Angin sepoi-sepoi berhembus, menerpa lembut wajah mulus seorang gadis cantik. Dari tempat persembunyian dia menatap fokus seorang pria yang tengah berbincang serius dengan seorang wanita yang tidak asing lagi baginya. Sesekali tangannya bergerak mengangkat kacamata tebal miliknya seraya menyeka lensanya yang mulai berembun.
Sesaat kemudian netra wanita itu terbelalak kala mendengar sebuah pengakuan yang keluar dari mulut pria yang telah menjadi kekasihnya itu.
"Jadi kau benar-benar tidak menyukainya?" Ulang wanita dihadapan pemuda tersebut dengan raut wajah bahagia.
Pemuda itu pun tertawa seraya berkata, "Seorang Devan, menyukai wanita berkaca mata tebal itu? Itu namanya musibah!" ledeknya dengan tertawa keras. "Kau sendiri tahu tipeku seperti apa!" lanjutnya sembari menoleh ke arah samping.
Sontak wanita yang berdiri dikejauhan itu mengepalkan tangannya. Dia ingin segera menghampiri pria itu dan langsung melayangkan kepalan kuat tangannya. Namun dia masih ingin mendengar lebih banyak pengakuan pemuda tampan yang masih berstatus pacarnya itu.
"Lalu, kenapa kau menjadikannya pacarmu?" tanya wanita itu dengan berpura-pura kesal.
"Aku punya hutang budi padanya. Dia pernah menyelamatkanku dari preman."
"Apa? Cuma karena itu doang? Harusnya kau beri saja dia uang, dia pasti senang kok", protes wanita itu dengan mendengus kasar.
Spontan Devan menyentil kening wanita itu. "Kau tidak pernah berubah ya! Selalu saja memakai cara seperti itu untuk menyelesaikan semua masalah", ucap Devan dengan tersenyum.
Clarisa tertegun seraya menyentuh keningnya. Lalu dia tersenyum kala memikirkan sesuatu di dalam benaknya. "Kalau gitu putuskan saja dia!" ucapnya dengan serius.
"Aku hanya menunggu kesempatan yang bagus untuk memutuskannya."
"Kenapa tidak sekarang saja? Aku bisa kok membantumu."
"Nanti dulu! Aku tidak mau teman-teman di kampus menganggapku mempermainkan perasaannya. Kalau sudah begitu, citraku pun jadi jelek."
"Kau ada benarnya juga", sahut Clarisa dengan manggut-manggut. "Jadi kapan rencananya kau akan memutuskannya? Aku sudah tidak sabar melihat ekspresi wajahnya yang menyebalkan itu", lanjutnya.
"Sudah aku katakan, tunggu waktu yang tepat."
Baru saja Clarisa akan membalas ucapan Devan, wanita itu keluar dari tempat persembunyiannya. Dia berjalan mendekati Devan dengan langkah panjang. "Devan, jelaskan apa maksud ucapanmu barusan?" Tanyanya dengan tatapan penuh emosi.
Devan malah tersenyum dan menatap sang kekasih dengan santai. "Aku rasa kau sudah mendengar semuanya dengan jelas. Jadi tidak ada lagi yang perlu aku katakan."
Sorot tajam netra wanita cantik itu, sama sekali tidak membuat Devan merasa bersalah. Dia malah membalas tatapan wanita itu dengan tersenyum.
"Devan Aksara! Aku mau kau jawab dengan jujur. Apa kau pernah menyukaiku, walau cuma sehari saja."
Devan membisu sembari menatap serius wajah cantik wanita itu. Namun sesaat kemudian dia tertawa meledek. "Deya, jangan naif! Apa perlu aku membeli cermin, agar kau dapat melihat wajahmu itu?"
Deya tersentak kaget mendengar kata hinaan yang keluar dari mulut sang kekasih. Lalu dia mendengus dengan tatapan sendu. "Oke! Aku paham maksudmu. Kalau begitu kita putus!" Ucap Deya seraya beranjak meninggalkan Devan dan Clarisa.
