NovelToon NovelToon

Apakah Ini Obsesi Ku?

awal pertemuan & ketertarikan berbahaya

Awal Pertemuan

Pertemuan pertama Reintara dan Apria terjadi di sebuah acara gala amal yang diadakan oleh salah satu mitra bisnis Reintara. Apria, yang saat itu menjadi salah satu tamu undangan, langsung tertarik pada aura dingin dan karisma Reintara yang tampak menonjol di antara kerumunan.

“Reintara Narendra Pratama, bukan?” sapa Ria dengan senyum percaya diri, mendekati pria itu saat ia sedang menikmati segelas anggur.

Reintara, yang jarang tertarik pada percakapan santai di acara seperti itu, hanya mengangguk kecil. “Ya. Ada yang bisa saya bantu?”

“Tidak. Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat,” jawab Ria tanpa ragu.

Jawaban itu membuat Reintara sedikit mengernyit. Ia sudah terbiasa dengan banyak orang yang mencoba mendekatinya untuk kepentingan pribadi, tetapi ada sesuatu yang berbeda dari cara Ria berbicara. Terlalu berani, terlalu percaya diri.

“Kita sudah saling kenal, bukan? Jadi, tidak ada lagi yang perlu didekatkan,” balasnya dingin, berusaha memutus percakapan.

Namun, alih-alih mundur, Ria tersenyum semakin lebar. “Aku tidak mudah menyerah, Tuan Reintara. Aku percaya, kita akan sering bertemu lagi.”

Dan benar saja, sejak malam itu, kehadiran Ria mulai menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup Reintara. Namun, kehadiran itu bukanlah sesuatu yang diinginkannya.

Ketertarikan Berbahaya

Udara dingin pagi itu menusuk kulit, tapi tidak ada yang bisa mengusik suasana hati Ria. Senyum di bibirnya tak pernah pudar sejak ia bertemu dengan Reintara Narendra Pratama, seorang CEO muda yang selalu berhasil menarik perhatian siapa pun yang melihatnya.

Reintara, pria dengan usia 25 tahun dan karisma yang tak tertandingi, adalah pemilik perusahaan teknologi terbesar di kota. Dengan setelan hitam yang rapi dan sorot mata dingin, ia seakan tak tersentuh oleh siapa pun. Tapi bagi Ria, Reintara adalah dunianya.

“Rein, aku ingin kita makan siang bersama,” ucap Ria penuh percaya diri, berdiri di depan kantor pria itu tanpa peduli tatapan heran karyawan lainnya.

Reintara menghela napas pelan, memperbaiki dasinya. “Ria, aku sedang sibuk. Lagipula, kita bukan siapa-siapa.”

Namun, Ria tak menyerah. Bagi Ria, Reintara bukan hanya sekadar pria dingin dan tak terjangkau. Ia adalah miliknya. Sepenuhnya.

Dan apa pun yang terjadi, Ria bersumpah tidak akan membiarkan siapa pun mendekati pria itu. Bahkan jika ia harus menghancurkan semua orang di sekitarnya.

“Ria, aku sedang sibuk. Lagipula, kita bukan siapa-siapa.” Reintara berbicara tanpa menoleh, tangannya sibuk membuka layar ponsel sambil berjalan masuk ke lift.

Namun, Ria segera melangkah mendekat, menghalangi pintu lift sebelum menutup. Sorot matanya penuh tekad. “Kita bukan siapa-siapa, Rein? Kamu benar-benar tega bilang itu setelah aku selalu ada untukmu?”

Reintara mendesah panjang, tatapan matanya dingin menusuk. “Ria, aku menghargai hubungan profesional kita. Tapi, aku tidak punya waktu untuk hal seperti ini. Aku harap kamu mengerti.”

“Tentu, aku mengerti,” jawab Ria dengan senyum kecil, tapi suara rendahnya sarat ancaman. “Tapi kamu harus tahu, Rein. Aku tidak menyerah semudah itu. Kamu butuh seseorang yang benar-benar peduli, dan aku satu-satunya orang itu.”

Reintara hanya memutar bola matanya sebelum menekan tombol tutup lift. Tapi Ria melangkah lebih dekat, membuat Reintara tak punya pilihan selain membiarkan pintu terbuka.

“Kalau kamu terus begini, aku bisa melaporkanmu atas gangguan,” ucap Reintara dengan nada dingin.

