Asap hitam mengepul dari celah-celah retakan di bumi. Bau belerang dan daging terbakar memenuhi udara. Langit, yang seharusnya biru cerah di penghujung sore, kini berubah menjadi palet warna merah darah yang mengintimidasi. Senja terakhir di bumi bukanlah keindahan yang menenangkan, melainkan pertunjukan kehancuran yang memekikkan jiwa.
Dr. Elara Wu berdiri di atas tebing yang menghadap ke reruntuhan kota yang dulu bernama Arcadia. Angin kencang menyapu rambut hitamnya yang terurai, membawa butiran debu yang menempel di wajahnya. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat puing-puing gedung pencakar langit yang menjulang seperti tulang belulang raksasa. Sungai yang dulu mengalir di tengah kota kini mengering, meninggalkan jejak lumpur yang mengeras seperti luka yang menganga.
Elara memejamkan mata. Suara jeritan dari kejauhan bercampur dengan gemuruh ledakan yang tidak pernah berhenti sejak pagi tadi. Dunia ini sedang sekarat. Dan manusia—makhluk yang pernah mengklaim dirinya sebagai penguasa bumi—adalah dalang dari semua ini.
"Elara!" Sebuah suara serak memanggilnya dari belakang. Orion berlari dengan tergesa-gesa, senapan serbu tergantung di bahunya. Pria itu tampak seperti hantu: kulitnya penuh luka, jaket kulitnya compang-camping, dan matanya penuh amarah yang tertahan. "Kita harus pergi sekarang! Mereka sudah dekat!"
Elara membuka matanya, menatap Orion dengan sorot penuh keteguhan. "Berapa banyak waktu yang kita miliki?"
Orion mendesah, memeriksa jam tangan digital yang retak di pergelangan tangannya. "Lima belas menit, kalau kita beruntung."
"Tidak cukup waktu," gumam Elara sambil menatap horizon. Di kejauhan, barisan tank lapis baja milik para anarkis terlihat seperti titik-titik kecil di tengah badai debu. Mereka semakin mendekat.
Orion mencengkram lengan Elara dengan keras, memaksanya untuk menatap wajahnya. "Aku tidak peduli seberapa penting misi ini untukmu. Kalau kita mati di sini, semuanya sia-sia!"
Elara menarik napas dalam-dalam. Dia tahu Orion benar. Tapi misi ini bukan sekadar soal dirinya. Ini tentang menyelamatkan apa yang tersisa dari umat manusia.
"Aku hanya butuh lima menit," jawab Elara akhirnya. "Aku harus memastikan data ini terunggah."
Orion mengumpat pelan, tetapi dia tidak membantah. Dia tahu bahwa tidak ada gunanya berdebat dengan Elara ketika dia sudah memutuskan sesuatu. "Lima menit. Tidak lebih."
Elara segera berlari menuju terminal komunikasi yang tersembunyi di balik reruntuhan gedung di dekat situ. Tangannya gemetar saat dia mengaktifkan perangkat yang sudah tua dan nyaris tidak berfungsi. Layar berkedip-kedip, menampilkan data yang penting untuk kelangsungan hidup manusia: lokasi koloni rahasia yang tersembunyi di luar angkasa, sebuah tempat yang disebut Eden.
"Come on, come on..." gumamnya, jemarinya menari di atas keyboard. Progres pengunggahan berjalan lambat, setiap persen terasa seperti seabad.
Di luar, suara tembakan mulai terdengar. Orion sudah bersiap di pintu masuk reruntuhan, senapannya diarahkan ke kejauhan. Dia melirik ke arah Elara sesekali, rahangnya mengeras saat melihat barisan musuh yang semakin mendekat.
"Elara! Cepat!" teriaknya, jari telunjuknya menarik pelatuk untuk menembak salah satu musuh yang mendekat terlalu cepat.
"Satu menit lagi!" Elara menjawab dengan nada panik. Peluh mengalir di dahinya, bercampur dengan debu dan darah kering.
Ledakan mengguncang tanah, membuat terminal komunikasi bergetar hebat. Elara hampir kehilangan keseimbangan, tetapi dia tetap fokus. Dia tidak boleh gagal.
