NovelToon NovelToon

Dr.Amelia: The White Coat Hero

Episode 1: Awal Sebuah Misi

Pagi itu, Dr. Amelia Kusuma berdiri di depan ruang ICU dengan perasaan campur aduk. Sebagai seorang ahli onkologi pediatrik yang berdedikasi, panggilan dari direktur riset rumah sakit beberapa jam sebelumnya terus membayangi pikirannya.

Dia diminta memimpin sebuah uji klinis obat baru yang diklaim revolusioner untuk kanker ginjal anak-anak. Namun, intuisi Amelia mengatakan ada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar proyek penelitian.

Di ruang direktur riset, pertemuan itu terjadi dengan intensitas yang sulit ia lupakan.

Dr. Raka, direktur riset yang ambisius, duduk di balik meja kerjanya yang penuh dokumen. Ia berbicara dengan nada optimis yang menggema di ruangan itu.

“Amelia, saya tahu kamu sudah lama menangani kasus nephroblastoma, dan hasil penelitianmu selama ini sangat luar biasa. Program ini berisiko tinggi, tapi ini bisa menjadi terobosan besar untuk pasien-pasien kita. Bagaimana menurutmu? Kamu bersedia memimpin?”

Amelia terdiam sesaat. Matanya menatap folder di tangannya, berisi dokumen-dokumen awal tentang uji klinis ini. Ia membuka salah satu halaman, memperhatikan daftar potensi efek samping yang tampaknya telah dianalisis dengan cermat. Namun, Amelia tahu, uji klinis, terutama untuk anak-anak, bukanlah hal yang bisa dianggap enteng.

“Dr. Raka,” Amelia memulai, nadanya hati-hati, “saya mengerti pentingnya program ini. Tapi... uji klinis untuk anak-anak selalu menjadi tantangan. Risiko efek sampingnya bisa tidak terduga, dan saya tidak ingin membahayakan pasien-pasien kecil kita.”

Dr. Raka tersenyum, mencoba meyakinkannya. “Saya memahami kekhawatiranmu. Tapi ini adalah langkah yang perlu kita ambil untuk membuat perubahan besar. Kami sudah memilih pasien-pasien yang paling cocok. Semua orang tua pasien juga sudah memberikan persetujuan. Tim riset kami percaya bahwa obat ini sangat menjanjikan. Kamu adalah satu-satunya yang bisa memimpin program ini dengan integritas.”

Meskipun masih ragu, Amelia akhirnya setuju. Ia tahu bahwa uji coba ini mungkin menjadi harapan terakhir bagi pasien-pasien kecilnya yang kondisi kankernya sudah berada di tahap kritis. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan gelisah yang sulit ia hilangkan.

......................

Beberapa minggu setelah uji klinis dimulai, Amelia mulai bekerja secara intensif dengan pasien-pasien kecilnya. Salah satunya adalah Raka Wijaya, seorang anak laki-laki berusia 8 tahun yang memiliki semangat hidup tinggi meskipun kankernya sudah mencapai stadium lanjut.

Raka adalah pasien yang mudah disukai siapa saja. Senyum ceria dan antusiasmenya kerap menjadi penghiburan di tengah tekanan pekerjaan Amelia.

Hari itu, Amelia sedang memeriksa kondisi Raka di ruang perawatan. Bocah itu tengah duduk di tempat tidur, memeluk boneka dinosaurus kesayangannya.

“Raka, kamu tahu nggak kalau kamu ini pemberani banget?” Amelia memulai sambil tersenyum hangat, mencoba mencairkan suasana.

Raka tertawa kecil. “Aku nggak takut sama kanker, Bu Dokter. Tapi... kalau jarum suntik, itu beda cerita!”

Amelia tertawa, menghargai keberanian dan kejujuran Raka. Hasil awal terapi menunjukkan penyusutan tumor pada beberapa pasien, termasuk Raka, dan tim medis mulai merasa optimis. Namun, di balik optimisme itu, Amelia tetap waspada terhadap kemungkinan komplikasi yang belum terdeteksi.

......................

Namun, semuanya berubah beberapa hari kemudian.Saat itu sore hari, Amelia tengah berbicara dengan seorang kolega ketika tiba-tiba panggilan darurat terdengar.

Dengan cepat, ia menuju ruang ICU. Di sana, Raka terbaring tak sadarkan diri. Monitor di sekelilingnya menunjukkan tanda-tanda vital yang tidak stabil, membuat seluruh tim medis berjibaku menyelamatkannya.