Ria tersenyum miring, mendekatkan wajahnya ke arah Reintara. “Lapor saja, Rein. Tapi kamu tahu aku punya banyak cara untuk tetap ada di dekatmu.”

Reintara mendengus kecil, membalikkan tubuhnya tanpa berkata apa-apa lagi. Ia tahu, berurusan dengan Ria adalah seperti bermain dengan api.

Beberapa jam kemudian, di ruang rapat

Reintara sedang memimpin pertemuan penting ketika pintu ruang rapat tiba-tiba terbuka. Semua kepala menoleh, dan di sanalah Ria berdiri dengan ekspresi percaya diri.

“Maaf mengganggu,” katanya sambil tersenyum manis, membuat semua orang di ruangan bingung.

“Ria, apa yang kamu lakukan di sini?” suara Reintara terdengar tajam.

Ria melangkah masuk seolah itu adalah hal yang wajar. “Aku hanya ingin memastikan kamu tidak lupa makan siang. Kamu tahu, bekerja terlalu keras itu buruk untuk kesehatan.”

“Keluar, Ria,” perintah Reintara. Wajahnya terlihat kesal, tapi ia menahan diri untuk tidak membuat keributan.

Ria mengabaikan perintah itu, malah menaruh sekotak makan siang di atas meja. “Aku tidak bisa membiarkanmu terus begini, Rein. Ingat, kamu butuh seseorang yang peduli.”

Semua orang di ruangan saling bertukar pandang, tak tahu harus bereaksi seperti apa.

Reintara berdiri, tangannya mengepal di samping tubuhnya. “Rapat selesai. Semua orang keluar.”

Begitu semua karyawan pergi, hanya tinggal mereka berdua di ruangan itu. Reintara menatap tajam ke arah Ria. “Apa maumu, Ria? Apa kamu tidak punya hal lain untuk dilakukan selain mengganggu hidupku?”

“Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja,” jawab Ria polos, tapi tatapan matanya menyiratkan sesuatu yang lebih. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun melukaimu, Rein. Bahkan dirimu sendiri.”

Reintara tertawa pendek, tapi tidak ada humor di sana. “Lucu sekali, Ria. Kalau ini caramu menunjukkan perhatian, aku tidak membutuhkannya.”

“Tidak peduli kamu membutuhkannya atau tidak, aku tetap akan ada di sini,” ucap Ria dengan nada penuh keyakinan. “Kamu mungkin bisa mengusirku sekarang, tapi aku akan selalu kembali, Rein. Selalu.”

Reintara hanya bisa menggelengkan kepala sambil menghela napas berat. Ia tahu, Ria bukan tipe wanita yang bisa dihentikan dengan kata-kata.

ketertarikan berbahaya & garis yang di langgar

---

Malam itu, Reintara berdiri di depan jendela ruang kerjanya, menatap gemerlap lampu kota yang berpendar. Ia berusaha fokus pada laporan di tangannya, tetapi pikirannya terusik oleh kejadian siang tadi. Ria selalu berhasil membuatnya merasa terpojok, meskipun ia tahu perempuan itu hanya mencoba menarik perhatiannya.

“Kenapa dia begitu keras kepala?” gumam Reintara sambil memijat pelipisnya.

Telepon di mejanya berdering, memecah keheningan. Dengan sedikit ragu, ia mengangkatnya. “Ya?”

“Ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda, Tuan Reintara,” suara sekretarisnya terdengar sopan namun ragu.

“Sekarang? Ini sudah larut.”

“Dia bilang ini penting. Nona Apria.”

Reintara mengerutkan kening. Tentu saja. Siapa lagi kalau bukan dia? “Katakan aku tidak ada.”

“Dia… dia tidak mau pergi, Tuan. Dia bilang akan menunggu sampai Anda bersedia menemuinya.”

Reintara mendesah berat, merapikan jasnya sebelum menuju ruang tunggu. Begitu ia membuka pintu, Ria sudah berdiri dengan senyum lebar di wajahnya.

“Rein, akhirnya kamu keluar juga!” katanya riang, seolah tidak ada ketegangan di antara mereka.

“Kamu tidak bisa terus seperti ini, Ria. Ini kantor, bukan tempat untuk main-main,” ucap Reintara dingin.

