"Jesslyn, sudah saatnya kau membayar hutang pada keluarga ini. Keluarga kita memiliki utang yang sangat besar pada keluarga Huo, dan kita tidak sanggup melunasinya. Sebagai gantinya, kau harus menjadi istri dari Tuan Muda keluarga itu!" ujar Nyonya Carlia, ibu angkatnya.
Sontak Jesslyn menoleh dan menatap wanita itu dengan pandangan bertanya. "Kenapa harus aku, Ma? Bukankah masih ada, Sarah? Kenapa aku yang harus menikah dengan Tuan Muda itu?" tanya Jesslyn meminta penjelasan. Dia ingin sebuah alasan yang masuk akal di balik keputusan tersebut.
Wajah Nyonya Carlia semakin dingin. "Karena kau berhutang budi pada keluarga ini. Jesslyn, jangan seperti kacang lupa kulitnya!" Nada suaranya tajam dan menusuk. "Untuk membesarkan mu, kami telah mengorbankan banyak hal. Uang, waktu, dan tenaga. Apa kau pikir semua itu datang tanpa harga?"
Jesslyn merasakan dadanya sesak. Tangan mungilnya terkepal kuat, menahan gemuruh emosi yang berusaha ia kendalikan. Ia menatap lurus ke arah ibu angkatnya, mencoba memahami maksud dari setiap kata yang baru saja diucapkannya.
"Tapi aku tidak pernah meminta dibesarkan di sini, Ma. Aku juga tidak meminta untuk menjadi tanggung jawab kalian," gumamnya, suaranya lirih, namun sarat dengan luka yang perlahan mencuat ke permukaan. "Kenapa kalian harus mengorbankan aku untuk melunasi utang itu? Apakah aku hanya alat bagi kalian?"
Nyonya Carlia mendengus. "Jangan egois, Jesslyn. Kalau bukan karena keluarga ini, kau mungkin sudah terlantar di jalanan. Sekarang saatnya kau membalas semua kebaikan yang telah kami berikan. Kau harus menikahi Tuan Muda keluarga Huo, suka tidak suka, kau tidak memiliki pilihan."
Jesslyn terdiam, matanya mulai memerah. Rasa marah, sedih, dan kecewa bercampur menjadi satu. Ia tahu, melawan hanya akan memperburuk keadaan. Hatinya berteriak, menuntut keadilan, namun dia benar-benar tidak berdaya untuk melakukannya. Jesslyn sadar diri.
Ia menarik napas dalam-dalam, berubah menenangkan dirinya sendiri. "Baiklah," katanya pelan, matanya mengunci mata hitam Nyonya Celia. "Kalau itu memang yang kalian inginkan, aku akan melakukannya. Tapi, jangan harap aku akan melupakan apa yang kalian lakukan padaku hari ini."
Nyonya Carlia menatap Jesslyn sekilas, lalu berbalik meninggalkannya tanpa sepatah kata lagi. Jesslyn bukanlah putri kandungnya. Dan sebagai putri angkat keluarga Su, sudah seharusnya ia tau diri dan saatnya untuk membalas budi.
.
.
Jesslyn masuk ke dalam kamarnya dan menangis sejadi-jadinya. Dia merasakan sesak di dadanya, sejak kecil sampai dewasa, dia tidak pernah merasakan yang namanya bahagia.
"Ma, Pa, sebenarnya kalian ada di mana? Kenapa kalian harus menelantarkanku serta membiarkanku hidup dalam kesengsaraan dan penderitaan yang tidak ada ujungnya?" gumam Jesslyn dengan suara parau.
Hatinya terasa sakit. Seperti kebanyakan gadis pada umumnya, dia juga menginginkan kebahagiaan, disayangi dan dicintai oleh kedua orang tuanya. Tapi sayangnya, semua itu tidak pernah dia dapatkan sepanjang hidupnya.
***
Sebuah mobil mewah berhenti di halaman luas sebuah bangunan mewah yang memiliki tiga lantai. Jesslyn keluar dari mobil itu dengan balutan pakaian pengantin, dia tidak sendirian, seorang wanita tua berjalan bersamanya.
"Nyonya, kenapa disini tampak sepi? Bukankah Anda bilang pernikahan akan dilangsungkan di sini?" gadis itu menoleh dan menatap wanita tua di sebelahnya dengan pandangan bertanya.