"Unggahannya selesai!" teriak Elara akhirnya, suara penuh kemenangan di tengah kekacauan.
"Tinggalkan perangkatnya! Kita harus pergi sekarang!" Orion meraih tangan Elara, menariknya dengan paksa keluar dari gedung yang hampir runtuh.
Mereka berlari menembus badai debu, kaki mereka menyentuh tanah yang retak dan tidak stabil. Di belakang mereka, ledakan besar menghancurkan tempat yang baru saja mereka tinggalkan. Elara menoleh sekilas, melihat api membumbung tinggi ke langit.
"Ke mana sekarang?" tanya Orion dengan nada tegas.
Elara mengeluarkan peta digital dari kantong jaketnya. "Ada bunker tua di sisi barat. Kita bisa berlindung di sana sampai mereka pergi."
Orion mengangguk tanpa bicara. Mereka terus berlari, napas mereka berat dan terputus-putus. Tapi di dunia yang seperti ini, tidak ada waktu untuk berhenti. Tidak ada waktu untuk beristirahat.
Ketika mereka akhirnya mencapai bunker, pintunya terkunci dengan kode yang hanya diketahui Elara. Dengan tangan gemetar, dia mengetikkan kode itu, berharap tidak salah. Pintu baja besar itu terbuka perlahan, suara gesekan logamnya membuat bulu kuduk berdiri.
"Masuk!" Orion mendorong Elara masuk terlebih dahulu sebelum dia sendiri melompat ke dalam. Begitu mereka berdua berada di dalam, pintu segera tertutup kembali, melindungi mereka dari dunia luar yang kacau balau.
Di dalam bunker yang gelap dan dingin, Elara terduduk lemas di lantai beton. Napasnya terengah-engah, tetapi matanya memancarkan tekad yang tidak tergoyahkan.
"Data itu... kita berhasil menyelamatkannya," katanya pelan.
Orion duduk di sebelahnya, menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak. "Ya, tapi itu baru permulaan. Perjalanan kita masih panjang, Elara."
Elara mengangguk. Dia tahu. Dunia ini mungkin sedang sekarat, tetapi dia belum menyerah. Dia percaya bahwa di balik kehancuran ini, masih ada secercah harapan yang menunggu untuk ditemukan.
---
Di dalam bunker yang gelap, hanya suara napas mereka yang terdengar. Orion bangkit perlahan, menyalakan lampu portabel kecil yang tergantung di sabuknya. Cahaya redup menerangi ruangan sempit itu, menampilkan dinding beton kasar yang penuh coretan angka dan simbol yang tidak dikenalnya.
"Ini bunker militer tua," kata Orion, mengamati sekeliling. "Kemungkinan ada persediaan di sini. Tunggu di sini, aku akan memeriksa."
Sebelum Elara bisa membantah, Orion sudah melangkah ke sudut ruangan. Dia membuka laci logam berkarat, menarik keluar beberapa kotak kecil. Dalam salah satunya, dia menemukan beberapa batang makanan darurat yang sudah hampir kedaluwarsa dan sebotol kecil air.
"Kita cukup beruntung," gumamnya sambil menyerahkan air itu kepada Elara.
Elara menerimanya tanpa bicara. Setelah meneguk air, dia kembali membuka peta digitalnya. Perangkat itu berkedip pelan, menunjukkan koordinat terakhir yang berhasil dia unggah ke satelit tua yang mengorbit bumi. Eden, koloni rahasia yang disebut-sebut sebagai tempat terakhir yang aman, adalah harapan terakhir umat manusia. Tapi perjalanan ke sana tidak akan mudah.
"Koordinat ini..." Elara menatap layar. "Kita harus melewati Deadzone untuk mencapainya."
Orion mendongak, wajahnya langsung menegang. "Deadzone? Kau bercanda?"
"Tidak ada jalan lain," jawab Elara. "Deadzone adalah jalur tercepat, dan kita tidak punya cukup waktu atau sumber daya untuk mengambil rute memutar."
Orion menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan frustasi. "Deadzone penuh radiasi dan makhluk yang bahkan aku tidak ingin tahu namanya. Kau yakin kita bisa selamat melewatinya?"
