Lembah tempat Eglarya dilahirkan selalu dipenuhi keheningan yang menenangkan. Pohon-pohon bercahaya berjejer, memancarkan warna keemasan yang lembut, seperti ribuan lentera kecil yang menjaga perdamaian. Namun, malam itu keheningan terasa lebih dalam, seakan bumi menahan napas untuk menyambut sesuatu yang besar.
Erydan berdiri di balkon istana, memandang lembah dari ketinggian. Jubah putihnya berkibar diterpa angin, dan di tangannya tergenggam sebuah pedang yang bersinar dengan intensitas memukau. Cahaya itu bukan hanya dari pedang; itu adalah bagian dari dirinya, Segel Cahaya yang diwarisinya sejak lahir.
Langkah kaki lembut terdengar di belakangnya. Lyanna menghampiri dengan membawa bayi kecil di dalam selimut sutra. Wajahnya yang tenang menyembunyikan rasa khawatir. “Dia tertidur,” katanya, menyerahkan bayi itu ke dalam pelukan Erydan.
Erydan menyentuh lembut pipi putrinya. “Elarya,” ujarnya pelan, seolah nama itu adalah mantra pelindung. “Aku harap dia akan memahami betapa pentingnya warisan ini suatu hari nanti.”
Lyanna menggenggam tangannya. “Warisan ini adalah beban. Dia tidak pernah memilihnya, Erydan.”
“Aku tahu,” jawabnya, suaranya penuh rasa bersalah. “Tapi dunia ini tidak memberi kita pilihan. Kegelapan yang kita segel berabad-abad lalu mulai bergerak. Aku bisa merasakannya. Jika Segel Cahaya tidak diteruskan, dunia akan jatuh ke dalam kehancuran.”
“Lalu, apa rencanamu?” tanya Lyanna, matanya menatap dalam-dalam suaminya.
Erydan terdiam sesaat sebelum menjawab. “Kita akan melatihnya, melindunginya, dan memastikan dia siap menghadapi takdirnya. Tapi untuk sekarang, dia hanyalah seorang bayi. Kita punya waktu.”
Namun, di dalam hati kecilnya, Erydan tahu waktu itu tidak akan lama.
Beberapa tahun kemudian...
Elarya tumbuh menjadi anak yang ceria. Dia suka berlarian di taman istana, mengejar kupu-kupu bercahaya yang hanya hidup di lembah itu. Rambut pirangnya yang panjang selalu memantulkan cahaya matahari, membuatnya terlihat seperti bagian dari sinar itu sendiri.
Pada suatu pagi, saat embun masih menggantung di daun-daun, Elarya bermain di taman bersama ibunya. Lyanna duduk di sebuah kursi batu, menjahit baju kecil, sementara Elarya melompat-lompat mengejar seekor kelinci putih yang lincah.
“Ibu, lihat aku!” teriak Elarya sambil berlari ke arah Lyanna dengan segenggam bunga kecil. “Ini untukmu!”
Lyanna tersenyum, menerima bunga itu. “Kau selalu tahu cara membuat ibu bahagia.”
Elarya tersenyum lebar, tetapi pandangannya tertarik ke sebuah pedang besar yang tertancap di tengah taman, bersinar dengan intensitas yang memikat. “Ibu, apa itu?” tanyanya, menunjuk pedang itu.
“Itu pedang milik ayahmu,” jawab Lyanna, nada suaranya tiba-tiba serius. “Itu adalah bagian dari Segel Cahaya. Suatu hari nanti, pedang itu akan menjadi milikmu.”
“Milikku?” Elarya memiringkan kepalanya, bingung. “Kenapa?”
Lyanna terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Karena kau istimewa, sayang. Di dalam dirimu ada cahaya yang bisa melindungi dunia.”
Elarya tidak benar-benar mengerti, tetapi dia mengangguk. “Kalau begitu, aku akan menjaga pedangnya nanti!”
Lyanna tertawa kecil, meski ada kesedihan di balik tawanya.
Hari itu, Erydan kembali dari perjalanannya ke desa-desa terdekat. Wajahnya tampak lebih gelap dari biasanya, seolah ada beban berat yang baru saja ditambahkan ke pundaknya.
“Erydan, ada apa?” tanya Lyanna ketika mereka bertemu di ruang makan.
“Aku menemukan sesuatu,” jawabnya singkat. “Kegelapan yang selama ini kita takutkan mulai muncul kembali. Desa-desa di perbatasan melaporkan adanya makhluk bayangan yang menyerang penduduk.”
Lyanna menahan napas. “Jadi, waktunya lebih cepat dari yang kita duga?”
Erydan mengangguk. “Kita harus bersiap. Elarya tidak boleh tahu, tapi kita perlu mempercepat persiapannya. Aku akan mulai melatihnya dalam beberapa tahun ke depan.”
“Dia masih terlalu kecil,” protes Lyanna.
“Jika kita menunggu terlalu lama, kita mungkin kehilangan kesempatan. Aku tidak akan membiarkan kegelapan itu mendekati putri kita.”
Malam itu, Elarya terbangun dari tidurnya. Dia mendengar sesuatu, suara berbisik dari luar jendelanya. Rasa penasaran mendorongnya untuk bangun dan mengintip ke luar.
Di sana, di bawah pohon besar di taman, dia melihat sosok anak laki-laki dengan rambut hitam. Anak itu duduk bersila, memegang sesuatu yang tampak seperti bola bayangan di tangannya.
“Siapa kau?” tanya Elarya, membuka jendelanya.
Anak itu mendongak, mata abu-abunya bersinar samar dalam gelap. “Aku Kael,” jawabnya singkat. “Siapa kau?”
“Elarya,” jawabnya ceria. “Kau dari mana? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya.”
Kael tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap Elarya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Aku datang ke sini untuk melindungimu.”
“Melindungiku? Dari apa?”
“Dari kegelapan,” jawab Kael, suaranya datar namun serius.
