"Nduk Dyah, ayo masuk rumah! ini sudah surup lho, besok lagi mainnya."
Kulihat simbah putri, berdiri di depan pintu memanggilku dengan suara khasnya yang lembut dengan senyum di bibirnya yang sudah mulai mengeriput dimakan usia.
"Nggih, Mbah!" jawabku sambil berlari memeluk kaki simbah putri, sambil menatap wajahnya yang syahdu.
Sekelebat kenangan yang masih jelas tergambar di ingatanku, kala aku masih berusia lima tahun, di rumah jawa kuno ini.
Simbah putri adalah salah satu orang yang kusayangi setelah orang tuaku. Aku memang dibesarkan dalam keluarga yang masih kental dengan adat jawanya. Ibu bahkan pernah bercerita, bahwa kami masih termasuk keturunan keluarga ningrat alias masih punya darah bangsawan jawa. Tapi di zaman yang sudah modern seperti ini, siapa peduli?
Aku dikejutkan tepukan kecil di pundakku. Setelah aku menengokkan kepalaku, setengah tersenyum aku membalas senyuman wanita paruh baya di belakangku, mbok Minten.
"Sendirian kayak gitu kok ngalamun Cah ayu, ora ilok loh."
"Eh, Mbok Min, kaget aku lho Mbok, aku kira siapa .... " Aku tersenyum meskipun masih merasakan kekagetanku.
Mbok Minten tersenyum lagi, dan mengulurkan tangannya meraih tas bawaanku. Tapi aku malah memegang tangannya dan menolak dengan halus.
"Gak usah Mbok, ini berat lho, biar aku bawa sendiri aja."
"Gak papa kok Nduk cah ayu, kan simbok ini sudah terbiasa dari muda kerja yang berat-berat."
"Tapi Simbok kan sekarang sudah gak muda lagi!" kataku sambil menjulurkan lidah dan berlari kecil masuk ke dalam rumah.
"Ealah, genduk yang satu ini, masih saja suka ngeledek simbok, nakal! " mbok Minten tertawa kecil melihat tingkahku, kemudian berjalan ke ruang bagian belakang rumah.
Aku masuk ke kamar ,tempat biasanya aku tidur kalo menginap di rumah simbah. Iya, beberapa hari ini, aku ingin rehat sejenak dari kebisingan kota. Pulang ke rumah simbah, di sebuah desa di pinggiran kota budaya, The Spirit of Java, slogannya.
"Nduk, mau dimasakke apa? nanti Simbok belanjain di warung depan gang itu?"
Mbok Minten mengetuk pintu kamarku pelan, kemudian masuk membawa satu teko kecil teh hangat tidak lupa gelas pasangannya. Aku masih terduduk di ranjang, menatap mbok Minten.
"Diminum dulu ini wedangnya Nduk, mumpung masih hangat. Biar seger."
"Iya Mbok, maturnuwun. Masak apa aja aku mau kok Mbok, masakan Simbok kan gini."
Aku mengacungkan dua jempol tanganku sambil tersenyum. Mbok Minten membalasku dengan senyuman.
"Yowes, nanti simbok mau masak yang enak enak buat Genduk cah ayu pokoknya," mbok Minten berlalu, dan meninggalkanku sendirian lagi di kamar.
Kamar ini tidak pernah berubah sejak terakhir aku datang, bertahun-tahun yang lalu. Ranjang kuno yang nyaman, lemari kayu jati, dan meja rias yang juga terbuat dari ukiran kayu jati yang antik.
Aku mulai membongkar barang-barangku yang kubawa, dan berniat menata barang-barangku itu di tempat yang seharusnya.
Baju-baju sudah dimasukkan ke dalam lemari, tinggal merapihkan make up-ku yang masih teronggok di dalam tas kecil.
Tiba-tiba aku mencium aroma harum semerbak yang sepertinya aku kenali, tapi itu bukan bau parfum yang biasa aku pakai. Aku memandang sekelilingku dan berjalan mengitari ruangan.
Kamarku menjadi lebih sejuk, dan aroma harumnya semakin pekat. Aku malah mengendus-endus tubuhku sendiri memastikan bahwa itu bukan aroma yang biasa kupakai. Aku pun memeriksa tas make up-ku yang tergeletak di ranjang, barangkali ada yang pecah atau bocor. Sambil duduk, aku memilah milih.