Perawat Siska, salah satu rekan Amelia yang paling andal, memberikan laporan dengan nada panik.

“Dr. Amelia, tekanan darahnya turun drastis. Kami sudah melakukan transfusi, tetapi dia terus kehilangan darah!”

Amelia melihat wajah Raka yang pucat. Ia tahu waktu sangat terbatas.

“Kita perlu melakukan pemeriksaan CT scan sekarang juga. Hubungi tim radiologi!”

Setelah pemeriksaan, ditemukan bahwa Raka mengalami perdarahan internal di ginjal. Yang mengejutkan Amelia, efek samping ini tidak tercatat dalam laporan riset tentang obat baru tersebut. Ketika duduk di ruang konsultasi sambil mempelajari hasil pemeriksaan, Amelia tertegun.

“Kenapa komplikasi seperti ini tidak ada dalam catatan uji klinis? Ini bukan kebetulan...” bisiknya pada dirinya sendiri.

......................

Keesokan harinya, Amelia memutuskan untuk meneliti lebih dalam. Ia mulai menggali rekam medis pasien-pasien lain yang mengikuti uji coba ini. Dari data awal, ia menemukan pola yang mencurigakan: beberapa pasien menunjukkan gejala yang mirip, tetapi entah bagaimana, rekam medis mereka tidak lengkap atau bahkan hilang dari sistem rumah sakit.

Amelia mencoba menghubungi pihak administrasi untuk mencari penjelasan, tetapi ia hanya mendapatkan jawaban mengambang. Hal ini membuatnya semakin curiga bahwa ada sesuatu yang sedang disembunyikan.

......................

Larut malam itu, Amelia menyelinap ke ruang arsip rumah sakit, tempat dokumen-dokumen fisik biasanya disimpan. Ia membawa senter kecil dan mengenakan jaket laboratorium untuk menyembunyikan identitasnya jika bertemu dengan staf lain.

Di ruangan yang gelap dan sunyi itu, ia mulai membongkar lemari arsip, mencari folder yang sesuai dengan daftar pasien uji klinis.

Setelah beberapa saat mencari, Amelia menemukan sebuah folder berdebu yang menarik perhatiannya. Di dalamnya terdapat laporan medis dari beberapa pasien yang menunjukkan komplikasi serupa dengan yang dialami Raka.

Namun, yang membuatnya marah, catatan itu dengan jelas mencantumkan bahwa “efek samping berat tidak dilaporkan sesuai protokol.”

Amelia membalik halaman demi halaman, rasa marah bercampur takut menyelimuti dirinya.

“Apakah ini yang mereka sembunyikan? Apa yang sebenarnya terjadi dalam penelitian ini?” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar di tengah keheningan.

Tiba-tiba, suara berderit terdengar dari pintu ruangan arsip. Amelia mendongak, senter di tangannya bergetar. Pintu terbuka perlahan, dan seorang pria tak dikenal berdiri di sana, setengah tubuhnya terselimuti bayangan.

Suara Misterius: Dr. Amelia, sepertinya Anda terlalu jauh mencampuri urusan yang bukan bidang Anda.”

Amelia menatap pria itu dengan tajam, meskipun jantungnya berdegup kencang.

“Siapa Anda? Apa yang Anda sembunyikan?” tanyanya tegas, meski suaranya sedikit bergetar.

Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya mengangkat bahunya dengan santai, seperti seseorang yang tidak merasa terancam.

“Itu tidak penting. Tapi satu hal pasti, Anda harus berhenti mencari.”

Sebelum Amelia bisa merespons, lampu ruangan tiba-tiba padam. Kegelapan menyelimuti ruangan, membuat Amelia sulit melihat apa pun. Napasnya terengah-engah, tetapi ia mencoba tetap tenang. Ketika ia akhirnya menghidupkan senter kembali, pria itu sudah menghilang.

Amelia berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh arsip-arsip berserakan, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Ia tahu bahwa apa yang baru saja terjadi adalah peringatan.

Tetapi bagi Amelia, ini bukan alasan untuk mundur. Sebaliknya, ia semakin yakin bahwa ada sesuatu yang harus diungkapkan demi menyelamatkan pasien-pasien kecilnya.

Dalam kegelapan itu, ia berbisik pada dirinya sendiri dengan tekad yang membara.

“Aku tidak akan berhenti. Demi Raka dan anak-anak lain, aku akan menemukan kebenaran.”