Ria menatapnya tanpa gentar. “Aku tidak main-main. Aku hanya ingin memastikan kamu pulang dengan selamat. Malam sudah larut, dan kamu tidak boleh bekerja terlalu keras.”

“Ini bukan urusanmu,” jawab Reintara tegas.

“Tentu saja ini urusanku,” balas Ria, suaranya tiba-tiba menjadi serius. “Aku peduli padamu, Rein. Dan aku akan selalu ada untuk memastikan kamu baik-baik saja.”

Reintara memijat pelipisnya, merasa frustasi. “Ria, pulanglah. Aku tidak butuh penjaga.”

“Tapi kamu butuh aku,” kata Ria dengan nada yang lebih lembut. “Mungkin kamu belum menyadarinya, tapi aku akan menunjukkan itu padamu.”

Reintara terdiam. Ada sesuatu dalam cara Ria berbicara yang membuatnya bingung antara marah dan terkesan. Perempuan itu punya cara untuk menyusup ke kehidupannya tanpa ia sadari.

“Kalau kamu benar-benar peduli, kamu akan memberiku ruang,” ucap Reintara akhirnya.

Ria tersenyum tipis, tapi ada keteguhan di matanya. “Aku memberimu ruang, Rein. Aku hanya memastikan ruang itu tidak dihuni orang lain.”

Reintara tidak tahu harus menjawab apa. Ia akhirnya berbalik menuju pintu kantornya. “Pulanglah, Ria. Aku tidak ingin melihatmu lagi malam ini.”

Tapi sebelum ia sempat menutup pintu, Ria memanggilnya. “Rein,” suaranya lembut namun tajam.

Reintara berbalik, menatapnya.

“Kamu boleh mencoba mengabaikanku, tapi aku akan selalu ada di sini. Sampai kamu menyadari bahwa aku satu-satunya orang yang benar-benar mengerti kamu.”

Tanpa menunggu jawaban, Ria melangkah pergi, meninggalkan Reintara dalam diam.

Di dalam hatinya, Reintara tahu bahwa ini belum berakhir. Dengan Ria, segala sesuatu tidak pernah benar-benar berakhir.

Hari itu, Reintara tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Ia sengaja melakukannya untuk menghindari kemungkinan bertemu dengan Ria. Namun, meskipun belum jam kerja, sosok perempuan itu sudah duduk santai di sofa ruang tunggu, seolah ini rumahnya sendiri.

“Rein!” Ria bangkit dengan wajah penuh antusias. “Aku bawakan kopi kesukaanmu. Masih hangat.”

Reintara berhenti di ambang pintu, tatapan matanya tajam. “Ria, aku tidak ingat pernah memintamu membawakanku kopi, atau bahkan datang ke sini.”

Ria tersenyum kecil, tidak terganggu oleh nada suaranya yang mulai naik. “Kamu tidak perlu meminta, Rein. Aku tahu apa yang kamu butuhkan.”

“Yang aku butuhkan adalah kamu berhenti mengganggu hidupku,” balas Reintara dengan dingin, lalu melangkah melewatinya tanpa mengambil kopi yang ditawarkan.

Ria mengejar langkahnya, membawa cangkir kopi itu. “Aku tidak mengganggumu, Rein. Aku hanya peduli. Aku ingin memastikan kamu—”

“Cukup, Ria!” suara Reintara memotong kalimatnya. Ia berbalik, membuat Ria terkejut.

Semua karyawan di sekitar mereka berhenti bekerja, menatap situasi itu dengan canggung. Reintara jarang sekali kehilangan ketenangan, tapi hari ini batas kesabarannya benar-benar habis.

“Kamu pikir apa yang kamu lakukan ini normal? Mengikutiku ke mana-mana, muncul tanpa diundang, bahkan menyusup ke urusanku di kantor? Apa kamu tidak punya rasa malu?”

Wajah Ria memerah, tapi ia tetap mencoba tersenyum. “Aku hanya ingin membantu, Rein. Kamu tahu aku selalu ada untukmu.”

“Kalau kamu benar-benar ingin membantu, jauhi aku,” balas Reintara dingin.

“Kamu tidak serius, kan?” Suara Ria terdengar rapuh, tapi ia tetap berdiri tegak, berusaha menahan air matanya.

“Aku sangat serius, Ria. Obsesi ini sudah kelewatan. Aku tidak butuh kamu dalam hidupku. Bahkan kalau kamu tetap begini, aku akan pastikan kamu tidak bisa mendekatiku lagi.”

