**
Oktober 2015.
Aku Nada Olivia Jhonson, anak tunggal yang tidak memiliki adik ataupun Kakak. Aku ingin sekali memiliki saudara supaya aku bisa bermain bersama dan saling melindungi, tapi Mamaku tidak bisa memberikan aku seorang adik. Aku berharap lebih pada tuhan, dan ternyata Tuhan mengabulkannya, aku dipertemukan dengan seorang gadis yang seumuran denganku dia adalah Naomi, anaknya cantik dan baik. Kami bertemu disebuah restauran dan setelah berbincang cukup lama, aku menyukainya, dan terdengar dari ceritanya dia tidak memiliki orang tua. Itu membuat aku semakin yakin bahwa Naomi akan menjadi saudaraku.
Mama dan Papa menyetujui keinginanku, setelah proses yang panjang. Akhirnya Naomi menjadi saudaraku sampai detik ini, meskipun perilakunya sekarang berbeda tapi aku tetap menyayangi Naomi sampai kapanpun.
Di bulan Oktober tahun 2015 kami bertemu, dan sampai saat ini 2024 kami sudah menginjak remaja.
**
Kicauan burung terdengar begitu nyaring, hingga membuat seorang gadis cantik terbangun dari mimpi indahnya.
Nada menggeliat tubuhnya karena merasa pegal semalaman dia tidak merubah posisi.
"Aduh leher Nada sakit," keluhnya.
Nada menatap jam di dinding kamar masih menunjukkan jam enam pagi. Dia bangun dari tidurnya sambil menyampirkan handuk di pundak dan bergegas menuju kamar mandi.
"Mah, Pah, nanti siang Naomi latihan piano. Pulangnya pasti agak sorean. Soalnya besok udah mulai gladiresik."
"Iya Sayang enggak masalah kok, kamu latihan yang serius ya, supaya nanti kamu dapat mendali lagi," jawab Nadia.
Naomi menganggukkan kepala. "Siap Mah. Mama enggak perlu khawatir Naomi akan bekerja keras. Tapi... " jeda Naomi dengan wajah tak enak.
"Tapi kenapa?" tanya Abimanyu.
"Emm, Naomi minta uang tambahan boleh? Uang Naomi sedikit lagi, kemarin habis dibelikan kegiatan di sekolah."
"Oh soal itu, nanti Papa transfer ya."
"Makasih Pah." Naomi begitu bahagia saat keinginannya dengan mudah didapatkan begitu saja.
Sedangkan di anak tangga ada Nada yang tersenyum miris, saat orang tuanya begitu mudah memberikan uang tambahan untuk Naomi. Padahal Nada juga meminta untuk keperluan sekolah malah dapat tamparan dari Papanya.
Nada turun dengan hati yang lapang, sambil tersenyum lebar. Menghampiri meja makan dan bergabung dengan keluarganya.
"Selamat pagi Mah, Pah, Naomi."
"Pagi juga Nada," jawab Naomi sambil tersenyum.
Kedua orang tuanya hanya berdeham dan melanjutkan sarapan bersama. Nada sudah biasa diperlakukan seperti ini oleh orang tuanya, dia hanya bisa bersabar semoga mereka kembali baik pada Nada.
"Papa mau berangkat, ada meeting di kantor."
"Biar Mama antar ke depan Pah."
Abimanyu menganggukkan kepalanya, mereka tergesa-gesa sekali dengan sarapan yang belum mereka habiskan, Nada saja baru makan dua suapan itu pun masih nyangkut di tenggorokan.
"Em Pah, Nada mau minta uang boleh?" tanya Nada sambil ketakutan.
"Uang lagi, uang lagi, emang enggak bisa ya kamu sehari aja enggak minta uang?"
Nada mengerutkan keningnya. "Nada baru ini minta lagi, lagian kemarin kan Papa enggak ngasih."
"Ngelawan aja kamu. Kamu kalau mau uang tambahan kaya Naomi dong, berprestasi malah minta uang terus."
Nada mengeratkan genggamannya sampai roknya terlihat kusut. Naomi merangkul dan membela Nada di depan orang tua mereka.
"Pah jangan dimarahin. Udah biarin Naomi aja yang kasih uangnya buat Nada."
Nada menatap Naomi, dia semakin merasa Naomi bukan membelanya tapi malah memperlihatkan bahwa Naomi lebih unggul dari Nada.
