Pagi tadi Yura dan Amanda tidak banyak berinteraksi dengan teman-teman yang lain karena waktu yang sempit. Sekolah ini punya segudang peraturan yang tidak boleh dilanggar dan punya konsekuensi tergantung pelanggaran yang dilakukan. Apalagi mereka berdua bingung, ketika makan siang disediakan sudah ada di meja kelas masing-masing dan disuruh diletakkan saja di meja karena ada petugas sendiri yang mengambil. Habis makan siang mereka pulang. Hm, waktu yang sangat cepat. Apa mungkin karena malamnya MOS, jadi mereka dipulangkan untuk istirahat? Tidak ada yang tahu. Tapi menurut Yura, memang benar untuk istirahat, tapi karena MOS disini malam-malam dan mungkin... agak keras dari yang biasanya.
Para siswa dan siswi kelas sepuluh dikumpulkan di lapangan dalam bentuk barisan dengan satu peluit dari ketua OSIS bernama Gavin Aldrich. Wajahnya tegas, matanya tajam, langkahnya tegap, intinya idaman kaum hawa. Beruntungnya lagi, dia masih lajang.
Yura dan Amanda satu barisan. Amanda ada di belakang Yura. "Gue harap lo gak nyebutin nama dia disini, Ra."
Yura mengangguk, "Siap."
"Gue harap juga lo gak nyebutin hantu-hantu disini."
Yura terkekeh, "Tenang aja. Mereka melindungi kita."
Amanda menoleh sedikit, "Apa?!"
"Mereka mengitari kita supaya yang jahat gak dekat-dekat." Yura mampu melihat mereka membentuk rantai yang mengitari barisannya dengan saling pegangan tangan. Walaupun bentuk mereka ada yang tidak utuh dan bersimbah darah seperti awal kematiannya.
"Baguslah. Setidaknya gue gak lihat mereka."
Yura hendak memegang pundak Amanda namun Amanda langsung menghindar. "Bedebah! Jangan pegang, gue pukul nih!"
Yura tersenyum meledek. Ahh, rupanya dia takut sekali melihat makhluk tak kasat mata. Buktinya, dia tidak mau disentuh. Dulu pernah tidak sengaja, Amanda malah pingsan dan tidak mau keluar rumah 3 hari.
Untuk peserta, bisa menentukan kelompoknya. Satu kelompok terdiri dari dua orang untuk mengikuti kegiatan "Find my number". Nomor yang tadi kalian buat di kelas, sudah kami sebar di sudut sekolah. Silahkan dicari berpasangan dengan pengurus OSIS yang ada.
Semuanya tidak bersorak melainkan tegang. Mereka kira berpasangan dengan teman, tapi ternyata dengan pengurus OSIS. Ini akan lebih buruk dari apa yang Yura pikirkan. Bagaimana kalau tidak sengaja melakukan kesalahan dan dihukum di tempat? Ah, sial.
Yura dan Amanda berinisiatif berpencar untuk mengajak salah satu pengurus untuk bersama-sama mencari nomor konyol itu.
Dalam hati Amanda mengumpat, AWAS AJA LO, PENGURUS SIALAN! KUALAT MOS MALAM-MALAM!
Yura menghentikan langkahnya saat melihat Darren berjalan di koridor menuju kelasnya. Tapi saat Darren hendak masuk, seolah merasa ada Yura, dia langsung balik badan.
"Hai." Yura melambaikan tangan pelan.
Darren terlihat tersenyum, "Hati-hati ya."
Yura mengangguk. Wuih, Darren itu 10X lebih tampan dari pengurus OSIS disini. Bahkan Gavin saja kalah. Tidak ada salahnya kagum dengan ketampanan hantu kan?
"Yang lain udah nyari nomor, kamu kapan?"
Yura sontak berbalik dan mundur selangkah saat Kakak kelasnya bicara. Waduh! Mana si Gavin yang ada di depannya.
"Kamu lagi ngobrol sama siapa tadi?" Gavin menyorot senter ke arah kelas Yura.
"Saya? Saya gak ngobrol," alibinya.
Gavin mengangguk dan memberinya satu senter. "Ayo cari nomor kamu."
"Kak Gavin sama saya?"
