Catherine duduk di sudut perpustakaan, mencoba tenggelam dalam buku favoritnya. Buku itu sudah dibaca berkali-kali, hingga beberapa halamannya mulai kusut. Tetapi, bagi Catherine, cerita di dalamnya adalah tempat pelarian yang sempurna dari realitas pahit hidupnya. Setiap kalimat yang ia baca seperti membangun dinding pelindung dari kenyataan di luar sana—kenyataan yang selalu penuh dengan hinaan dan cemoohan.
Di luar perpustakaan, di tengah terik matahari yang menembus celah-celah daun, Akbar berjalan dengan langkah percaya diri. Dia selalu menjadi pusat perhatian ke mana pun ia pergi. Dengan seragam sekolah yang rapi dan rambutnya yang tertata sempurna, Akbar adalah sosok yang sulit untuk diabaikan. Senyumnya, yang sering ia tebarkan tanpa alasan, selalu memikat banyak orang. Catherine tahu itu. Dia sudah mendengar cerita tentang betapa populernya Akbar bahkan sejak pertama kali masuk sekolah ini.
Namun, di balik semua itu, Catherine tidak pernah bisa membenci Akbar. Meskipun ia tahu Akbar sering ikut mencemoohnya, hati kecilnya masih menyimpan rasa kagum. Ada sesuatu dalam tatapan matanya, cara ia berbicara, yang membuat Catherine percaya bahwa Akbar bisa lebih baik daripada apa yang ia tunjukkan.
Perasaan itu, bagaimanapun, tidak lebih dari harapan kosong. Catherine tahu dia hanyalah gadis biasa, atau mungkin bahkan kurang dari itu. Kulitnya yang gelap dan tubuhnya yang gendut selalu menjadi bahan ejekan teman-temannya. Bahkan, di antara guru-guru, dia sering merasa tidak terlihat. Dia hanyalah "Catherine si pendiam," seseorang yang selalu ada di sudut, tak pernah cukup penting untuk diingat.
Suara langkah sepatu putih besar mendekat, membuat Catherine mendongak. Di depannya berdiri Theresia, pacar Akbar. Theresia adalah kebalikan dari Catherine dalam segala hal. Kulitnya putih bersih, rambutnya lurus panjang seperti model di majalah, dan tubuhnya ramping. Senyumnya yang menawan hanya digunakan untuk memikat orang, atau, seperti yang sering Catherine alami, untuk menghina.
"Hei, Catherine," suara Theresia memecah keheningan. Nadanya terdengar manis, tapi Catherine tahu betul maksud di baliknya. "Kamu selalu di sini, ya? Membaca buku kayak kutu buku. Seru nggak sih hidup kayak kamu?"
Theresia tertawa kecil, dan di belakangnya, beberapa teman ikut cekikikan. Catherine menunduk, mencoba fokus kembali pada bukunya. Ia tahu, membalas hanya akan membuat semuanya lebih buruk.
Tapi Theresia tidak puas. "Atau jangan-jangan kamu lagi pura-pura sibuk biar bisa curi-curi pandang ke Akbar, ya?" Ia melirik Catherine dengan sorot mata penuh kemenangan. "Oh, aku ngerti, kok. Wajar aja, Akbar kan ganteng banget. Tapi… kasihan, ya. Dia nggak akan pernah tertarik sama kamu."
Gengnya Theresia, Cicilia dan Fiorentina tertawa keras. Catherine menggenggam buku di tangannya erat-erat, mencoba menahan air mata. Dia tidak akan menangis, tidak di depan mereka. Tetapi, kata-kata Theresia seperti pisau yang menusuk hatinya. Setiap ejekan mengingatkannya pada semua hal yang ia benci tentang dirinya sendiri. Kulitnya, tubuhnya, rambutnya—semua yang menurut Theresia adalah bahan hinaan.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" Sebuah suara berat tiba-tiba terdengar dari belakang Theresia. Catherine mendongak dan melihat Akbar berdiri di pintu perpustakaan. Dia memandang Theresia dengan alis terangkat, tetapi di sudut bibirnya masih ada senyuman tipis.
