ketampanan Bisma yang paripurna semakin terlihat meskipun ia tidak sedang menggunakan seragam TNI nya.
"Kak Bisma, kata mama dan papa segera turun, kita makan malam bersama," beritahu Haura yang tiba-tiba sudah berada tepat di hadapan Bisma yang baru saja keluar dari kamarnya.
Bisma menatap Haura tanpa kata, lagipula kenapa juga gadis muda itu yang harus memanggilnya untuk makan malam, padahal ia bisa turun sendiri menuju meja makan. Bisma pergi lebih dulu dan meninggalkan Haura yang masih berdiri di dekat pintu kamar Bisma.
Haura menatap kepergian Bisma dengan sedih, sejak pertemuannya tadi siang di ruang keluarga, kakak angkatnya itu tidak sedikitpun bersikap ramah. Padahal kedatangan dia ke kamarnya ini, adalah disuruh Bu Sindi untuk memberitahu Bisma makan.
Bisma tiba di meja makan, tapi dia hanya memberitahu bahwa malam ini tidak bisa makan malam bersama, karena terlanjur ada janji dengan seseorang.
"Bisma tidak bisa makan malam bersama kalian Pa, Ma. Bisma minta maaf, sebab Bisma sudah ada janji dengan seseorang." Bisma memberi alasan.
"Janji dengan siapa? Dengan perempuan tadi siang yang memutuskan hubungan pertunangan kalian? Kenapa ditemui lagi? Kalau dia sudah mengembalikan cincin pertunangannya, itu artinya dia sudah tidak mau bersamamu," ujar Pak Saka dengan nada kecewa.
"Bisma minta maaf, Pa. Bisma pamit dulu, ya. Assalamualaikum." Tanpa membalas ujaran papanya, Bisma segera pamit dan melangkahkan kaki tanpa menunggu jawaban dari kedua orang tuanya.
Pak Saka dan Bu Sindi geleng kepala, mereka kecewa dengan sikap Bisma yang seolah masih mengejar dr. Jelita, padahal jelas-jelas dokter muda itu sudah memutuskan hubungan sepihak.
Pak Saka dan Bu Sindi pada akhirnya hanya bisa menatap kesal kepergian Bisma.
"Haura, duduklah. Kenapa kamu masih berdiri di sana?" tegur Bu Sindi pada Haura yang masih berdiri di ujung pintu ruang tengah. Haura tersentak lalu melangkah menuju ruang makan. Mereka bertiga makan malam tanpa Bisma, sesekali terdengar obrolan kecil di sela makan malam mereka layaknya keluarga kecil bahagia.
***
Di tempat berbeda, mobil Bisma tiba di depan sebuah kafe yang sudah dijanjikan oleh Bisma dan dr. Jelita tadi sore. Bisma segera masuk ke dalam kafe itu, dia langsung menuju meja paling ujung di kafe itu. Sembari menunggu dr. Jelita datang, Bisma memanggil seorang pelayan kafe untuk memesan minuman.
Pelayan datang, lalu Bisma memesan minuman milo dingin. Karena hawa kota Semarang malam ini terasa begitu panas.
Bisma sesekali menatap jam tangannya, sudah lima menit perempuan dambaannya terlambat datang. Padahal dr. Jelita sendiri yang menentukan jam berapa mereka janjian bertemu. Sampai 10 menit berlalu, perempuan itu masih juga belum datang. Bisma masih sabar menunggu. Hingga tepat di jam 20.15 menit, orang yang dinantikan akhirnya datang juga.
Bisma langsung berdiri dari duduknya dan menyambut kedatangan Jelita yang tampil sangat cantik malam ini. Bisma keluar dari kursinya, ia manarik kursi untuk Jelita lalu mempersilahkan gadis cantik berpendidikan itu duduk. Perlakuan Bisma masih belum berubah, dia tetap meratukan Jelita dengan perhatiannya.
"Sayang, aku sudah menunggumu lima belas menit yang lalu, aku pikir kamu tidak akan datang," ucap Bisma masih belum melepas kata sayang dari bibirnya untuk Jelita.
Jelita memalingkan muka, dia seperti keberatan saat Bisma memanggilnya sayang.
"Kenapa kamu memaksaku untuk bertemu, Mas? Sudah aku katakan, aku tidak akan merubah keputusanku. Aku tetap akan melanjutkan studiku, aku ...." Kalimat dr. Jelita terputus.
"Pakai lagi cincin pertunangan kamu ini, kamu masih bisa melanjutkan studi tanpa harus mengakhiri hubungan pertunangan kita. Lagipula aku tidak akan mengusik studi kamu atau menuntut kamu harus menjadi ibu rumah tangga dan meminta kamu cepat punya anak. Aku tidak akan mengekangmu, Lita. Jadi, apa salahnya kita menikah dan kamu tetap melanjutkan studi tanpa kekangan dariku?" bujuk Bisma seraya membuka kotak perhiasan yang di dalamnya cincin tunangan yang tadi siang dilepas Jelita.