Gavin tidak menjawab dan hanya melengang pergi, "Udah tau nanya."
Yura menyoroti senter ke tanah, jaga-jaga nomornya disebar di lapangan seluas ini. "Kak, ada yang harus saya kasih tau disini. Mumpung belum kejadian."
Gavin berbalik, "Apanya?"
"Dalam keadaan apapun, Kak Gavin jangan pegang saya. Kalau nggak, akibatnya bisa fatal."
"Kenapa?"
"Karena saya punya sixth-sense. Kalau Kak Gavin pegang saya, nanti bisa liat juga."
Gavin terkekeh, "Konyol."
"Ya terserah mau percaya atau nggak."
Yura berdiri di pintu kelasnya. Dia sedikit melongok ke dalam karena tadi lihat Darren masuk kelas. Kok tidak ada? batinnya.
"Ayo, masuk." Gavin menunggu di luar sedangkan Yura masuk untuk mencari nomornya. Bahkan dia rela jongkok untuk mencari siapa tahu ada di bawah meja. Sesekali dia terkejut karena ada hantu yang muncul tiba-tiba di depan wajahnya.
Tidak ada.
Akhirnya Yura keluar dan mengeluh, "Belum dapat."
"Cari lagi di tempat lain."
Yura mengangguk sembari mencari nomornya. Barangkali diselipkan di ventilasi kelas, ah tapi mana mungkin.
"Eh jangan kesana, gak boleh!" Tiba-tiba ada yang menahan tangan Yura untuk menyebrang dari gedung A ke gedung B. Ternyata teman Gavin. Yura tidak bisa bergerak karena takut apa yang akan terjadi karena dia sudah memegangnya.
Yura balik badan dan melihat sekumpulan hantu hendak menyerang Kakak kelasnya yang wajahnya sudah pias. Bola matanya seperti panik, ditambah lagi melihat mereka yang berbentuk aneh.
"Dia kenapa woi?!" Gavin meneriaki Yura yang menggigit kukunya karena bingung harus berbuat apa. "lah? Pingsan segala."
Gavin menghampiri kawannya yang pingsan, "INI BANTUIN DONG!" Yura mengangguk dan membantu memapah kawan Gavin ke UKS.
Gavin menatap Yura dengan intens, "Jelasin kenapa dia pingsan?"
"Ya karena pegang saya. Kan saya udah bilang, jangan pegang saya. Atau nanti lihat mereka."
Sekarang Gavin percaya. Gadis didepannya tidak berbohong apalagi bercanda. Feri pingsan karena tidak sengaja mencekal tangan Yura.
"Masih gak percaya?" Yura mengulurkan tangannya.
Gavin menggeleng pelan, "Kamu mau bikin saya begitu juga?"
"Ya gak sih. Tapi siapa tau mau pembuktian."
Feri membuka matanya dan terduduk dengan nafas tersengal.
"Tenang dulu. Tenang.." Gavin mencoba menenangkan Feri.
Feri mengatur nafasnya dan mengusir ketakutan sebelum dia tidak sadarkan diri. "Gue tadi liat setan, Vin! Mukanya serem banget! Anj*r, setengah mukanya gak ada kulit! Rambutnya panjang sampe mata kaki!"
"Ohh, itu Sumanti," jawab Yura dengan enteng.
Feri menatap Yura, "Gara-gara dia nih gue liat yang begituan! Eh lo anak siapa, hah?! Anak dukun ya lo!"'
"Eh sembarangan. Aku anak Ibu sama Ayah. Mereka kerja kantoran," jawab Yura tidak terima. "aku pegang nih biar gak berisik."
Feri langsung loncat dari kasur, "OGAH." Dia berlari sambil menenteng sepatunya.
Yura melongo, "Penakut."
"Iya emang dia penakut," ujar Gavin. "Ayo cari lagi nomornya. Kalau gak ketemu, hukumannya berat."
Yura mengangguk, "Iya."
Setelah hampir 1 jam bolak-balik dari satu kelas ke kelas lain, bahkan dari toilet perempuan, ternyata nomor Yura ada di depan pintu ruang guru. Menyebalkan.