Elarya memiringkan kepalanya, bingung. Tapi sebelum dia bisa bertanya lebih jauh, suara langkah kaki terdengar. Erydan muncul di balik pintu kamar Elarya.
“Elarya, dengan siapa kau bicara?” tanyanya sambil memandang ke luar jendela. Tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Kael sudah menghilang.
“Ada anak laki-laki di taman,” jawab Elarya polos. “Namanya Kael.”
Erydan terdiam, matanya menyipit. “Kau pasti bermimpi. Kembali tidur, sayang.”
Namun, di dalam hatinya, Erydan tahu bahwa kehadiran anak itu bukan kebetulan. Kegelapan sudah mulai bergerak, dan dunia di sekitar mereka perlahan berubah.
Esok paginya, suasana istana terasa lebih tenang, tetapi ketegangan masih tersisa di udara. Erydan mengawasi taman dari balkon, pikirannya melayang pada cerita Elarya tentang anak laki-laki bernama Kael. Baginya, itu bukan sekadar khayalan. Kehadiran seorang anak asing di lembah suci seperti ini bukan sesuatu yang biasa.
Sementara itu, di ruang latihan bawah tanah istana, Lyanna sedang mempersiapkan ruang yang dipenuhi simbol-simbol kuno. Suara langkah kaki kecil bergema di tangga, dan tak lama kemudian, Elarya muncul di ambang pintu.
"Ibu, apa yang Ibu lakukan di sini?" tanyanya sambil menatap simbol-simbol bercahaya di dinding.
Lyanna tersenyum lembut, meski sedikit terkejut dengan kehadiran putrinya. "Aku sedang mempersiapkan sesuatu untukmu, sayang. Sebuah pelindung."
"Pelindung?" Elarya memiringkan kepalanya dengan rasa ingin tahu.
Lyanna mendekati Elarya, berlutut di hadapannya, dan mengusap rambut keemasan putrinya. "Kau tahu, Elarya, kau adalah anak yang sangat istimewa. Di dalam dirimu ada kekuatan besar, tapi kekuatan itu juga bisa membuatmu menjadi target."
"Target? Siapa yang ingin menyakitiku, Ibu?"
Lyanna menarik napas dalam. "Ada kegelapan di luar sana. Makhluk-makhluk yang ingin menghancurkan Segel Cahaya. Tapi jangan khawatir, Ayah dan Ibu ada di sini untuk melindungimu."
Elarya mengangguk, meski tidak sepenuhnya mengerti. "Kalau begitu, aku juga ingin belajar menjadi kuat seperti Ayah dan Ibu!"
Lyanna tersenyum kecil. "Kau akan belajar, sayang. Tapi tidak sekarang. Kau masih punya waktu untuk menikmati masa kecilmu."
Namun, Elarya merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik kata-kata ibunya. Dia tahu ada rahasia yang belum diungkapkan.
Beberapa hari kemudian, Elarya kembali bermain di taman. Namun kali ini, rasa penasarannya tentang anak laki-laki misterius itu semakin besar. Dia berjalan ke pohon tempat dia melihat Kael sebelumnya dan berhenti di bawah bayangannya.
"Kael? Kau ada di sini?" bisiknya.
Tak ada jawaban. Namun, angin tiba-tiba berhembus kencang, dan Elarya merasa seperti ada seseorang yang mengawasinya.
"Kenapa kau memanggilku?" sebuah suara terdengar dari balik pepohonan.
Elarya berbalik dan melihat Kael berdiri di sana, tangannya dimasukkan ke saku, wajahnya dingin seperti sebelumnya.
"Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya," kata Elarya, menatapnya dengan berani.
Kael mengangkat bahu. "Aku sudah bilang, aku ada di sini untuk melindungimu."
"Tapi kenapa? Siapa kau sebenarnya?"
Kael mendekat, matanya yang abu-abu tampak menyelidik. "Aku adalah bagian dari bayangan, sama seperti kau adalah bagian dari cahaya. Kita saling terhubung."
Elarya mengerutkan kening, bingung. "Apa maksudmu? Aku tidak punya bayangan sepertimu."
Kael menghela napas. "Kau akan mengerti nanti. Tapi untuk sekarang, dengarkan aku. Jangan pernah mendekati tempat di luar lembah ini. Di sana, kegelapan sedang menunggu."
Sebelum Elarya bisa menjawab, suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Itu adalah Erydan, dan kali ini dia tampak murka.
"Siapa kau?" Erydan bertanya dengan suara yang tegas.
Kael mundur selangkah, tatapannya tetap tenang. "Aku bukan musuhmu, Erydan. Aku hanya melakukan tugasku."
"Tugasmu?" Erydan mendekat, tangan kanannya menyentuh gagang pedang di pinggangnya. "Apa yang kau inginkan dari putriku?"
"Aku ingin memastikan dia siap," jawab Kael singkat. "Kegelapan semakin dekat, dan kau tahu itu."
Erydan terdiam, tetapi matanya tetap waspada. "Jika kau mencoba mendekatinya tanpa seizinku lagi, aku tidak akan ragu menghentikanmu."
Kael menatap Erydan beberapa detik sebelum menghilang dalam bayangan.
Malam itu, Erydan dan Lyanna berdiskusi di ruang kerja mereka.
"Kau melihatnya?" tanya Lyanna, nadanya cemas.
Erydan mengangguk. "Anak itu adalah pengguna bayangan, sama seperti klanmu. Tapi dia berbeda. Dia tidak memancarkan ancaman, meskipun aku masih belum percaya sepenuhnya."
"Mungkin dia bagian dari takdir Elarya," ujar Lyanna pelan. "Bayangan dan cahaya selalu saling melengkapi, Erydan."
Erydan menggeleng. "Tak peduli apa pun itu, aku tidak akan membiarkan siapa pun membahayakan putri kita."
Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa Kael mungkin adalah bagian dari teka-teki yang lebih besar. Segel Cahaya yang diwariskan kepada Elarya tidak hanya membawa kekuatan, tetapi juga takdir yang mengikat cahaya dan bayangan dalam sebuah pertempuran yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Dan malam itu, di bawah langit berbintang, Erydan memutuskan untuk mempercepat persiapan Elarya. Takdir tak akan menunggu mereka lebih lama.
