Rayana berjalan tergesa-gesa untuk mengejar bus sekolah yang hampir saja meninggalkannya. Teman-temannya mengumpat karena ini bukan pertama kalinya dia terlambat. Melainkan hampir setiap hari.
"Uhh, sial! Gue telat bangun." gerutunya.
Rayana berlari kencang menghampiri bus yang sudah lama menunggunya. Hampir sepuluh menit.
"Lama banget sih lo? Emangnya ini bus orang tua lo?" gerutu salah seorang temannya.
"Maaf, gue telat." gumamnya.
"Maaf, maaf, tiap hari lo telat. Emang lo nggak malu apa?" ucapnya lagi semakin keras.
"Huuuuuu." sorak teman-temannya mengejek Rayana.
"Iya, maaf. Gue kan uda minta maaf." jawab Rayana.
"Lo kira maaf lo bisa membayar segalanya, ha?" bentak salah seorang teman perempuan yang dari tadi hanya diam mendengar celotehan mereka.
Perempuan itu bernama Syfa Hanief. Seorang gadis tomboy namun cantik karena badannya tinggi dan ramping seperti gitar Spanyol. Beda dengan Rayana yang pendek, pesek dan badannya tergolong kurang ideal. Syfa adalah seorang perempuan yang pemberani dan tak mau ditindas oleh orang lain.
"Gue sudah lama liatin lho terlambat. Dan yang anehnya kami selalu menunggu lo dan lo datang hanya dengan meminta maaf. Mentang-mentang lo anak pintar jadi lo menganggap kami sepele gitu?" bentak Syfa sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Rayana dengan tatapan mata yang liar seolah-olah ingin menelannya hidup-hidup.
Rayana bergidik ngeri mendapat tatapan yang seperti itu. Tapi ia segera menepis rasa takutnya itu agar jangan sampai ketahuan teman-temannya.
"Trus, apalagi yang harus gue lakuin supaya kalian semua memaafkan gue, ha?" bentaknya tak kalah kerasnya dengan suara Syfa tadi.
"Oh, jadi lo uda berani melawan gue sekarang ya. Okeh, gue ladenin." ucap Syfa sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku rok panjangnya.
Ia mendekatkan kembali tubuhnya ke arah Rayana.
Peraturan di sekolah mereka mewajibkan semua perempuan memakai rok. Jadi Syfa meskipun tomboy tetap harus mengikuti peraturan kalau tidak akan dikeluarkan.
Mau tak mau Syfa pun menuruti aturan itu, namun sejujurnya dia lebih suka memakai celana. Satu-satunya rok yang dia punya hanya rok seragam SMP nya. Yang lain semuanya celana.
"Hei, hei, hei! Mengapa kalian berkelahi. Ayo duduk di tempat masing-masing! Bubar!" bentak pak supir yang sudah ada di sana.
Dari tadi dia hanya diam nendengar ocehan anak-ansk itu, tapi karena masih berkepanjangan, ia pun turun tangan melerai mereka. Karena pak supir satu-satunya orang yang lebih tua yang ada di sana. Anak-anak meskipun nakal tapi masih menghargai orang yang lebih tua termasuk pak supir.
Mereka pun bubar satu persatu kembali ke tempat duduk semula.
"Dan kamu Rayana, mulai besok harus berubah. Jangan selalu terlambat kalau tidak jangan salahkan saya. Karena selama ini saya sudah membantu kamu, tolong jaga reputasi saya. Saya nggak mau dipecat gara-gara kamu." ucap pak Supir tersebut.
"Baik, pak." sahut Rayana.
Bus kembali melaju mengitari jalan menuju sekolah Harapan Mandiri. Anak-anak di dalam bus mulai mengobrol santai satu sama lain. Rayana hanya bisa berdiri karena tempat duduk sudah penuh.
Hal ini sudah menjadi kebiasaan baginya. Nggak apa-apa yang penting irit ongkos. Kalau naik bus kan tinggal bayar bulanan. Kalau harus naik taksi bisa-bisa aku nggak jadi jajan. Itulah alasan mengapa Rayana lebih memilih naik bus dari pada naik taksi.