"Deya... Deya!" Pekik seseorang yang membuat Deya tersentak kaget. Netranya mulai mengerjap untuk menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya disekitarnya.
Kenapa aku bisa memimpikan kejadian itu lagi? tanya Deya bergumam. Lalu dia gegas mengalihkan perhatiannya pada pria yang sedari tadi meneriaki namanya. "Begitukah caramu memanggil kakakmu?"
Pria itu menatap Deya dengan tatapan tidak senang. "Seharusnya kau berterimakasih padaku, karena tidak meninggalkanmu di dalam pesawat. Kalau tidak, mungkin saja kau sudah dimasukkan ke dalam bagasi dan di kirim balik ke London."
Deya langsung melepas safety beltnya dan bangkit berdiri.
"Hei, kenapa kau meninggalkanku begitu saja?" teriak pria itu kesal.
Deya membalikkan badannya sembari menatap saudara sepupunya itu. "Bisakah kau berbicara lebih sopan lagi padaku? Aku ini kakak sepupumu!"
"Emang siapa yang bilang kau pacarku?"
"Arano...!" Pekik Deya kesal, bahkan dia semakin kesal kala sang pramugari pun ikut menegurnya, meski dengan nada yang lembut.
*-*
Beberapa menit kemudian.
Setelah membawa semua koper miliknya. Deya gegas berjalan dengan langkah panjang dan meninggalkan Arano begitu saja.
"Deya tunggu...! Deya....!"
Deya mengacuhkan suara bising Arano yang terus memanggil namanya. Dia malah semakin mempercepat langkahnya dan berjalan lurus ke depan.
"Kak Deya!" pekik Arano kembali.
Deya pun berbalik dan menatap Arano dengan bersidekap. "Iya, ada apa lagi?" Kesalnya.
Arano bergidik ngeri melihat tatapan membunuh Deya. "Kenapa kau menatapku seperti itu? Aku cuma memintamu menungguku, tapi kau seperti akan menghabisiku saja", cicit Arano.
Deya mendengus sembari menghampiri Arano. Lalu dia menepuk pelan pundak sepupunya itu. "Adik sepupuku yang tampan", ucap Deya dengan lembut yang membuat netra Arano berbinar. Namun saat Deya mengubah tatapannya menjadi dingin, Arano merasa bulu kuduknya mulai berdiri "Aku rasa kau tidak cocok di kota ini. Bagaimana jika aku - "
Spontan Arano merangkul bahu Deya, dan menyela ucapan sepupunya tersebut. "Kakak sepupuku yang cantik. Aku sudah tahu salah. Please, jangan kembalikan aku ya", mohonnya. Dia tidak ingin kebebasannya di ambil kembali oleh sang paman.
Deya membalas dengan tersenyum penuh arti. "Kalau begitu jadilah anak baik", sahut Deya dengan menepuk pelan pipi Arano.
Apakah pilihanku sudah benar? Batin Arano ragu. Entah kenapa dia merasa sang kakak sepupu lebih menyeramkan dari pada sang paman. Semoga hari-hariku kedepannya selalu baik! Batin Arano. Lalu dia berjalan dengan mengabaikan sang kakak sepupu.
"Kenapa lagi dia? Apa dia marah denganku?" tanya Deya bergumam. Lalu dia berusaha mengejar langkah Arano.
"Tunggu sebentar mba!" Seru seorang pria yang membuat Deya menghentikan langkahnya.
Spontan Deya membalikkan badan. Namun seorang petugas bandara lebih dulu mendekati pria tersebut, dan mengatakan sesuatu padanya.
"Oh, sudah ketemu ya. Kalau begitu kita ke sana sekarang", ucap pria itu dengan terburu-buru. Lalu dia beranjak dari posisinya berdiri, tanpa menoleh ke arah Deya.