"Sudah aku katakan aku ingin melanjutkan studiku untuk mengejar dokter spesialis. Studiku ini bisa memakan waktu empat sampai enam tahun, Mas. Dan aku tidak mau kamu bosan menungguku. Kalau kamu tidak sabar menunggu, lebih baik kita sudahi hubungan ini. Aku kembalikan cincin tunangan ini." Dr. Jelita langsung membantah ucapan Bisma, dia kukuh dengan pendiriannya, bahwa dia ingin tetap melanjutkan studinya tanpa melanjutkan hubungan kasih dengan Bisma.
Jelita meraih kotak perhiasan cincin itu, lalu dikembalikan ke tangan Bisma dengan paksa.
"Tapi kenapa Lita? Berikan alasannya kenapa kamu ingin mengakhiri hubungan ini, sementara aku selama ini begitu setia menantimu, bahkan kalau kamu mau melanjutkan studi kembali, aku tidak akan mengganggu studimu, aku siap menunggumu jika memang itu yang kamu mau. Aku akan menunggumu sampai kamu meraih gelar dokter spesialis," tekan Bisma yakin.
"Tidak, aku tidak yakin kamu bisa menungguku selama itu. Sudahlah, Mas. Aku tidak ingin memberimu harapan yang tidak pasti, lagipula studiku kali ini benar-benar ingin fokus tanpa memiliki hubungan dengan siapapun. Aku harap kamu memahami obsesi dan cita-citaku, Mas. Dokter spesial merupakan angan-anganku sejak dulu," balas Jelita juga penuh penekanan.
"Kalau begitu, itu artinya kamu ingkari semua janjimu selama ini. Bukankah pernah kamu bilang, bahwa setelah kita selesai tugas di daerah konflik, kita akan segera melangsungkan pernikahan dan itu kamu ucapkan di depan kedua orang tuaku juga orang tuamu. Apakah kamu tidak ingat dengan janjimu, Jelita?" cetus Bisma mengingatkan Jelita atas janjinya setahun lalu setelah acara pertunangan mereka.
"Lupakan itu, Mas. Saat itu aku tidak berpikir jernih. Aku hanya ingin melanjutkan studiku dengan fokus tanpa menjalin hubungan dengan pria manapun, termasuk kamu, Mas," tekan Jelita lagi.
Bisma terdiam, dia membeku seribu bahasa dengan penyangkalan dr. Jelita. Hatinya bertambah sakit dengan pertemuan malam ini. Dia pikir bujukannya akan merubah keputusan perempuan cantik di hadapannya, tapi ternyata sama sekali tidak.
"Maaf, Mas. Aku tidak bisa lama. Aku harus segera kembali. Aku pamit, aku minta maaf karena telah mengecewakanmu." Dr. Jelita berdiri lalu pergi dari meja itu tanpa menunggu Bisma bicara lagi padanya. Hati Bisma benar-benar hancur dengan perlakuan dr. Jelita sampai Bisma tidak bisa berkata-kata.
***
"Akkkkkhhhhhhh."
Bisma menjerit sekuat tenaganya di depan sebuah danau buatan di taman kota itu. Melampiaskan amarah dan kecewanya. Dengan perasaan marah yang tidak terbendung, Bisma melemparkan cincin tunangan milik Jelita ke dalam danau. Hatinya telah hancur sehancur-hancurnya oleh penolakan dr. Jelita.
"Apa sebenarnya alasan yang mendasari kamu memutuskan hubungan pertunangan kita, Lita? Aku tidak percaya kamu ingin fokus studi tanpa menjalin hubungan dengan pria manapun. Kamu pasti bohong, kamu bohongggggg," pekik Bisma lagi seraya menjambak ubun-ubun yang rambutnya sudah agak memanjang.
Di ujung sebelah timur danau itu, Jelita menatap Bisma yang sedang frustasi. Dia merasa bersalah dengan keputusannya.
"Maafkan aku, Mas." batinnya lirih. Dr. Jelita membalikkan badan, ia tidak mau membuat kesal seseorang yang kini menunggunya.
"Sudah, Sayang?" tanya pria itu dengan lembut dan mesra.
"Sudah, Mas. Ayo." Mereka masuk ke dalam sebuah mobil, lalu mobil itu segera pergi dari tempat itu, meninggalkan Bisma yang sedang meratap di depan danau yang penuh kenangan antara dirinya dan dr. Jelita.
Bersambung. Jangan lupa dukungannya ya, like dan hadian juga votenya jangan lupa. Selamat membaca.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!