Elarya memandang lembah yang selama ini menjadi rumahnya dengan rasa haru yang sulit diungkapkan. Selama bertahun-tahun, lembah ini adalah tempat di mana ia merasa aman, jauh dari kerumitan dunia luar. Namun, semakin lama, ia semakin merasa terkurung dalam bayang-bayang perlindungan orang tuanya. Keinginan untuk mengetahui lebih jauh tentang dunia luar telah membara di dalam dirinya.
Sore itu, Elarya berjalan pelan menuju hutan yang terletak di pinggiran lembah, tempat yang selalu dilarang oleh orang tuanya. Hutan ini dikenal dengan nama Hutan Terlarang, sebuah wilayah yang katanya dipenuhi dengan makhluk-makhluk yang terlupakan oleh cahaya, dan bahkan orang tuanya sering memperingatkan agar ia tidak mendekat. Namun, entah mengapa, ada sesuatu yang menarik Elarya untuk pergi ke sana.
Setiap langkahnya terasa lebih berat, seolah bumi di bawah kakinya berusaha menahannya. Namun, tekadnya lebih besar. Hutan ini tampak berbeda dari yang ia bayangkan—tak seperti hutan biasa yang rimbun, hutan ini dipenuhi dengan aura misterius, seolah pohon-pohon besar itu menyimpan rahasia gelap yang siap dibuka. Elarya terus melangkah meski hati kecilnya berteriak untuk kembali.
Setelah beberapa saat, ia tiba di sebuah clearing yang dipenuhi cahaya lembut. Di tengahnya, berdiri seorang pemuda dengan rambut hitam legam yang panjang dan pakaian gelap, tampak seperti bagian dari hutan itu sendiri. Wajahnya tampak asing, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Elarya merasa seperti dia sudah mengenalnya sejak lama.
"Aku tahu kamu akan datang," kata pemuda itu dengan suara rendah, hampir berbisik, namun terdengar jelas di telinga Elarya.
"Siapa... siapa kamu?" tanya Elarya, suaranya bergetar meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang.
Pemuda itu tersenyum samar. "Aku Kael. Aku datang untuk membantumu."
Elarya mengerutkan kening. "Membantu? Membantuku dengan apa?"
Kael berjalan mendekat, langkahnya tenang namun penuh ketegasan. "Dengan takdirmu," jawabnya. "Kamu tidak tahu betapa besar kekuatan yang ada padamu. Tapi, kamu akan segera memahaminya."
Elarya mundur selangkah, matanya waspada. "Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan. Aku tidak membutuhkan bantuan dari orang asing."
Kael menatapnya dengan tajam, dan ada kedalaman yang sulit dijelaskan dalam matanya. "Kekuatan yang ada dalam dirimu bukanlah sesuatu yang bisa kamu hindari. Itu adalah segel yang telah diwariskan kepadamu, dan dunia di luar sana mulai mencarinya."
"Segel?" Elarya bingung. "Apa maksudmu dengan segel?"
Kael menghela napas dan mengangkat tangan. Seketika, sebuah kilatan cahaya muncul di udara, lalu menghilang begitu cepat. "Itulah kekuatan yang ada dalam dirimu, kekuatan yang dilindungi oleh keluargamu selama bertahun-tahun. Kekuatan cahaya yang dapat menyelamatkan atau menghancurkan dunia."
Elarya terdiam, kebingungannya semakin dalam. "Kekuatan cahaya? Aku tidak mengerti."
Kael mendekat, kali ini dengan ekspresi yang lebih serius. "Kamu tidak hanya dilahirkan dengan kekuatan itu, Elarya. Kamu adalah pewaris Segel Cahaya. Dunia akan segera membutuhkanmu, dan aku di sini untuk membimbingmu."
Tiba-tiba, bayangan gelap menyelimuti sekeliling mereka, dan Elarya bisa merasakan adanya ancaman. Suara derap kaki yang berat terdengar di kejauhan. Kael seolah merasakannya juga, wajahnya yang biasa tenang kini terlihat cemas.
"Kita harus pergi," kata Kael cepat, menarik tangan Elarya dan membawanya menuju tepi hutan. "Kegelapan mulai mendekat."
Elarya hanya bisa mengikuti langkah Kael, meski hatinya penuh dengan kebingungannya. Siapa dia sebenarnya? Mengapa dia tahu tentang dirinya? Dan mengapa tiba-tiba segel cahaya yang tidak pernah ia ketahui menjadi begitu penting?
Namun, saat mereka berlari, Elarya melihat sekelilingnya. Hutan yang tadinya tenang kini terasa dipenuhi dengan ancaman. Bayangan yang tampak bergerak-gerak di antara pepohonan seolah ingin menangkap mereka. Kael menariknya semakin cepat, dan Elarya bisa merasakan energi asing yang mengalir di udara, sebuah energi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Akhirnya, mereka tiba di pinggiran hutan, tempat yang lebih terbuka. Kael berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu menatap Elarya dengan serius. "Kita tidak punya banyak waktu. Dunia luar sudah mulai hancur, dan jika kamu tidak segera memahami kekuatanmu, semuanya akan terlambat."
Elarya merasakan kepanikan yang mulai merayapi dirinya. "Apa yang harus aku lakukan? Aku... aku bahkan tidak tahu siapa diriku sebenarnya."
Kael menatapnya dengan penuh pengertian. "Aku akan mengajarkanmu, tapi kamu harus siap. Kekuatan ini bukanlah sesuatu yang mudah. Kamu harus mempersiapkan dirimu, dan itu dimulai sekarang."
Elarya merasa perasaan campur aduk di dalam hatinya—takut, bingung, namun juga ada sesuatu yang mendorongnya untuk melangkah lebih jauh. Selama ini, ia selalu merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang lebih besar dari dirinya, dan sekarang, dengan kata-kata Kael, ia merasa seperti mulai mendapatkan potongan-potongan dari teka-teki itu.