"Dia!" gumam Deya dengan perasaan campur aduk. "Pantas saja aku memimpikan kejadian itu lagi", lanjutnya lirih. Kemudian dia buru-buru membalikkan badannya, agar pria itu tidak sempat melihatnya. "Aaaa...." pekiknya kala wajah Arano berada tepat dihadapannya.
Arano yang latah ikut berteriak. "Ada apa?" Tanyanya kaget.
"Kenapa kau malah bertanya? Kau yang sudah membuatku kaget!' Balas Deya dengan mengusap dadanya. "Hari ini kau sangat menjengkelkan. Kita langsung ke apartemen saja."
"Tapi aku lapar kak."
"Take away saja! Kau bisa makan setelah kita sampai di apartemen."
'Hem, baiklah'", balas Arano malas.
Padahal Deya tahu persis sang adik sepupu tidak bisa menahan rasa laparnya. 'Kau tidak ada ubahnya seperti tante. Tidak bisa menahan lapar barang sebentar saja."
Seketika raut wajah Arano berubah murung kala Deya mengingatkannya tentang ibunya.
"Apa kau rindu dengan ibumu?" Tanya Deya lirih.
Arano membalas dengan mengangguk pelan. Namun siapa sangka dalam benaknya dia memikirkan cara yang kejam untuk membalas kematian kedua orang tuanya.
Spontan Deya menepuk pundak sepupunya itu. "Jangan sedih lagi. Ingat tujuan kita kembali ke kota ini", nasehat Deya pada sang adik sepupu. Namun sebenarnya hatinya juga merasakan hal yang sama seperti Arano. Dia sama-sama ingin membalaskan kematian kedua orang tuanya.
Aku tidak akan pernah memaafkan siapapun pelakunya! ucap Deya dalam batin.
Sejak meninggalkan bandara, Arano menjadi sedikit penurut. Dia melakukan sesuai perintah sang kakak sepupu, yakni membawa bungkusan makanannya ke dalam apartemen.
"Ganti pakaianmu dulu!" titah Deya kala Arano baru saja membuka bungkusan makanannya.
Arano mendongak tanpa suara, lalu dia mengalihkan pandangannya pada makanan yang sedari tadi ingin dia santap itu.
"Kenapa diam saja? Ayo, ganti pakaianmu!" ulang Deya kala sang adik sepupu tak kunjung beranjak dari tempat duduknya.
Namun baru saja Arano akan membalas ucapan Deya, tiba-tiba suara dering ponsel Deya memenuhi ruangan itu. Arano tampak senang. Dia menanti sang kakak sepupu menjawab panggilan telepon tersebut.
"Halo, paman", sahut Deya setelah menggeser tombol hijau diponselnya. Lalu dia menunggu sang paman menyelesaikan ucapannya dari seberang telepon.
Sementara Arano buru-buru menyantap makanannya. Dia tahu kebiasaan sang paman yang selalu berbicara lama saat berbicara di telepon. Jadi Arano pun yakin makanannya akan habis sebelum panggilan telepon dari sang paman itu berakhir.
"Uhuk, uhuk..."
Tba-tiba terdengar suara batuk Arano. Dia langsung menepuk-nepuk dadanya. Deya yang tidak sengaja melihatnya, menjadi panik.
"Paman, maaf. Nanti kita sambung lagi. Ada sedikit masalah dengan Arano", sahut Deya seraya menutup sambungan telepon. Lalu dia berjalan menghampiri Arano.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Deya cemas. Lalu dia menepuk-nepuk punggung Arano dengan penuh perhatian.
Arano membalas dengan manggut-manggut. "Aku baik-baik saja kak", katanya setelah bernafas lega. Dia merasa sedikit menyesal karena tidak menuruti ucapan sang kakak sepupu.
Deya menatap sisa makanan di atas piring. "Hem, nyaris nggak bersisa", gumam Deya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa ada yang mau berebut makanan denganmu? Kenapa kau makan begitu terburu-buru?" tanya Deya sembari menyodorkan botol air minum pada Arano.