Wanita itu tersenyum tipis. "Sayang, pernikahan ini hanya dihadiri olehmu, Nenek dan tentu saja calon suamimu. Ayo masuk, kau akan segara bertemu dengannya."
Jesslyn merasa ada yang tidak beres. Dan dia semakin penasaran dengan pria yang akan menikah dengannya? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya, berkecamuk menjadi satu membuatnya merasa resah.
"Sayang, sebaiknya kau istirahat dulu di kamar yang telah disediakan sementara untukmu, calon suamimu masih bersiap-siap, kalian akan segara bertemu. Yemi, tolong antarkan Nona Jesslyn ke kamarnya." pinta Nyonya Maria pada salah seorang pelayan di kediaman Hou.
Yemi mengangguk. "Baik, Nyonya Besar. Nona, mari."
Jesslyn mengikuti pelayan itu menuju lantai dua. Dia berjalan sambil menyapukan pandangannya ke segala arah. Mansion ini begitu besar, tiga kali lipat lebih besar dari kediaman Su, memiliki tiga lantai dengan berbagai barang mewah dan mahal.
"Nona, ini kamar Anda. Sementara Anda bisa beristirahat disini," ucap pelayan itu dengan ramah. "Jika Anda butuh sesuatu, jangan ragu untuk memanggil saya. Kalau begitu saya permisi dulu." Yemi membungkuk dan meninggalkan Jesslyn sendirian.
Suasana di kamar itu menjadi hening. Hanya terdengar suara detak jarum jam yang tergantung di dinding. Jesslyn duduk di tepi ranjang dengan pandangan lurus ke depan.
"Kira-kira pria seperti apa yang akan menikah denganku? Kenapa pernikahan ini begitu penuh dengan misteri?" gumam Jesslyn lebih kepada dirinya sendiri.
Gadis itu beranjak dan berjalan menuju balkon. Angin musim semi yang sejuk menyentuh kulitnya, gaun pengantin yang dia kenakan menjuntai di lantai, ikut bergerak seiring kakinya melangkah. Dan untuk sesaat, dia ingin menenangkan pikirannya.
***
"Carlia, dimana Jesslyn?" tanya Teddy Su begitu tiba di rumahnya dan tidak melihat keberadaan putri bungsunya.
"Dia sudah pergi," jawab Sarah.
Tuan Su menyipitkan matanya. "Maksudmu apa, Sarah? Pergi, memangnya dia pergi ke mana?" tanya Tuan Su, pikirannya mulai tidak tenang.
"Ke kediaman, Hou. Nyonya besar keluarga Hou sudah menjemputnya, dan mulai sekarang hutang keluarga kita pada saat mereka sudah lunas," jawab Carlia.
kedua mata Teddy Su membulat sempurna mendengar apa yang istrinya katakan, "Apa kau bilang? Pergi ke kediaman Hou? Carlia!! Bukankah kita sudah membicarakan ini sebelumnya? Berkali-kali aku sudah menegaskan padamu, kita akan melunasi hutang-hutang keluarga ini pada keluarga mereka dengan cara lain, tapi kenapa kau tidak mengerti juga?!" bentak Teddy Su dengan emosi.
"Teddy, kenapa kau harus mempersulit hidupmu sendiri? Kita sudah mengorbankan banyak hal untuk membesarkannya. Uang, waktu dan tenaga, jadi sudah seharusnya dia membalas Budi pada keluarga ini. Sudah cukup, Teddy, Aku tidak mau berdebat lagi denganmu. Sarah, ayo pergi." Nyonya Carlia menarik lengan putrinya dan membawanya pergi hadapan suaminya.
Teddy Su menghela napas. Dia tidak tau bagaimana nasib Jesslyn saat ini. Sebagai seorang ayah, dia merasa tak berdaya karena tidak bisa melindungi putrinya sendiri.
***
Jesslyn berdiri mematung di aula megah kediaman keluarga Hou. Gemerlap lampu kristal di atasnya tidak mampu menghalau rasa gelisah yang menyelimuti dadanya. Sejak pagi, suasana rumah itu begitu hening, menyimpan sesuatu yang tak terucap. Suara langkah Yemi memecah keheningan.