Theresia berbalik, senyumnya langsung berubah menjadi manis. "Nggak, kok, Akbar. Aku cuma ngobrol sama Catherine." Ia melirik Catherine dengan pandangan tajam. "Kita lagi seru-seruan aja."
Akbar melangkah mendekat. Catherine berharap, meski hanya sedikit, bahwa Akbar akan membelanya. Tapi, harapan itu segera pupus. "Seru-seruan, ya? Biarin aja," katanya sambil terkekeh. "Dia pasti suka kok diperhatikan, kan, Catherine?"
Tawa kecil itu terdengar ringan, seolah-olah dia hanya bercanda. Tetapi bagi Catherine, itu adalah tamparan keras. Rasa kagumnya pada Akbar perlahan mulai memudar, digantikan oleh rasa sakit. Bagaimana mungkin seseorang yang ia kagumi bisa ikut-ikutan menyakitinya?
Theresia tertawa puas, seakan mendapat izin untuk melanjutkan ejekannya. "Lihat, Akbar tahu kamu suka dia, Catherine," katanya dengan nada mengejek. "Tapi maaf ya, dia udah punya aku. Jadi, kamu bisa terus mimpi aja."
Catherine menggigit bibirnya, menahan tangis yang hampir meledak. Ia tahu ia harus pergi. Dengan tangan gemetar, ia menutup bukunya dan bangkit dari tempat duduk. "Aku ada tugas," katanya pelan sebelum berjalan cepat keluar dari perpustakaan.
Saat ia melangkah pergi, ia bisa mendengar Theresia dan teman-temannya tertawa di belakangnya. Namun, yang paling menyakitkan adalah suara tawa Akbar.
Fiorentina, dengan nada penuh ejekan, berkata, "Orang seperti Catherine nggak akan pernah sadar-sadar juga, ya? Cih, udah tau Akbar punya kamu, Ther, masih aja ngejar-ngejar."
Cicilia menambah dengan tawa mengejek, "Udah jelek, sadar diri dong! Wkwk, kalau punya otak buat apa, coba mikir jernih sedikit."
Catherine terus melangkah, tak terpengaruh dengan kata-kata mereka. Setiap hinaan yang dilontarkan hanya membuatnya semakin yakin akan pilihan yang sudah dia buat. Sementara itu, Fiorentina dan Cicilia hanya bisa tertawa keras, merasa kemenangan mereka sudah pasti, meski Catherine tidak terlihat sedikit pun tergoyahkan.
Catherine berjalan menyusuri lorong sekolah, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Di sudut ruangan, ia menemukan tempat yang sepi dan duduk di sana, memeluk buku favoritnya. Buku itu menjadi satu-satunya pelipur laranya, dunia fiksi tempat ia bisa melupakan semua rasa sakit.
Namun, meskipun ia mencoba melupakan, bayangan Akbar dan Theresia terus menghantuinya. Bagaimana bisa seseorang yang ia kagumi begitu tega ikut-ikutan menyakitinya? Bagaimana bisa dia tetap menyukai seseorang seperti Akbar?
"Aku bodoh," bisiknya pada diri sendiri. "Kenapa aku harus berharap?"
Tetapi, di lubuk hatinya, Catherine tahu jawabannya. Dia berharap karena, di balik semua rasa sakit, ada bagian kecil dari dirinya yang percaya bahwa Akbar bisa berubah. Bahwa di balik semua popularitas dan kesombongannya, ada sisi lain yang mungkin ia belum lihat. Tetapi, apakah itu hanya harapan kosong? Catherine tidak tahu. Yang ia tahu hanyalah bahwa, meskipun rasa sakit itu terus menusuknya, ia tidak bisa berhenti memikirkan Akbar.
Dan mungkin, itu adalah hal yang paling menyakitkan dari semuanya.