Tiga puluh menit berlalu. Mereka akhirnya tiba di sekolah. Anak-anak semua berlarian menuju kelas masing-masing untuk mengantar tas mereka lalu pergi menuju lapangan karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.
Peraturan lain sekolah Harapan Mandiri adalah tidak boleh menenteng atau menggendong tas saat sedang berbaris.
Lapangan sudah ramai, anak-anak antusias mengikuti arahan dari ketua regu maaing-masing yang menyiapkan barisan sesuai dengan kelasnya.
Tak ada canda tawa yang terlintas, karena mereka sibuk menyimak arahan yang diberikan guru kepada mereka.
Baik siswa maupun guru mengenakan seragam sekolah Harapan Mandiri. Jadi terlihat rapi dan kompak. Terpancar kebersamaan dan saling mencintai dari senyum yang mereka ukirkan.
Rayana maupun teman-temannya masuk ke dalam kelas. Mereka duduk di bangku SMP kelas delapan. Dan yang menjadi wali kelas mereka adalah ibu Tuenti. Ibu Tuenti adalah seorang guru yang sosoknya tegas, humoris dan seksi tentunya.
Tapi ia ditakuti oleh siswa terutama siswa yang sering berbuat onar. Maka bila bertemu lebih baik mereka langsung kabur kalau masih bisa kabur. Tapi kalau tak bisa lagi, terpaksa deh mendengarkan ocehan dan omelannya.
Di mata ibu Tuenti semua anak adalah salah. Tapi jangan salah, dia tak pernah pelit memberi nilai. Biar aman lakukan saja apa yang dia minta.
Tapi hari ini kelas delapan A bersorak sorai karena ibh Tuenti izin tidak masuk untuk mengajar. Setelah mendengar berita itu mereka semua melompat kegirangan. Seperti anak-anak yang dapat mainan baru.
"Selamat pagi anak-anak." sapa seorang guru laki-laki yang sudah berada di dalam kelas yang mereka tak tau kapan datangnya.
"Pagi, pak. Sahut mereka serentak sambil berlari ke tempat duduk masing-masing.
"Hari ini saya akan menggantikan ibu Tuenti di kelas delapan ini. Perkenalkan nama saya adalah Eru Subandi. Panggil saja saya pak Eru." ucap Eru kepada anak-anak.
Mereka ber 'o' ria dan mengangguk tanda mengerti ucapan guru tersebut.
"Hari ini saya akan menggantikan ibu Tuenti untuk sementara karena beliau tak bisa hadir mengajar di kelas ini karena ada hal yang mendesak.
Anak-anak hanya manggut-manggut saja.
"Baiklah, sekarang buka buku halaman 20." ucap Eru kepada mereka.
Rayana dan teman-temannya yang lain menuruti perintah dari guru tersebut.
Eru bukan guru baru di sekolah Harapan Mandiri, selama ini dia mengajar di kelas sembilan. Jadi anak-anak banyak yang tidak mengenalnya. Termasuk anak-anak kelas delapan.
Saat asyik-asyiknya mereka belajar, tiba-tiba suara ribut terdengar.
krekk.
Suara kaca jendela kelas yang pecah akibat terlempar bola. Dan bola itu kembali turun ke bawah. Kegiatan belajar mengajar pun berhenti sejenak.
"Apa ada yang luka?" tanya Eru kepada murid-murid.
"Ada, pak. Itu tangan Rayana berdarah." ucap salah satu cowok yang ada di belakang Rayana.
Yah, tangan Rayana terkena serpihan kaca tersebut.
Eru mendekat ke kursi Rayana. Dilihatnya darah yang masih mengalir dari tangan Rayana.
"Tolong beri saya jalan!" ucap Eru membopong tubuh Rayana dan membawanya dari kerumunan itu.
Ia membawa Rayana ke UKS. Petugas UKS langsung menyambutnya dan mengobati luka di punggung tangan kanan Rayana.