"Nona, Nyonya Besar memanggil Anda," kata Yemi sopan, sambil membungkuk.
"Di mana beliau?" tanya Jesslyn setenang mungkin, dia berusaha mengusir getaran suaranya agar tidak terdengar gugup.
"Nyonya Besar menunggu Anda di kamar, Tuan Muda. Mari, saya akan mengantar Anda ke sana."
Jesslyn mengangguk. Langkah kakinya terasa berat ketika berjalan menuju kamar calon suaminya. Perasaannya semakin tidak karuan, entah kebenaran seperti apa yang akan dia temui di sana. Pintu kayu besar itu terbuka sedikit. Di dalam, Nyonya Maria duduk di samping ranjang sambil menggenggam tangan seseorang. Pria itu terbaring diam, memakai setelan jas hitam yang membuatnya terlihat sangat menawan.
"Nyonya, ini siapa?" tanya Jesslyn, suaranya bergetar.
Nyonya Maria menghela napas panjang, suaranya lirih dan berat. "Sayang, ini adalah Neo, pria yang akan menikah denganmu." jawabnya lembut.
Jesslyn terpaku, matanya membulat sempurna, dia tampak terkejut. "Dia... koma?"
***
Bersambung.
Visual Jesslyn dan Neo
Jesslyn melangkah mundur secara refleks, tubuhnya gemetar. Pemandangan di depannya terlalu sulit untuk diproses. Pria yang disebut-sebut sebagai calon suaminya, ternyata terbaring tak bergerak di atas ranjang besar dengan seprai putih bersih. Tidak ada alat medis yang terlihat, hanya tubuhnya yang tampak begitu tenang, seolah sedang tidur.
"Apa maksudnya ini?" bisik Jesslyn, lebih kepada dirinya sendiri. "Dia, koma?"
Nyonya Maria mengangguk. "Neo, mengalami kecelakaan beberapa bulan lalu. Tubuhnya sehat, tetapi jiwanya belum kembali sehingga hanya bisa terbaring seperti ini."
Jesslyn merasakan dunia di sekelilingnya berputar. Berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya, tetapi satu hal yang mendominasi pikirannya, kenapa dia baru diberitahu sekarang? "Nyonya, kenapa Anda baru memberitahu saya sekarang jika pria yang akan saya nikahi ternyata koma? Di saat semuanya hampir terjadi?"
"Maafkan Nenek, Sayang. Jika kau tau sejak awal, pasti kau akan keberatan dan menolaknya. Keluarga kami membutuhkanmu, Jesslyn," ujar Nyonya Maria penuh sesal. "Dan Nenek sangat yakin jika hanya kau yang mungkin bisa membangunkannya."
Jesslyn menatap wajah pria itu. "Tapi, bagaimana aku bisa menikahi seseorang yang bahkan tidak sadar aku ada?"
Nyonya Maria menggenggam tangan Jesslyn dengan lembut. "Nenek, tau betul apa yang kau rasakan, Nak. Tapi kau sudah tidak memiliki pilihan untuk mundur. Mungkin ini terdengar sangat kejam, tapi kau harus bisa menerima takdirmu sendiri."
Jesslyn menunduk, menatap tangannya yang digenggam oleh Nyonya Maria. "Nenek, paham ini bukan hal yang mudah," ucap Nyonya Maria dengan lirih. "Tapi hidup sering kali membawa kita ke jalan yang tak kita pilih. Kau di sini sekarang, dan dia membutuhkanmu."
Jesslyn mengangkat wajahnya, menatap pria di atas ranjang yang tak bergerak itu. "Anda sangat lucu, Nyonya. Bagaimana mungkin dia membutuhkanku? Bahkan dia tidak sadar aku ada. Dia, tidak mengenalku."
Nyonya Maria menarik napas panjang dan menghela perlahan, senyumnya pahit tersungging dibibirnya. "Nak, yang kau katakan mungkin benar. Tapi itu tidak berarti dia tidak akan mengenalmu. Nenek percaya, ada sesuatu yang hanya bisa kau lakukan, Jesslyn. Sesuatu yang bahkan kami, keluarganya, tidak bisa melakukannya."
Jesslyn menggigit bibirnya, dia berusaha menahan emosi yang berkecamuk di dada dan benaknya. Dia tahu apa yang dikatakan Nyonya Maria adalah kebenaran, tetapi itu tidak mengurangi rasa berat di dadanya.