Catherine masih merasa terhimpit oleh kejadian di perpustakaan tadi. Hinaan Theresia, cemoohan teman-temannya, dan yang paling menyakitkan, tawa Akbar, semuanya terus terngiang di telinganya. Setelah bel terakhir berbunyi, Catherine bergegas ke bangku taman di sudut sekolah, tempat biasanya ia bertemu Jenny.
Jenny adalah satu-satunya orang yang selalu ada untuk Catherine sejak SMP. Saat semua orang menertawakannya karena kulit gelap atau tubuhnya yang dianggap tidak ideal, Jenny tetap di sisinya, tak pernah sekalipun terpengaruh oleh pendapat orang lain. Bagi Catherine, Jenny adalah satu-satunya cahaya di dunia yang gelap ini.
Tak lama, Jenny datang dengan langkah cepat, rambutnya yang dikuncir sederhana bergoyang mengikuti gerakannya. Wajahnya tampak tegang, seolah ia tahu sesuatu telah terjadi. "Catherine!" panggilnya sambil menghampiri. "Aku dengar Theresia dan gengnya lagi-lagi cari masalah sama kamu. Kamu nggak apa-apa?"
Catherine mencoba tersenyum, tetapi hasilnya malah terlihat seperti seringai pahit. "Aku nggak apa-apa, Jen. Mereka cuma... nggak ngerti."
Jenny duduk di sebelah Catherine, mengamati wajah sahabatnya yang tampak lelah. "Nggak ngerti? Mereka tahu persis apa yang mereka lakukan, Cat. Theresia itu sengaja ingin bikin kamu merasa kecil. Dan Akbar... Dia nggak ada bedanya sama yang lain."
Catherine menunduk, memainkan ujung buku yang ada di tangannya. "Aku tahu, Jenny. Tapi... aku masih nggak bisa berhenti suka sama dia."
Jenny menatap Catherine dengan tatapan penuh empati, tetapi juga sedikit frustrasi. "Aku tahu kamu suka dia, Cat. Tapi lihat apa yang dia lakukan hari ini. Dia ikut menertawakan kamu. Cowok seperti itu nggak pantas dapat perhatian kamu. Kamu terlalu baik untuk orang kayak dia."
Catherine hanya terdiam. Ia tahu Jenny benar, tetapi perasaannya tidak semudah itu dihapus. Ada sesuatu tentang Akbar yang masih membuat hatinya berdebar, meskipun ia tahu itu adalah perasaan yang bodoh.
Jenny menghela napas panjang dan merangkul bahu Catherine. "Dengar, Catherine. Kamu nggak harus terus diam dan membiarkan mereka memperlakukan kamu seperti itu. Kamu punya hak untuk melawan. Hak untuk berdiri tegak dan tidak membiarkan mereka menjatuhkan kamu."
"Aku nggak tahu, Jen," jawab Catherine lirih. "Aku nggak seperti kamu. Aku nggak tahu gimana caranya melawan mereka."
Jenny menggenggam tangan Catherine dengan erat. "Aku tahu kamu merasa seperti itu sekarang, tapi aku ada di sini buat kamu. Kita lawan mereka bareng-bareng."
Keesokan harinya di sekolah, Catherine kembali menjadi sasaran Theresia dan gengnya. Kali ini, mereka menyebarkan cerita bahwa Catherine adalah "penguntit" Akbar, membuatnya menjadi bahan tertawaan di seluruh sekolah. Catherine berjalan melewati lorong dengan kepala tertunduk, mencoba menghindari tatapan orang-orang.
Namun, ketika ia sampai di kelas, Jenny sudah menunggunya. Wajahnya terlihat marah, sesuatu yang jarang Catherine lihat dari sahabatnya. "Aku dengar mereka ngomong apa tadi pagi," kata Jenny dengan suara tegas. "Ini udah keterlaluan, Catherine. Aku nggak akan diam aja."
"Tapi aku nggak mau masalahnya jadi makin besar, Jen," jawab Catherine pelan. "Kalau kita melawan, mereka cuma akan makin benci sama aku."