Arano tersipu malu seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku benar-benar lapar kak", jawabnya.
"Maaf, karena sudah terlalu lama menunda makan siangmu", ucap Deya dengan rasa bersalah. "Kakak ke kamar dulu. Kamu lanjut saja makannya", ucapnya sembari menarik kopernya dan membawanya masuk ke dalam kamar. Namun baru saja Deya melewati ambang pintu kamarnya, terdengar suara bel.
"Biar Arano yang cek", katanya sembari berjalan menuju pintu. Lalu dia mencari tahu tamu yang datang melalui interkom.
"Siapa yang datang?" tanya Deya dengan sedikit berteriak.
"Itu kak Jordan!" seru Arano.
Deya buru-buru menutup rapat pintu kamarnya, dan berjalan menuju sofa. "Bawa dia masuk!" titahnya saat bokongnya sudah menempel di sofa.
Arano gegas membukakan pintu 'Hai, kak Jo", sapa Arano dengan sopan. Lalu dia membuka lebar pintu. 'Masuklah!"
"Terimakasih Rano", balas Jordan dengan tersenyum. Lalu dia melangkahkan kakinya melewati ambang pintu masuk. Namun tiba-tiba dia membeku kala pandangannya bertemu dengan Deya. Degup jantungnya pun memompa dengan cepat, hingga dia tidak mampu membuka suaranya.
"Kak Jo. Kenapa bengong? Duduklah di sini", ucap Deya yang membuat Jordan salah tingkah.
"Hai, Deya. 4 tahun nggak bertemu kau semakin cantik saja", sahut Jordan sembari duduk tepat di samping Deya.
"Kak Jo juga terlihat tampan memakai setelan jas ini", balas Deya dengan menatap Jordan.
Jordan semakin salah tingkah kala Deya terus menatap dirinya, hingga dia tidak berani membuka suaranya.
"Sebenarnya aku hanya mengganti kaca mata tebal itu dengan kontak lens", ucap Deya memecah keheningan di antara mereka.
Jordan menghela nafas berat kala mengingat penyebab Deya memakai kaca mata tebal tersebut "Andai saja waktu itu keluargaku mau mengeluarkan uang untuk membantu biaya sekolahmu, kau tidak perlu bekerja dan sakit mata", ucap Jordan lirih. Hampir setiap malam Jordan melihat Deya pergi ke warnet dan membantu tugas sekolah teman-teman sekolahnya.
"Sebenarnya penyebab mataku rusak bukan itu", ucap Deya seakan memahami pikiran Jordan. 'Saat usiaku 5 tahun aku terbiasa memakai gadget hingga malam, hanya untuk melatih diri untuk menjadi hacker handal", lanjutnya yang membuat Jordan melongo.
"Apa? umur 5 tahun jadi hacker?"
"Kakak sepupuku seorang jenius. Apa kak Jo tidak menyadarinya saat kak Deya tinggal di keluarga kakak?"
Jordan membalas dengan menggelengkan kepala. Namun sesaat kemudian dia menyadari sesuatu. "Aku ingat sekarang. Waktu SMP Deya cuma belajar sampai 2 tahun saja dan setelah itu dia langsung lulus. Tidak hanya sampai di situ, saat duduk di bangku SMA, Deya menyelesaikannya adalam 2 tahun juga. Itu artinya Deya benar-benar jenius", ucap Jordan dengan netra terbelalak. Dia tidak pernah menyadari kalau sang adik angkat adalah seorang jenius.
"Sebenarnya itu terlalu lamban bagi kakak sepupuku. Tapi dia tidak ingin terlalu menonjolkan diri", sahut Arano.
"Maaf", ucap Jordan dengan kepala menunduk.
Deya dan Arano mengernyit bingung kala mendengar permintaan maaf Jordan.
"Untuk apa kak Jo minta maaf?" tanya Deya.