Ria terdiam, cangkir kopi di tangannya bergetar. “Aku melakukan ini karena aku peduli, Rein. Aku mencintaimu.”

“Mencintai?” Reintara tertawa pendek, tapi suaranya penuh sarkasme. “Ini bukan cinta, Ria. Ini gila. Kamu tidak mencintaiku. Kamu hanya ingin memiliki sesuatu yang tidak bisa kamu miliki.”

Kalimat itu menghantam Ria seperti pukulan keras, tapi ia tidak mundur. “Aku tidak akan menyerah, Rein. Aku tahu kamu bicara begini karena kamu takut. Kamu takut membuka hatimu untuk seseorang.”

“Terserah kamu mau menganggapnya apa,” jawab Reintara, menatapnya dengan tatapan dingin terakhir sebelum berjalan masuk ke ruangannya.

Beberapa jam kemudian, di ruang kerja Reintara

Reintara duduk di kursinya, mencoba fokus pada dokumen di depannya, tapi kejadian tadi terus terngiang di kepalanya. Ia merasa lega akhirnya mengatakan hal itu, tapi ada juga sedikit rasa bersalah.

Namun, rasa itu segera lenyap ketika ia melihat notifikasi pesan masuk di ponselnya.

Pesan dari Ria:

"Kamu boleh marah sekarang, tapi suatu saat kamu akan berterima kasih padaku karena tidak pernah pergi."

Reintara menggertakkan giginya, merasa frustasi. “Perempuan ini benar-benar tidak punya batas,” gumamnya.

Tanpa ragu, ia memblokir nomor Ria, berharap itu akan memberinya sedikit ketenangan

Di sisi lain, Ria

Ria duduk di kamarnya, memandangi ponselnya dengan senyum kecil. Ia tahu Reintara mungkin sedang marah, tapi itu tidak membuatnya gentar.

“Aku akan membuatmu mengerti, Rein,” bisiknya pelan. “Cepat atau lambat, kamu akan sadar kalau aku adalah satu-satunya orang yang pantas ada di sisimu.”

Reintara mengira tindakannya memblokir nomor Ria akan menyelesaikan masalah, atau setidaknya memberi dirinya waktu untuk bernapas. Namun, kenyataannya justru sebaliknya.

Keesokan harinya, saat Reintara berjalan menuju parkiran kantornya, ia melihat mobilnya telah berubah menjadi pemandangan yang mengejutkan. Balon merah berbentuk hati diikat pada kaca spion, dan sebuah tulisan besar di kaca depan berbunyi: "Terima kasih sudah bekerja keras, Rein. Aku selalu mendukungmu!"

Reintara menghentikan langkahnya, menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya. “Apa lagi ini…” gumamnya.

Salah satu satpam mendekat dengan wajah ragu. “Maaf, Tuan Reintara. Wanita itu datang pagi sekali. Kami mencoba melarangnya, tapi dia bilang ini hanya kejutan kecil untuk Anda.”

garis yang di langgar dan titik didi

“Wanita itu?” Reintara menatap satpam itu dengan ekspresi tidak percaya. “Tentu saja Ria…”

Beberapa karyawan yang lewat menahan tawa, mencoba terlihat tidak memerhatikan, tetapi jelas mereka semua sudah melihat kehebohan ini.

Reintara mencabut balon dari spion dengan gerakan kasar, lalu menarik kertas besar di kaca depannya. Saat itu juga, teleponnya berbunyi—bukan dari Ria, tentu saja, karena ia sudah memblokir nomornya. Tapi kali ini, Ria menelepon lewat nomor yang berbeda.

“Ria, apa-apaan ini?” Reintara langsung berbicara tanpa basa-basi.

“Hai, Rein!” Ria terdengar ceria di ujung sana. “Kamu suka kejutan kecilku? Aku hanya ingin memastikan kamu tersenyum pagi ini.”

“Senyum?” Reintara menahan suaranya agar tidak berteriak. “Ini tidak lucu, Ria. Kamu pikir dengan melakukan ini, aku akan berubah pikiran?”

“Kamu mungkin belum mengerti sekarang,” balas Ria dengan nada santai, “tapi aku yakin kamu akan melihat bahwa semua ini aku lakukan karena aku peduli.”