Eru berpesan kepada mereka agar membiarkan Rayana untuk sementara beristirahat di ruang UKS. Kemudian Eru kembali ke ruang kelas delapan.
"Tangan kamu kenapa sayang?" tanya seorang wanita paruh baya kepada Rayana yang baru saja sampai di rumah. Dia adalah ibunya Rayana Aditama.
"Nggak kenapa-kenapa ma, hanya luka sedikit saja." ucapnya berbohong.
"Luka sedikit tapi kok sampai diperban gitu, nak?" selidik wanita itu mulai khawatir.
"Udalah, ma. Aku capek. Aku mau istirahat. Malas bahas ini terus." gerutunya lagi.
"Tapi, Ray..."
"Berhenti berpura-pura. Lebih baik mama urus suami baru mama itu. Aku nggak butuh kepura-puraan." tepis Rayana saat mamanya mencoba memegang tangannya.
"Ray, tapi mama perduli sama kamu. Tolong jangan begini sayang. Mama mohon." ucap wanita itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Bohong. Aku udah tau semuanya. Mama lebih perduli kan sama suami mama yang baru itu ketimbang aku," ucap Rayana mulai meninggikan suaranya.
Seorang lelaki keluar dari kamar karena mendengar suara ribut dari ruang tamu.
"Bukan begitu maksud mama sayang. Mama juga ingin yang terbaik untukmu makanya mama menikah lagi. Tolong kamu mengerti sayang." ucap wanita itu lagi sambil mendekati Rayana mencoba untuk meraih tangan itu lagi.
"Nggak usah dekat-dekat. Aku muak dengan mama," bentak Rayana kepada wanita itu.
Plakk
Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Rayana. Tamparan itu berasal dari seorang lelaki yang baru saja keluar dari kamar.
"Jaga sikap kamu! Ini mama kamu. Mama yang sudah melahirkan mu dan membesarkan mu," ucap lelaki itu geram dengan sikap anak tirinya itu.
"Anda siapa? Saya tak mengenal anda. Mengapa anda ikut campur dengan urusan saya dan mama saya? Apa hak anda?" tanya Rayana kepada lelaki itu. Ia melontarkan begitu saja kata-kata itu dengan kasar dari bibirnya.
"Saya berhak. Karena saya ini adalah suami dari mama kamu dan kamu adalah anak saya," jelas lelaki itu tak kalah lancang. Ia membelalakkan matanya melihat Rayana penuh emosi.
"Anak anda bilang? Cihh saya tak sudi memanggil anda sebagai papa." ucap Rayana ketus.
Plakk
Kembali lagi tamparan itu mendarat di pipi Rayana. Tadi sebelah kanan, sekarang sebelah kiri. Kini kedua pipi Rayana sudah memerah bahkan keluar darah sedikit dari bibirnya.
"Sudah bang. Tolong hentikan bang. Ray sudah terluka itu." ucap wanita itu penuh permohonan. Hatinya begitu terluka melihat buah hatinya dipukul. Dari tadi hanya diam memperhatikan mereka, tapi karena semakin sengit akhirnya ia pun buka mulut.
"Tapi dia sudah keterlaluan dek. Sudah kehilangan akal sehatnya sepertinya dia. Kita sebagai orang tuanya malah dilawannya. Harus dikasih pelajaran dia ini," ucap lelaki itu mencoba untuk menampar Rayana lagi untuk kesekian kalinya.
"Jangan pernah kamu menuntut aku akan memanggil papa kepada anda. Karena anda bukan papa saya. Lebih baik kalian lanjutkan perselingkuhan kalian berdua yang nggak jelas ini," ucap Rayana dengan air mata yang sudah menggenang di pipinya.
Rayana berlari menuju kamarnya sambil terisak. Ia membanting pintu kamar dengan sangat kuat sehingga membuat penghuni rumah itu terkejut.
