Matahari belum sepenuhnya terbit di kota Fangchi, namun sosok kurus seorang remaja sudah terlihat berlatih di halaman belakang kediaman keluarga Liu. Liu Han, empat belas tahun, mengayunkan pedang kayunya untuk yang kesekian ribu kali pagi itu.
Keringat membasahi pakaian latihan sederhana yang sudah bertahun-tahun dipakainya, menunjukkan bekas tambalan di sana-sini.
Gerakan pedangnya kaku dan lambat, jauh berbeda dengan para sepupunya yang bisa menari bersama senjata mereka bagai naga meliuk di angkasa.
Tapi Liu Han tak pernah berhenti mencoba. Setiap pagi, bahkan sebelum ayam berkokok, dia sudah memulai latihannya—seolah dengan begitu dia bisa mengimbangi bakat yang tak dimilikinya.
"Masih membuang-buang waktu dengan gerakan dasar yang bahkan anak lima tahun bisa melakukannya?"
Suara dingin Liu Feng, sepupu tertuanya, membuat Liu Han tersentak.
Pedang kayunya hampir terlepas dari genggaman. Liu Feng berdiri di beranda dengan angkuh, jubah murid pelataran dalam Sekte Awan Merah berkibar ditiup angin pagi.
"Selamat pagi, Kak Feng," Liu Han membungkuk hormat, menyembunyikan getir di wajahnya.
"Hmph. Kau tahu ujian masuk Sekte Awan Merah tinggal beberapa jam lagi, kan? Dengan tingkat kultivasi Body Tempering lapisan ketiga..." Liu Feng menggeleng, "...bahkan sekte kecil seperti kami mungkin tak akan sudi menerimamu."
Liu Han mengeratkan genggaman pada pedang kayunya. Di usia empat belas tahun, masih terjebak di ranah Body Tempering lapisan ketiga memang memalukan.
Kebanyakan remaja seusianya minimal sudah mencapai Initial Foundation, bahkan beberapa sepupunya sudah memasuki ranah Qi Gathering.
"Saya... saya akan berusaha sebaik mungkin."
"Berusaha?" Liu Feng mendengus. "Empat tahun sejak kematian Paman Ming, dan kau masih seperti siput merangkak.
Tahu tidak? Para tetua hanya mengizinkanmu tinggal karena menghormati jasa ayahmu. Tapi sampai kapan toleransi itu akan bertahan?"
Nama ayahnya selalu menimbulkan rasa nyeri di dada Liu Han. Liu Ming, salah satu kultivator terkuat yang pernah dimiliki keluarga Liu, tewas dalam sebuah misi misterius empat tahun lalu.
Tak lama setelah itu, ibunya, Guan Yuhua, jatuh dalam koma yang hingga kini belum teratasi.
"Hari ini adalah kesempatan terakhirmu," Liu Feng melanjutkan. "Kalau kau gagal di ujian ini... yah, kurasa keluarga Liu tak butuh cabang pohon yang tak bisa berbuah."
...----------------...
Beberapa jam kemudian, Liu Han berdiri di alun-alun utama kota Fangchi, di tengah kerumunan peserta lain yang juga mengikuti ujian masuk Sekte Awan Merah. Ujian pertama, Tes Kekuatan Dasar, membuat jantungnya berdegup keras.
Ketika gilirannya tiba, Liu Han maju dengan langkah gugup. Dia menggenggam pedang kayunya erat-erat, seolah benda itu adalah satu-satunya pegangan hidupnya.
Dengan satu tarikan napas dalam, dia menghantamkan pukulan terbaiknya ke batu uji. Batu itu hanya bersinar lemah, menunjukkan angka "3". Tawa dan ejekan langsung terdengar dari kerumunan.
"Angka tiga? Apa dia pikir ini taman bermain?"
"Keluarga Liu benar-benar telah jatuh. Bahkan anak kecil pun bisa lebih baik dari itu!"
Liu Feng, yang duduk di kursi kehormatan bersama para tetua, menggelengkan kepala sambil tersenyum sinis. "Sudah kuduga ini akan terjadi," gumamnya.