"Aku tidak yakin," jawab Elara jujur. "Tapi ini satu-satunya cara. Kalau kita tidak mencapainya dalam tiga hari, koordinat itu akan kadaluarsa. Satelit yang kugunakan sudah sangat tua, dan aku tidak tahu kapan sinyalnya akan hilang."
Orion terdiam. Dia tahu Elara benar, tetapi dia juga tahu risiko yang akan mereka hadapi. Dia pernah kehilangan banyak orang di Deadzone, dan bayangan itu masih menghantui malam-malamnya.
"Aku akan memastikan kita keluar dari sana hidup-hidup," katanya akhirnya, nada suaranya penuh tekad. "Tapi kita harus mempersiapkan diri. Tidak ada ruang untuk kesalahan."
Elara mengangguk, lalu beranjak berdiri. Dia berjalan ke sisi bunker yang lain, di mana dia menemukan sebuah meja kerja yang tertutup debu tebal. Di atasnya ada beberapa perangkat elektronik tua yang mungkin bisa mereka manfaatkan.
"Kita bisa menggunakan beberapa bagian dari ini untuk memperbaiki drone pengintai," katanya sambil menunjuk komponen-komponen itu. "Kalau kita punya drone, kita bisa memetakan jalur di Deadzone tanpa harus berjalan membabi buta."
Orion mendekat, mengamati perangkat itu dengan hati-hati. "Kau pikir kau bisa memperbaikinya?"
"Aku yakin bisa," jawab Elara. "Tapi aku butuh waktu beberapa jam."
Orion mengangguk. "Lakukan. Aku akan berjaga di luar. Kalau mereka menemukan kita di sini, kita tidak akan punya kesempatan."
Elara segera bekerja, tangan-tangannya bergerak cekatan meskipun kelelahan masih mencengkeram tubuhnya. Dia membongkar perangkat-perangkat itu, mencari bagian yang masih berfungsi dan mencoba menggabungkannya dengan drone rusak yang dia bawa dalam ranselnya.
Sementara itu, Orion memanjat ke permukaan melalui pintu kecil di sudut ruangan. Dia berjongkok di balik puing-puing di luar bunker, matanya menyapu horizon yang penuh debu. Tidak ada tanda-tanda pergerakan musuh, tetapi dia tidak menurunkan kewaspadaannya.
Waktu berlalu perlahan. Suara samar-samar dari Elara yang sibuk bekerja di dalam bunker menjadi satu-satunya penanda bahwa dia tidak sendirian. Orion menyentuh liontin kecil yang tergantung di lehernya, satu-satunya peninggalan dari keluarganya yang sudah tiada.
"Jangan sia-siakan ini, Orion," gumamnya pelan pada dirinya sendiri.
---
Beberapa jam kemudian, Elara muncul di pintu bunker dengan wajah penuh debu tetapi senyuman kecil di bibirnya. Dia memegang drone yang terlihat seperti baru, meskipun beberapa bagian tampak dipasang secara darurat.
"Sudah selesai," katanya.
Orion menoleh, melirik drone itu, lalu mengangguk dengan puas. "Bagus. Sekarang kita punya mata di udara."
Elara mengaktifkan drone itu, dan mesin kecil itu melayang dengan lembut ke udara. Melalui tablet kecil di tangannya, dia memantau gambar yang dikirimkan oleh drone.
"Ini dia," katanya sambil menunjukkan jalur yang terlihat di layar. "Jalur ini sepertinya lebih aman dibandingkan yang lain. Kita harus bergerak sebelum fajar."
Orion berdiri, meraih senapannya. "Baik. Kita bergerak sekarang."
Mereka meninggalkan bunker dengan hati-hati, membawa hanya barang-barang yang penting. Di bawah langit yang penuh bintang dan debu, mereka memulai perjalanan mereka menuju Deadzone—tempat yang penuh bahaya tetapi juga menjadi harapan terakhir mereka.
Dan di kejauhan, sebuah mata-mata mekanis milik para anarkis merekam setiap langkah mereka, mengirimkan koordinat mereka ke pusat komando. Perjalanan ini tidak hanya akan membawa mereka melawan dunia, tetapi juga melawan musuh yang tak kenal ampun.