Jenny menggeleng, tatapannya tajam. "Biar aja mereka benci. Mereka udah salah dari awal. Kalau kamu terus-terusan diam, mereka akan berpikir mereka bisa terus menginjak kamu."
Sebelum Catherine bisa membalas, Theresia tiba-tiba masuk ke kelas, diikuti beberapa temannya. Mereka melihat Catherine dan Jenny duduk di pojok, lalu tertawa kecil. "Lihat, penguntitnya Akbar lagi curhat sama temannya," ejek Theresia. "Kamu tahu nggak, Catherine? Akbar cerita ke aku kalau kamu sering lihat dia dari jauh. Serem, sih."
Jenny berdiri, tatapannya penuh amarah. "Berhenti, Theresia. Kamu udah cukup keterlaluan. Apa nggak cukup kamu bikin dia menderita setiap hari?"
Theresia menatap Jenny dengan alis terangkat, seolah terkejut bahwa ada yang berani melawannya. "Oh, jadi sekarang kamu pembela Catherine, ya? Kayaknya kamu juga sama anehnya sama dia."
Jenny, yang sudah cukup jengkel, berdiri dan menatap tajam ke arah Theresia. "Awas aja lu, anjg. Jangan ganggu dia lagi, atau lu bakal lihat sendiri konsekuensinya."
Cicilia, salah satu teman dekat Theresia, dengan nada merendahkan berkata, "Iya, kamu nggak usah ikut campur urusan kami. Salah sendiri, siapa suruh suka sama Akbar. Sadar diri aja deh, udah gitu kayak gitu, nggak cocok sama dia."
Ucapan Cicilia semakin memperburuk suasana, membuat Catherine merasa semakin kecil. Namun, kali ini Catherine hanya tersenyum sinis, mencoba menahan emosi yang muncul. Dia tahu, kata-kata itu tak lebih dari sekadar upaya untuk merendahkannya, namun dia tidak akan lagi membiarkan hal itu mempengaruhi dirinya
Jenny langsung berdiri, menatap Cicilia dengan tajam. "Ngomong apa lu, ngtd? Sadar diri? Lu ngomong gitu emang lu cocok sama siapa? Jadi tukang nyinyir doang kerjaannya, bangga banget kayak hidup lu paling bener."
Cicilia terlihat terkejut mendengar jawaban kasar Jenny, tetapi Jenny tidak berhenti di situ. "Theresia bisa aja bawa lu buat bikin drama, tapi lu pikir gue dan Catherine takut sama elu? Jangan ngelunjak deh, lu nggak selevel buat sok-sokan ngajarin orang."
Dan jenny berlanjut "Terserah kalian berdua mau ngomong apa," balas Jenny dengan tenang. "Tapi gue nggak akan biarin lu pada terus ngebully dia."
Theresia mendekat, berdiri hanya beberapa langkah dari Jenny. "Kamu pikir kamu siapa? Aku bisa bikin kamu juga jadi bahan ejekan di sekolah ini."
Namun, Jenny tidak gentar. "Coba aja kalau lu bisa," jawabnya dengan tenang, tatapannya penuh keyakinan.
Fiorentina, salah satu teman Theresia, ikut menyela dengan nada sarkastik. "Wah, si teman 'culun' mulai berani ya. Gimana nih, Ther? Muka sih pas-pasan, jangan sok ngatur deh."
Jenny hanya tersenyum sinis, tidak terpengaruh dengan ucapan-ucapan tersebut.
Theresia melirik Catherine, yang tampak gugup di belakang Jenny. "Tuh, teman kamu cuma bisa sembunyi di belakang kamu. Nggak heran dia nggak punya teman lain."
Saat itu, Catherine merasakan sesuatu berubah dalam dirinya. Ia tahu Jenny tidak bisa selalu melindunginya. Jika ia tidak belajar untuk berdiri sendiri, Theresia dan gengnya tidak akan pernah berhenti. Dengan gemetar, Catherine berdiri di samping Jenny. "Aku mungkin nggak punya teman lain, Theresia," katanya pelan tetapi tegas. "Tapi aku lebih baik sendirian daripada punya teman yang hanya tahu cara menjatuhkan orang lain."