"Untuk semua kesalahan keluargaku di masa lalu. Andai saja ayahku tidak menjual semua perhiasan milikmu, mungkin saat itu kau sudah bertemu dengan keluargamu."
Seketika Deya membisu mendengar ucapan Jordan. Hatinya pilu kala mengingat kedua orang tuanya yang tidak sempat dia temui. "Saat itu aku hilang ingatan. Sekalipun perhiasanku tidak di jual, belum tentu aku akan bertemu dengan kedua orang tuaku", jawabnya dengsn tatapan sendu.
"Tapi kakak tulus meminta maaf."
"Semuanya sudah berlalu. Tidak ada lagi yang perlu dimaafkan. Lagipula kedua orang tuaku tidak akan mungkin hidup kembali."
Tiba-tiba Arano menepuk pelan pundak Jordan. "Kak Jo jangan sedih", ucapnya kala melihat raut wajah lesu Jordan. "Kak Deya sudah menutup semua kisah kelam itu. Tapi bukan berarti kak Deya akan membiarkan pelakunya begitu saja. Jadi kak Jo bisa membantu kami menemukan pelakunya."
"Apa yang bisa kakak lakukan?"
"Jangan terburu-buru kak! Sekarang tolong berikan dulu dokumen pendaftaran kak Deya", sahut Arano yang membuat Deya menatap tajam padanya.
"Berikan padaku", rebut Deya kala Jordan hendak menyerahkan amplop pada Arano.
"Sepertinya aku tidak begitu diperlukan", keluh Arano seraya beranjak dari posisinya berdiri. Lalu dia pergi membereskan sisa makanannya yang ada di atas meja.
"Abaikan saja dia", ucap Deya kala melihat raut wajah bingung Jordan. "Kalau begitu besok aku sudah bisa masuk setelah membawa berkas ini", gumamnya.
"Untuk apa kamu pergi ke kampus itu? Bukankah kamu sudah lulus dari universitas terkenal yang ada di London?"
Deya menghela nafas berat seraya berkata, "Aku ingin menyelidiki seseorang yang kuliah di sana. Dari data yang aku kumpulkan orang itu terlibat dengan insiden yang menyebabkan seluruh keluargaku tiada."
"Oh, begitu", sahut Jordan dengan manggut-manggut. "Kalau gitu, aku siap membantumu! Aku tidak akan membiarkan orang itu hidup tenang", lanjutnya dengan tatapan penuh dendam.
"Terimakasih buat niat baik kakak. Tapi saat ini aku masih bisa melakukannya sendiri."
Ting tong.
Suara bel membuat Deya tiba-tiba diam. "Apa Rano mengundang seseorang?" Tanyanya bergumam. Lalu dia berjalan menghampiri pintu dan melihat siapa yang bertamu keapartemennya melalui intercom. Tiba-tiba Netra Deya membulat sempurna kala melihat orang itu.
"Siapa yang datang?" tanya Jordan kala melihat Deya bergeming diposisinya berdiri.
"Em, itu", jawab Deya ragu. Dia tampak berfikir sejenak sebelum mengatakan siapa tamu yang tengah berdiri di depan pintu apartemennya.
"Kalau kamu ragu, biar kakak saja yang membuka pintunya", ujar Jordan sembari bangkit berdiri. "Kamu duduk saja", lanjutnya kala dirinya telah berdiri di dekat Deya.
"Em", balas Deya dengan mengangguk pelan. Lalu dia berjalam menuju sofa.
Sementara Jordan melihat melalui interkom sebelum membuka pintu. Netranya terbelalak kala dirinya mengenal pria itu. "Bukankah itu Devan?" gumamnya.
Tiba-tiba bel kembali berbunyi. Dengan menghela nafas berat Jordan terpaksa membukakan pintu.
"Maaf mengganggu", ucap Devan dengan ramah. Namun seketika raut wajah Devan berubah kala melihat wajah Jordan dengan jelas. "Kau juga tinggal di sini?" tanyanya dengan nada tidak ramah.