Langkah-langkah kaki mereka bergema di tanah yang gersang, menciptakan irama aneh yang terasa terlalu hidup di dunia yang mati ini. Deadzone membentang di depan mereka seperti mimpi buruk yang tak berujung. Tanahnya retak-retak, seperti kulit makhluk tua yang hampir hancur. Asap beracun mengepul dari kawah-kawah kecil yang tersebar di mana-mana, dan udara terasa berat dengan aroma logam dan belerang.
Orion memimpin, senapan di tangannya terangkat, matanya waspada terhadap setiap gerakan. Elara berjalan di belakangnya, satu tangan menggenggam tablet yang menampilkan citra langsung dari drone mereka. Di layar, jalur yang harus mereka tempuh terlihat jelas, tetapi ancaman yang mengintai tidak selalu muncul di gambar hitam-putih itu.
"Berapa jauh lagi sampai kita melewati batas Deadzone?" tanya Orion tanpa menoleh.
Elara memeriksa peta di tablet. "Sekitar 15 kilometer lagi. Kalau kita terus berjalan tanpa henti, kita bisa sampai sebelum malam tiba."
Orion mendengus. "Berdoalah agar kita tidak bertemu sesuatu yang membuat kita harus berhenti."
Mereka terus berjalan dalam keheningan yang menegangkan, hanya suara napas mereka yang terdengar di tengah angin yang berbisik lirih. Namun, langkah mereka terhenti ketika Orion tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat agar Elara berhenti.
"Ada apa?" bisik Elara.
Orion menunjuk ke depan, di mana sesuatu bergerak di balik kabut tipis. Sekilas, makhluk itu tampak seperti manusia, tetapi gerakannya terlalu lambat dan tidak wajar. Tubuhnya yang kurus dan tulang belulangnya yang menonjol terlihat jelas, seperti mayat hidup yang berjalan tanpa tujuan.
"Mutan," kata Orion pelan. "Jangan buat suara."
Elara menahan napas, menatap makhluk itu dengan rasa ngeri yang bercampur iba. Mutan adalah hasil dari radiasi yang merusak tubuh manusia, mengubah mereka menjadi sesuatu yang tidak lagi bisa disebut manusia. Mereka tidak memiliki pikiran, hanya naluri dasar untuk bertahan hidup—atau menyerang apa pun yang bergerak.
"Apakah dia akan menyerang kita?" tanya Elara.
"Kalau kita tidak menarik perhatiannya, mungkin tidak," jawab Orion. "Tapi mutan jarang sendirian. Mereka bergerak dalam kelompok."
Seolah menjawab perkataan Orion, suara jeritan melengking tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Elara tersentak, matanya membelalak saat melihat bayangan-bayangan lain muncul di balik kabut. Lima, tujuh, sepuluh mutan mulai bergerak mendekat, tertarik oleh suara drone yang masih terbang di atas kepala mereka.
"Matikan drone-nya!" seru Orion.
Elara dengan cepat mematikan drone itu, tetapi sudah terlambat. Para mutan sudah menemukan mereka. Makhluk-makhluk itu mulai berlari, langkah-langkah mereka tidak teratur, tetapi kecepatan mereka menakutkan.
"Larikan diri atau bertarung?" tanya Elara panik.
Orion mengangkat senapannya. "Tidak ada waktu untuk lari. Siapkan dirimu."
Dia menembak mutan terdepan, pelurunya menembus kepala makhluk itu dan menjatuhkannya ke tanah. Tetapi mutan-mutan lain tidak berhenti. Elara meraih pistol kecil yang dia simpan di jaketnya, meskipun tangannya gemetar saat mengarahkan senjatanya.
"Jangan berhenti menembak sampai mereka semua jatuh!" teriak Orion.
Elara mematuhi perintah itu, menembak dengan ketakutan yang memuncak. Peluru-peluru mereka menghantam para mutan satu per satu, tetapi jumlah mereka terlalu banyak. Salah satu mutan berhasil mendekati Elara, cakar panjangnya hampir menyentuh wajahnya sebelum Orion menembaknya tepat waktu.
"Fokus!" bentak Orion.