Episode 2: Misteri Insulin Baru

Amelia baru saja kembali ke ruangannya setelah malam yang panjang menangani komplikasi serius dari uji klinis kanker ginjal. Matanya masih berat karena kurang tidur, tetapi pikirannya terus berputar.

Kasus yang menimpa salah satu pasien kecilnya, Raka, masih meninggalkan rasa bersalah yang tak kunjung reda. Namun, pagi itu, ia tak punya waktu untuk merenung terlalu lama. Sebuah panggilan datang dari Dr. Lina, kepala divisi endokrinologi.

“Amelia, saya butuh bantuanmu,” kata Lina melalui telepon. Suaranya terdengar tegas, tetapi juga sedikit tergesa-gesa. Amelia mendengarkan dengan serius.

“Uji coba insulin cerdas sedang memasuki fase penting. Kami butuh pandangan tambahanmu untuk memastikan semuanya berjalan lancar.”

Amelia menarik napas dalam-dalam. Setelah semua yang terjadi dengan uji klinis kanker ginjal, ia merasa skeptis terhadap proyek-proyek inovatif seperti ini. Tapi ia tidak menolak. Panggilan tugas datang, dan Amelia selalu mendahulukan kebutuhan pasien di atas segalanya.

......................

**Di Ruang Konferensi**

Amelia melangkah masuk ke ruang konferensi di lantai tiga rumah sakit. Ruangan itu penuh dengan anggota tim medis dan para peneliti, semua sibuk dengan dokumen dan presentasi. Di layar besar di depan mereka, diagram insulin cerdas diproyeksikan.

Dr. Lina berdiri di depan ruangan, menjelaskan dengan penuh semangat. “Insulin cerdas ini dirancang untuk menyesuaikan dosis secara otomatis sesuai dengan kadar gula darah pasien. Algoritmanya bekerja real-time, menggunakan data dari sensor yang ditanamkan di tubuh pasien. Tidak ada lagi suntikan manual atau penghitungan karbohidrat yang rumit.”

Semua orang di ruangan itu terlihat terkesan, termasuk Amelia. Namun, sebagai seseorang yang teliti, ia selalu mencari potensi masalah dalam setiap inovasi baru.

“Dr. Lina,” Amelia memulai dengan nada hati-hati, “teknologi ini terdengar luar biasa. Tapi apakah kita sudah benar-benar memastikan bahwa algoritma ini aman dalam setiap situasi? Misalnya, bagaimana jika pasien mengalami fluktuasi gula darah ekstrem? Bagaimana algoritma mengatasi metabolisme yang tidak stabil?”

Lina terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Algoritma ini telah melalui banyak simulasi komputer dan uji lab. Kami yakin ini cukup aman. Tapi, seperti biasa, uji klinis langsung akan menjadi penentu.”

Amelia memperhatikan nada ragu dalam jawaban Lina. Dia tahu terlalu baik bahwa dalam dunia kedokteran, keyakinan tanpa bukti konkret sering kali menjadi sumber masalah. Tapi untuk saat ini, ia memutuskan untuk mengamati lebih dulu sebelum menyimpulkan apa pun.

......................

Amelia mulai berinteraksi dengan pasien-pasien yang menggunakan insulin cerdas. Salah satu pasiennya adalah Dina, seorang remaja berusia 16 tahun yang baru saja didiagnosis dengan diabetes tipe 1. Dina tampak optimis dan bersemangat mencoba teknologi baru ini.

“Bu Dokter,” kata Dina suatu sore ketika Amelia memeriksa alat insulin di tubuhnya, “saya senang banget ada teknologi ini. Saya benci harus terus-menerus memeriksa gula darah saya. Jadi, ini seperti punya asisten pribadi, kan?”

Amelia tersenyum lembut. “Betul, Dina. Tapi ingat, meskipun alat ini pintar, kamu tetap harus memerhatikan pola makan dan kebiasaanmu. Ini alat bantu, bukan keajaiban.”

Dina mengangguk penuh semangat, dan Amelia merasa sedikit lega melihat optimismenya. Dalam beberapa hari pertama, hasilnya memang terlihat menjanjikan. Pasien seperti Dina menunjukkan peningkatan kontrol gula darah, dan tim medis mulai merasa percaya diri dengan teknologi ini.

......................

Namun, hanya dalam waktu beberapa hari, situasi mulai berubah. Salah satu pasien dewasa, Pak Johan, ditemukan tidak sadarkan diri di ruang rawatnya. Alarm insulin cerdas di tubuhnya berbunyi keras, menarik perhatian perawat yang segera memanggil Amelia.