Theresia terdiam sejenak, tampak terkejut mendengar Catherine berbicara. Tetapi, seperti biasa, ia menutupi rasa terkejutnya dengan tawa. "Wow, akhirnya kamu berani ngomong. Tapi jangan pikir ini selesai, Catherine."
Setelah Theresia pergi, Jenny menatap Catherine dengan bangga. "Lihat? Kamu bisa melawan, Cat. Kamu nggak harus terus jadi korban."
Catherine menghela napas, merasa lega tetapi juga gugup. "Aku nggak tahu apakah aku bisa terus seperti ini, Jen. Tapi... terima kasih. Kamu selalu ada buat aku."
Jenny tersenyum. "Tentu aja. Kita sahabat. Kamu nggak sendirian."
Hari-hari berikutnya, Catherine mulai mencoba menguatkan dirinya. Dengan dorongan dari Jenny, ia belajar untuk tidak terlalu peduli dengan apa yang orang lain pikirkan. Ia masih merasa takut, tetapi setiap kali ia ingat kata-kata Jenny, ia merasa sedikit lebih berani.
Namun, Theresia, Cicilia dan Fiorentina tidak berhenti begitu saja. Mereka terus mencoba menjatuhkan Catherine dengan berbagai cara, tetapi kini Catherine memiliki sesuatu yang mereka tidak punya: sahabat sejati yang selalu ada untuknya. Jenny bukan hanya menjadi pendukung Catherine, tetapi juga inspirasi untuk menjadi lebih kuat.
Pada suatu hari, ketika Catherine dan Jenny duduk di taman sekolah, Catherine melihat Akbar dari kejauhan. Ia masih merasa ada perasaan tersisa untuk Akbar, tetapi ia tahu bahwa pria seperti Akbar bukanlah seseorang yang pantas untuk dirinya.
"Aku nggak tahu kapan aku bisa benar-benar lupa sama dia," kata Catherine sambil menatap Akbar yang tertawa bersama teman-temannya.
Jenny memegang tangannya dengan lembut. "Kamu nggak harus buru-buru, Cat. Tapi aku yakin, suatu hari nanti, kamu akan menemukan seseorang yang lebih baik. Seseorang yang benar-benar melihat kamu untuk siapa kamu."
Catherine tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin ada harapan di depan sana. Dan meskipun jalannya masih panjang, ia tahu ia tidak akan berjalan sendirian.
Suatu hari, di kantin sekolah, Catherine dan Jenny sedang duduk bersama ketika Theresia dan Akbar lewat, sengaja menatap Catherine dengan seringai mengejek. Theresia berbisik cukup keras untuk didengar, "Lihat si penguntit setia." Akbar hanya tertawa kecil, tanpa berkata apa-apa.
Jenny, yang sudah tidak tahan lagi, berdiri dari kursinya dengan penuh amarah. "Kalian berdua nggak capek hidup dengan ngejatuhin orang lain? Theresia, apa kamu sadar betapa rendahnya kamu? Dan kamu, Akbar," Jenny menatapnya tajam, "kalau cuma bisa ketawa sambil ngebiarin ini terjadi, kamu sama aja pengecut!"
Semua orang di kantin terdiam, menatap Jenny yang berapi-api. Akbar tampak terkejut, sementara Theresia hanya melotot, tidak tahu harus berkata apa. Jenny kembali duduk, lalu berkata pada Catherine, "Mereka nggak layak dipikirin, Cat."
Jenny, yang darahnya sudah mendidih, menatap Theresia dan Akbar tajam. "Kalian pikir keren ya, ngejatuhin orang lain buat merasa diri kalian hebat? Sebenarnya, kalian tuh apa sih? Cuma sepasang pengecut yang nggak punya apa-apa selain mulut jahat!"
Theresia mendengus, mencoba melawan. "Apa urusanmu, Jenny? Ini nggak ada hubungannya sama kamu!"