Waktu kalian sudah habis! Silahkan kembali ke lapangan dalam waktu 5 menit! Waktu dimulai dari SEKARANG!
Yura menoleh tepat dimana Gavin berlari ke lapangan. Mungkin dia harus kumpul dengan pengurus OSIS lainnya, secara dia kan ketua OSIS. Nah yang tadi bicara adalah Wakilnya.
Yura menoleh ke samping kanan dan terkejut melihat wajah Darren yang menatapnya.
"Halo." Dia tersenyum manis, kalau bukan hantu pasti lebih manis.
"Halo apanya? Kamu yang menggerakkan hantu-hantu, termasuk Sumanti buat nakut-nakutin Kak Feri?" tanyanya selidik. Hmm, dia curiga kalau sosok Darren ini jenis hantu jahil.
"Kok tau duluan?" tanya Darren terdengar konyol.
"Iya tau lah. Aku liat kamu nyuruh mereka tadi. Ayo ngaku!"
"Bukan!"
"Ngaku!"
"Iya!"
"Jahil! Aku mau baris dulu. Awas ya kamu kalau buat ulah."
Darren hanya menyeringai.
**
Yura yang terusik saat tidur langsung duduk di lantai yang beralaskan karpet warna hijau. Satu kelas diisi sekitar 20 orang, jadi satu kelas dibagi setengahnya supaya bisa tidur tidak berdesakan.
Yura mengucek matanya dan berdiri dengan keseimbangan seadanya untuk melihat jam dinding.
Pukul 02.00
Itu artinya sudah 2 jam dia glusar-glusur di dalam. Kalau Amanda memang kebo, susah dibangunkan. Semenjak kelebihan ini diberikan, Yura memang tidak bisa tidur nyenyak karena percuma. Banyak suara-suara yang meminta tolong dari alam sana dan banyak hantu dengan tubuh tidak lengkap mendekatinya, atau bahkan tidak malu memeluknya saat tidur. Yang bisa Yura lakukan adalah, pura-pura tidak lihat atau baca doa. Biasanya mereka akan menghindar perlahan, itupun sudah bagus.
Saat melewati kelasnya, Yura melihat ada Feri dan Gavin duduk berhadapan tanpa meja di sudut kelas.
"Vin, gue rasa cewek yang sama lo tadi, punya kemampuan liat begituan," ujar Feri masih dilingkupi ketakutan.
"Gue rasa begitu. Kenapa? Lo takut?"
"Takut lah, anji*. Mukanya banyak darah, ngesot-ngesot, megang kaki gue."
Gavin terkekeh, "Pantes lo pingsan."
Wajah Feri agak mendekat, "Kalo dia bisa liat begituan. Otomatis bisa liat itu dong."
Gavin menatap Feri, "Gue gak tau titik terangnya."
Tidak jelas. Mereka malah meng-ghibahi Yura yang punya sixth-sense. Yura malas kalau kemampuannya dibahas, dia saja tidak suka. Akhirnya daripada nguping disana, dia kembali berkeliling untuk kenalan dengan hantu-hantu yang rupanya tampan macam Darren. Ada gak ya...?
Kalau disini ada sosok bernama Darren, tolong beri kami tanda.
Telinga Yura tidak salah dengar kan? Dia mengintip dari jendela kelas sepuluh. Disana ada teman sekelasnya sekitar 3 orang sedang duduk sila membentuk lingkaran dan ditengahnya ada satu lilin sebagai pencahayaan minim.
Yura melongok dan menunggu selanjutnya. Itu cuma mitos, kenapa juga mereka percaya dan melakukan pemanggilan sosok Darren di kelas lain? Sedangkan Darren ini kan penghuni kelasnya.
Ritual konyol.
BRAK!
Yura yang hendak berbalik, jadi mengurungkan niat dan melihat pintu tertutup dan hordeng jendela tertutup sendiri. Perasaannya makin tak enak ketika mereka yang di dalam menjerit semakin lirih.
Yura hendak menyelamatkan mereka, tapi tidak akan bisa. Akhirnya ia berlari ke kelas untuk meminta bantuan Gavin yang cukup berani menghadapi kasus seperti ini.