Amelia berlari ke ruang rawat dengan perasaan cemas. Ketika tiba, ia langsung memeriksa monitor gula darah Pak Johan. Angka di layar membuatnya tertegun.

“Gula darahnya sangat rendah!” serunya. “Cepat, berikan infus glukosa!”

Sambil tim perawat menangani Pak Johan, Amelia mencoba memahami apa yang salah.

Perawat Rani, yang juga berada di ruangan itu, menggeleng bingung. “Bagaimana ini bisa terjadi, Dok? Algoritma seharusnya menyesuaikan dosis secara otomatis, kan?”

Amelia mengangguk pelan, tetapi pikirannya penuh dengan tanda tanya. Ini bukan kasus pertama. Dua hari sebelumnya, seorang pasien anak hampir mengalami hipoglikemia parah. Amelia merasa ada pola yang mencurigakan di balik kejadian-kejadian ini.

......................

Setelah menangani pasien-pasiennya, Amelia memutuskan untuk memeriksa laporan algoritma insulin yang digunakan oleh pasien-pasien tersebut. Ia menghabiskan malamnya di depan komputer, mempelajari data yang rumit dan mencoba menemukan jawaban.

Setelah beberapa jam, ia menemukan pola yang tidak bisa diabaikan. Algoritma tampaknya memiliki kelemahan mendasar: alat ini tidak mampu menangani perubahan kadar gula yang ekstrem, terutama pada pasien dengan metabolisme yang lebih cepat atau fluktuasi gula darah yang tidak teratur.

Keesokan harinya, Amelia membawa temuannya ke kantor Dr. Lina.

“Lina,” katanya sambil menunjukkan laporan di tangannya, “ini bukan kebetulan. Algoritma ini memiliki kelemahan serius. Jika pasien memiliki metabolisme yang tidak stabil, insulin ini bisa menjadi ancaman nyata.”

Dr. Lina terlihat cemas mendengar penjelasan Amelia. “Aku tahu ini terlihat buruk. Tapi kami sudah melakukan simulasi. Mungkin ini hanya kasus yang sangat jarang.”

Amelia mendesak lebih jauh. “Lina, kita tidak bisa bermain-main dengan nyawa pasien. Apakah simulasi ini benar-benar cukup, atau ada sesuatu yang dilewatkan?”

Namun, Lina tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Amelia merasa ada sesuatu yang disembunyikan, tetapi Lina tampaknya tidak mau membicarakannya lebih jauh.

......................

Malam itu, Amelia kembali ke rumah sakit untuk memeriksa lebih banyak dokumen. Ia mendapatkan akses ke laporan internal yang sebelumnya tidak pernah ia lihat. Laporan itu mencantumkan detail rapat antara tim peneliti dan perusahaan farmasi yang mendanai proyek ini.

Saat membaca dokumen itu, Amelia merasa jantungnya berhenti. Perusahaan farmasi yang mendanai proyek ini mendesak agar insulin cerdas segera diluncurkan, meskipun simulasi algoritma belum sepenuhnya selesai.

Dalam catatan itu tertulis:

“Kami berada di bawah tekanan untuk meluncurkan produk sebelum akhir tahun fiskal. Risiko efek samping dapat diatasi setelah peluncuran.”

Amelia terduduk di kursinya. Ia tidak percaya bahwa keselamatan pasien dikorbankan demi keuntungan finansial.

“Mereka lebih peduli dengan keuntungan daripada keselamatan pasien...” bisiknya dengan nada marah.

Saat ia hendak menyimpan salinan dokumen itu, pintu kantornya tiba-tiba terbuka. Seorang pria berpakaian jas masuk dengan wajah tegang.

“Dokter Amelia,” katanya dengan suara dingin, “saya sarankan Anda berhenti mencari. Ini bukan urusan Anda.”

Amelia berdiri, mencoba terlihat tenang meskipun hatinya berdegup kencang. “Siapa Anda? Apa yang Anda sembunyikan?” tanyanya dengan tegas.

Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, dia meninggalkan sebuah amplop di meja Amelia sebelum pergi begitu saja.

Amelia membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada selembar catatan kecil yang bertuliskan:

“Jika Anda terus mencari, pasien Anda akan membayar harga yang mahal.”

Amelia menggenggam catatan itu erat. Matanya menyala dengan tekad yang membara. Ia tahu, ancaman ini adalah bukti bahwa ia sedang menyentuh sesuatu yang besar.