"Jika kamu siap," lanjut Kael, "perjalanan ini akan mengubah hidupmu selamanya."
Elarya menatap Kael dengan tekad yang baru, meski masih banyak ketakutan di dalam dirinya. "Aku siap."
Elarya berlari mengikuti Kael, menembus hutan yang semakin gelap. Suara langkah kaki mereka terdengar cepat dan terengah-engah, sementara bayangan mengerikan mulai bergerak lebih dekat, mengikuti mereka dengan kecepatan yang hampir tidak bisa dijangkau. Hatinya berdetak keras, bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga karena ketegangan yang semakin memuncak di sekeliling mereka.
"Apa itu?" Elarya berteriak, suaranya hampir tenggelam oleh suara gesekan ranting dan daun yang dipijak oleh bayangan-bayangan itu.
Kael tidak menjawab dengan kata-kata, hanya menggenggam tangan Elarya lebih erat, menariknya lebih cepat menuju tempat yang lebih terbuka. Mereka terus berlari, dan Elarya merasakan angin dingin yang menyapu wajahnya. Di tengah ketakutannya, ada satu hal yang semakin ia sadari—perasaan yang tak bisa ia jelaskan, perasaan seolah dirinya adalah bagian dari kekuatan yang lebih besar, lebih gelap, dan lebih terang.
"Ini adalah awal dari perjalananmu, Elarya," kata Kael dengan suara berat dan tegas saat mereka berhenti di sebuah tepi hutan yang terbuka. Kael menarik napas dalam, menenangkan dirinya, sebelum menoleh ke arah Elarya dengan tatapan yang tajam namun penuh pengertian. "Mereka—makhluk-makhluk itu—adalah bagian dari kegelapan yang sedang mengancam dunia kita. Tapi kekuatan yang kamu miliki bisa menahan mereka... jika kamu memahaminya."
Elarya masih terengah-engah, mencoba menangkap semua kata-kata Kael. Ia ingin berbicara, bertanya lebih banyak, tetapi pikirannya begitu penuh dengan kegelisahan dan kebingungannya sendiri. "Aku... Aku tidak mengerti," katanya dengan suara gemetar. "Apa yang terjadi dengan aku? Kekuatan apa yang kamu bicarakan? Aku tidak tahu apapun tentang itu. Kenapa aku harus—"
"Sshhh..." Kael memotong, menatap Elarya dengan intens. "Dengarkan aku. Kekuatan yang ada dalam dirimu adalah sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang bisa menyelamatkan dunia dari kehancuran. Tapi itu juga bisa menghancurkanmu, jika kamu tidak tahu bagaimana mengendalikannya."
Elarya merasa dada dan tenggorokannya terasa sesak. "Menghancurkan diriku?" tanyanya, hampir tidak percaya. "Aku... aku tidak ingin menghancurkan siapa pun."
Kael mengangguk pelan, ekspresinya serius. "Kekuatan ini bukanlah tentang kehendak pribadi. Ini tentang keseimbangan. Dunia kita dibangun oleh dua kekuatan yang sangat berbeda—cahaya dan bayangan. Cahaya membawa kehidupan, tetapi bayangan menjaga agar dunia tetap berada dalam keteraturan. Keduanya saling bergantung, tapi jika salah satu kekuatan ini hilang atau rusak, kehancuran akan datang."
Elarya mengalihkan pandangannya ke hutan di sekitar mereka, seolah berharap bisa melihat sesuatu yang menjelaskan semua kata-kata Kael. "Tapi aku... aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Orang tuaku... mereka tidak pernah memberitahuku apapun tentang ini."
"Karena mereka takut," kata Kael, nada suaranya tajam, seperti pisau yang memotong ketegangan di udara. "Mereka takut akan kekuatanmu. Mereka tahu betapa besar beban yang harus kamu tanggung. Dan mereka tahu bahwa jika kamu memahami siapa dirimu, kamu akan dipaksa untuk memilih. Apakah kamu akan menjaga keseimbangan dunia ini, ataukah kamu akan membiarkan kegelapan merusak segalanya?"
Elarya menarik napas panjang, merasa kata-kata itu mengguncang dunia yang selama ini ia kenal. "Aku... aku hanya seorang gadis biasa. Aku tidak punya kekuatan apa-apa."
Kael mendekat, mengangkat tangannya dan meletakkannya di bahu Elarya dengan lembut. "Itu yang mereka pikirkan. Mereka tidak tahu bahwa kamu lebih dari itu. Segel Cahaya ada dalam dirimu. Itu adalah kekuatan yang sangat kuno, yang hanya diwariskan kepada mereka yang dipilih oleh takdir. Hanya mereka yang memiliki darah yang tepat, yang bisa mengendalikan kekuatan ini."
"Aku dipilih oleh takdir?" Elarya bertanya, suara herannya bergema. "Tapi aku tidak merasa istimewa."
"Karena selama ini, kamu hanya mengetahui sebagian kecil dari dirimu," kata Kael, dengan senyum samar yang menyiratkan kedalaman yang tidak bisa dijelaskan. "Tapi sekarang kamu akan mempelajari semuanya. Tidak ada yang bisa menghentikan takdirmu, Elarya. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa kamu adalah pewaris Segel Cahaya."
Elarya menutup matanya sejenak, merasakan angin yang berhembus lembut, namun dalam hatinya, ada badai yang bergemuruh. Selama ini, ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar kenyataan sehari-hari, sesuatu yang lebih kuat dari sekadar batasan yang dikenakan oleh orang tuanya.
"Jadi... apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanyanya dengan suara pelan, meski masih ada keraguan di dalam dirinya.
Kael menatapnya dengan penuh tekad. "Kamu harus belajar mengendalikan kekuatanmu. Itu dimulai dengan perjalanan kita. Kita akan menuju ke tempat yang sangat jauh dari sini. Di sana, kamu akan bertemu dengan para penjaga kekuatan, mereka yang dapat membantumu memahami segel yang ada dalam dirimu."