"Kak! Please, tolong!" Yura hendak menarik tangan Feri namun kakak kelasnya justru pindah posisi. "maaf, Kak. Ini darurat!"
BRAK!
"Suara apaan tuh?"
"Mereka manggil Darren!" teriak Yura menggema.
"Gak usah disebut lagi, beg* !" hardik Feri makin ngeri.
Gavin berlari keluar kelas diikuti Feri dan Yura. Saat Gavin hendak membuka pintu, tidak bisa seperti terkunci dari dalam. Feri menyarankan agar pintu didobrak saja. Yura setuju dan dengan sekali tendangan, pintu langsung ambruk ke dalam.
Yura masuk lebih dulu dan melihat ketiganya tertahan di sisi tembok yang berbeda. Mulut mereka mengeluarkan busa, tangan mereka seperti ditahan di samping kepala, mereka kejang-kejang.
Tapi yang Yura lihat Darren hanya mendongak menyaksikan mereka yang tersiksa.
"DARREN, STOP!"
Darren menoleh menunjukkan kilatan merah pada matanya. Seragam yang dia pakai tidak bersih sebelumnya, kini lusuh dan ada bercak darah.
"DARREN, KASIHAN MEREKA!"
Kilatan merah itu meredup. Bertepatan dengan menghilangnya Darren, ketiganya jatuh ke lantai namun masih kejang.
Feri menelepon ambulan, sedangkan Gavin tidak mempercayai ini semua. Lebih tepatnya dia tidak menyangka. Dia melihat mereka menempel di dinding dan dia juga melihat saat Yura menyuruh sosok Darren untuk berhenti melukai mereka, mereka jatuh ke lantai. Ini sering terjadi namun baru sekarang Gavin melihat langsung.
Yura menghampiri salah satu dari mereka, "Bertahan. Kamu pasti selamat."
Setelah diangkut ambulan, peserta MOS dipulangkan pukul 03.00 pagi dikarenakan tidak kondusif. Mereka ketakutan. Bahkan Yura masih tidak menyangka akibat mereka nekat memanggil sosok Darren akan begini.
Setelah masuk ke dalam mobil bersama Amanda, Yura tertidur saking ngantuknya.
"Kenapa bisa gitu sih?"
"Aku gak tau, Kak."
"Lo pasti liat Darren kan?"
"Iya, tapi dia cuma diam aja. Dia marah karena dipanggil."
"Lo bilang dong sama dia. Jangan lukain orang lagi, masa tiap bulan ada aja korbannya."
"Ya siapa suruh manggil Darren?"
"Mana gue tau."
"Don't call him. Mungkin nanti akan lebih parah dari ini, Kak."
Dia tidak mengancam Feri. Tidak tahukah pria itu kalau ia juga tidak tahu? Ia kan hanya bisa melihat, bukan menceramahi hantu.
Sesampainya di rumah, Yura menaruh tasnya di tempat. Dia sering menginap di rumah Amanda karena merasa tidak aman di rumah sendiri. Entah kapan rumahnya dibangun, sangat angker sekali. Tiap hari senin, dia selalu mendapat insiden seperti terpeleset di tangga, kejatuhan alat dapur, rak buku jatuh sendiri, ada yang menggedor pintu, dan lain-lain. Sampai pada akhirnya dia muak dan memutuskan numpang di rumah Amanda atas persetujuan orangtuanya yang 'sok' sibuk dengan syarat bayar listrik dan PAM.
Amanda duduk disamping Yura yang melamun. "Masih mikirin soal tadi ya?"
"Hem." Yura merebahkan punggungnya. "aku harus tanya Darren kayaknya. Kok bisa cuma karena dipanggil, dia semarah itu?"
"Itu namanya kualat, kata orang jawa," jeda Amanda. "siapa suruh manggil setan."
"Aneh aja."
"Lo kalo mau tanya, jangan ajak gue."
"Iya kamu gak usah ikut."
Kenapa Darren se-murka itu ketika dipanggil?
Apa karena mereka memanggil Darren dengan cara yang tidak baik dan niat buruk?
Baru saja Yura memejamkan mata, dia mencium bau sesuatu yang berhubungan dengan arwah. Hidungnya menelisik bau apakah ini.