"Jangan Sayang, uang kamu kan dikit lagi," balas Nadia.
"Dari pada Nada malah dimarahin. Naomi enggak suka liat Nada sedih."
"Oke-oke, biar Papa yang kasih uangnya. Udah simpan saja uang kamu itu."
Abimanyu merogoh saku celana dan dia berikan pada Nada dua puluh ribu. Nada menerimanya dengan senyuman miris, bayangkan dia harus jajan dengan uang segitu, ditempat sekolah yang sangat elit.
Nada tidak mau menambah amarah Papanya, dia menerimanya dengan baik.
"Naomi juga mau berangkat. Naomi bareng Papa ya."
Abimanyu menganggukkan kepala. "Ya udah ayok kita bareng."
"Nada juga mau bareng, tapi Nada habiskan dulu ya," balas Nada.
Abimanyu memutar bola matanya. "Ya sudah buruan, Papa tunggi di mobil."
Naomi dan kedua orang tuanya keluar dari rumah dan memasuki mobil. Sedangkan Nada dia sedang menghabiskan sarapannya sambil memasukan botol minum ke dalam tas.
"Aduh Naomi lupa, kalau pagi ini Naomi ada rapat osis, duh gimana ya. Nada masih lama enggak ya?" Naomi menatap ponselnya seakan dia benar-benar sedang terlambat.
"Ya sudah kita berangkat saja, nanti kamu malah dihukum," jawab Abimanyu.
"Iya Sayang, mending kamu berangkat deh. Biarin Nada bisa naik angkot," balas Nadia.
"Tapi beneran enggak apa-apa?" tanya Naomi.
"Iya beneran, udah Pah cepetan berangkat. Naomi lagi sibuk sama kegiatan sekolahnya."
"Ya sudah, kita berangkat."
Naomi tersenyum miring melihat orang tuanya mengabulkan semua keinginan Naomi dengan mudah. Mereka meninggalkan Nada yang baru saja keluar sambil berlari kecil.
"Pah, Pah," panggil Nada dengan suara lantang.
Nadia menarik lengan Nada untuk tidak mengejar mobil sang suami.
"Kamu berangkat naik angkot aja, Papa buru-buru ke kantor," ucap Nadia.
"Tapi Mah, tadi Papa mau nungguin Nada," jawab Nada sambil menahan tangis, karena pasalnya dia akan terlambat jika harus mencari angkutan umum.
"Biasanya juga pakai angkot, udah sana berangkat."
Nadia masuk ke dalam rumah meninggalkan Nada di pekarangan rumahnya. Nada menghela napas berulang kali, Papanya begitu tega meninggalkan Nada sekian kalinya.
Nada berjalan seorang diri, dia sudah pasrah jika harus terlambat dan tidak boleh masuk ke dalam lingkungan sekolah.
Berjalan sepuluh menit, Nada mendengar sebuah klakson motor dari arah belakang, dan motor tersebut berhenti menghalangi jalan Nada.
"Heh Nada, ngapain Lo masih di sini? Bentar lagi bel masuk."
"Gue lagi nunggu angkutan umum, kaga ada yang lewat makanya gue jalan."
"Ya udah buruan naik, bareng sama Aa ganteng."
Nada berdecak. "Enggak salah dengar gue?"
Jeno terkekeh melihat wajah Nada. "Emang gue ganteng, salah?"
"Serah Lo deh." Nada menaiki motor Jeno.
Jeno adalah sahabat Nada di sekolah High School, Jeno yang pertama kali mengajak Nada berteman. Karena Nada terlihat cuek dengan teman wanitanya, Nada pun menerima ajakan Jeno untuk menjadi teman.
"Lo ditinggalin lagi ya sama bokap Lo?"
Nada mengangguk. "Iya begitulah, sudah biasa."
"Pasti Naomi ya si Nenek lampir yang ngehasut bokap Lo."
Nada mencubit lengan Jeno. "Enggak boleh soudzan Lo jadi orang, mungkin aja emang bokap gue buru-buru tadi."
Jeno berdecak. "Ah Lo mah pikirannya positif mulu, kali-kali negatif gitu sama itu orang. Padahal ya gue liatnya emang kaya gitu."
"Ck, otak Lo kotor harus dibersihin."
"Hih, dikasih tahu malah ngelak."