Aku terlalu fokus mengaduk-aduk tasku. Sampai-sampai aku dikagetkan sesosok wanita berkebaya dan berkerudung putih yang duduk di sampingku, dia tersenyum. Aku mengedip, dan dia hilang entah kemana. Ah, barangkali halusinasiku, karena rasa lelahku!
Aku meneruskan kegiatan beres-beresku. Membuka jendela kamar agar udara dalam kamarku berganti.
Sebenarnya, kamar ini sudah bersih, tidak berdebu. Hanya saja, nuansa di kamar ini begitu klasik. Di dekat meja rias, ada sebuah vas yang berisi bunga asli, seperti baru saja di petik dari kebun.
Aku suka berlama-lama di jendela ini, memandang hamparan sawah, kebun, dan halaman rumah yang ditumbuhi dengan berbagai tanaman bunga dan buah. Banyak kenangan masa kecilku di sini yang berseliweran di kepalaku.
Seakan semua terjadi seperti baru kemarin saja.
Bersambung ....
******
Nduk \= panggilan sayang dari orang tua untuk anak perempuan, kependekan dari kata genduk.
Nggih \= Ya, bahasa Krama inggil, dipakai oleh orang yang lebih muda ke orang yang lebih tua.
Ora ilok \= tidak bagus, pamali.
Hari semakin sore, aku sudah selesai merapihkan barang-barangku, meminum beberapa teguk teh yang sudah tak lagi hangat, untuk sekedar menyapu tenggorokan ku yang mulai terasa kering. Kemudian, aku beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Aku menengok ke arah dapur, mbok Minten masih sibuk memasak. Lalu, aku duduk di dipan bambu yang meskipun sudah tua, tapi masih kokoh.
"Mau dibantu gak, Mbok? "
"Eh Nduk, ndak usah, hampir selesai kok, sana kamu mandi saja, sudah bau kecut tuh, " mbok minten menggodaku sambil memencet hidungnya sendiri.
"Ah Simbok nih, mana ada kecut, emangnya aku ni jeruk sambel?" aku berpura-pura merajuk. Simbok tertawa terkekeh-kekeh.
Mbok Minten adalah orang yang dipercaya simbah putri untuk mengurus rumah dan keperluan simbah putri semasa hidup. Mbok Minten selalu memanggil simbah putri "Ndoro Putri". Seingatku, dulu simbah putri pernah bercerita, bahwa mbok Minten itu sudah sebatang kara waktu simbah menjadikannya rewang.
Mbok Minten meskipun bukan orang kekinian, tapi orangnya cerdas, tanggap, sangat cekatan. Rajin, ulet, jujur, tidak pernah aneh-aneh atau neko-neko. Tipikal orang tua yang njawani banget. Tidak heran kalo simbah itu sangat percaya pada mbok Minten, sampai menganggapnya seperti adik sendiri, meskipun umur mereka berdua terpaut jauh.
Mungkin juga, karena simbah putri adalah putri tunggal keluarga Mangkuwijoyo. Dan dari generasi ke generasi, trah Mangkuwijoyo pasti hanya punya putri tunggal. Tak heran kalo simbah bersikap seperti itu pada mbok Minten yang juga tidak punya sanak saudara.
Dulu waktu aku kecil, mbok Minten memanggilku "Ndoro Ayu", tetapi aku tidak suka dengan panggilan itu. Aku sering menolak dan protes, "Namaku Dyah, Mbok! Bukan Ndoro Ayu! " sambil memanyunkan bibirku.
Tadinya, tetap saja mbok Minten memanggilku seperti itu, tapi setelah aku mengajukan protes kepada simbah putri, mbah putri menghela nafas, dan berkata, "Ya sudah, panggil Nduk saja mbok, daripada itu bocah manyun terus, nanti bibirnya jadi dower, ndak ada joko yang mau nglamar, kan aku juga yang repot! "
Mereka berdua tertawa, dan aku masih tidak paham dengan obrolan mereka.
"Nduk cah ayu, ngelamun lagi to! "
Kata-kata mbok Minten membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum, mbok Minten masih menatapku, sepertinya acara masak memasak sudah selesai.
"Mbok, aku mau mandi dulu, sudah reget semua rasanya badanku. "
"Oh iya iya, Nduk. Jangan lama-lama, nanti kedinginan. "
Aku beranjak pergi ke kamar mandi, yang letaknya jauh di bagian belakang bangunan. Bilik kecil yang menyatu dengan kakus, di dalamnya terdapat sebuah gentong besar berisi air, dengan gayung yang terbuat dari batok kelapa.