"Oh, aku urusin, karena kamu nyakitin sahabat aku!" Jenny melangkah maju, suaranya semakin keras. "Dan kamu, Akbar, kelihatan keren di luar, tapi isinya kosong. Diam aja di belakang Theresia, kayak anak kecil yang nggak berani lawan ibunya. Beraninya cuma ngetawain orang yang nggak ngelawan!"
Akbar terdiam, wajahnya memerah. Seluruh kantin mulai memperhatikan dengan tegang. Jenny menyeringai dingin. "Pikirin hidup kalian. Kalau cuma bisa bikin orang lain jatuh, itu artinya kalian nggak punya apa-apa untuk dibanggain!"
Beberapa minggu telah berlalu sejak insiden di kantin yang mempermalukan Catherine di depan semua orang. Walau rasa sakit masih tersisa, kata-kata Jenny terus terngiang di benak Catherine. "Kamu lebih dari sekadar penampilan. Mereka nggak tahu siapa kamu yang sebenarnya." Kata-kata itu menjadi mantra yang Catherine ulangi setiap malam sebelum tidur.
Dengan dorongan dari Jenny, Catherine mulai mengambil langkah kecil untuk mengubah dirinya. Awalnya, dia hanya mencoba berjalan-jalan pagi di sekitar komplek. Awalnya sulit—napasnya pendek, kakinya terasa berat, dan mata orang-orang yang memandangnya seperti pisau yang menusuk. Namun, Catherine tetap melangkah. Setiap hari, dia sedikit lebih kuat, sedikit lebih cepat.
Di samping itu, Catherine mulai mencoba makan dengan lebih teratur dan sehat. Dia menggantikan kebiasaan ngemil di malam hari dengan buah-buahan. Meski ini hal kecil, Catherine merasa bangga setiap kali berhasil melawan keinginannya untuk kembali ke kebiasaan lama. Perubahan ini tidak instan, tapi setiap kali melihat bayangan dirinya di cermin, Catherine merasa ada sedikit perbedaan. Bukan hanya fisiknya, tapi juga bagaimana dia mulai menerima dirinya.
Namun, tidak semua hal berubah secepat itu. Rasa suka Catherine pada Akbar tetap tinggal, seperti luka yang belum sepenuhnya sembuh. Meski Akbar sering menjadi sumber rasa sakitnya, Catherine tidak bisa memungkiri bahwa dia tetap memandangnya dengan rasa kagum. Setiap kali Akbar lewat di lorong, Catherine tidak bisa menahan diri untuk melirik. Hatinya berdebar, meski pikirannya tahu lebih baik.
Di sisi lain, Theresia tetap saja menjadi duri di kehidupan Catherine. Setiap kali bertemu di sekolah, Theresia selalu menemukan cara untuk membuat Catherine merasa kecil. Suatu hari, saat Catherine sedang membaca di perpustakaan, Theresia berjalan mendekat dengan senyum liciknya.
"Hei, Catherine," ucap Theresia, suaranya manis tapi beracun. "Kamu kelihatan sibuk banget akhir-akhir ini. Lagi cari tips diet, ya? Yah, bagus sih. Siapa tahu suatu hari kamu bisa... ya, hampir secantik aku."
Catherine mengangkat wajahnya dari buku, menatap Theresia dengan tatapan tenang. Dulu, kata-kata seperti itu akan membuatnya lari. Tapi kali ini, Catherine hanya tersenyum tipis. "Makasih sarannya, Theresia. Tapi aku nggak perlu secantik kamu. Aku cukup jadi versi terbaik dari diriku sendiri."
Theresia terkejut mendengar jawaban itu, tapi dia cepat-cepat menyembunyikan rasa terganggunya dengan tawa kecil. "Well, good luck with that," katanya sebelum pergi dengan gaya angkuh.
Namun, satu hal yang Catherine belum bisa hadapi adalah mendengar Akbar berbicara tentang dirinya. Suatu hari, saat sedang mengembalikan buku di perpustakaan, Catherine tidak sengaja mendengar percakapan Akbar dan teman-temannya di salah satu meja.