"Manda, kamu gak kentut kan?" tanya Yura nyeleneh. Dia mengintip sedikit dan melihat asap berwarna biru membentuk tubuh seseorang. Matanya terbuka sempurna, "itu siapa?"
"Amanda!!" teriaknya keras. Kemana sahabatnya itu? Disaat seperti ini malah tidak ada.
Asap biru kemudian menjadi sosok Darren yang seperti awal mereka bertemu. "Kita ketemu lagi."
Yura kira siapa. "Kamu ngapain disini?"
"Cuma mau liat-liat."
"Gak boleh masuk kamar perempuan, sana keluar!" usirnya galak.
"Oke.. tapi nanti kesini lagi ya."
"Gak boleh. Nanti jam tujuh aja ketemu di Taman belakang, aku mau tanya sesuatu."
"Aku main dulu ya."
"Main terus!" Sosok Darren hilang dalam sekejap berpapasan dengan datangnya Amanda.
"Main kemana?" tanya Amanda heran. Ini masih subuh dan dia hendak main? Sudah gila.
"Main....." Yura berpikir. "ke Taman."
"Ohhh, sekalian lo nyiram tanaman ya."
"Iya, siap!"
Harusnya pagi ini mereka masih kegiatan MOS di Sekolah. Tapi syukurlah, insiden itu ada untungnya juga. Eh— banyak ruginya. Sekolah mereka dicap jadi sekolah ter-angker di lingkungan rumah.
Yura menyiram tanaman dengan hati-hati, kalau ada yang pecah pasti Amanda bisa marah.
"Yura!"
Yura hampir terjengkang saat berbalik karena Darren muncul tiba-tiba lagi. Yura memukul Darren, "Dasar, setan!"
Darren menghindar, "Sakit."
Yura sontak menutup mulutnya, "Kok kerasa sakit sih?" Dia tidak salah dengar kan?
"Mungkin karena aku hantu baru."
Yura mendelik, "2 tahun kok baru..." Jijik sekali dia. Mereka duduk di kursi berbeda, Yura menatap Darren. "kamu kalau marah, serem banget ya."
"Siapa?"
"Kamu."
"Kapan aku marah?"
"Jam 2 tadi."
"Bukan aku."
Yura membelalak, "Terus siapa?"
"Teman."
"Kok dia marah?"
"Aku pusat dari aktivitas disana. Jadi mereka gak suka ada manusia yang manggil nama hantu siapapun disana."
"Aku pernah manggil kamu, tapi gak pa-pa. Kok bisa?"
Darren tersenyum, "Aku pusatnya."
Awalnya Yura belum paham. Tapi sekarang baru paham. "Ohh, jadi kamu yang nyuruh mereka buat balas ke manusia?"
"Aku gak nyuruh gitu. Aku bilang, jangan sampai manusia yang bernama Yura kenapa-kenapa."
"Jadi mereka celakai orang yang manggil kamu, kecuali aku? Gitu?"
Darren mengangguk. "Kamu bisa lihat kami. Jadi kamu, kami anggap seperti hantu. Kedudukannya sama."
"Eh, sembarangan!"
Darren tertawa. "Kamu gak berniat jadi hantu?"
"Justru hantu kayak kalian, pasti punya tujuan tertentu atau satu masalah yang masih mengganjal di hati. Makanya kalian belum bisa ke akhirat."
"Mungkin."
"Kamu ada sesuatu yang belum tersampaikan? Siapa tau aku bisa bantu."
"Tolong cari tau alasan aku mati."
MALAS. Itulah yang hendak Yura katakan. Tapi Darren sudah melindunginya di sekolah. Jadi, ia anggap IYA.
**
Setelah MOS diadakan. Hari sabtu nanti giliran acara Kemah untuk kelas sepuluh di Bumper dekat sekolah. Jadi ada jeda seminggu untuk materi perkenalan dari guru kelas.
Yura mengumpulkan kertas persetujuan acara kemah pada gurunya. Gurunya mengeryit, "Kenapa gak ikut?" tanyanya.
Bukan tanpa alasan dia tidak ikut kemah. Dari sekian acara, kemahlah yang paling ramai. Iya kalau ramai orang, ini ramai karena jurig.