Elara mengangguk, meskipun air mata mulai mengalir di pipinya. Dia terus menembak sampai suara tembakan berhenti, dan satu-satunya suara yang tersisa adalah napas mereka yang terengah-engah.
Ketika semuanya selesai, tubuh-tubuh para mutan tergeletak di sekitar mereka, darah hitam mereka mengalir di tanah yang retak.
"Kau baik-baik saja?" tanya Orion, matanya memeriksa Elara dengan cermat.
Elara mengangguk pelan, meskipun tangannya masih gemetar. "Aku baik-baik saja. Hanya... aku belum pernah membunuh sesuatu sebelumnya."
"Mutan bukan manusia lagi," kata Orion tegas. "Kalau kau tidak membunuh mereka, mereka yang akan membunuhmu. Ingat itu."
Elara tidak menjawab. Dia hanya menatap tubuh-tubuh itu dengan perasaan campur aduk, lalu mengikuti Orion yang sudah mulai berjalan lagi.
---
Ketika mereka akhirnya mencapai batas Deadzone, matahari sudah hampir terbenam. Langit berubah menjadi campuran oranye dan merah yang suram, sementara bayangan Deadzone semakin panjang dan menyeramkan.
Mereka menemukan tempat berlindung di sebuah bangunan tua yang nyaris runtuh. Dindingnya retak, tetapi cukup kokoh untuk melindungi mereka dari angin dan debu yang beracun. Orion menyalakan api kecil dengan sisa-sisa kayu yang dia temukan, sementara Elara duduk di sudut, memeriksa tablet dan drone-nya.
"Kita berhasil melewati Deadzone," kata Elara pelan. "Tapi perjalanan kita masih panjang."
Orion mengangguk sambil menyerahkan sebatang makanan darurat padanya. "Kita akan istirahat di sini malam ini. Besok kita akan melanjutkan perjalanan ke Eden."
Mereka makan dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Elara memikirkan tentang Eden, koloni yang konon memiliki teknologi untuk menyelamatkan umat manusia. Apakah itu benar-benar ada? Dan jika ada, apakah mereka akan diterima di sana?
Sementara itu, Orion memikirkan ancaman yang semakin nyata. Para anarkis pasti sudah tahu tentang mereka. Mereka tidak akan berhenti sampai Elara dan data yang dia bawa berhasil ditangkap.
"Orion," panggil Elara tiba-tiba.
"Ya?"
"Kau pernah kehilangan seseorang, bukan?"
Orion menatapnya dengan mata yang penuh luka yang belum sembuh. "Ya. Keluargaku."
Elara menunduk. "Aku juga. Aku kehilangan adikku ketika perang dimulai. Aku... aku tidak bisa melindunginya."
"Kita semua kehilangan sesuatu," kata Orion pelan. "Tapi itu tidak berarti kita berhenti berjuang."
Elara mengangguk, meskipun rasa sakit di hatinya tidak berkurang.
Di luar, langit semakin gelap. Dan di tempat lain, para anarkis sedang mempersiapkan diri untuk memburu mereka, membawa bahaya yang lebih besar daripada Deadzone atau mutan.
Malam datang seperti selimut hitam yang mencekik. Langit di luar tampak penuh dengan bintang yang redup, tertutup lapisan debu tebal yang melayang di atmosfer. Di dalam reruntuhan bangunan tua tempat mereka berlindung, Orion duduk berjaga. Senapan tergeletak di tangannya, sementara matanya tajam memindai setiap sudut.
Elara tertidur di sudut ruangan, tubuhnya meringkuk dengan tablet yang masih menyala di dekatnya. Namun, tidurnya tidak tenang. Wajahnya terus bergerak gelisah, seolah-olah mimpi buruk menghantuinya.
Orion menghela napas. Dia tahu mereka tidak bisa lama di sini. Keamanan tempat ini hanya ilusi; terlalu dekat dengan Deadzone berarti ancaman bisa datang dari mana saja.
Tiba-tiba, suara lirih terdengar dari luar. Orion menegang, memiringkan kepalanya untuk mendengar lebih jelas. Suara itu seperti derak langkah kaki yang sengaja diperlambat, menciptakan gema samar di antara puing-puing.