"Apa kita saling kenal?" tanya Jordan balik.
Sementara Deya menahan rasa kesalnya kala mendengar suara pria yang telah menjadi mantannya itu.
Devan tersenyum sinis seraya berkata, "Cih, apa kau pikir dengan memakai setelan jas, maka penampilan premanmu itu akan berubah?" sindirnya.
"Apa maksud ucapanmu ha?" kesal Jordan dengan menarik kerah baju Devan.
Devan membalas dengan menarik kerah baju Jordan. "Sepertinya ingatanmu sangat buruk! Hanya 4 tahun saja berlalu, tapi kau benar-benar lupa!" balasnya dengan menyentak kasar tubuh Jordan
'Kau!" tunjuk Jordan dengan raut wajah penuh emosi.
Devan pun pergi begitu saja, meninggalkan Jordan yang masih penuh emosi. Hampir saja Jordan pergi mengejar pria itu, namun tangan Deya berhasil menahan Jordan.
"Sudah, biarkan saja dia", bujuk Deya.
Jordan menutup kembali pintu dengan menghela nafas berat. "Apa kau masih menyukainya?" tanya Jordan dengan nada tidak senang.
Alih-alih menjawab pertanyaan Jordan, Deya malah melangkahkan kakinya, dan kembali duduk di sofa.
"Ada apa?" tanya Arano sembari melihat ke arah pintu. "Bukankah tadi ada yang bertamu?" lanjutnya.
"Itu cuma orang iseng", sahut Deya.
"Orang iseng?" ulang Arano dengan mengernyitkan kening. Dia tidak menyangka orang yang tinggal di apartemen elit, ada juga yang suka iseng.
"Sudah! Jangan dipikirin lagi. Entar sakit ginjal", canda Deya.
Jordan terperangah mendengar candaan Deya. Dia tidak menyangka Deya yang dia kenal pendiam itu, juga memiliki sisi humoris.
"Kak Jo sudah makan?" tanya Deya seraya menatap Jordan.
Sontak Jordan salah tingkah kala Deya menatapnya dengan lembut. "Em, sudah", jawabnya gugup tanpa menatap Deya. Oh, iya kakak harus balik ke kantor sekarang", lanjutnya sembari membalikkan badan.
"Oh, tunggu dulu kak!" seru Deya.
Jordan membalikkan kembali badannya. "Ada apa?"
"Aku membawa ole-ole untuk kakak, ayah dan ibu angkat. Sebentar aku ambil di kamar", sahut Deya sembari beranjak dari posisinya berdiri. Lalu dia masuk ke dalam kamarnya.
Setelah beberapa saat Deya datang dengan membawa 3 buah paperbag ditangannya.
"Ini buat ayah, dan ini buat ibu", ucap Deya kala menyodorkan paperbag ditangannya satu per satu "Dan yang ini buat kak Jo", lanjutnya.
"Terimakasih Deya. Kalau gitu kakak pamit."
"Oke! Hati-hati di jalan."
"Bye kak Jo!" seru Arano, namun netranya fokus menatap layar ponselnya.
Jordan hanya membalas dengan tersenyum. Lalu dia mengayunkan langkahnya menuju pintu keluar. Sepeninggal Jordan, Deya gegas menyambar ponsel milik Arano.
"Kak Deya!" pekik Arano kesal. Lalu dia bangkit berdiri dan mencoba merebut kembali ponselnya.
Namun Deya tidak membiarkan sang adik sepupu mendapatkannya dengan mudah. "Apa kau lupa dengan nasehat paman?"
"Aku tidak akan lupa. Kalau tidak percaya lihat saja aplikasi apa yang terbuka diponselku."
Baru saja Deya akan melihat layar ponsel milik Arano tersebut, tiba-tiba tangan Arano telah menyambar ponsel miliknya.
"Kau curang!" keluh Deya.