Rayana, mamanya dan bapak tirinya itu selalu saja bertengkar, tak pernah akur walau sehari pun. Rayana tidak terima jika mamanya yang bernama Indi Lestari menikah lagi dengan seorang lelaki yang hanya beda delapan tahun dengan dirinya yang bernama Reynhard Pranoto.
Menurut Rayana lelaki itu adalah sosok yang brengsek dan sangat tidak cocok dengan mamanya. Kalau pun cocok mendingan Reynhard dijadikan sebagai abang bukan sebagai bapak tiri seperti sekarang ini.
Rayana menangis sejadi-jadinya di dalam kamarnya yang bernuansa pink itu. Ia merebahkan tubuhnya di tempat tidur dan meringkuk memeluk bantal guling meluapkan semua kekesalannya. Sebelumnya ia sudah menyetel musik remix dengan keras agar tak ada yang mendengar kalau dia sedang menangis bombay sekarang.
Seisi rumah kembali berpusing ria mendengar musik yang disetel oleh Rayana. Namun mereka tak mampu berbuat apa-apa karena Rayana tak mau membuka pintu kamarnya dan tak perduli dengan seisi rumah itu. Mereka hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.saja.
Rayana memandang wajah nya di cermin kamarnya. Wajah itu kini mulai membengkak sehingga matanya cipit tak kelihatan. Rasa panas dan perih mulai terasa. Ia sudah puas menangis. Ia kembali mematikan musik yang disetel nya dari tadi.
Ia mengambil handuk dan melangkahkan kakinya ke kamar mandi yang ada dalam kamarnya itu. Ia membersihkan dirinya selama setengah jam.
Usai mandi ia memakai kaos putih dengan celana pendek di atas lutut jeans biru.
Kemudian ia pergi ke dapur untuk mencari sesuatu yang dapat mengganjal perutnya. Karena dari tadi pagi dia tak makan. Sepulang sekolah juga ia tak makan akibat pertengkaran dengan Reynhard juga mamanya tadi.
"Non mau makan?" tanya seorang asisten rumah tangga yang dikhususkan memasak untuk anggota keluarga.
"Iya, bi. Ada yang bisa di makan, bi?" tanya Rayana yang sudah duduk di meja makan. Dari tadi dia mondar-mandir karena tak menemukan apa-apa di dalam kulkas. Makanya dia langsung duduk di meja makan dan meneguk air mineral yang ia ambil dari dalam kulkas.
"Maaf, non. Semua yang bisa dimasak sudah habis. Mereka sudah menghabiskannya dan tak menyisakan sedikit pun buat non Raya," ucap bibi Hanum penuh iba.
"Oh gitu. Ya sudah, BI. Nggak apa-apa. Bibi nggak usah minta maaf, kan bukan bibi yang salah," kata Rayana lembut.
"Ya sudah, bibi akan buatkan mi instan untuk non ya. Non tunggu saja, ya. Bibi ke warung dulu beli mi instannya," ucap bibi Hanum. Ia berlalu dari hadapan Rayana dengan berjalan cepat.
Bibi Hanum iba melihat Rayana. Keluarga dari bapak tirinya tak memperdulikannya. Bukan sekali dua kali mereka tidak pernah meninggalkan makanan untuknya. Tapi sudah berulang kali.
"Bentar ya, non," ucap bibi Hanum yang baru saja datang dari warung dengan tentengan kresek di tangannya.
"Iya, bi. Aku ikut bantu ya," jawab Rayana.
Mereka bekerjasama menyulap mi instan dari yang keras menjadi lunak dan menghiasinya dengan kuah yang begitu menggoda selera. Aromanya saja membuat hidung dan perut tak kuasa menahan lapar.
Ingin cepat-cepat rasanya menikmatinya dan memasukkannya ke dalam perut yang sudah bernyanyi dari tadi minta diisi.
"Eh bang, kamu uda lama datangnya?" tanya Rayana pada Ardi yang sedang duduk di teras rumah Rayana.
"Udah," jawabnya singkat.
"Kamu bawa apa buat aku?" tanya Rayana lagi. Ia melihat sekelilingnya mencari-cari sesuatu. Berharap Ardi membawakan sesuatu untuknya.