"Baik," Jesslyn berkata pelan, ada keraguan dimatanya yang turut menyertai. "Jika ini memang jalannya, aku akan mencoba."
"Terima kasih, Nak." Nyonya Maria menepuk tangan Jesslyn dengan lembut sebelum berdiri, meninggalkan Jesslyn sendirian di kamar itu.
***
Sarah dan Nyonya Carlia sedang berada di pusat perbelanjaan. Mereka sedang menikmati kemenangannya. Setelah usaha yang panjang, akhirnya mereka bisa menyingkirkan Jesslyn dari kehidupannya untuk selamanya.
"Ma, kenapa kita tidak melakukannya dari dulu saja? Kau tahu? Rumah tanpa benalu itu, rasanya sangat nyaman." ujar Sarah sambil memilih pakaian disalah satu boutique ternama di kota Beijing.
Nyonya Carlia menghela napas. "Salahkan saja papamu yang terlalu menyayanginya. Jelas-jelas dia hanya anak pungut, tapi memperlakukannya dengan sangat istimewa, dan hal itulah yang membuat Mama menjadi sangat muak padanya."
Sarah mengangguk. "Benar sekali apa yang Mama katakan, Aku paling benci jika harus berbagi barang dan kasih sayang Papa dengannya, semua yang seharusnya hanya tercurah padaku malah dibagi dua dengannya, dan itu sangat-sangat menyebalkan!!" amarah terlihat di mata Sarah.
Carlia menepuk bahu putrinya. "Mama, tahu betul apa yang kau rasakan, tetapi semua sudah berlalu dan kita bisa menikmati kebebasan sekarang."
"Ma, ngomong-ngomong bagaimana nasibnya sekarang? Harus menikahi seorang pria koma yang bahkan dokter sendiri tidak tahu kapan dia akan bangun,"
"Kenapa harus mencemaskannya? Jangan pernah gunakan hatimu untuk orang sepertinya, Sarah. Benalu sialan itu benar-benar layak mendapatkan balasan yang setimpal atas apa yang ia lakukan pada keluarga kita, mungkin saja dia sedang disiksa oleh Nyonya Besar Hou, bukankah kau tahu sendiri bagaimana tempramen wanita tua itu?" ujar Nyonya Carlia sambil menyesap minumannya.
Sarah mengangguk. "Betul juga, sebaiknya kita nikmati saja kemenangan ini dengan bersenang-senang,"
***
Nasi telah menjadi bubur, dan pernikahan telah terlaksana. Kini Jesslyn telah resmi menjadi istri dari seorang pria koma.
Kamar itu sunyi. Hanya suara napas halus milik pria yang kini menjadi suaminya. Jesslyn duduk di tepi ranjang, menatap wajah yang tampak begitu damai, seolah-olah hanya sedang terlelap. Tapi dia tahu kebenarannya—ini bukan tidur.
"Butuh waktu untuk menerima semua ini," ucapnya, suaranya hampir berbisik, "Aku tidak tahu harus merasa apa. Marah? Sedih? Bingung? Karena semua perasaan itu bercampur jadi satu."
Dia terdiam sejenak, matanya terpaku pada jemari pria itu. Jemari yang diam, tak bergerak. "Nenekmu mengatakan padaku semua akan baik-baik saja. Tapi aku tidak yakin kalau itu benar. Kau tau? Bahkan aku tidak tahu bagaimana menjalani hari-hari ke depan. Menjadi istri seseorang yang tidak bisa menyadari keberadaanku adalah hal yang sulit."
Tangannya ragu-ragu menyentuh tangan pria itu. "Aku tidak tahu apakah kau bisa mendengarku. Tapi jika kau bisa, aku hanya ingin kau tahu satu hal. Aku akan mencoba menjadi istri yang baik untukmu."
Jesslyn menarik napas dalam, menahan air mata yang mulai menggenang. "Tapi kau harus melakukan bagianmu juga. Aku tidak bisa melakukan ini sendirian. Jadi… bangunlah."
***
Bersambung
Malam semakin larut, namun gadis itu masih terjaga. Jesslyn berdiri di depan jendela kamar yang terbuka lebar, menatap hamparan bintang yang menghiasi langit malam.