Ujian berikutnya tak berjalan lebih baik. Liu Han gagal menunjukkan kemampuan yang memadai dalam setiap tantangan, baik itu kecepatan, ketahanan, maupun seni bela diri.
Ketika nama Liu Han diumumkan sebagai salah satu yang gagal, kerumunan kembali bersorak, tapi kali ini dengan cemoohan.
Malam itu, di kediaman keluarga Liu, Liu Han berdiri di tengah ruangan besar dengan kepala tertunduk. Para tetua keluarga memandangnya dengan tatapan penuh kekecewaan.
"Liu Han," suara kepala keluarga bergema di ruangan, "kau telah mempermalukan nama keluarga kita di depan umum. Sudah cukup kami menanggung aib ini. Mulai hari ini, kau tidak lagi memiliki tempat di kediaman ini."
Liu Han terdiam. Kata-kata itu bagaikan pisau yang menusuk dadanya. Dia tahu bahwa kegagalannya hari ini tak hanya mencoreng nama keluarganya, tapi juga menghancurkan peluang terakhirnya untuk tetap tinggal.
"Tinggalkan kediaman ini sebelum matahari terbit," lanjut kepala keluarga dengan dingin.
Dengan langkah gontai, Liu Han kembali ke kamarnya, mengemasi barang-barang sederhana yang dimilikinya. Sebuah pedang kayu, beberapa set pakaian, dan sedikit bekal makanan.
Saat malam menyelimuti kota Fangchi, Liu Han melangkah keluar dari gerbang besar kediaman keluarga Liu. Pandangannya terarah ke jalan gelap yang terbentang di depannya.
"Ini bukan akhir," bisiknya pada dirinya sendiri. "Ayah... aku tidak akan menyerah."
Dengan tekad yang perlahan mulai menguat, Liu Han melangkah ke dunia yang penuh ketidakpastian, memulai perjalanan yang akan mengubah takdirnya.
...****************...
Tingkatan kultivasi fana/mortal:
- Body tempering
- Initial Foundation
- Qi Gathering
- Qi Flowing
- Qi Condensation
- True Foundation
- Earth Realm
- Sky Realm
- Mystic Realm
- Ancestor Realm
- Divine Realm
- Pseudo Immortal
Setiap ranah memiliki 10 lapisan.
Tingkatan kultivasi Immortal :
- Immortal
- Immortal Lord
- Immortal Emperor
- Supreme Immortal
- Pseudo God
Setiap ranah immortal memiliki tiga lapisan (awal, menengah, puncak)
Tingkatan kultivasi God :
- True God
- ????
Dunia Xuanyuan adalah tempat di mana kekuatan menjadi segalanya. Di sini, hukum rimba berlaku: yang kuat menjadi penguasa, sementara yang lemah hanya bisa tunduk.
Dunia ini terbagi menjadi lima benua besar—Timur, Barat, Utara, Selatan, dan Tengah—masing-masing memiliki karakteristik dan kekuatannya sendiri.
Di Benua Selatan, tanah penuh konflik, dinasti Wei memerintah dengan cengkeraman rapuh. Kekuasaan mereka bertahan hanya karena dukungan dari sekte-sekte besar yang menguasai sebagian besar wilayahnya.
Kota Fangchi, tempat Liu Han dilahirkan dan tumbuh, hanyalah salah satu kota kecil yang tak berarti dibandingkan dengan pusat-pusat kekuatan yang lebih besar.
Seni bela diri atau kultivasi adalah inti dari kehidupan di dunia ini. Seseorang yang mampu menembus ranah yang lebih tinggi tidak hanya memperoleh kekuatan fisik, tetapi juga kehormatan, kekayaan, dan pengaruh.
Namun, jalan menuju puncak kultivasi dipenuhi bahaya, tantangan, dan pengorbanan.
Bagi Liu Han, yang kini diusir dari rumah keluarganya, dunia ini terasa lebih keras dari sebelumnya.