Tetapi bagi Amelia, tidak ada pilihan untuk mundur. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan terus mencari kebenaran, apa pun risikonya.

“Mereka tidak bisa menghentikanku,” gumamnya pelan. “Demi pasien-pasienku, aku akan melawan.”

Episode 3: Keajaiban Genetik ang Berbahaya

Amelia duduk di ruang istirahat dokter, membaca laporan medis terbaru tentang terapi gen revolusioner untuk penyakit fibrosis kistik, sebuah inovasi yang menjanjikan penyembuhan permanen bagi penyakit genetik langka ini.

Fibrosis kistik, yang disebabkan oleh mutasi genetik, mengakibatkan penumpukan lendir kental di paru-paru dan organ lain, sering kali berujung pada kegagalan fungsi organ dan kematian dini.

Di tengah keseriusan membaca laporan tersebut, pintu ruangan terbuka, dan Dr. Harris, kepala divisi genetik, masuk dengan langkah cepat.

Dr. Harris:

"Amelia, aku butuh bantuanmu," katanya sambil meletakkan sebuah map tebal di meja. "Kita sedang melakukan uji klinis untuk terapi gen terbaru ini, dan hasil awalnya sangat menjanjikan. Tapi, seperti yang kau tahu, setiap inovasi pasti membawa risiko. Aku ingin kau mengawasi salah satu pasien kita, Clara. Dia menunjukkan hasil yang baik, tapi aku perlu pendapatmu tentang efek sampingnya."

Amelia menatap Harris dengan alis sedikit terangkat.

"Terapi gen ini memang terdengar seperti keajaiban," ujarnya, "tapi kita berbicara tentang pengeditan genetik langsung. Risikonya tidak main-main. Apa yang sebenarnya terjadi pada Clara?"

Harris terlihat ragu sejenak sebelum menjawab.

"Clara, seorang gadis remaja, telah menderita fibrosis kistik sejak lahir. Setelah terapi gen, ia menunjukkan perbaikan signifikan, tapi ada beberapa gejala yang muncul belakangan ini. Aku ingin kau memantau kondisinya lebih dekat."

Amelia mengangguk. “Aku akan melihatnya sekarang.”

......................

Clara, 14 tahun, berbaring di tempat tidur rumah sakit. Wajahnya pucat, tapi matanya menunjukkan semangat yang tidak pudar. Sejak menerima terapi gen tiga minggu lalu, Clara telah menunjukkan perbaikan yang luar biasa.

Dia kini bisa bernapas lebih mudah dan tidak lagi membutuhkan alat bantu oksigen. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati Amelia.

Amelia duduk di samping tempat tidur Clara.

"Clara, bagaimana perasaanmu hari ini? Napasmu sudah lebih baik?"

Clara tersenyum lemah. "Ya, Bu Dokter. Aku bisa bernapas lebih lega sekarang. Tapi, tadi malam aku merasa nyeri di perutku, dan tubuhku terasa sangat lelah."

Kekhawatiran Amelia langsung tumbuh. Ia segera melakukan pemeriksaan lebih mendalam, mencatat tanda-tanda yang tidak biasa: warna kekuningan di mata Clara, pembengkakan perut ringan, dan hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan enzim hati. Semua ini mengarah pada tanda awal gagal hati, sesuatu yang tidak disebutkan dalam laporan uji klinis terapi gen tersebut.

......................

Amelia segera menemui Dr. Harris di kantornya dengan laporan Clara di tangan.

"Harris," katanya dengan nada tegas, "Clara menunjukkan tanda-tanda awal gagal hati. Ini bukan sesuatu yang bisa kita abaikan. Apakah efek samping ini pernah muncul dalam uji klinis sebelumnya?"

Dr. Harris terlihat canggung sejenak sebelum menjawab.

"Tidak ada yang tercatat dalam laporan resmi," katanya. "Mungkin ini hanya kasus khusus. Kita masih dalam tahap eksperimen, Amelia. Risiko seperti ini tidak bisa dihindari."

Amelia memandangnya dengan tajam. "Risiko seperti ini seharusnya bisa dicegah jika kita lebih berhati-hati. Dosis terapi gen ini tidak distandardisasi. Pasien seperti Clara, yang memiliki komorbiditas, tidak seharusnya menerima dosis yang sama dengan pasien lain yang lebih sehat."