"Maaf, Pak." Yura memasang wajah sok menyesal dihadapan gurunya.
"Tapi gimana ya? Ini acara wajib untuk semua siswa kelas sepuluh."
"Sejak kapan hukumnya wajib, Pak? Setahu saya yang wajib itu sholat."
Anak-anak yang lain tertawa kecil.
"Yura, tolonglah kamu ikut."
"Kasih satu alasan kenapa saya harus ikut kemah ini?" tanya Yura belagak sombong.
"Kamu kan dikenal punya mata batin, bisa bantu-bantu kalau ada yang kesurupan."
Memangnya dia pawang jurig, bisa usir hantu seperti Ed & Lorraine di film The Conjuring? Oh tidak bisa. Itu sudah kehendak-Nya. Siapa suruh iman-nya lemah?
"Kalau itu alasan, Bapak. Maaf, saya gak bisa ikut. Saya cuma bisa lihat, bukan ngusir hantu."
"Bukannya kamu bisa interaksi juga kayak di acara uji nyali itu?"
Yura menarik nafas pelan untuk bersabar. Orang kolot macam gurunya ini tidak tahu apapun tentang dunia hantu, jadi maklumi saja.
"Pak, dari sekian banyak hantu, saya cuma bisa nyentuh satu." Yura mengangkat telunjuknya.
"Kok gitu? Emang hantunya siapa?"
"Mister Darren," jawab Yura sambil senyum-senyum.
Mendadak angin semilir berhembus ke dalam kelas. Rambut Yura bahkan disapu angin lembut.
Pak Didi mendekat ke Yura, "Kamu tau kan disini pantang nyebut nama itu?" Wajahnya berubah cemas.
Yura tahu. Mereka diam karena takut akan suatu hal terjadi di kelas ini jika nama Darren disebut. "Saya dikasih tahu sama dia, katanya kalau saya yang panggil gapapa. Tapi kalau orang lain, dia ngamuk."
Pak Didi tersenyum lega ke murid-muridnya, "Alhamdulillah kalau gitu." Tapi dia bertanya lagi, "kamu gak pacaran kan sama hantu?"
"Saya masih waras," jawab Yura dengan datar.
"Yasudah, silahkan duduk."
Yura kembali ke kursinya. Sebelum itu ia melihat Darren duduk di kursi belakang yang sengaja dikosongkan, dia tertawa memekakkan telinga. Kalau saja dia manusia, pasti tawanya bisa memecahkan bohlam lampu dan jendela.
Amanda tertawa kecil melihat Yura komat-kamit karena diledek Pak Didi, "Lo ikut dong. Ntar gue sama siapa? Lo mau liat sahabat lo digodain hantu ganteng?"
"Nanti aku pikirin lagi."
"Yesss! Gitu kek dari tadi."
Yura tidak tenang jika sudah seperti ini. Dia punya kenangan buruk saat kemah SMP, dan dia sudah berjanji itu akan menjadi kemah pertama dan terakhirnya. Tapi sekarang, ada Amanda yang tidak bisa sendirian. Amanda itu penakut, sama seperti Feri -kakak kelasnya. Harusnya mereka diikutkan uji nyali saja di Sekolah, lalu lihat siapa yang nyerah duluan.
Yura mencium bau besi berkarat, "Manda, kamu nyium bau besi karatan gak?"
Amanda yang sedang mengerjakan soal langsung mengendus untuk memastikan, "Hidung kamu yang karatan kali."
"Sembarangan."
Sahabatnya menggeleng, "Gue gak nyium bau apapun selain wangi badan gue."
Yura yakin sekali mencium aroma karat besi karena sampai menusuk hidung. Hidungnya sampai nyeri dan tidak lama kemudian keluar darah segar.
"Yura, lo mimisan." Amanda menarik tisu dari dalam tasnya dan diberikan untuk Yura. "lo sakit apa gimana?"
Yura menyumpal lubang hidungnya dengan tisu, "Bau besi karatan, tajam banget."
"Masih nyium baunya? Gue kira lo bercanda."
Yura berdecak. Bercanda sebelah mananya. "Hidung aku kayak ketusuk gara-gara nyium baunya."