"Ada di dalam," jawab Ardi lagi singkat.
Rayana langsung berlari ke dalam rumah penasaran dengan apa yang dibawa oleh pacarnya itu untuknya. Rayana mencari di sekitar guest room. Dan benar ada kotak berwarna pink terletak diatas meja.
Dan dia ingin sekali meraih kotak itu, tapi dilihatnya ada mamanya disana. Diurungkannya niatnya, padahal ia sangat penasaran dengan kotak itu.
Ia sebel dan melangkah keluar menemui Ardi.
Ardi hanya cuek melihat Rayana yang baru saja keluar dari rumah. Rayana semakin kesal karena merasa Ardi nggak peka sama sekali dengan sikapnya.
Rayana masuk lagi ke dalam rumah itu meninggalkan Ardi dan menutup pintu dengan kekuatan super. Ardi terkejut dan mulai bingung tak tau harus berbuat apa.
"Ardi, lebih baik kamu pulang saja. Biar tante yang bicara nanti ke Rayana," ucap mama Rayana menghampiri Ardi yang sudah berdiri hendak masuk ke dalam rumah.
"Iya, tante. Kalau gitu Ardi pulang dulu tante." Ardi pamit ke mama Rayana lalu mencium punggung tangan wanita itu.
Ardi pergi meninggalkan rumah Rayana menaiki motor Scoopy-nya.
Setelah Ardi benar-benar pergi, Indi Lestari lalu masuk ke dalam rumah itu lagi dan menutup pintunya perlahan.
Ia berencana untuk bicara dengan putrinya itu. Putri yang selalu beradu mulut dengannya. Tapi Indi sangat mencintai putrinya itu meskipun dengan segala tingkah Rayana. Indi Lestari berjalan menuju kamar Rayana.
Tok, tok, tok.
Suatu pintu diketuk.
"Ray, mama boleh masuk?" ucap Indi Lestari. Namun tak ada sahutan dari dalam kamar tersebut.
"Sayang, tolong buka pintunya nak. Mama mau bicara," pinta Indi kepada putrinya itu. Tapi Rayana masih saja tak menyahut.
Indi Lestari mencoba memutar gagang pintu kamar Rayana, tapi ternyata dikunci dari dalam.
"Ya sudah. Mama tarok di sini aja kotak yang dibawa Ardi tadi ya, nak. Mama letak di atas meja dekat pot bunga," ucap Indi sedikit berteriak. Berharap Rayana mendengarnya. Ia pun menyerah untuk mengganggu putrinya itu.
Mau bagaimana pun caranya dia membujuk, Rayana tidak akan mau diajak bicara. Keras kepala sekali dia. Aslinya Rayana bukan orang yang jutek dan kasar seperti itu. Namun karena dia merasa disakiti dan dikhianati makanya dia bersikap seperti itu.
Jiwa dan emosi yang masih labil itulah yang dimilikinya. Tak mau dia mendengar alasan dari orang tuanya yang memutuskan untuk menikah lagi setelah ditinggal pergi oleh papanya.
Pernikahan mamanya yang kedua kalinya ini membuat dirinya menjadi seorang remaja yang kasar, jutek dan suka melawan orang tua. Tapi anehnya, hanya pada Indi, mamanya dan Reynhard bapak tirinya itu saja.
Sedangkan ke bi Hanum, asisten rumah tangga mereka, dia sangat sopan, lembut dan anggun. Tak jarang Rayana membantu bibi hanum memasak ataupun beres-beres rumah. Sementara dengan mamanya, untuk duduk berdua saja di ruang atau meja makan dengan akur hampir tidak bisa sejak kepergian papanya.
Meskipun begitu, Indi Lestari tetap sabar dengan semua tingkah putrinya itu. Dalam hatinya ia yakin, suatu saat Rayana akan kembali seperti semula.