"Catherine sih culun banget, ya," kata Adam, salah satu teman Akbar, sambil terkekeh. "Aku nggak ngerti kenapa Theresia suka repot-repot ngeganggu dia. Nggak ada gunanya juga."
Akbar tertawa kecil, lalu menambahkan, "Iya, sih. Kadang aku juga nggak paham. Kayaknya Theresia cuma cari hiburan aja, Adam."
Kata-kata itu menusuk Catherine seperti pisau. Dia berdiri membeku di belakang rak buku, berusaha menenangkan napasnya yang tiba-tiba terasa berat. Selama ini, dia tahu bahwa Akbar mungkin tidak peduli padanya, tapi mendengar sendiri bahwa dia menjadi bahan lelucon membuat hatinya remuk. "Iya, sih, Catherine sih culun banget," kata Adam, tertawa kecil.
Namun, di tengah rasa sakit itu, ada sesuatu yang lain muncul—sebuah tekad. Catherine menyadari sesuatu yang selama ini dia abaikan: dia tidak butuh validasi dari Akbar, dari Theresia, atau siapa pun di sekolah itu. Semua rasa sakit yang dia rasakan selama ini adalah karena dia terus mencari pengakuan dari orang-orang yang tidak pantas mendapatkannya.
Catherine menutup matanya, menarik napas dalam-dalam, dan mengulangi mantra Jenny dalam hatinya. "Aku lebih dari sekadar penampilan. Mereka nggak tahu siapa aku yang sebenarnya." Saat dia membuka matanya lagi, Catherine merasa lebih tenang.
Keesokan harinya, Catherine memutuskan untuk kembali ke perpustakaan yang sama, kali ini dengan kepala tegak. Dia mulai membaca buku-buku yang membahas tentang pengembangan diri, motivasi, dan bagaimana mencintai diri sendiri. Setiap kata yang dia baca seperti membangun kekuatan baru di dalam dirinya.
Meski perjalanan ini masih panjang, Catherine mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Dia mulai melihat ke cermin dan tersenyum, bukan karena dia sudah berubah secara fisik, tapi karena dia mulai menerima dirinya apa adanya. Dan untuk pertama kalinya, Catherine merasa bahwa dia tidak lagi membutuhkan persetujuan dari Akbar atau siapa pun.
Namun, cerita ini belum selesai. Catherine tahu bahwa tantangan masih ada di depannya, tapi kali ini dia siap menghadapinya. Dengan dukungan Jenny dan tekadnya sendiri, Catherine berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan lagi membiarkan orang lain menentukan nilai dirinya.
Beberapa minggu berlalu sejak kejadian memalukan di kantin. Walau rasa sakit itu masih ada, Catherine mencoba mengikuti saran Jenny. Dia mulai meluangkan waktu untuk merawat dirinya—berolahraga, makan lebih sehat, dan membaca buku yang membuatnya merasa lebih positif. Langkah-langkah kecil ini tidak langsung menghapus rasa tidak percaya dirinya, tetapi memberinya sedikit kekuatan untuk bertahan.
Namun, bayang-bayang perlakuan Theresia dan gengnya masih menghantui. Bahkan, ada satu momen yang membuat Catherine berpikir bahwa kebencian mereka terhadapnya telah melampaui batas.
Suatu sore, di lapangan sekolah, Catherine sedang berjalan menuju kelas setelah jam olahraga selesai. Bajunya yang basah karena keringat membuatnya merasa tidak nyaman. Saat dia melintasi kerumunan, dia mendengar suara familiar.
"Hei, Catherine! Lari tadi berat banget, ya? Bajumu sampai nggak muat lagi!" suara Theresia menggema, diikuti oleh tawa teman-temannya. Fiorentina dan Cicilia ikut menambah ejekan, "Iya, Catherine, mungkin kamu harus diet dulu biar bisa lari lebih cepat!" Fiorentina terkekeh, sementara Cicilia menambahkan, "Atau jangan-jangan kamu cuma lari buat makan ya, hahaha!"