Nada terdiam sambil menatap lurus ke depan. Sebelum Jeno mengatakan itu, Nada sudah lebih tahu. Namun, Nada tidak mau jika Naomi dipandang jelek oleh orang lain. Bagaimanapun juga Naomi saudara Nada.
Sesampainya di sekolah, Nada dan Jeno berjalan bersama. Satu sekolah sudah tahu dengan kedekatan mereka berdua, mereka tidak mempermsalahkan jika harus dibicarakan dari belakang, karena Jeno dan Nada hanya sahabat tidak lebih.
"Lo jadi lomba melukis?" tanya Jeno.
Nada menganggukkan kepala. "Jadi, tapi..."
"Lo takut sama nyokap, bokap Lo iya?"
Nada menganggukkan kepalanya. "Pasti mereka tahu soal ini, Lo tahu sendiri kan mereka enggak suka kalau gue ngelukis. Buang-buang waktu enggak berguna."
"Ck, emang keluarga Lo aneh."
Nada terkekeh. "Mereka tetap keluarga gue, Jeno!"
"Iya-iya serah deh. Oh ya PR matematika udah?"
"Udah dong, pasti mau nyontek iyakan?"
Jeno terkekeh sambil menyentil dahi Nada. "Tahu aja sih, mana buruan sini. Gue mau nyalin keburu bel nanti."
"Ck elah santai dong!"
Nada duduk di bangkunya bersama Jeno, membuka buku dan Jeno pun menyalin pekerjaan rumah di sekolah. Jeno sebenarnya anak yang pintar namun kepintarannya selalu dia tutupi dengan rasa malas, Nada pun heran dengan kelakuan Jeno.
Bel pun sudah berbunyi, semua orang langsung masuk dan duduk dengan rapi, mereka sedang menunggu kedatangan sang guru yang akan mengajar di kelas Nada.
Nada dan Naomi berbeda kelas, Naomi berada di kelas unggulan dan Nada ada di kelas yang orang-orangnya bisa dikatakan pintar dan biasa saja. Padahal Nada juga sama pintarnya, namun orang tua Nada malah melihat keunggulan Naomi dari hal non akademik, yang dimiliki Nada dari non akademik adalah melukis, dia suka sekali menggambar hal apapun dengan kuas dan canvas yang selalu dia miliki di dalam kamar, karena menggambar membuatnya selalu tenang.
**
Bel istirahat pun berbunyi, semua orang berbondong-bondong keluar dari kelas menuju kantin dan mencari tempat duduk untuk makan dan bergosip ria.
Nada menghela napas, dia tidak akan ke kantin karena uang yang diberikan Abimanyu tidak banyak dan itu membuat Nada hanya bisa menahan lapar sampai nanti pulang sekolah.
"Ayo ke kantin," ajak Jeno.
Nada menggeleng kepala. "Enggak ah males, Lo aja gih yang jajan."
Jeno menarik lengan Nada untuk berdiri dan itu membuat Nada terkejut.
"Eh kampret, santai dong!"
"Hehe maaf. Gue traktir deh."
"Enggak Jeno, udah sana Lo ke kantin. Nanti keburu penuh."
"Gue lagi happy, makanya gue mau traktir Lo. Jangan nolak please!"
"Happy kenapa?"
"Gue udah ngerjain PR MTK, hehe."
Nada mendengus. "Dih, gue kira apaan."
"Ya makanya."
"Tapi Lo enggak ada maksud lain kan?"
Jeno terkekeh. "Maksud Lo, kasihan sama Lo yang enggak ke kantin gitu?"
Nada mengangguk. "Iya."
"Ngapain gue kasihan sama Lo, gue tahu Lo orang kaya enggak mungkin enggak bisa jajan di kantin."
Nada tersenyum kecut. "Ya udah ayo buruan!"
Akhirnya Nada yng menarik lengan Jeno menuju kantin. Sebenarnya Jeno tahu jika Nada tidak ke kantin pasti uang jajan yang diberikan orang tuanya hanya sedikit. Kenapa Jeno tahu, karena Jeno pernah memergoki Nada sedang berbicara sendiri sambil menghitung uang receh yang tidak seberapa, padahal keluarga Nada keluarga terpandang dan semua orang mengetahuinya. Akhirnya Jeno pura-pura tidak pernah tahu soal keuangan Nada.