"Ini bukan curang namanya. Tapi ini adalah taktik", balas Arano dengan tersenyum. Lalu dia bergegas meninggalkan sang kakak sepupu.
Deya menatap punggung Arano yang hilang di balik pintu dengan raut wajah kesal. "Bisa-bisanya dia mempermainkanku!" keluhnya bermonolog. "Lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan pada ponselmu!" lanjutnya sembari meraih ponselnya dari dalam saku. Baru saja jari jemari Deya mengotak-atik ponselnya, tiba-tiba sang paman menghubunginya kembali.
"Halo paman", sahut Deya dengan cepat. Lalu dia diam kala mendengarkan suara sang paman dari seberang telepon.
"Tidak ada masalah yang serius paman. Tadi itu Rano hampir saja tersedak, karena makan terburu-buru", terang Deya. Dia merasa sedikit bersalah karena telah menunda makan siang sang adik sepupu.
Mendengar penuturan Deya, sang paman membalas dengan menghela nafas berat. Deya pun semakin merasa bersalah dibuatnya.
"Baik paman", sahut Deya setelah sang paman memberi wejangan padanya. Lalu sambungan telepon pun terputus.
Setelah itu Deya beranjak dari posisinya berdiri, dan berjalan menuju pintu kamarnya. Saat dirinya sudah berada di dalam kamar. Netranya menatap nanar sekeliling ruangan yang pernah dia tempati 5 tabun yang lalu. Perlahan dia mengayunkan langkahnya menuju tempat tidur. "Sepertinya kak Jo selalu membersihkan kamar ini", katanya sembari menjatuhkan bobot tubuhnya di atas tempat tidur king size miliknya itu. "Kamar ini bahkan lebih wangi dari biasanya", lanjutnya bermonolog.
Sesaat kemudian terdengar suara ketukan pintu kamarnya. "Kak Deya!" seru Arano dari balik pintu.
"Iya, sebentar", sahut Deya seraya bangkit dari atas tempat tidur. Dengan langkah cepat dia pun berjalan menuju pintu. "Ada apa?" tanyanya saat pintu sudah terbuka lebar.
"Kak Deya ngadu apa sama paman Givan?" cecar Arano dengan raut wajah kesal.
Deya pun mengernyitkan keningnya seraya berkata, "Paman baru saja menelponmu?"
"Iya!" sahut Arano dengan nasa keras. "Paman baru saja memarahiku di telepon. Katanya aku terlalu ceroboh dan rakus. Dia juga mengancamku akan membawaku kembali ke London, jika aku tidak bisa jaga diri sendiri."
Deya mendelik kala mendengarkan ucapan sang adik sepupu. Lalu dia mencoba menenangkan Arano dengan menyentuh pundaknya. "Rano dengarkan kakak baik-baik", ucapnya dengan lembut. "Kamu harus tahu, kalau kakak dan paman Givan sangat peduli padamu. Kami selalu menasehatimu meskipun dengan sedikit mengancam. Tapi kami lakukan itu supaya kamu lebih dewasa dan berhasil nantinya."
Arano membisu kala mendengarkan penuturan sang kakak. Namun sesaat kemudian dia mengangguk pelan. "Hm, baiklah. Kalau begitu aku tidak akan mengganggu kakak lagi", katanya sembari beranjak dari posisinya berdiri.
Deya menutup kembali pintu kamarnya dan berjalan menuju tenpat tidur. "Sepertinya aku tidak boleh terlalu mengekang Rano. Aku kuatir nantinya dia malah memberontak dan nekad melakukan tindak kejahatan", ucap Deya seraya menjatuhkan bobot tubuhnya di atas tempat tidur. Netranya menatap nanar langit-langit kamarnya yang mulai kusam itu.
Suara dering ponsel Deya yang tiba-tiba, membuat Deya tersentak kaget. Dia pun buru-buru meraih ponselnya dari saku celananya, "Devan!" gumamnya dengan netra melotot.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!