Gagal dalam ujian Sekte Awan Merah telah mempermalukan nama keluarga Liu, dan sebagai balasannya, dia kehilangan satu-satunya tempat tinggal yang dia miliki.
...----------------...
Dengan tas kecil berisi bekal seadanya, Liu Han kini berdiri di puncak bukit kecil di luar kota Fangchi. Pandangannya terarah pada jalan setapak yang membentang menuju utara, menuju kota Qinjie. Di kota itu, ibunya, Guan Yuhua, terbaring koma di kediaman keluarga Guan.
"Sudah empat tahun sejak aku terakhir melihat Ibu…" gumam Liu Han, matanya berkabut. "Aku harus menemuinya."
Namun, perjalanan menuju Qinjie bukanlah perjalanan yang mudah. Kota itu terletak ratusan li dari Fangchi, melintasi hutan liar, desa-desa kecil, dan tanah tak bertuan yang dipenuhi bahaya.
Liu Han tahu bahwa dia bukan siapa-siapa—lemah, tak berpengalaman, dan tanpa sekutu. Namun, tekadnya sudah bulat.
Langkah-langkah kecilnya membawa dia masuk ke dalam hutan yang membentang luas di luar Fangchi. Hutan itu dikenal sebagai Hutan Musim Gugur, tempat hewan liar dan bandit sering berkeliaran.
Matahari pagi masih terasa hangat di punggungnya, memberi sedikit rasa nyaman di tengah dinginnya embun.
Namun, setelah beberapa jam berjalan, suasana di dalam hutan berubah. Dahan-dahan pohon yang tinggi menciptakan bayangan gelap, dan suara binatang kecil yang sebelumnya mengiringi langkahnya kini hilang.
Liu Han mulai merasa gelisah. Dia menghentikan langkahnya sejenak, menoleh ke belakang, lalu ke kiri dan kanan. Tidak ada apa-apa. Namun, dia tak bisa menyingkirkan perasaan bahwa seseorang—atau sesuatu—sedang mengamatinya.
"Kau harus tenang," gumamnya kepada dirinya sendiri.
Tiba-tiba, dari semak belukar di depan, seekor serigala besar melompat keluar. Bulu kelabu binatang itu berdiri tegak, dan matanya yang tajam berkilauan dengan kelaparan. Giginya yang runcing terlihat jelas saat binatang itu menggeram pelan, memperingatkan Liu Han.
Serigala itu jauh lebih besar dari yang pernah Liu Han bayangkan, dengan otot-otot kekar yang tampak jelas di bawah bulu kusamnya. Liu Han menelan ludah, lalu mengangkat pedang kayunya dengan tangan gemetar.
"Aku… aku tidak boleh kalah," bisiknya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Serigala itu merunduk, bersiap untuk menyerang. Liu Han mundur selangkah, mencoba mencari celah untuk melarikan diri, tetapi langkahnya terhenti ketika dia menyadari semak di belakangnya bergerak.
Dari sana, muncul seekor serigala lain—lebih kecil dari yang pertama, tetapi sama berbahayanya.
Liu Han terkepung.
"Aku harus bertahan…"
Serigala pertama melompat ke arahnya, taringnya mengarah langsung ke lehernya.
Dengan refleks yang hampir kacau, Liu Han mengayunkan pedang kayunya ke arah kepala serigala. Benturan keras terdengar, membuat pedangnya terpental dan tangannya mati rasa. Namun, serigala itu terpukul mundur, meski hanya untuk sesaat.
Tubuhnya gemetar, tapi matanya mulai menyala dengan tekad. Meski lemah, Liu Han tidak mau menyerah begitu saja. Ia menatap kedua serigala itu, mencoba memikirkan cara bertahan hidup di tengah situasi yang hampir mustahil ini.
Serigala yang lebih besar menggeram, memamerkan gigi tajamnya, sementara yang lebih kecil bergerak perlahan ke samping, mencoba mengepung Liu Han.
Keringat dingin bercucuran di pelipisnya, dan otaknya bekerja keras mencari jalan keluar. Pedang kayu di tangannya terasa ringan, tetapi kelemahannya sendiri membuat senjata itu seperti tak berguna.