Kembali menjadi putri yang baik hati, lembut, ceria dan sopan santun. Doa itu selalu ia panjatkan di kamar Rayana ketika Rayana sedang tertidur dengan lelapnya.
Yakin bahwa mamanya sudah pergi dari depan kamarnya, Rayana keluar dari kamar. Ia mengintip sekitar rumah, berharap tak ada yang melihatnya keluar. Ia teringat pesan mamanya tentang kotak yang dibawakan Ardi untuknya.
Ia keluar mengendap-endap seperti maling di rumahnya sendiri. Dengan cepat ia meraih kotak itu dan berlari kencang masuk ke dalam kamarnya dan mengunci kembali kamar itu dari dalam.
Ia mengguncang kotak itu dengan pelan.
"Apa sih isinya?" gumamnya.
Tak sabar, ia langsung membuka kotak tersebut yang dibalut dengan kertas kado berwarna pink.
Ia membuka kertas kadonya dengan perlahan, tak mau dia kertas itu sobek.
Kemudian dilipatnya kertas kado itu dengan rapi dan dimasukkannya ke dalam laci lemari bajunya.
Kebiasaan Rayana yang tak pernah hilang sampai sekarang. Bila ada orang yang memberinya kado dengan bungkusan kertas kado, ia akan menyimpan kertas kado tersebut dengan rapi.
Alasannya karena masih bisa dipakai untuk membuat bunga-bungaan yang bahannya terbuat dari kertas. Apalagi jika kertas kadonya itu unik dan imut, sungguh dia takkan rela kertas itu sobek atau lecet sedikit pun.
Hal itulah yang membuat Ardi selalu membungkus hadiah yang diberikannya kepada Rayana. Meskipun hanya kue, atau kerupuk sekalipun Ardi akan selalu membungkusnya dengan kertas kado.
Memang Ardi nggak mahir membungkus kado. Ia membayar petugas mini market dekat rumahnya untuk membungkus kado untuknya setiap kali ia ingin memberikannya kepada Rayana.
Yang penting Rayana bahagia. Itulah tujuan Adrian Ardinata, membuat Rayana senang. Biarpun sederhana Rayana selalu riang gembira menerima hadiah-hadiah yang selalu diberikan Ardi padanya.
Rayana membuka kotak pink tersebut dengan perasaan tak sabar. Deg degan.
"Apa ini?" gumamnya. "Wow, jam nya imut banget," soraknya. Ia kegirangan mendapat kado jam tangan LED dari Ardi.
Dengan tak sabar, ia memakai jam tersebut. Ia melonjak kegirangan. Bahkan ia rela berlama-lama di depan cermin untuk melihat tangannya mengenakan jam itu. Senyum kebahagiaan terpancar jelas di wajahnya
Sementara diluar kamarnya, Indi Lestari menguping dari pintu kamar Rayana.
"Aku yakin, pasti kamu keluar untuk mengambil kado pemberian Ardi. Mama senang jika kamu bahagia, sayang," gumam Indi perlahan. Ia tak mau diketahui putrinya kalau dia sedang menguping putrinya sendiri.
Ternyata dari tadi Indi Lestari belum meninggalkan guest room. Ia mengintip Rayana dari balik pintu saat Rayana mengambil kotak yang ia letakkan di meja dekat pot bunga.
Indi Lestari tersenyum mendengar anaknya sedang riang gembira karena mendapatkan hadiah dari sang kekasih, Adrian Ardinata.
"Mama harap kamu bahagia terus, sayang. Mama akan selalu memberikan yang terbaik untuk kamu. Suatu saat kamu akan mengerti mengapa mama mengambil langkah ini. Tunggu kamu besar sedikit lagi, kamu akan paham maksud dan tujuan mama," ucap Indi Lestari perlahan.
Indi Lestari kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam yang sudah dimasak bibi Hanum. Indi dan bibi Hanum bekerja sama menyiapkan makanan di meja makan.
Seketika mereka menghiasi meja makan dengan berbagai lauk pauk dan juga sayuran hijau. Tak lupa mereka menata piring diatas meja dengan rapi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!