Dulu belum ada keran air, tapi setelah adanya kemajuan di desa, sudah terpasang keran yang bisa dialirkan airnya kapanpun. Kalau orang lain mungkin saja akan merasa tidak nyaman. Tapi aku sudah terbiasa waktu kecil, bahkan dulu simbah sering menjewer telingaku kalau aku ketahuan mandi di parit. Aku tersenyum mengingat hal itu.
Aku menuntaskan mandiku dan mengambil air wudhu, untuk menunaikan salat asar. Aku dan keluargaku bukan termasuk orang-orang relijius, tapi kami tidak pernah mau meninggalkan ibadah-ibadah wajib sesuai ajaran agama kami.
Bahkan simbah Kakung maupun Putri, selalu mengingatkan kami "ojo nganti ninggal sholat!" ( jangan sampai meninggalkan sholat! )
Setelah menyelesaikan semua rutinitasku, aku berjalan keluar ke halaman rumah untuk sekedar duduk-duduk di bangku yang terbuat dari kayu jati. Aku melihat mbok minten sedang menyapu daun-daun kering di halaman.
Anak-anak berlarian berkejaran di jalan depan rumah. Ada yang bermain tali, bermain kelereng, ada pula yang baru pulang dari surau sehabis mengaji.
Pemandangan seperti ini lah yang membuatku nyaman.
"Eh, Mbak Dyah! Kapan datang ke desa Karang Kembang ini ?"
Aku terhenyak, dan melihat seorang ibu-ibu paruh baya. Sepertinya ini bu Yanti, buruh tani yang seingatku dulu sering disewa simbah, menyapaku dari kejauhan.
"Eh, Bu Yanti, iya ... baru tadi," aku tersenyum basa basi.
"Main ke rumah Mbak, kalau longgar."
Aku mengangguk sopan dan tersenyum. Bu Yanti berlalu dari hadapanku, kemudian berhenti menyapa mbok Minten juga, entah apa yang mereka obrolkan, tapi kulihat mereka senyum-senyum memandangku.
Aku tertegun, melihat sesosok wanita berkebaya itu lagi.
Bersambung ....
*****
Rewang : asisten rumah tangga.
Njawani : tingkah lakunya seperti orang jawa.
Reget : kotor.
POV Mbok Minten.
Rumah yang ditinggalkan Ndoro Putri ini memang tidak lah terlalu besar. Tapi, setelah kepergian Ndoro Putri, menjadi semakin sunyi.
Meskipun, terkadang Ndoro Ayu Nimas beserta suaminya dan putrinya Ndoro Ayu Dyah, pulang untuk sekedar menjenguk rumah ini dan menjengukku.
Sebenarnya, bertahun-tahun juga aku sudah terbiasa dengan rasa sepi dan sunyi ini. Tapi, bukankah manusiawi kalau aku lelah dengan kesunyian ini?
Ini sudah janjiku pada Ndoro Putri, untuk menjaga dan melindungi semua tinggalannya. Baik harta bendanya, keturunannya atau semua yang berkaitan dengan Ndoro Putri. Termasuk "yang itu". Bahkan di akhir hayat, Ndoro Putri terus mengingatkanku dengan janji itu. Ah, ya sudahlah.
Ponsel yang dulu dibelikan Ndoro Ayu Nimas berdering, aku pun mengangkatnya.
"Assalamualaikum ... Mbok. "
Dari seberang sana, terdengar suara khas Ndoro Ayu Nimas
"Waalaikumsalam Ndoro, ada apa nggih?"
"Ndak ada apa apa Mbok, Mbok sehat kan? "
"Alhamdulillah sehat ndoro, Ndoro sekeluarga bagaimana?"
"Alhamdulillah juga Mbok. Oh iya Mbok, tadi Dyah sudah berangkat Mbok, katanya pengen pulang ke tempat simbahnya, nanti kalau sudah sampai, kabari ya Mbok?"
"Oh nggih Ndoro ..."
"Ya sudah mbok, aku tutup dulu, sehat trus ya Mbok. "
"Oh nggih, maturnuwun Ndoro."
"Assalamualaikum. "
"Walaikumsalam. "
Telpon sudah dimatikan. Tapi hatiku luar biasa bahagia, mendengar Ndoro Dyah mau pulang.