“Aku tidak akan mati di sini,” gumamnya, menggenggam pedang kayu lebih erat.
Serigala besar tiba-tiba melompat. Alih-alih menangkis, Liu Han menghindar ke samping dengan gerakan cepat, lalu berbalik dan berlari sekuat tenaga.
Daun-daun kering beterbangan di bawah kakinya, dan suara langkah serigala yang mengejarnya membuat jantungnya berpacu semakin cepat.
Ranting-ranting pohon dan semak-semak berduri menggores wajah dan lengannya, tetapi Liu Han tidak peduli. Dia hanya memiliki satu tujuan: bertahan hidup.
Suara geraman serigala semakin dekat, membuat napas Liu Han semakin berat. Tiba-tiba, dia melihat sesuatu di depan—seberkas cahaya dari celah pepohonan.
Langkah Liu Han terhenti di tepi tebing curam. Angin siang yang hangat bertiup, membuat dedaunan di sekitar bergoyang pelan. Namun, jurang di bawahnya sama sekali tidak terlihat ramah.
Jauh di bawah sana, dia bisa mendengar gemuruh samar air yang mengalir, tetapi dia tidak tahu seberapa dalam dan seberapa aman dasar jurang itu.
Liu Han menoleh ke belakang. Kedua serigala masih mengintainya, bergerak perlahan, mata mereka penuh keganasan dan rasa lapar. Napas Liu Han memburu, tetapi pikirannya mulai jernih.
Dia tahu dia hanya punya dua pilihan: mati dimakan serigala atau mengambil risiko melompat.
"Aku tidak punya pilihan," gumamnya lirih, menggenggam pedang kayunya yang sudah retak.
Ketika serigala besar melangkah lebih dekat, Liu Han memutuskan. Dengan satu tarikan napas dalam, dia melangkah mundur ke tepi tebing dan melompat.
Angin menerpa tubuhnya, kencang dan dingin, membuat pakaian lusuhnya berkibar. Waktu seolah melambat saat dia jatuh, dan pandangannya terisi oleh dedaunan yang semakin menjauh ke atas.
Tubuhnya menghantam udara kosong hingga akhirnya—
Byurrr!
Tubuhnya menghantam air sungai dengan keras. Rasa dingin yang menusuk langsung menyelimuti seluruh tubuhnya, dan nyeri luar biasa menjalar dari lengan dan kakinya. Dia terombang-ambing di dalam air yang deras, tetapi rasa sakit itu menyadarkannya bahwa dia masih hidup.
Dengan susah payah, Liu Han berenang ke tepi sungai. Setiap gerakan terasa seperti penderitaan baru. Ketika dia akhirnya mencapai tepian, tubuhnya ambruk di atas batu-batu kecil yang licin. Napasnya terengah-engah, dan seluruh tubuhnya terasa remuk.
Dia mencoba menggerakkan tangan dan kakinya. Rasa nyeri tajam membuatnya meringis. Tulang di lengan kirinya terasa tidak normal, dan pergelangan kaki kanannya bengkak parah. Meskipun begitu, tidak ada luka yang fatal.
"Aku… selamat," gumamnya lemah, meski rasa sakit membuat suaranya bergetar.
Matahari siang memancarkan sinarnya, menerangi dasar jurang yang dipenuhi dengan pepohonan besar dan semak-semak liar. Tidak ada siapa pun di sekitar. Suara gemuruh air sungai adalah satu-satunya yang menemani Liu Han, mengingatkannya betapa terpencil tempat ini.
Dia memeriksa tas kecilnya yang masih tergantung di punggung. Sebagian besar isinya basah, tetapi setidaknya ada sedikit makanan kering yang masih bisa dimakan. Pedang kayunya, meski retak, masih ada di dekatnya.
"Aku harus bertahan," bisiknya pada dirinya sendiri, meskipun setiap kata terasa seperti beban tambahan.