Reintara mendengus. “Ria, dengarkan aku baik-baik. Kalau kamu tidak berhenti, aku akan mengambil tindakan hukum. Ini sudah melewati batas!”

Suara Ria berubah sedikit lebih serius. “Tindakan hukum? Rein, aku hanya mencoba menunjukkan rasa peduliku. Kenapa kamu selalu melihat ini sebagai sesuatu yang salah?”

“Karena ini salah, Ria,” jawab Reintara tegas. “Apa kamu tidak sadar? Perilaku seperti ini bukan cinta. Ini obsesi!”

Sebuah keheningan panjang mengisi telepon sebelum Ria berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih tenang. “Kamu boleh bilang apa saja, Rein. Tapi aku tidak akan menyerah. Kamu tahu itu.”

Telepon terputus sebelum Reintara sempat merespons. Ia berdiri diam di tempatnya, mencoba menenangkan diri. Ia tahu, berurusan dengan Ria tidak akan mudah. Tapi jika dia tidak mengambil langkah tegas, obsesi ini bisa berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya.

Malam harinya

Reintara memutuskan untuk mempekerjakan pengawal pribadi sementara waktu. Bukan karena ia takut, tapi karena ia tahu Ria tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan apa yang diinginkannya.

Namun, ketika ia pulang ke apartemennya malam itu, kejutan lain sudah menunggunya. Di depan pintu apartemennya, ada sekotak besar yang dihiasi pita merah. Di atasnya, sebuah kartu kecil tertulis: "Untuk seseorang yang selalu di hatiku."

Reintara menendang kotak itu ke samping, lalu masuk ke apartemennya dengan kesal. Tapi sesaat setelah ia mengunci pintu, suara bel berbunyi. Ia mengintip lewat lubang pintu dan melihat Ria berdiri di sana dengan senyum lebar.

“Rein, aku tahu kamu di dalam!” panggil Ria ceria.

Reintara membuka pintu dengan kasar, menatap Ria dengan tatapan penuh amarah. “Apa kamu tidak mengerti arti kata ‘tinggalkan aku sendiri’?”

Ria tidak terpengaruh. Ia malah melangkah mendekat, mencoba menyentuh lengan Reintara. “Rein, aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku tahu kamu stres dengan pekerjaan—”

Reintara menepis tangannya. “Cukup, Ria! Aku serius. Kalau kamu tidak berhenti, aku akan melaporkanmu ke polisi. Ini peringatan terakhirku.”

Wajah Ria berubah. Senyumnya perlahan memudar, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang gelap. “Kenapa kamu selalu menganggap aku musuh, Rein? Aku hanya ingin menjadi bagian dari hidupmu.”

“Kamu tidak punya hak untuk berada dalam hidupku,” jawab Reintara dengan nada tajam. “Jadi berhenti. Sekarang juga.”

Ria berdiri diam, menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Baiklah, Rein. Kalau itu maumu.”

Ia berbalik dan pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi, meninggalkan Reintara dengan perasaan campur aduk. Tapi jauh di dalam hati, ia tahu ini belum berakhir. Dengan Ria, masalah tidak pernah sesederhana itu.

Malam itu, setelah kepergian Ria, Reintara mencoba meyakinkan dirinya bahwa perempuan itu akhirnya mengerti dan menyerah. Tapi firasat buruk tetap menggelayuti pikirannya. Ria terlalu keras kepala untuk menyerah begitu saja.

Saat pagi menjelang, firasat itu terbukti benar. Ketika Reintara tiba di kantor, ia dikejutkan oleh keributan di lantai bawah. Seorang perempuan berambut panjang, mengenakan dress merah mencolok, sedang beradu argumen dengan petugas keamanan.

“Dia harus tahu aku di sini! Aku sudah menunggu terlalu lama!” suara Ria menggema di lobi kantor, menarik perhatian banyak orang.

Reintara menghela napas berat, menutup matanya sejenak. Kenapa dia tidak pernah berhenti? pikirnya.

Dengan langkah tegas, ia menghampiri mereka. “Apa lagi, Ria?”

Ria langsung berbalik, wajahnya berubah cerah seperti baru saja melihat pahlawan. “Rein! Aku datang untuk memastikan kamu baik-baik saja. Aku tahu kamu pasti lelah.”

“Dan aku sudah bilang untuk tidak datang lagi,” kata Reintara dingin, matanya memicing. “Berapa kali aku harus mengatakan bahwa aku tidak ingin melihatmu?”