Sesampainya di kantin Nada dan Jeno mencari tempat duduk yang kosong dan dia mendapatkannya di pojok.
"Lo tunggu di sini, gue yang pesan. Lo mau pesan apa?" tanya Jeno.
"Samain aja."
"Oke, jangan ke mana-mana."
Nada menganggukkan kepalanya, dia menunggu Jeno sambil bermain ponsel. Tak lama suara heboh dari semua penghuni kantin terdengar begitu nyaring, namun Nada malah mengabaikannya dan masih fokus ke layar ponsel.
"Woy itu geng Wolf Warrior! "
"Anjir Kenzonya aing ganteng banget!"
"Bagas alapyuu!"
"Kiki ya ampun, diam-diam wajahmu mengalihkan duniaku, woy elah!"
"Anggara nikahi aku dong!"
Semua siswi memanggil geng sekolah bernama Wolf Warrior yang selalu disegani oleh penduduk High School, keberadaan mereka membuat siapa saja jatuh cinta. Tampan, pemberani, pintar ditambah dari kalangan orang kaya yang menambah cahaya di wajah mereka.
"Ini yang selalu gue suka kalau datang ke kantin, diteriaki sama ciwi-ciwi manis nan cantik," ucap Bagas sambil menyugarkan rambutnya ke belakang.
"Hooh Lo bener, Gas! Berasa jadi artis anjir," jawab Anggara tak kalah bersemangat.
Kiki dan Kenzo hanya memutar bola mata, sambil duduk di meja yang sudah mereka klime sebagai milik Wolf Warrior.
"Hy Kenzo," sapa Naomi tiba di depan geng Wolf Warrior dengan senyuman manisnya.
Kenzo hanya menatap tanpa menjawab sapaan dari Naomi.
"Hy juga Naomi cantik." Bagas yang menjawab sapaan Naomi, bukan Kenzo.
"Gue ke Kenzo bukan ke Lo ya," jelas Naomi.
"Kenzo nya lagi sariawan, jadi gue aja yang jawab. Sama aja kan? Sama-sama ganteng!" balas Bagas kembali sambil menyugarkan rambutnya.
Naomi mengabaikan Bagas, dan dia menyodorkan sebuah kotak makan yang selalu Naomi bawa untuk Kenzo.
Dari sudut meja, Nada akhirnya tertarik melihat kegaduhan yang ada di sekitar dirinya.
"Gue bawain Lo makan siang, semoga Lo suka ya."
Bukannya menjawab ucapan Naomi, Kenzo malah tak sengaja melihat Nada dan mereka berdua saling beradu pandang, tatapan Kenzo yang tajam membuat Nada membuang muka karena terkejut dan ketakutan.
"Lo kenapa?" tanya Jeno yang baru saja tiba sambil membawa dua mangkok mie ayam.
"Shutt... jangan berisik udah Lo duduk aja," jawab Nada sambil menarik lengan Jeno.
Jeno mengerutkan keningnya dan dia melihat Nada menatap ke arah meja Wolf Warrior.
"Oh Lo diliatin Kenzo."
Nada menggeleng kepala."Udah buruan makan, keburu bel masuk."
Jeno menahan senyum. "Cie Nada, diliatin Kenzo."
Nada mencubit lengan Jeno. "Ck, berisik Lo ah."
"Pipinya merah merona gitu, cie Nada cie."
Nada menutup telinganya, sambil menginjak sepatu Jeno cukup kuat. Hingga sang empu mengaduh kesakitan.
Jeno terkekeh dan mereka pun melanjutkan makannya. Sedangkan Kenzo dia hanya bermain ponsel sambil mendengar celotehan sahabatnya yang sedang memakan-makanan dari Naomi.
"Wih enak banget ini makanan, udah cantik, baik, pinter masak lagi, emang idaman banget itu si Naomi," celetuk Bagas.
"Ya udah pacarin aja," balas Anggara.
"Dia sukanya sama Kenzo, bukan sama gue."
"Lagian Kenzo juga kaga suka keknya sama Naomi."
Kiki yang sedang membaca buku hanya menghela napas jengah mendengar ucapan kedua temannya.
"Kenapa si Ki, napas Lo keliatannya berat bener," ucap Bagas.
"Berisik!" jawab Kiki tegas.