"Yaudah lo gak usah nafas dulu," ujar Amanda tanpa pikir panjang.
"You wanna me die?" tanya Yura datar.
"Gak deng, becanda." Amanda tersenyum dan minta maaf.
Prak! Prak!
Lampu tiba-tiba pecah membuat semua murid berhamburan keluar kelas. Mereka berteriak dari ujung ke ujung karena takut. Ada sebagian yang mengira perbuatan Darren, namun ada juga yang mengira korsleting listrik.
Yura yang hendak ikut lari ke luar kelas, kaki kanannya dipeluk oleh sosok menyeramkan. Wajahnya hancur, kakinya remuk dengan darah yang bercampur nanah, dan dikepalanya ada pisau yang menancap. Yura panik dan berusaha lari. "AAAAAAA!!!" Yura berteriak dan itu membuat Amanda kembali menghampirinya.
Suasana bertambah mencekam setelah Yura teriak, teman-teman yang lain dirasuki sosok hantu sampai ngamuk-ngamuk di lantai. Bahkan ada yang sampai mencakar tembok, beberapa yang tidak dirasuki membantu temannya agar tidak tercampur. Suara teriakan dan kepanikan bercampur menjadi satu di depan kelas, bahkan kelas lain ikut keluar untuk membantu mereka supaya sadar.
"Lo ngapain?!" tanya Amanda melihat Yura terdiam di tempat.
"Aku mau lari, tapi gak bisa! Ada yang meluk kaki aku!"
"Gue kan gak bisa liat! Gue harus gimana dong?!"
"Tarik aku!"
Amanda mengangguk dan menarik kedua tangan Yura, namun berat sekali rasanya padahal Yura itu enteng. "Lo berat banget, anj*it!"
Yura memukul-mukul hantu tersebut tepat di kepalanya. Hantu itu semakin erat memeluk kaki Yura.
"Lo katanya temenan sama Darren, lo panggil dia coba! Bilang ini, urgent !" Amanda sudah tidak sabar hendak keluar kelas. Bangku dan meja sudah berjatuhan di lantai, bahkan ada satu atau dua meja seperti dilempar ke dinding sampai remuk.
Darren, please, tolong...
Tidak lama kemudian, benda disekitar mereka berhenti berpindah tempat. Yura membuka matanya setelah meminta tolong dalam hati. Amanda sampai berjongkok, "Gue gak bakal mati sekarang kan?" tanyanya mendongak.
Yura menggeleng tidak tahu. Teman-temannya yang teriak-teriak akibat kesurupan juga sudah mereda. Sosok yang memeluk kakinya sudah tidak ada namun muncul bersama Darren yang bertarung dengannya. Dalam 5 detik, Darren berhasil memusnahkan hantu itu layaknya butiran pasir.
Darren berdiri di belakang Yura, "Kamu harus ikut kemah. Kalau teman-teman kamu dirasuki mereka lagi, cuma suara kamu yang sampa di aku." Setelah itu dia menghilang entah kemana.
Yura menyuruh Amanda berdiri dan keluar dari kelas. "Pak, gimana? Gak ada yang kesurupan lagi kan?" tanya Amanda.
"Sudah, nggak. Mereka tinggal istirahat aja di kelas sebelah. Kamu bantu saya beberes kelas ya?"
Keduanya mengangguk dan mengambil sapu.
"Ayo yang lain bantu Bapak beresin bangku sama meja!" perintah Pak Didi. Yang lain nurut dan sebagian masuk kelas dengan bulu kuduk berdiri.
Amanda bertanya disela-sela menyapu, "Tadi Darren datang ya?"
"Iya, dia bilang aku harus ikut kemah."
"Tuh kan. Dia sependapat sama gue!" sahut Amanda dengan bangga.
"Aku takut, Nda. Kamu inget kan kejadian pas SMP?"
Amanda mengangguk lemah, "Iya sih... tapi gue semaksimal mungkin selalu di samping lo. Bahkan dirantai kalau perlu supaya gak misah."
Yura berdehem saja. Pikirannya berkecamuk tentang dirinya dan kawan-kawannya. Mungkin ada baiknya dia ikut saja, siapa tahu keberadaannya bisa membantu karena Darren bilang demikian.
**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!