Ria menatapnya dengan wajah terluka, tapi senyum kecil masih bermain di bibirnya. “Aku tahu kamu tidak benar-benar bermaksud begitu. Kamu hanya sedang marah.”

“Saya akan memanggil polisi jika Anda tidak pergi sekarang juga,” ancam Reintara, suaranya rendah tetapi penuh ketegasan.

Petugas keamanan di sebelahnya langsung sigap, bersiap untuk mengawal Ria keluar. Namun, perempuan itu tetap berdiri di tempatnya, seolah ancaman itu tidak berarti apa-apa.

“Kamu bisa memanggil polisi, Rein. Tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Aku tetap mencintaimu,” balas Ria, suaranya bergetar namun tegas.

“Keluarkan dia,” perintah Reintara kepada petugas keamanan.

Ria tidak melawan ketika dua petugas menggiringnya keluar, tetapi tatapannya tidak lepas dari Reintara. “Kamu akan menyesal memperlakukanku seperti ini, Rein. Aku hanya ingin kamu bahagia!” serunya sebelum pintu utama tertutup.

Beberapa hari kemudian

Reintara merasa tenang setelah beberapa hari tanpa gangguan dari Ria. Ia bahkan mulai berpikir bahwa ancamannya kali ini berhasil. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama.

Suatu malam, saat ia sedang bekerja di ruang kantornya yang sepi, telepon di mejanya berdering. Dengan sedikit ragu, ia mengangkatnya.

“Halo?”

“Rein, akhirnya kamu menjawab.”

Suara itu membuat darahnya membeku. “Ria? Bagaimana kamu bisa menelepon ke nomor ini?”

Ria tertawa pelan. “Aku punya caraku sendiri. Aku hanya ingin memastikan kamu tidak melupakanku.”

Reintara mendesah keras. “Aku tidak punya waktu untuk ini.”

“Kalau begitu, aku akan membuatmu punya waktu,” jawab Ria dengan nada penuh arti.

Sebelum Reintara sempat merespons, telepon terputus. Ia memandang gagang telepon dengan frustrasi, merasa seperti terjebak dalam permainan yang tidak ada akhirnya.

Malam itu di apartemen Reintara

Reintara baru saja masuk ke apartemennya ketika ia melihat sesuatu yang aneh. Di meja makan, ada sebuah vas bunga berisi mawar merah segar. Di sampingnya, ada kartu kecil bertuliskan: "Jangan lupa bahwa aku selalu di dekatmu. - R."

Reintara langsung merasa waspada. Ia memeriksa seluruh apartemennya, memastikan tidak ada orang lain di dalam. Setelah yakin semuanya aman, ia duduk di sofa, mencoba menenangkan pikirannya.

Namun, pesan di kartu itu terus terngiang di kepalanya. Bagaimana dia bisa masuk? Apa yang dia rencanakan selanjutnya?

Di sisi lain, Ria

Ria duduk di kamarnya yang penuh dengan foto-foto Reintara. Beberapa foto diambil secara diam-diam—saat Reintara di kantor, di acara formal, bahkan saat sedang minum kopi di luar.

Di tengah foto-foto itu, Ria memegang satu gambar favoritnya: Reintara sedang tersenyum samar. “Aku tahu kamu akan mencintaiku, Rein,” bisiknya. “Aku hanya perlu waktu untuk membuatmu sadar.”

Ia menyalakan laptopnya dan membuka sebuah folder bernama "Project Rein". Di dalamnya terdapat dokumen dan rencana yang terlihat seperti skema besar untuk mendekati Reintara.

“Aku tidak akan berhenti sampai kamu menjadi milikku sepenuhnya,” gumamnya sambil mengetik sesuatu di laptopnya.

Kembali ke Reintara

Esok paginya, Reintara memutuskan untuk menemui pengacara pribadinya. Ia tidak ingin ini berlarut-larut. “Aku ingin Ria dijauhkan dariku. Apapun caranya,” katanya tegas.

Pengacaranya mengangguk. “Kita bisa mengajukan perintah perlindungan. Jika dia melanggar, dia bisa ditangkap.”

“Lakukan,” balas Reintara.

Namun, dalam hati kecilnya, Reintara tahu bahwa ini bukan solusi akhir. Dengan Ria, tidak ada yang sesederhana itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!