Liu Han memaksakan tubuhnya untuk duduk bersandar pada batu besar di tepi sungai. Dia perlu waktu untuk memulihkan tenaga, meski dia tahu dengan tulang yang patah, dia tidak akan bisa bergerak jauh tanpa rasa sakit yang luar biasa.
Saat dia menatap sungai yang mengalir deras di depannya, pikirannya mulai merenung. "Apakah aku akan mati di sini? Atau… ini hanya awal dari perjalanan yang lebih besar?"
Bersambung...
Matahari mulai condong ke barat, sinarnya menyelinap melalui celah tebing yang menjulang tinggi di sekeliling jurang.
Setelah beberapa jam beristirahat, Liu Han memaksakan dirinya untuk bangkit. Tubuhnya masih terasa remuk, terutama lengan kirinya yang patah dan pergelangan kaki yang membengkak. Namun, rasa lapar dan kebutuhan untuk bertahan hidup memaksa dirinya untuk terus berjalan.
Dia menyusuri tepian sungai, mengikuti aliran air yang semakin menyempit ke arah hulu. Meski jalannya terseok-seok, tekadnya tetap menyala. Sesekali, Liu Han berhenti untuk meminum air sungai, meskipun rasanya tidak terlalu menyegarkan.
Setelah berjalan cukup jauh, suara aliran air mulai mereda, digantikan oleh keheningan aneh yang membuat bulu kuduknya meremang.
Di depannya, sebuah danau kecil muncul di tengah-tengah jurang. Airnya berwarna jingga, memantulkan kilauan seperti batu permata di bawah cahaya matahari.
Aroma yang samar, seperti campuran mineral dan sesuatu yang tidak ia kenali, menguar dari permukaan air.
"Ini... luar biasa," gumam Liu Han dengan kagum, meskipun rasa lelah masih membebani pikirannya.
Namun, perhatian Liu Han segera tertuju pada sesuatu di sekitar tepi danau. Beberapa tanaman berwarna hijau kebiruan tumbuh di sela-sela bebatuan, memancarkan kilauan samar. Ia mengenali tanaman itu dari pelajaran dasar yang diajarkan ayahnya bertahun-tahun lalu.
"Rumput Vitalitas Qi!" Liu Han menganga. Meski hanya lapisan ketiga Body Tempering, dia tahu nilai dari tanaman itu sangat tinggi. Satu helainya saja dapat mempercepat pemulihan energi dan memperkuat tubuh.
"Jika aku bisa memetiknya... ini bisa jadi awal untuk membalikkan nasibku.
Dengan hati-hati, Liu Han melangkah mendekati tepi danau. Langkahnya pelan, memperhatikan setiap pijakan untuk menghindari jebakan alam yang tidak terduga. Namun, saat dia hanya beberapa meter dari tanaman tersebut, permukaan air jingga di tengah danau mulai beriak.
Dia berhenti, menahan napas. Riak-riak kecil berubah menjadi gelombang, dan tiba-tiba, sesuatu yang besar mencuat dari bawah air.
Seekor makhluk raksasa menyeruak dari danau, tubuhnya licin dan bersisik seperti ular, tetapi dengan dua kepala berbentuk belut yang masing-masing memiliki sepasang mata merah menyala. Taring tajam terlihat jelas di mulutnya yang terbuka lebar, memancarkan aura mematikan.
"Makhluk apa ini?!" seru Liu Han, mundur dengan tergesa-gesa.
Belut kepala dua itu melesat ke arahnya, tubuhnya yang panjang meliuk-liuk dengan kecepatan luar biasa. Liu Han terkejut, tapi insting bertahan hidupnya memaksa dia untuk segera berlari.
"Apa-apaan ini?! Aku hanya ingin rumput itu, bukan nyawaku!" teriak Liu Han panik sambil berlari sekuat tenaga, melupakan rasa sakit di kakinya.
Suara dentuman terdengar setiap kali belut itu menabrak batu atau tanah di belakangnya. Liu Han menoleh sekilas dan melihat kepala makhluk itu nyaris menyambar kakinya.
"Sial! Kau ini apa, pelindung rumputnya?! Aku bahkan belum menyentuhnya!"