"Penjaga kekuatan?" Elarya bertanya, kebingungan kembali muncul di wajahnya.
"Ya," jawab Kael, menatap ke arah jalan yang terbuka di depan mereka. "Mereka adalah orang-orang yang telah hidup selama berabad-abad, yang menjaga keseimbangan dunia ini. Mereka akan mengajarkanmu cara mengendalikan segel itu. Tapi perjalanan ini tidak akan mudah. Kekuatan kegelapan semakin kuat, dan waktu kita semakin terbatas."
Elarya menatap ke kejauhan, hatinya masih dipenuhi rasa cemas dan ketakutan. Namun, ada sesuatu dalam kata-kata Kael yang mendorongnya untuk melangkah maju. Mungkin ini saatnya untuk mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Mungkin inilah saat yang ditunggu-tunggu, meski perjalanan ini penuh dengan risiko yang tidak dapat ia bayangkan.
"Baiklah," kata Elarya akhirnya, suara tegas meski sedikit bergetar. "Aku siap."
Kael tersenyum tipis, dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia melangkah maju. Elarya mengikutinya, meskipun masih ada banyak pertanyaan yang tak terjawab di benaknya. Hutan yang gelap dan penuh dengan misteri itu kini terasa lebih menakutkan, tetapi Elarya tahu bahwa apa pun yang menanti di depan, ia tidak akan pernah bisa kembali ke kehidupannya yang dulu. Dunia ini, dan dirinya sendiri, telah berubah selamanya.
Saat mereka melangkah lebih jauh, bayangan-bayangan di sekitar mereka seolah mulai menghilang, namun dalam hati Elarya, ketegangan semakin meningkat. Perjalanan panjang ini baru saja dimulai, dan tak ada yang tahu seberapa besar tantangan yang akan mereka hadapi.
---
Langkah kaki mereka semakin mantap, dan hutan yang semula tampak gelap kini sedikit lebih terbuka, seiring mereka menjauh dari tempat yang penuh ancaman tadi. Namun, perasaan aneh yang menguasai Elarya belum juga hilang. Ada perasaan terasing dan takut yang datang bersamaan dengan rasa penasaran yang mengguncang hatinya. Ia menatap Kael yang berjalan di depannya dengan wajah serius, seolah dunia ini tidak lebih dari sebuah teka-teki yang harus dipecahkan.
Tiba-tiba, Kael berhenti, membuat Elarya terkejut. Ia mendongak dan mendapati bahwa mereka sudah tiba di pinggiran hutan yang lebih terbuka. Di hadapan mereka terbentang sebuah lembah luas dengan pemandangan yang menakjubkan—bukit-bukit hijau yang terhampar dengan lembut, udara segar yang berhembus dari arah timur, dan langit yang mulai memudar dengan warna merah keemasan dari matahari yang terbenam.
Namun, suasana itu justru membuat Elarya semakin ragu. Ia merasa seperti berada di tempat yang sangat jauh dari rumah, dari kenyamanan yang selama ini ia rasakan. "Kael," ia memanggil pelan, "Kamu bilang kita harus belajar mengendalikan segel itu. Tapi... aku masih bingung. Apa yang sebenarnya aku hadapi? Apa yang akan terjadi jika aku tidak bisa mengendalikannya?"
Kael berbalik, menatapnya dengan intens. "Kekuatan yang ada dalam dirimu sangat besar, Elarya. Jika kamu tidak bisa mengendalikannya, dunia ini bisa kehilangan keseimbangannya. Bayangkan saja dunia yang tenggelam dalam kegelapan, kehilangan cahaya yang selama ini menjaga kehidupan." Kael berbisik, seolah takut ada yang mendengarnya. "Dan kekuatan itu... kegelapan itu... tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan segel yang ada dalam dirimu."
Elarya terdiam, mencoba mencerna kata-kata Kael. Namun, semakin ia berusaha mengerti, semakin banyak pertanyaan yang muncul. "Tapi kenapa aku? Kenapa aku yang harus memikul beban ini? Kenapa aku yang dilahirkan dengan segel itu?"
Kael menatapnya dengan tatapan yang tak terbaca. "Itulah pertanyaan yang selalu ada, Elarya. Tapi tak ada jawaban yang mudah. Kamu adalah pilihan takdir, dan takdir itu tidak selalu ramah. Dunia ini memiliki keseimbangannya sendiri. Jika satu bagian hilang, seluruh dunia akan hancur." Kael menarik napas dalam-dalam. "Dan kamu adalah kunci untuk menjaga keseimbangan itu."
Elarya merasa bingung dan tertekan. Selama ini, hidupnya terasa sederhana. Ia selalu merasa aman di lembah, dikelilingi oleh orang tuanya yang melindunginya. Kini, kenyataan itu mulai runtuh begitu saja, dan ia harus menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Keputusan yang harus ia buat bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk seluruh dunia.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanyanya dengan suara pelan, yang hampir tertutup oleh gemuruh angin.
Kael menyeringai, meskipun senyumnya terasa lebih seperti pelindung daripada penghibur. "Kamu harus belajar dari para penjaga. Mereka yang menjaga cahaya dan bayangan sejak zaman dahulu. Mereka akan membimbingmu, membantu kamu untuk mempelajari segel itu, dan apa yang harus dilakukan."
Elarya mengangguk pelan, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia bisa menghadapi apa pun yang akan datang. "Kapan kita berangkat?"
"Besok," jawab Kael singkat, kemudian melangkah maju, memimpin Elarya menuruni lembah. "Kita harus bergegas. Waktu tidak akan menunggu."
Dengan langkah cepat, mereka mulai berjalan, meninggalkan tempat yang masih memendam banyak pertanyaan dalam hati Elarya. Sepanjang perjalanan, Elarya merasakan dunia yang familiar perlahan menjauh, digantikan dengan jalan-jalan yang tidak pernah ia kenal. Ia ingin bertanya lebih banyak, namun suasana malam yang semakin gelap membuatnya sadar bahwa perjalanan mereka membutuhkan fokus penuh.