Dia tertawa kecil, tapi tawanya terdengar getir. Gadis itu menghela napas. "Lucu sekali," katanya, Jesslyn berbicara pada kehampaan yang kosong. "Baru kali ini ada orang menikah, tapi yang dinikahi orang koma."
Kepalanya sedikit menunduk, jari-jari lentiknya menggenggam tirai di samping jendela. "Bahkan aku tidak tahu siapa dia sebenarnya," lanjutnya, suaranya nyaris berbisik. "Semua ini terasa seperti lelucon."
Dia memalingkan wajahnya dari jendela, menatap ke arah pria yang terbaring tak bergerak di ranjang besarnya. Wajah itu begitu tenang, terlalu damai untuk seseorang yang meninggalkan begitu banyak beban di pundaknya.
"Apa kau tahu betapa sulitnya ini untukku?" Jesslyn memandangnya dari tempatnya berdiri, ia berbicara meski dia tahu tidak akan ada jawaban. "Aku bukan pahlawan dari cerita yang berakhir bahagia. Aku hanya seseorang yang terjebak dalam skenario yang tidak pernah kuinginkan."
Jesslyn menghela napas panjang, lalu melangkah mendekati ranjang. Dia berhenti di sisi pria itu, menatapnya dengan tatapan kosong. "Tapi di luar semua ini, aku hanya ingin tahu apa kau akan bangun?"
Derap langkah kaki yang berjalan mendekat mengalihkan perhatiannya. Jesslyn menoleh dan mendapati seorang wanita setengah baya berjalan memasuki ruangan. Dia tidak tau siapa wanita itu.
"Kau pasti, Jesslyn, wanita yang menikahi putraku? Aku Veronica, ibu mertuamu." wanita itu, Veronica, memperkenalkan dirinya pada Jesslyn.
Gadis itu membungkuk sopan. "Selamat malam, Nyonya, senang bertemu dengan Anda." katanya dengan nada canggung.
Nyonya Veronica menghela napas panjang, pandangannya bergulir pada sang putra. "Aku harap dia segera bangun, rumah ini benar-benar hampa tanpa dirinya. Putraku yang malang, kecelakaan itu yang membuatnya seperti ini."
Jesslyn hanya diam, bahkan dia tidak tahu harus berkata apa untuk menanggapi ucapan Ibu mertuanya.
"Jesslyn, aku harap kau bisa menjaga dan merawat putraku dengan baik. Meskipun dokter sudah mengatakan tidak ada harapan, tetapi aku percaya miracle itu ada. Dokter hanya manusia biasa, dan bukan Tuhan. Sebagai seorang Ibu, aku yakin suatu saat putraku akan bangun kembali," tuturnya.
"Saya yakin doa Anda akan di dengarkan oleh, Tuhan. Suatu saat, dia pasti akan bangun." Setelah cukup lama diam, akhirnya Jesslyn bersuara.
Nyonya Veronica tersenyum simpul. Dari Neo, dia menggulirkan pandangannya pada menantunya. Wanita itu meraih tangan Jesslyn dan menggenggamnya. "Kau benar, karena doa seorang Ibu bisa menembus langit. Istirahat, kau pasti lelah. Mulai malam ini dan seterusnya, kamar ini akan menjadi kamarmu."
Jesslyn tersenyum. "Terima kasih, Nyonya."
"Mama, panggil aku Mama, Jesslyn. Sekarang kita adalah keluarga, ingat itu baik-baik," ucapnya sebelum melangkah pergi meninggalkan Jesslyn dalam kehampaan.
Selepas Nyonya Veronica pergi, ruangan itu menjadi hampa kembali. Hanya ada Jesslyn dan Neo. Gadis itu menghela napas untuk kesekian kalinya. Dengan ragu dia berbaring di samping Neo, suami komanya.
***
Pagi hari telah tiba. Mentari pagi mengintip masuk melalui tirai kamar, menghangatkan dan menerangi suasana kamar yang sunyi. Jesslyn berdiri di samping ranjang sambil membawa baskom kecil berisi air dan waslap di tangannya.