Harris mendesah. "Kita tidak punya cukup data untuk menyesuaikan dosis secara individual. Aku paham ini tidak ideal, tapi kita harus terus berjalan dengan apa yang kita miliki sekarang."

"Tapi ini menyangkut nyawa manusia, Harris!" Amelia membalas dengan nada frustrasi. "Kita bermain-main dengan genetik tanpa benar-benar memahami semua konsekuensinya."

......................

Beberapa hari kemudian, kondisi Clara tiba-tiba memburuk. Ia mengalami muntah darah, tanda bahwa gagal hatinya semakin parah. Amelia dipanggil ke ruang ICU, di mana Clara terbaring lemah dengan alat-alat medis yang terpasang di sekelilingnya.

Amelia segera mengambil alih.

"Segera siapkan plasma segar beku untuk transfusi," perintahnya kepada tim perawat. "Kita harus menghentikan perdarahan ini sekarang juga."

Selama beberapa jam berikutnya, Amelia dan tim medis bekerja keras untuk menstabilkan Clara. Meskipun kondisinya berhasil distabilkan, gadis itu tetap dalam kondisi kritis. Amelia merasa bersalah karena tidak bisa mencegah hal ini terjadi.

Namun, kemarahan Amelia semakin membesar ketika ia mendengar kabar dari salah satu perawat bahwa tim peneliti mencoba menyembunyikan kondisi Clara.

Perawat Maya:

"Dokter, aku mendengar Dr. Harris menyuruh tim dokumentasi untuk tidak mencatat efek samping ini dalam laporan uji klinis," bisiknya kepada Amelia di lorong rumah sakit.

Amelia merasakan darahnya mendidih. "Mereka tidak bisa melakukan ini," katanya dengan suara pelan namun penuh emosi. "Clara berhak mendapat perawatan terbaik, bukan dimanfaatkan sebagai eksperimen buta!"

......................

Amelia kembali ke kantornya dengan tekad bulat untuk menggali lebih dalam. Ia membuka komputer dan mulai memeriksa email-email internal. Tanpa sengaja, ia menemukan sebuah email yang tampaknya dikirim kepadanya secara keliru. Isi email tersebut membuatnya terkejut.

Email itu adalah diskusi antara Dr. Harris dan sponsor farmasi tentang percepatan publikasi hasil uji klinis untuk menarik lebih banyak pendanaan. Namun, yang paling mengejutkan adalah pengakuan bahwa data efek samping belum sepenuhnya dikumpulkan.

“Kita perlu hasil positif untuk menarik investor tambahan. Risiko kecil seperti ini bisa diabaikan dalam laporan awal.”

Amelia membaca kalimat itu berulang kali, merasakan amarah yang membakar di dadanya. Bagaimana mungkin mereka lebih peduli dengan uang daripada keselamatan pasien?

......................

Amelia menatap layar komputernya, merasa berada di persimpangan yang sulit. Jika ia melaporkan Dr. Harris dan sponsor farmasi ke komite etika, langkah itu bisa menghentikan eksperimen berbahaya ini.

Namun, ia juga tahu konsekuensinya: ia mungkin kehilangan pekerjaan, bahkan menghadapi tuntutan hukum dari perusahaan farmasi yang kuat.

Ia memandang ke luar jendela kantornya, mencoba mencari ketenangan di tengah hiruk-pikuk rumah sakit. Dalam pikirannya, wajah Clara terus terbayang. Gadis itu sudah cukup menderita sepanjang hidupnya. Bagaimana ia bisa tinggal diam ketika Clara dan pasien-pasien lain dijadikan korban keserakahan?

Amelia menggenggam tangannya dengan erat. "Aku harus melakukan sesuatu," gumamnya. "Mereka tidak bisa terus bermain dengan nyawa manusia demi uang."

Dengan keputusan bulat, Amelia mulai menyusun laporan pengaduan. Ia mengumpulkan semua bukti yang ia miliki, termasuk rekam medis Clara, email internal yang ia temukan, dan laporan efek samping yang diabaikan.

Amelia tahu langkah ini akan membawa konsekuensi besar. Tapi bagi dirinya, membela pasien seperti Clara jauh lebih penting daripada melindungi dirinya sendiri.

Di ruangan yang sunyi itu, Amelia mengetik dengan cepat, setiap ketukan keyboardnya membawa harapan bahwa ia bisa menghentikan kejahatan ini sebelum terlambat.

Apa pun yang terjadi, Amelia bertekad untuk tidak menyerah. Ia tahu, kebenaran harus diungkapkan, bagaimanapun risikonya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!