Malam itu, mereka berhenti di sebuah tempat terbuka, di mana Kael membuat api unggun. Elarya duduk di dekatnya, sementara Kael menyiapkan beberapa bahan untuk makan malam. Keheningan malam memberi ruang bagi pikiran Elarya untuk berkembang, berusaha menghubungkan semua potongan-potongan puzzle yang didapat dari percakapan dengan Kael. Ada banyak hal yang tidak bisa ia pahami, namun ia merasa bahwa satu-satunya cara untuk menemukan jawabannya adalah dengan terus berjalan, mengikuti Kael, mengikuti takdir yang sepertinya sudah ditentukan sejak lama.
Ketika Kael selesai menyiapkan makanan, ia duduk di sebelah Elarya, menatap api unggun yang menyala. "Kamu tidak harus tahu segalanya sekarang," kata Kael setelah beberapa saat hening. "Segala sesuatu butuh waktu untuk dipahami. Kamu akan belajar lebih banyak setiap hari. Dan aku akan membantumu."
Elarya menatap Kael. Ada rasa kepercayaan yang tumbuh dalam dirinya meskipun ia tidak sepenuhnya tahu siapa Kael sebenarnya. Namun, ia tahu satu hal: Kael adalah orang yang memiliki pengetahuan lebih banyak tentang dunia ini daripada dirinya. Ia mungkin bisa memberinya petunjuk untuk menemukan jalan yang benar.
"Terima kasih," kata Elarya pelan. "Aku takut, Kael. Aku takut aku tidak cukup kuat untuk menghadapi ini."
Kael menatapnya, matanya penuh pengertian. "Tidak ada yang terlahir kuat, Elarya. Semua orang punya ketakutannya masing-masing. Yang penting adalah bagaimana kita menghadapinya. Kekuatanmu bukan hanya tentang segel yang ada dalam dirimu, tapi tentang tekadmu untuk tetap berdiri meskipun semuanya terasa berat."
Elarya menunduk, merenung. Kata-kata Kael seolah menembus hatinya. Ia tahu bahwa ini baru permulaan dari perjalanan panjang yang penuh dengan ketidakpastian. Namun, ia juga tahu bahwa untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian. Ia merasa seolah ada harapan, meskipun kabut ketakutan masih menyelubungi.
Malam itu, Elarya terbaring dengan perasaan campur aduk. Saat matanya terpejam, ia mencoba membayangkan dunia yang Kael ceritakan—dunia yang terancam kehilangan keseimbangan, dunia yang membutuhkan kekuatan segel cahaya untuk bertahan. Apakah dia akan cukup kuat? Apakah dia mampu menghadapi kenyataan yang begitu besar dan mengubah takdirnya sendiri?
Hanya waktu yang akan menjawab.
---
Elarya terbangun dengan suara alam yang menyambut pagi. Udara di sekitarnya terasa segar, membawa semilir angin yang menenangkan, namun kegelisahan dalam hatinya tak kunjung mereda. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa takut menghantui setiap langkahnya. Dunia yang selama ini ia kenal sudah berubah, dan kini ia harus berjalan menuju takdir yang tidak ia pahami sepenuhnya.
Pagi itu, Kael sudah siap dengan perlengkapan mereka. Api unggun yang sebelumnya menyala telah padam, dan sisa-sisa bara api tampak menyala merah di bawah tanah. Elarya duduk perlahan, memijat pelipisnya yang sedikit pusing. Tidak ada yang seperti sebelumnya, dan ia tahu bahwa setelah hari ini, hidupnya akan sepenuhnya berubah.
“Apakah kamu siap?” tanya Kael, suaranya tenang namun penuh makna. Ia memandang Elarya dengan tatapan yang jauh lebih dalam dari yang ia tunjukkan sebelumnya.
Elarya mengangguk, walaupun hatinya masih dipenuhi keraguan. "Aku tidak tahu apa yang akan kita hadapi, Kael, tapi aku tidak punya pilihan selain mengikuti ini."
Kael mengangguk pelan, lalu berjalan menuju arah timur. "Kita akan menuju ke sebuah tempat yang sangat jauh dari sini. Tempat yang dijaga oleh para penjaga kekuatan. Mereka akan membantumu untuk mengendalikan segel itu, dan mengajarkanmu lebih banyak tentang siapa dirimu."
“Penjaga kekuatan…” Elarya mengulang kata itu, merasa ada keanehan dalam setiap penyebutannya. Siapakah mereka sebenarnya? Mengapa mereka menjaga keseimbangan dunia ini?
Mereka berjalan sepanjang hari, mengikuti jalan sempit yang membelah hutan dan melewati sungai-sungai kecil. Elarya tidak tahu berapa jauh mereka sudah berjalan, namun yang ia tahu adalah, meskipun perjalanan mereka masih jauh dari selesai, ada sesuatu yang berbeda. Cahaya yang meresap ke dalam hatinya mulai terasa lebih nyata. Mungkin itu adalah kekuatan yang Kael katakan. Namun, meskipun ia merasa lebih kuat, kegelisahan itu masih ada, menandakan bahwa perjalanan ini jauh dari mudah.
Malam menjelang, dan mereka mendirikan kemah di sebuah dataran tinggi yang menghadap lembah luas. Keindahan alam di sekitar mereka tidak dapat menutupi ketegangan yang ada dalam diri Elarya. Hatinya dipenuhi dengan banyak pertanyaan, yang tak tahu harus ia kemanakan.
"Kael," panggil Elarya setelah mereka makan malam, menatap api unggun yang menyala dengan riang. "Kenapa para penjaga itu harus melindungi segel cahaya? Apa yang mereka inginkan darinya?"