Liu Han terus berlari, mencoba mencari celah untuk melarikan diri. Tetapi di dasar jurang ini, pilihannya sangat terbatas. Dia hanya bisa mengikuti jalur kecil di sepanjang tepi danau, sementara makhluk itu mengejarnya tanpa henti.
"Apa aku dikutuk atau semacamnya?!" Liu Han mendongak ke atas, menatap puncak tebing yang jauh di atas. "Hei, kalian para dewa di atas sana! Kalau kalian ada, kenapa aku terus dipermainkan begini?! Aku sudah jatuh dari tebing, dikejar serigala, sekarang belut raksasa?! Apa lagi setelah ini, naga?!"
Amarah dan rasa frustasi membuncah di dadanya. Namun, tidak ada jawaban dari atas, hanya gema suaranya yang memantul di dinding jurang.
Belut itu kembali melompat, hampir menyambar punggung Liu Han. Dia melompat ke samping, hampir jatuh ke dalam danau. Tanpa sengaja, kakinya menendang sebuah batu besar yang menggelinding masuk ke air, menciptakan gelombang besar yang sesaat menghentikan pergerakan belut.
Melihat peluang, Liu Han segera memutar arah, menuju sisi lain jurang di mana aliran sungai membentuk terowongan kecil yang tampaknya cukup sempit untuk dilewati.
Dengan sisa tenaganya, dia menerobos masuk ke dalam terowongan tersebut, tubuhnya nyaris terjepit di antara bebatuan. Belut kepala dua itu mencoba mengejarnya, tetapi tubuhnya yang besar terhalang oleh dinding sempit.
Nafas Liu Han terengah-engah. Tubuhnya gemetar karena kelelahan, tapi dia tahu dia belum benar-benar aman. Makhluk itu mengaum dengan suara menggelegar, suaranya bergema di seluruh terowongan.
"Dunia ini benar-benar tidak punya belas kasihan," gumam Liu Han, menatap ke arah danau jingga dari celah sempit tempatnya bersembunyi. Dia bisa melihat makhluk itu masih berkeliaran, tubuhnya menggeliat di air sambil mencari mangsanya.
Liu Han bersandar di dinding batu, mencoba menenangkan napasnya. "Aku harus menemukan cara untuk keluar dari sini... atau mati jadi santapan makhluk itu."
Meskipun keadaannya sulit, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ketakutan yang dia rasakan mulai memudar, digantikan oleh tekad yang perlahan menguat.
"Aku mungkin hanya semut di dunia ini," katanya pelan, "tapi bahkan semut pun bisa bertahan hidup. Kalau dunia ini kejam, aku harus lebih kejam lagi."
Liu Han mengatur napasnya, tubuhnya gemetar karena kelelahan dan adrenalin yang meluap. Belut kepala dua itu masih berkeliaran di danau, mengaum penuh amarah karena mangsanya lolos.
Liu Han menyandarkan tubuhnya pada dinding batu terowongan sempit, mencoba berpikir jernih.
"Aku tidak bisa tinggal di sini selamanya," gumamnya lirih. "Kalau aku tetap di tempat ini, makhluk itu akan menungguku sampai mati kelaparan."
Dia menoleh ke belakang, melihat bagian dalam terowongan yang semakin gelap. Terowongan itu tampak sempit, tetapi ada kemungkinan mengarah ke tempat lain. Itu satu-satunya harapannya sekarang.
Dengan kaki pincang dan tangan kiri yang masih nyeri, Liu Han mulai merangkak lebih dalam ke terowongan.
Dingin dan lembap mulai merasuki tubuhnya, membuat rasa sakit semakin terasa. Namun, dia tidak punya pilihan. Setiap beberapa langkah, dia berhenti untuk mendengarkan apakah makhluk itu masih mengejarnya.
Setelah beberapa saat, terowongan mulai melebar, dan dia bisa berdiri kembali. Cahaya samar muncul dari ujung terowongan. Liu Han memicingkan mata, mencoba memastikan apa yang ada di depan.