Catherine berhenti, memejamkan mata sejenak, berharap dia bisa menghilang dari situ. Tapi kata-kata mereka terus berputar di kepalanya, membuatnya merasa semakin kecil.
Namun, kali ini yang berbicara bukan hanya Theresia. Suara lain yang lebih dalam dan familiar membuat jantung Catherine berdebar kencang.
"Theresia, jangan terlalu keras sama dia. Kalau dia nggak berkeringat, gimana dia mau kurus?" ujar Akbar, suaranya penuh ejekan.
Kerumunan tertawa lebih keras. Catherine merasakan wajahnya memanas. Dia berbalik untuk melihat Akbar, berharap dia salah dengar, tapi nyatanya tidak. Akbar berdiri di tengah kerumunan, tangan dimasukkan ke dalam saku, dengan senyum miring di wajahnya.
"Jadi gini ya, Catherine," Akbar melanjutkan, matanya menatap langsung ke arahnya. "Kalau kamu mau kelihatan bagus, jangan cuma olahraga sekali. Mungkin coba olahraga tiap hari? Oh, atau gimana kalau kamu minta tips dari Theresia?"
Theresia tertawa puas, menambahkan, "Betul, Catherine. Kalau mau, aku bisa ajarin kamu pakai makeup juga. Tapi, ya, aku nggak yakin sih ada yang bisa membantu."
Tawa mereka terasa seperti tamparan keras di wajah Catherine. Napasnya tercekat, dan dia merasa matanya mulai panas oleh air mata yang tertahan. Tidak ada yang membela, tidak ada yang menghentikan ejekan itu. Bahkan, Akbar—seseorang yang Catherine kagumi dalam diam—justru menjadi salah satu yang paling menyakitinya.
Catherine berlari meninggalkan lapangan tanpa melihat ke belakang. Air mata mulai mengalir saat dia memasuki lorong yang sepi. Dia berhenti di depan cermin di kamar mandi sekolah, memandang wajahnya yang memerah karena malu.
"Aku bodoh," gumamnya. "Kenapa aku masih suka sama dia? Dia bahkan nggak peduli. Dia cuma... dia sama buruknya dengan yang lain."
Selama beberapa hari setelah kejadian itu, Catherine berusaha menghindari Akbar, Theresia, dan semua orang yang mungkin akan mengejeknya. Namun, rasa sakit itu tetap tinggal. Setiap kali dia melihat Akbar di lorong atau di kelas, hatinya berdebar, bukan karena rasa suka, tetapi karena campuran antara rasa malu dan kemarahan.
Jenny, yang mendengar cerita itu dari Catherine, langsung menunjukkan kemarahannya. "Akbar benar-benar brengsek. Dan Theresia? Jangan biarin mereka menang, Catherine. Kamu lebih baik dari mereka."
Catherine hanya mengangguk. Meskipun dia ingin percaya pada kata-kata Jenny, hatinya masih terasa berat.
Namun, perlahan-lahan, Catherine mulai melihat kenyataan. Semua ejekan itu, semua kata-kata menyakitkan, sebenarnya bukan tentang dirinya. Itu tentang mereka—tentang Theresia yang tidak percaya diri meskipun dia tampak sempurna, tentang Akbar yang hanya ikut-ikutan untuk menjaga popularitasnya.
Hari-hari berikutnya, Catherine mencoba membangun dirinya kembali. Dia berolahraga setiap pagi, tidak untuk membuktikan apa pun pada Theresia atau Akbar, tetapi untuk dirinya sendiri. Dia membaca buku-buku tentang kepercayaan diri dan pengembangan diri, mencoba menemukan kekuatan yang tersembunyi di dalam dirinya.
Ketika suatu hari Catherine melihat Akbar di perpustakaan, hatinya sudah tidak berdebar seperti dulu. Dia tidak lagi melihat Akbar sebagai sosok yang harus dia kagumi. Dia hanya melihat seorang anak laki-laki yang tidak lebih baik dari orang-orang yang dulu dia coba hindari.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!