Kael duduk di sampingnya, matanya tertuju pada api yang membakar kayu kering. "Para penjaga kekuatan bukan hanya melindungi segel, mereka melindungi keseimbangan dunia. Tanpa segel cahaya, dunia ini akan tenggelam dalam kegelapan, kehilangan semua kehidupan yang ada. Segel cahaya adalah sumber kehidupan, dan hanya mereka yang memiliki darah pilihan yang dapat mengendalikannya."
Elarya memandangi Kael, mencoba menyelami lebih dalam tentang apa yang dia katakan. "Tapi kenapa aku?" tanyanya dengan suara rendah. "Kenapa aku yang dilahirkan dengan segel itu, dan bukan orang lain?"
Kael menghela napas. "Itu adalah pertanyaan yang bahkan aku tidak tahu jawabannya. Takdir bekerja dengan cara yang tidak bisa dipahami. Tetapi, yang aku tahu adalah, kekuatan itu ada padamu karena kamu yang dipilih oleh dunia ini. Kekuatan ini bukan hanya untukmu, Elarya. Ini untuk dunia. Untuk menyelamatkan semuanya."
"Untuk menyelamatkan semuanya…" Elarya mengulang kata-kata itu, merenungkannya. Tapi bagaimana mungkin dia yang seorang gadis biasa bisa menyelamatkan dunia? Itu terasa seperti sebuah beban yang tak tertahankan. Seperti sesuatu yang terlalu besar untuk ia emban.
Kael berdiri, menatap jauh ke arah langit malam yang penuh dengan bintang. "Di balik segel itu, ada banyak hal yang belum kamu ketahui, Elarya. Dan para penjaga itu adalah kunci untuk memahaminya."
Elarya tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia menatap api unggun itu, membiarkan pikirannya melayang jauh. Namun, ada satu hal yang terus menghantui pikirannya. Sejak pertemuannya dengan Kael, dunia yang ia kenal semakin jauh. Dan ia tahu, perjalanannya baru saja dimulai.
---
Esok paginya, setelah matahari terbit, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Hutan semakin jarang, digantikan oleh pemandangan pegunungan yang menjulang tinggi di kejauhan. Mereka tiba di kaki gunung yang besar, dan Kael menunjuk ke arah sebuah gua yang terletak di atas batu besar.
"Itu tempat mereka berada," kata Kael dengan suara rendah namun penuh penekanan. "Kita sudah hampir sampai."
Elarya menatap gua itu dengan cemas. Gua itu tampak sangat sunyi, seolah menunggu sesuatu yang besar. Kael memimpin jalan, memasuki gua dengan langkah mantap. Elarya mengikutinya, meskipun rasa takut menguasai dirinya. Semakin ia melangkah lebih dalam, semakin gelap gua itu, hanya diterangi oleh nyala obor yang Kael bawa.
Di dalam gua, suasana semakin mencekam. Udara menjadi semakin dingin, dan suara langkah kaki mereka bergema di sepanjang dinding gua yang licin. Tiba-tiba, Kael berhenti dan menatap ke depan, di mana ada sekelompok sosok yang berdiri tegak di sana, menunggu kedatangan mereka.
Mereka adalah penjaga kekuatan.
Penjaga pertama adalah seorang pria tinggi dengan rambut putih perak yang mengalir panjang. Matanya yang tajam menatap mereka dengan serius, sementara tubuhnya dilapisi oleh jubah hitam yang terlihat begitu ringan namun kuat. Di sampingnya, ada seorang wanita dengan rambut merah seperti api dan mata yang berkilau seperti permata. Di sebelahnya berdiri seorang pria tua yang tampaknya memiliki pengalaman yang sangat dalam—matanya tertutup, tetapi aura kekuatan yang memancar darinya begitu kuat.
Kael melangkah maju dan memberi penghormatan. "Saya membawa Elarya, sang pewaris segel cahaya," katanya dengan suara yang dalam.
Penjaga pertama, pria berambut perak itu, mengangguk pelan. "Kami telah menunggu kedatanganmu, Elarya," katanya dengan suara yang seperti angin. "Saatnya kamu belajar."
Elarya menatap mereka semua dengan rasa kagum dan cemas. Ia merasakan tekanan yang luar biasa—seperti ada sesuatu yang menunggu untuk dilepaskan. Tanpa berkata-kata, penjaga wanita yang berambut merah mendekat dan menatap Elarya dalam-dalam.
"Mulailah perjalananmu untuk memahami segel yang ada dalam dirimu, Elarya," kata penjaga wanita itu dengan suara yang lembut namun tegas. "Hanya dengan pemahamanmu, segel itu bisa bertahan, dan dunia ini bisa diselamatkan."
Elarya mengangguk pelan, menyadari bahwa jalan yang terbentang di depannya adalah perjalanan yang akan mengubah takdirnya selamanya. Ia telah memasuki dunia yang jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.
---
Elarya melangkah memasuki gua bersama Kael, merasakan suasana yang semakin gelap dan mencekam seiring mereka semakin dalam. Setiap langkah mereka menggema, seolah gua ini menyimpan rahasia-rahasia yang sudah lama terlupakan. Elarya menatap ke sekitar, mencoba mencari tanda-tanda kehidupan, namun hanya keheningan yang menjawab. Di dalam gua, bahkan udara terasa lebih berat, dan meskipun ada cahaya dari obor yang Kael pegang, bayang-bayang panjang tampak menari-nari di dinding.
Kael menuntunnya tanpa berkata apa-apa, hanya sesekali memberi panduan melalui gerakan tangan atau senyum kecil yang jarang terlihat. Elarya merasakan ketegangan semakin meningkat, dan pertanyaan yang menggelayuti pikirannya semakin mendalam. Para penjaga kekuatan ini—siapakah mereka sebenarnya? Apa yang mereka ingin ajarkan padanya? Dan, yang lebih penting lagi, bisakah dia benar-benar memahami kekuatan segel cahaya yang ada dalam dirinya?