Dia berdiri perlahan, senapan terangkat. Dengan hati-hati, dia berjalan menuju jendela yang sudah pecah, mengintip ke luar melalui celah kecil di dinding. Pandangannya menyapu gelap malam, tetapi tidak ada yang terlihat—hanya bayangan dari bangunan yang runtuh dan pasir yang berterbangan.
Namun, dia tahu lebih baik daripada mempercayai ketenangan ini. "Elara," bisiknya, mencoba membangunkannya tanpa suara.
Elara terbangun dengan tersentak, menatap Orion dengan mata penuh pertanyaan. "Apa yang terjadi?" bisiknya balik.
"Seseorang—atau sesuatu—ada di luar," jawab Orion pelan. "Bersiaplah."
Elara meraih pistolnya, menyalakan kembali tablet untuk mengaktifkan kamera drone yang masih tertinggal di luar. Layar tablet memperlihatkan pemandangan yang membuat darahnya membeku. Beberapa sosok bergerak di kejauhan, mendekat perlahan ke arah mereka.
"Anarkis," gumam Elara. "Mereka menemukan kita."
Orion mengutuk pelan, mengangkat senapannya. "Kita tidak bisa melawan mereka di sini. Mereka pasti punya peralatan yang lebih baik. Kita harus keluar sebelum mereka mengepung tempat ini."
Elara mengangguk. Dia segera merapikan peralatannya, memasukkan tablet ke dalam tasnya. Namun, sebelum mereka bisa melangkah, sebuah suara keras menggema di luar.
BOOM!
Dinding di sebelah mereka runtuh, mengirimkan puing-puing beterbangan ke segala arah. Elara menjerit, terlempar ke belakang, sementara Orion berusaha melindunginya dengan tubuhnya.
Ketika debu mulai mereda, mereka melihat sebuah lubang besar di dinding. Di sisi lain, sosok-sosok bersenjata lengkap berdiri, topeng mereka bercahaya samar dalam kegelapan.
"Serahkan gadis itu," salah satu dari mereka berkata dengan suara serak yang menggema dari helmnya. "Dan kami akan membiarkanmu pergi."
Orion tertawa pahit, mengangkat senapannya. "Itu bukan tawaran yang bagus."
Tanpa menunggu jawaban, dia menarik pelatuk, peluru menghantam salah satu dari mereka tepat di dada. Anarkis itu terjatuh, tetapi rekan-rekannya langsung membalas tembakan.
"Pergi sekarang!" teriak Orion pada Elara sambil terus menembak untuk memberi perlindungan.
Elara bangkit dengan susah payah, berlari menuju pintu belakang bangunan itu. Di tengah pelarian, dia mendengar suara-suara lain dari radio yang dibawa para anarkis:
"Target terlihat. Kirim tim kedua untuk memotong jalur mereka."
Mereka tidak hanya menghadapi satu kelompok, tetapi pasukan penuh.
---
Mereka berlari tanpa henti melalui lorong-lorong reruntuhan, napas mereka terengah-engah. Elara memimpin dengan bantuan peta di tablet, sementara Orion menutup di belakang, sesekali berhenti untuk menembak ke arah pengejar mereka.
"Ke kanan!" teriak Elara, menunjuk ke lorong sempit yang tampak menuju ke luar area.
Namun, saat mereka berbelok, jalan itu tiba-tiba terhalang oleh kawanan mutan yang tampaknya tertarik oleh suara tembakan. Wajah mereka yang cacat dan mata kosong membuat Elara merasa seperti sedang menghadapi mimpi buruk yang tak berujung.
"Ini semakin buruk," gumam Orion sambil mengarahkan senapannya.
"Mutan di depan, anarkis di belakang. Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Elara, panik.
"Tidak ada pilihan," jawab Orion. "Kita harus menerobos mereka."
Dia mulai menembak mutan satu per satu, sementara Elara mengikuti dengan gemetar. Namun, jumlah mutan itu terlalu banyak. Mereka menyerang seperti gelombang, membuat setiap langkah terasa seperti pertempuran hidup dan mati.