Bagas dan Anggara saling menyenggol, jika Kiki sudah mengeluarkan suara dipastikan pria itu sudah sangat merasa terganggu.
**
Bel pulang telah berbunyi, seluruh siswa dan siswi keluar dari kelas dengan wajah ceria karena bersemangat untuk pulang ke rumah, tapi tidak dengan Nada yang malas berada di dalam rumah.
"Gue kayanya enggak bisa ngajak Lo balik bareng deh," ucap Jeno.
"Ya udah sih, lagian gue juga enggak akan nebeng sama Lo," jawab Nada santai.
"Soalnya gue harus jemput nyokap, dia lagi ada di butik."
"Iya Jeno, Lo boleh balik duluan kok."
"Terus Lo gimana?"
"Ya gue balik sendiri lah, masa iya gue nginep di sekolah."
"Ya udah kalau gitu, Lo beneran kan langsung balik?"
Nada menganggukkan kepalanya, meyakinkan Jeno bahwa dia akan pulang ke rumah. Jeno pun bernapas lega, mengacak rambut Nada dan keluar dari ruangan kelas. Kini hanya tersisa Nada seorang sambil memasukan buku-buku ke dalam tas.
Nada menghela napas dan keluar dari kelas sambil menyampirkan tasnya ke punggungnya.
Siapa sangka Nada yang melamun tidak sengaja menabrak geng Wolf Warrior yang baru saja melintas, semua mata memandang ke arah Nada yang menyenggol ponsel milik Kenzo.
"Buset, ponsel Kenzo yang baru retak," ucap Bagas dengan penuh dramatis.
"Wah, gawat bisa-bisa Kenzo ngamuk," jawab Anggara.
Nada benar-benar ketakutan hingga dirinya tidak bisa berkata apapun.
"Ambil!" titah Kenzo dengan suara rahang yang mengeras.
"Hah?" Nada mengerutkan kening, dia mendengar ucapan Kenzo, tapi dia tidak tahu siapa yang Kenzo suruh.
"Ambil ponsel gue!" tegas Kenzo sambil menarik paksa Nada hingga gadis itu terkejut dan berlutut di lantai.
Nada meringis lututnya terasa perih, dia segera memungut ponsel milik Kenzo yang terlihat retak.
Nada menyodorkan pada Kenzo namun tidak Kenzo terima, hanya ada suasana yang mencengkam di sana.
"Benerin HP gue, besok Lo balikin!"
Nada membulatkan mata, Kenzo berjalan melintasi Nada dan gadis itu menggeleng kepala tidak sanggup untuk membenarkan ponsel mahal milik Kenzo.
"Gue enggak bisa," jawab Nada.
Kenzo berhenti dan berbalik badan sambil menarik alisnya ke atas.
"Enggak bisa?"
Nada mengangguk. "Emm, gue enggak punya duit buat benerin HP Lo."
Kenzo berjalan menghampiri Nada, Nada pun mundur ke belakang sampai menabrak tembok kelas. Lengan Kenzo mengunci pergerakan Nada, napas Nada terasa tercekik padahal masih ada ruang di sana.
"Gue enggak mau tahu Lo punya duit atau enggak. Yang jelas Lo benerin ini HP atau Lo habis sama gue!" tegas Kenzo dengan suara beratnya.
Setelah itu Kenzo pun pergi dari hadapan Nada, di susul teman-temannya.
Bagas menepuk pundak Nada berulang kali. "Selamat, Lo masuk kandang serigala."
Nada menghela napas berat, dia benar-benar bingung bagaimana bisa dia bertanggung membenarkan ponsel Kenzo.
"Sial banget, dia yang nabrak gue yang harus ganti!" keluh Nada sambil melangkah keluar dari lingkungan sekolah.
**
Sepulang sekolahnya Naomi langsung bercengkrama dengan Nadia di ruang TV.
"Mah, besok datengkan ke gladiresik Aku?" tanya Naomi.
Nadia mengusap kepala Naomi dengan lembut. "Datang dong Sayang. Mama akan duduk paling depan melihat kamu."
Naomi tersenyum lebar. "Makasih Mah. Naomi Sayang Mama."
Naomi memeluk Nadia dengan erat, begitupun Nadia membalas pelukan Naomi. Di lantai atas Nada melihat keduanya dengan sangat romantis, gadis itu hanya bisa menghela napas panjang dan kembali masuk ke dalam kamar, tadinya Nada ingin mengambil air minum namun dikejutkan dengan Naomi dan Nadia yang sedang berada di ruang TV.