Akhirnya, setelah berjalan cukup lama, mereka sampai di sebuah ruang besar di dalam gua. Ruangan itu tampak lebih terang dibandingkan bagian lain dari gua, berkat cahaya yang datang dari batu-batu kristal yang bersinar di dinding. Di tengah ruangan, ada sebuah batu besar yang menyerupai altar, dikelilingi oleh empat sosok yang berdiri dengan sikap yang penuh kewibawaan. Mereka mengenakan jubah panjang yang tampak kuno, dengan simbol-simbol yang tidak dikenali oleh Elarya. Masing-masing dari mereka memiliki aura yang sangat kuat, yang bisa ia rasakan meskipun mereka tidak bergerak.
Kael berhenti di depan salah satu penjaga, seorang pria tinggi dengan rambut perak yang mengalir panjang dan wajahnya yang tampak tidak tergoyahkan. Di sebelahnya berdiri seorang wanita dengan rambut merah cerah, dan di sisi lainnya, seorang pria tua dengan jubah yang lebih sederhana namun matanya yang penuh kebijaksanaan memancarkan kekuatan yang dalam.
"Ini adalah Elarya," kata Kael dengan suara yang dalam dan penuh hormat. "Pewaris segel cahaya."
Keempat penjaga itu mengamati Elarya dengan tatapan yang penuh makna, seolah sedang menilai sejauh mana dirinya siap menghadapi ujian yang akan datang. Mereka tidak berbicara seketika, tetapi suasana di sekeliling mereka berubah. Elarya merasa seolah-olah ada energi yang kuat mengalir di udara, menyelimuti dirinya dan membuatnya merasa lebih terjaga. Sesaat, ia merasa lelah, tetapi kemudian ia merasakan kekuatan aneh yang mengalir dalam dirinya—seperti ada cahaya yang mulai menyala di dalam dirinya.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Elarya, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Suaranya terdengar sedikit gemetar, meskipun ia berusaha agar suaranya terdengar lebih kuat.
Pria berambut perak itu memandangnya dengan tajam. "Kamu akan memulai perjalananmu di sini, Elarya. Kamu harus belajar memahami segel cahaya dalam dirimu. Segel itu adalah kekuatan yang tidak hanya melindungi dunia ini, tetapi juga menahan kegelapan yang berusaha menghancurkan semuanya."
Elarya menelan ludah, merasa semakin berat beban yang ada di pundaknya. "Tapi bagaimana aku bisa mengendalikan sesuatu yang aku bahkan tidak tahu bagaimana cara kerjanya? Segel itu ada di dalam diriku, tapi aku tidak tahu bagaimana aku bisa menggunakannya."
Wanita berambut merah itu mendekat dan mengamati Elarya dengan sorot mata yang penuh perhatian. "Kekuatan segel itu bukan hanya soal mengendalikan. Kekuatan itu berasal dari hati. Hanya dengan memahami dirimu sendiri, kamu akan dapat mengendalikannya. Tidak ada yang bisa mengajari kamu untuk menggunakannya dengan sempurna, karena itu adalah perjalanan pribadi. Tetapi kami akan membimbingmu, memberikanmu pengetahuan untuk memahami bagaimana kekuatan ini bekerja."
Pria tua yang berdiri di sisi wanita itu mengangguk pelan. "Hanya dengan latihan dan pemahaman, segel itu bisa bekerja dengan baik. Tapi ada hal lain yang perlu kamu tahu, Elarya. Kekuatan dalam dirimu tidak datang tanpa konsekuensi. Setiap kekuatan datang dengan harga yang harus dibayar. Apa pun yang kamu pilih untuk lakukan, akan ada yang harus dikorbankan."
Kata-kata itu menggema dalam diri Elarya, membuatnya merasakan ketegangan yang semakin berat. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan cemas yang mulai menguasai pikirannya. Apa yang dimaksud dengan harga yang harus dibayar? Apakah itu berarti ada sesuatu yang akan hilang dalam perjalanannya nanti? Sesuatu yang sangat berharga?
Tiba-tiba, pria berambut perak itu berbicara lagi. "Kami akan mengajarkan dasar-dasar pengendalian segel cahaya. Ini adalah latihan pertama." Ia melangkah ke altar batu besar dan meletakkan tangannya di atasnya. "Segel cahaya tidak akan mengungkapkan dirinya begitu saja. Kamu harus belajar untuk membuka hatimu, dan hanya ketika hatimu terbuka, segel itu akan memberikanmu petunjuk."
Kael mengangguk dan berdiri di samping Elarya. "Inilah tempat di mana kamu akan mulai memahami segelmu, Elarya. Jangan takut. Semua ini adalah bagian dari perjalananmu."
Elarya menatap altar itu, mencoba menenangkan pikirannya. "Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya lagi, kali ini dengan lebih tenang.
Penjaga wanita berambut merah itu memberikan senyum lembut. "Pusatkan pikiranmu pada dirimu sendiri, Elarya. Fokus pada apa yang ada di dalam hatimu. Segel cahaya akan merespons jika kamu bisa membuka dirimu pada cahaya itu."
Dengan ragu, Elarya melangkah maju menuju altar, merasakan seluruh ruang itu terisi dengan keheningan. Ia tahu bahwa saat ini adalah momen yang sangat penting, namun entah mengapa ia merasa seolah ada yang menarik dirinya ke dalam kegelapan. Ia berhenti di depan altar, menutup matanya, dan berusaha menenangkan hatinya.
"Segel cahaya, aku memohon. Aku ingin mengerti," bisiknya pelan, dan tiba-tiba, sepertinya ada sesuatu yang bergerak di dalam dirinya. Sebuah energi yang kuat mengalir melalui tubuhnya, memenuhi setiap sudut jiwa dan raga Elarya. Cahaya terang tiba-tiba menyelimuti dirinya, dan untuk pertama kalinya, Elarya merasakan kekuatan segel itu bergerak dalam dirinya.
Namun, cahaya itu bukan hanya memberikan kekuatan. Itu juga mengingatkan dirinya pada sesuatu yang jauh lebih gelap. Sesuatu yang bersembunyi di balik kekuatan itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!