Dyah Pitaloka, masih segar di ingatanku nama itu. Dulu, Ndoro Putri lah yang memberikan nama Indah itu. Meskipun dalam cerita jaman dulu, seorang Putri dari kerajaan Sunda yang bernama sama, meninggal bunuh diri demi membela harga diri kerajaan dan ayahnya, tapi bukan maksud Ndoro Putri untuk menyamakan nasib cucunya dengan Sang Putri itu.
"Ndak mungkin to, aku berharap cucuku bernasib sama seperti Putri Kerajaan Sunda itu Min. Aku kagum sama kecantikan, keanggunan dan keberanian Putri Dyah Pitaloka. Yang sampai membuat Raja Hayam Wuruk tergila-gila padanya. Aku cuma berharap ... kecantikan, keanggunan dan keberanian Sang Putri nular ke cucuku. "
"Oh gitu to, Ndoro," kataku mengiyakan, meskipun tidak terlalu memahami.
Tapi anak itu memang cantik, mewarisi kecantikan Ndoro Putri dan Ndoro Ayu Nimas. Kecantikan khas bangsawan Jawa.
Terdengar suara motor berhenti di halaman rumah.
Wah, jangan-jangan itu Ndoro Ayu Dyah sudah datang. Aku keluar dari pintu belakang.
Benar saja, anak itu sudah sampai, dan turun dari motor Si Karmin, tukang ojek langganan keluarga Ndoro Putri.
"Maturnuwun ya Kang Karmin, ini ongkosnya. "
"Wah, kebanyakan ini, Mbak."
"Gak apa-apa Kang, buat tambahan jajan si kecil. "
"Maturnuwun, Mbak. "
Kudengar obrolannya dari jauh. Kemudian aku lihat gadis itu berdiri di teras, termenung cukup lama. Aku panggil pun, dia seperti tidak mendengarku. Ya sudah, aku tepuk saja pundaknya. Dan gadis itu pun terkaget-kaget, kemudian tersenyum.
Aku menawarkan bantuanku untuk membawakan tasnya, tapi dia menolak dengan sopan. Mungkin dia tidak mau membebaniku. Ya sudah, aku pun tak bisa memaksanya. Aku melihat dia masuk ke rumah dan masuk ke kamar yang biasa dia tempati. Baiklah, aku akan membuatkan dia teh hangat untuk sekedar menyegarkannya.
Aku menuju dapur, dan setelah selesai, aku mengantarkan teh hangat yang barusan kubuat. Tapi lagi lagi kudapati anak itu melamun lagi. Entah apa yang dipikirkannya.
Aku menawarinya masakan apa yang diinginkan. Dia menjawab, masakan apa saja dia mau. Karena percaya dengan kemampuan masak ku. Baiklah.
Aku sibuk di dapur, dan dikagetkan suaranya menawarkan bantuan. Tentu saja, aku juga tidak mau merepotkannya. Dia masih terhitung majikanku, meskipun cucu dari Ndoro Putri. Dia duduk di dipan bambu dan termenung lagi. Mungkin dia merindukan neneknya.
Aku menyuruhnya cepat mandi, dan aku pun cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan memasakku. Kemudian aku menuju halaman depan untuk menyapu daun-daun kering yang sudah terlihat semakin berserakan.
Gadis itu sudah terlihat segar dan duduk di bangku kayu di teras, entah sejak kapan. Aku juga melihatnya tersenyum mengamati anak-anak yang bermain. Bu Yanti lewat dan menyapanya dari kejauhan, mereka berbasa basi sebentar. Lalu, bu Yanti mendekatiku,
"Walah Mbok, mbak Dyah sudah dewasa gitu, makin ayu ya Mbok ... sayangnya, anakku sudah rabi semua je ... Eh, siapa tau, mbak Dyah mau jadi mantuku," bu Yanti tertawa kecil, aku menimpali dengan senyuman.
"Lha kan memang ibu dan simbahnya cantik, ya cucunya cantik juga lah Bu, masa gak cantik. lha sampean mau ngepek mantu, apa genduk cah ayu itu mau jadi wong ndeso sini?"
"Ealah .... iyo yho Mbok, lupa aku! "
Kami tertawa terkekeh-kekeh bersama. Sesaat kemudian aku melihat gadis itu terdiam, tatapannya ke arah lain, wajahnya pucat pasi, entah apa yang dilihatnya.
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!