Nada duduk di meja belajar sambil mengeluarkan ponsel milik Kenzo, bagaimana bisa dia membenarkan ponsel itu sedangkan Nada tidak memiliki uang.
"Apa besok ke tukang servis aja kali ya, mudah-mudahan enggak terlalu mahal."
Tak lama ponselnya bergetar dan terlihat nama Jeno di sana. Nada langsung mengangkat ponselnya.
"Nada!" teriak Jeno di seberang sana.
Nada menjauhkan ponselnya karena suara Jeno yang cukup mengganggu telinga.
"Lo kalau nelpon salam dulu kek, main teriak-teriak aja sih!"
"Hehe, ya mangap. Gue ada di depan rumah Lo buruan keluar. "
Nada mengerutkan keningnya sambil melangkah menuju balkon kamar. Dan terlihat Jeno melambaikan tangannya.
"Buruan turun!" titah Jeno.
Nada pun mematikan sambungan telponnya, dan berlari keluar dari rumah menghampiri Jeno. Diruang TV keluarganya sedang makan cemilan yang ternyata Abimanyu yang membawanya sepulang kerja, Nada hanya tersenyum getir melihatnya.
Jeno melambaikan tangan dengan heboh saat Nada sudah keluar dari rumah.
"Ngapain malam-malam ke sini?" tanya Nada.
Jeno menyodorkan sebuah kotak berisikan donat madu yang enak untuk Nada.
"Tadi habis jemput nyokap, gue liat ada donat madu terus keingat sama Lo, makanya gue bawain deh."
"Uh manisnya."
"Siapa gue?"
"Bukanlah donatnya, Lo mah sepet."
Jeno memanyunkan bibir sambil mengambil kembali donat yang dipegang Nada.
"Ih kok diambil sih."
"Lo nya nyebelin!"
"Hehe bercanda kali, udah ah sini. Niat baik ya jangan diambil lagi dong."
"Ya udah sana cepet masuk lagi, di luar dingin," titah Jeno sambil menepuk pucuk kepala Nada.
Nada mengangguk. "Makasih ya donatnya."
"Sama-sama. Kalau gitu gue balik dulu."
"Hmm, eh tunggu!"
"Kenapa?"
"Lo punya kenalan tukang servis HP yang bagus gak?"
"Em... kenapa emang? HP Lo rusak?"
Nada menggeleng. "Bukan HP gue sih, ya pokonya Lo tahu enggak?"
"Tahu, gue punya langganan dan servisnya cepet. Mau gue antar?"
"Boleh deh, besok antar gue ke sana ya."
"Siap, ya udah sana masuk."
Nada mengangguk sambil melambaikan tangan ke arah Jeno, dan segera masuk ke dalam rumah.
Melewati keluarganya yang sedang tertawa bersama, tiba-tiba Naomi memanggil nama Nada.
"Nada bawa apa tuh?" tanya Naomi.
Nada berhenti dan berbalik. "Donat," jawab Nada.
"Wih, kayanya enak. Lo beli ya?"
Nada menggelengkan kepala. "Beli dari mana? Ini dari Jeno kok."
"Lho, bukannya tadi di sekolah Lo minta uang ke gue buat beli donat ya."
Nada mengerutkan kening. "Minta uang? Gue enggak minta uang sama Lo."
"Bukannya tadi pagi Papa kasih kamu uang? Kenapa kamu minta lagi ke Naomi, Nada?!" sela Abimanyu.
"Nada enggak minta uang ke Naomi, Pah. Ini donat dari Jeno."
"Udah Pah, udah. Naomi enggak masalah kok. Kalau Nada enggak jujur, udah ya Pah jangan dimarahin kasihan Nada," balas Naomi dengan wajah sendu.
Abimanyu merangkul Naomi. "Nanti uangnya Papa ganti. Maafin Nada ya. "
Naomi menganggukkan kepalanya, dan Nada benar-benar tak habis pikir dengan Naomi yang memfitnah Nada begitu saja.
"Mulai dari besok Papa enggak akan kasih kamu uang jajan," ucap Abimanyu pada Nada.
"Lho, kenapa gitu? Nada juga perlu uang saku Pah! Salah Nada apa, sampai Papa kaya gini sama Nada?"