Ketika mereka akhirnya berhasil menerobos, tubuh mereka penuh luka kecil, dan tenaga mereka hampir habis. Namun, mereka tidak punya waktu untuk beristirahat.
---
Setelah hampir dua jam berlari tanpa henti, mereka menemukan tempat perlindungan sementara: sebuah bunker tua yang tersembunyi di bawah puing-puing. Orion membuka pintu besi berat itu dengan susah payah, sementara Elara berjaga dengan pistolnya.
Begitu mereka masuk, Orion segera menutup pintu dan menguncinya. Mereka berdua jatuh terduduk, napas mereka tersengal.
"Aku... aku tidak tahu... berapa lama lagi aku bisa terus seperti ini," kata Elara di antara napasnya.
"Kau harus bisa," jawab Orion dengan nada tegas. "Ini belum selesai."
Dia memeriksa senapannya, memastikan masih ada peluru. Sementara itu, Elara memeriksa tablet. "Koordinat Eden masih ada," katanya pelan. "Kita hanya butuh beberapa jam lagi untuk sampai ke sana."
"Kalau begitu kita tidak bisa lama di sini," kata Orion. "Mereka akan menemukan kita cepat atau lambat."
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan, suara di luar mulai terdengar lagi. Kali ini, itu bukan suara langkah kaki, melainkan sesuatu yang jauh lebih besar.
Elara menatap Orion dengan mata melebar. "Apa itu?"
Orion mendekati pintu, menempelkan telinganya. "Kendaraan lapis baja. Mereka membawa sesuatu yang besar."
Elara merasa darahnya membeku. "Apa kita bisa melawan mereka?"
"Tidak di sini," jawab Orion tegas. "Kita harus keluar sekarang."
Dia mulai mencari jalan keluar lain, dan akhirnya menemukan pintu kecil di lantai bunker. "Ini mungkin membawa kita ke luar," katanya. "Ayo."
Mereka turun ke lorong gelap yang penuh dengan bau lembap. Lorong itu sempit, hanya cukup untuk satu orang sekaligus. Dengan hati-hati, mereka menyusuri jalur itu, sementara suara kendaraan besar semakin mendekat di atas mereka.
Ketika mereka akhirnya keluar, mereka menemukan diri mereka di tepi ngarai besar yang membentang di bawah bulan yang redup.
"Kita tidak bisa menyeberang," kata Elara, melihat jurang itu.
Orion memeriksa sekeliling, lalu menunjuk ke arah kabel baja tua yang tergantung di atas jurang. "Kita bisa menggunakan itu."
"Apakah kau serius?" tanya Elara, matanya membelalak.
"Apakah kau punya pilihan lain?" Orion menjawab dingin.
Tanpa menunggu jawaban, dia mulai memanjat tiang tempat kabel itu terhubung. Elara mengikutinya dengan gemetar, berusaha mengabaikan rasa takutnya.
Namun, sebelum mereka bisa menyeberang, suara dari belakang membuat mereka berhenti. Anarkis sudah menemukan mereka, dan mereka bersiap menembak.
"Kau duluan!" teriak Orion.
Elara memegang kabel itu dengan erat dan mulai menyeberang, sementara Orion menembak untuk menahan musuh. Peluru berdesing di sekitar mereka, tetapi dia tidak berhenti sampai Elara berhasil mencapai sisi lain.
Ketika giliran Orion, dia bergerak cepat, meskipun peluru terus menghujaninya. Namun, saat dia hampir mencapai sisi lain, salah satu peluru mengenai kabel, membuatnya bergetar hebat.
Orion hampir terjatuh, tetapi berhasil meraih kabel dengan satu tangan. Dengan usaha keras, dia akhirnya mencapai sisi lain, hanya untuk melihat Elara menatapnya dengan wajah pucat.
"Kita tidak bisa terus seperti ini," katanya, suaranya penuh ketakutan.
Orion memandangnya dengan serius. "Kita tidak punya pilihan, Elara. Kalau kau ingin sampai ke Eden, kau harus bertahan."
Elara mengangguk, meskipun rasa takut masih menghantuinya. Dan di belakang mereka, bayangan anarkis terus mengejar, membuat setiap langkah terasa seperti perlombaan melawan maut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!