Dia menarik napas dalam, Jesslyn mencoba mengumpulkan keberanian. "Baiklah, ini adalah tugas baruku sekarang," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Dengan ragu, Jesslyn membuka pakaian yang melekat di tubuhnya dan mulai membersihkan tubuh Neo, mengikuti arahan yang diberikan pelayan sebelumnya. Saat menyentuh dada bidang pria itu, tangannya berhenti sejenak.
"Wow," bisiknya pelan, matanya membulat sempurna. "Kau memiliki tubuh yang bagus. Ototmu ini, apa sebelumnya kau seorang atlit? Tapi aku rasa itu tidak mungkin, keluargamu sangat kaya raya, mungkin saja kau seorang CEO." Jarinya tanpa sadar bergerak menyusuri garis otot di dada Neo yang kokoh. "Sayang sekali kau koma."
Dia tertawa kecil, Jesslyn merasa sedikit aneh berbicara dengan seseorang yang tidak merespons. "Dan kalau dilihat-lihat, wajahmu juga tampan. Andaikan saja kau hidup dan normal, pasti aku sudah memamerkanmu pada mereka yang selalu meremehkanku. Aku bisa bilang, 'Hei, ini suamiku! Lihat betapa beruntungnya aku!' Tapi sayangnya, kau seperti patung."
Jesslyn mendesah berat, lalu menatap lengan Neo. "Tapi, apa benar kau benar-benar koma? Atau jangan-jangan kau hanya pura-pura?"
Dengan cepat, dia mencubit lengan Neo. Tidak ada reaksi. Dia mendekatkan wajahnya, menggigit lengan itu dengan lembut. "Hmm, keras seperti batu. Kau benar-benar tidak bisa merasakan apa-apa, ya?"
Jesslyn menghela napas, mengusap lengan Neo yang baru saja dia gigit. "Maaf, aku hanya penasaran. Kalau saja kau bisa bicara, aku yakin kau akan menertawakanku sekarang."
Gadis itu bangkit dari posisinya lalu berjalan menuju lemari besar yang ada disisi kiri tempat tidur. Jesslyn membuka dua pintu besar dan tinggi di depannya, deretan pakaian mewah dan mahal berjajar di depan matanya. Dia tampak menimbang pakaian mana yang akan dia kenakan pada sang suami.
Setelah beberapa saat menimbang dan memilih, dia menarik sehelai kemeja hitam lengan terbuka dan memadukannya dengan celana panjang hitam. "Meskipun koma, tetap harus fashionable," gumamnya sambil tersenyum kecil. "Sepertinya kemeja ini tidak terlalu buruk."
Dia mengambil singlet, celana, dan dia berhenti sejenak—sehelai cel4n4 d4lam. Matanya terpaku pada kain kecil itu. "Baiklah, ini bagian yang pasti akan membuatku gugup," katanya pelan.
Jesslyn melangkah mendekati Neo, lalu meletakkan pakaian dengan rapi di atas meja kecil di samping ranjang. Saat tiba waktunya untuk mengganti cel4n4 d4l4m Neo, dia menggigit bibir bawahnya, menatap pria itu dengan alis berkerut.
"Oke, aku bisa melakukannya. Ini adalah tugas seorang istri, lagipula dia juga tidak akan tau apa yang sedang kulakukan," katanya, Jesslyn berusaha menyemangati dirinya sendiri. Tapi saat tangannya mulai bergerak membuka p4ka!an bagian bawah Neo, wajahnya langsung memerah.
"Tidak, tidak, aku tidak siap melihat itu!" Jesslyn menutup matanya rapat-rapat dengan satu tangan sementara tangan lainnya mencoba memasangkan cd dengan canggung.
"Astaga, kenapa ini terasa seperti ujian moral?" gumamnya dengan nada kesal. Tangan gemetar, dia meraba-raba, memastikan semuanya terpasang dengan benar tanpa harus membuka matanya. "Kalau saja kau sadar, aku pasti sudah memarahimu karena membuatku melakukan ini!"
Setelah merasa tugasnya selesai, Jesslyn membuka matanya perlahan, wajahnya masih merona. Dia menatap Neo yang tetap diam seperti sebelumnya. "Oke, satu masalah selesai. Dan sekarang ke tugas selanjutnya. Meskipun koma, tapi harus tetap menawan. Dan sekarang kau sudah berada di tangan yang tepat, jadi saat bangun suatu saat nanti. Kau harus balas budi padaku, oke,"
***
Bersambung
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!