Ketika dia mendekat, dia menyadari bahwa cahaya itu berasal dari rembesan air yang memantulkan sinar matahari dari celah kecil di atas. Dia kembali ke tepi sungai kecil yang mengalir keluar dari danau jingga.
Namun, tidak ada tanda-tanda belut kepala dua itu di sekitar.
"Apakah... apakah dia menyerah?" pikir Liu Han.
Dia melangkah pelan, mengintip ke arah danau. Air jingga itu tenang, tetapi tubuh makhluk itu tidak terlihat. Hatinya berdegup keras. Dia tidak percaya bahwa makhluk sebesar itu akan pergi begitu saja.
Saat dia memutar pandangan, Liu Han melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Tidak jauh dari tepi danau, dinding batu jurang tampak memiliki celah besar, seperti mulut goa. Dari celah itu, keluar pancaran cahaya lembut yang sulit dijelaskan. Aura dari goa itu terasa berbeda, menimbulkan sensasi dingin dan menekan yang membuat udara di sekitarnya terasa berat.
"Apa itu?" gumamnya.
Namun, belum sempat dia bergerak lebih jauh, air jingga di danau kembali bergolak. Tiba-tiba, belut kepala dua itu melompat keluar dengan kecepatan luar biasa, meluncur langsung ke arah Liu Han.
"Benar-benar tidak menyerah!" Liu Han segera berlari, meskipun setiap langkah terasa menyiksa.
Dia mengarahkan tubuhnya ke arah goa yang bercahaya itu, berharap bahwa tempat itu dapat menjadi pelindungnya. Belut raksasa itu mengejarnya, tubuhnya yang besar membuat tanah bergetar setiap kali menabrak batu atau akar di sepanjang jalur.
Ketika Liu Han mencapai mulut goa, dia merasakan sesuatu yang aneh. Udara di sekitar goa lebih dingin, dan tekanan yang dia rasakan semakin kuat. Namun, belut itu tiba-tiba berhenti beberapa meter dari goa.
Makhluk itu menggeram, kedua kepalanya mengibas ke arah Liu Han dengan marah.
Tetapi, seolah ada dinding tak terlihat yang menghalangi, belut kepala dua itu tidak berani mendekat lebih jauh.
"Hah?" Liu Han menoleh ke belakang, menyadari bahwa makhluk itu hanya bisa mengaum dari kejauhan. Kedua mata merahnya menatap Liu Han penuh kebencian, tetapi tubuhnya mundur perlahan, kembali ke danau jingga.
Dia memandang ke arah goa dengan mata terbelalak. "Apa yang ada di dalam sini... sampai makhluk seperti itu pun takut?"
Ketika dia melangkah lebih jauh ke dalam goa, aura dingin yang menekan semakin terasa. Dinding goa dipenuhi dengan kristal kecil yang memantulkan cahaya samar, memberikan pemandangan yang surreal.
Udara di dalamnya terasa bersih, tetapi setiap langkah membuat bulu kuduknya meremang.
Liu Han melihat ke sekeliling, memperhatikan bahwa lantai goa tampak licin, seperti sering dilalui air yang mengalir. Namun, tidak ada suara apapun selain detak jantungnya sendiri.
Setelah beberapa meter masuk, dia melihat sesuatu di tengah goa: sebuah altar kecil yang terbuat dari batu hitam legam, dikelilingi oleh formasi aneh seperti tulisan kuno. Di atas altar, sebuah benda bercahaya melayang pelan—buku emas.
"Buku emas...?" Liu Han melangkah mendekat, matanya terpaku pada benda itu. Aura misterius yang sama dengan yang dia rasakan dari goa ini tampaknya berasal dari buku tersebut.
Dia ragu untuk mendekat, tetapi rasa penasaran dan putus asa mengalahkan ketakutannya. "Apakah ini... yang akan mengubah takdirku?"
Dengan hati-hati, Liu Han mengulurkan tangan kanannya yang gemetar, menyentuh permukaan buku itu. Ketika jari-jarinya menyentuhnya, sebuah cahaya menyilaukan memenuhi goa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!