"Salah kamu enggak berprestasi kaya Naomi, liat dia berprestasi dalam akademiknya. Papa jadi bangga dan senang melihatnya."
"Nada juga punya prestasi tapi Papa sama Mama enggak dukung Nada!"
"Apa prestasi kamu, melukis? Haha apa yang mau dibanggain, cuma gambar enggak berguna! Enggak akan bisa buat bikin kamu sukses."
Perkataan Papanya membuat jantung Nada sakit, bisa-bisanya orang tua Nada berkata yang tidak baik pada anak kandungnya sendiri.
Nada tidak bisa berlama-lama dengan mereka, Nada pun berlari masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kamar. Dia terduduk di lantai sambil memukul dadanya berulang kali, karena rasa sakit yang dia rasakan begitu terasa.
"Tahan Nada, anggap aja hinaan itu yang akan membuat kamu menjadi manusia yang kuat dan sukses!" tegas Nada, seketika dia tersenyum kembali. Perkataan Abimanyu masih bisa Nada tahan, bagaimanapun juga Abimanyu adalah Papa kandungnya sendiri.
**
Keeseokan paginya, Nada bersiap untuk bersekolah dan keluar dari kamar. Tak lama dia dan Naomi bersamaan turun menuju lantai bawah.
Terlintas dipikiran jahat Naomi untuk Nada. Dengan sudut bibirnya yang terangkat.
"Aw! Sakit...." Naomi menangis sambil memegangi lengannya.
Nada yang tidak tahu apa-apa hanya terdiam dan menatap Naomi sambil berdiri.
"Kamu marah sama aku, Nad? Maaf Nada, Naomi bukan mau ngadu sama Papa."
'Ya Tuhan, drama apalagi ini,' batin Nada.
Abimanyu dan Nadia langsung berlari ke atas saat terdengar teriakan Naomi begitu keras.
"Naomi?" teriak Nadia sambil berlari dan mendorong Nada untuk tidak menghalangi jalannya.
Nada pun terjatuh ke belakang mengenai tembok kamarnya.
"Kamu kenapa Naomi?" tanya Nadia.
"Tangan Naomi sakit Mah,"jawab Naomi sambil mengusap air matanya yang keluar. Nada heran Naomi pandai sekali berakting.
"Ini tangan kamu kenapa?"
Naomi menatap Nada. "Nada dorong Naomi Mah, terus injak kaki Naomi."
Abimanyu langsung naik pitam, dia berjalan dan menampar Nada cukup kencang.
"Kamu apakan Naomi?"
"Nada enggak apa-apain Naomi, Pah. Nada juga enggak tahu kalau Naomi jatuh."
"Bohongkan kamu? Bisa enggak sih, enggak ganggu Naomi?"
Nada memegangi pipinya yang terasa panas. "Nada enggak ganggu Naomi, Pah."
"Nada maafin aku, maaf!" Naomi berusaha mendekati Nada dengan susah payah.
"Udah Sayang," bela Nadia.
"Mah, bawa Naomi ke kamar dan obati tangannya," titah Abimanyu.
Nadia mengangguk dan dia membawa Naomi ke dalam kamar untuk mengobati lengannya.
Abimanyu menarik lengan Nada sampai ke lantai bawah dengan sekali tarikan, dan itu membuat kaki Nada kesulitan berjalan dan terlihat lecet mengenai tangga.
"Pah sakit, Pah!"
"Pergi kamu, bikin ulah terus bisanya!" Abimanyu mendorong Nada hingga terjatuh ke lantai.
Abimanyu masuk dan meninggalkan Nada begitu saja, Nada tidak tahan dan dia pun akhirnya menangis sambil mengusap kakinya yang sakit.
Nada bangun dengan perlahan dan melangkah dengan terpincang sambul menyusuri jalanan untuk mencari angkutan umum.
Angkutan umum yang dia tunggu ternyata penuh dengan siswa yang bersekolah dekat dengannya yaitu dipakai oleh SMA Bangsa, dan SMA High School banyak memggunakan mobil pribadi atau pun motor.
Nada sudah pasrah sulit mencari angkutan kosong, dia hanya bisa berjalan sampai menempuh perjalanan cukup lama, waktu sudah menunjukkan jam tujuh lebih dan itu membuat gerbang sekolah sudah tertutup rapat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!