Mentari pagi menyapa Kota Bandung dengan hangatnya. Sinar matahari menembus jendela kamar Lusi, menerangi wajahnya yang masih terlelap dalam mimpi indah.
Rambutnya yang hitam panjang terurai di atas bantal putih bersih. Di meja belajarnya, tertata rapi buku-buku teks dan catatan kuliah, bukti keseriusannya dalam mengejar cita-cita sebagai desainer interior. Lusi, mahasiswi berprestasi di Institut Teknologi Bandung (ITB), hidup dalam keluarga yang harmonis.
Suara Ibu Ani, ibunya, memecah kesunyian pagi.
"Lusi, sayang, bangun! Sarapan sudah siap." Suaranya lembut, penuh kasih sayang.
Lusi bangun, menguap kecil, dan berjalan menuju ruang makan. Di sana, Pak Budi, ayahnya, sudah duduk manis, menikmati secangkir kopi hangat. Aroma sedap masakan Ibu Ani memenuhi ruangan. Suasana pagi itu begitu hangat dan damai.
"Pagi, Papa! Pagi, Mama!" sapa Lusi, mencium pipi kedua orang tuanya.
"Pagi, sayangku," balas Pak Budi, tersenyum lebar. "Kau terlihat segar sekali pagi ini."
"Tentu saja, Pa. Tidurku nyenyak sekali." Lusi mengambil tempat duduk di meja makan, menikmati sarapan yang terdiri dari nasi goreng spesial buatan Ibu Ani.
"Bagaimana kuliahmu kemarin, Lusi?" tanya Ibu Ani, sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir Lusi.
"Lumayan, Ma. Tugas akhirku sudah hampir selesai. Tinggal sedikit lagi revisi," jawab Lusi, semangatnya terlihat jelas. Ia bercerita tentang ide desain terbarunya, sebuah kafe bernuansa modern minimalis yang terinspirasi dari arsitektur tradisional Sunda.
Pak Budi dan Ibu Ani mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan masukan dan pujian.
Namun, di tengah keceriaan itu, tersirat sedikit kekhawatiran di wajah Pak Budi. Ia beberapa kali melirik jam tangannya, tampak gelisah. Lusi memperhatikannya, sedikit penasaran.
"Papa, ada apa? Kau terlihat gelisah sekali," tanya Lusi, suaranya lembut.
Pak Budi menghela napas panjang. "Tidak apa-apa, sayang. Hanya sedikit masalah di kantor." Ia berusaha menyembunyikan kekhawatirannya, namun Lusi tetap merasa ada yang disembunyikan.
Setelah sarapan, Lusi kembali ke kamarnya untuk menyelesaikan tugas kuliahnya. Ia masih memikirkan gelisah yang terlihat di wajah ayahnya. Ia mencoba menghubungi Pak Budi, namun teleponnya tidak diangkat. Perasaan khawatir mulai menghampiri Lusi.
Sementara itu, di sebuah gedung pencakar langit di pusat kota Jakarta, Rangga, seorang pengusaha sukses di bidang properti, sedang memimpin rapat.
Wajahnya dingin dan tegas, tatapan matanya tajam dan penuh otoritas. Ia dikenal sebagai sosok yang disiplin dan tidak kenal kompromi. Suaranya berwibawa menggema di ruangan rapat.
"Saya ingin proyek ini selesai tepat waktu. Tidak ada toleransi untuk keterlambatan. Saya tidak ingin mendengar alasan apapun," tegas Rangga, suaranya bergetar dengan otoritas.
Para karyawan yang hadir terlihat tegang, mengerjakan tugas masing-masing dengan penuh konsentrasi. Suasana rapat begitu menegangkan.
Setelah rapat, Rangga menerima telepon dari salah satu kliennya, yang ternyata adalah Pak Budi. Suasana di seberang telepon terdengar panik. Rangga mendengarkan dengan sabar, sesekali menyela dengan pertanyaan yang tajam dan lugas. Ekspresi wajahnya tetap dingin dan tanpa ekspresi.
"Saya mengerti situasinya sulit, Pak Budi. Namun, saya tidak bisa mentoleransi keterlambatan pembayaran. Anda sudah terlambat dua bulan," kata Rangga, suaranya datar. Ia menjelaskan konsekuensi dari keterlambatan pembayaran tersebut, suaranya tegas dan tanpa ampun.
Pak Budi terdengar semakin panik. Ia memohon kepada Rangga untuk memberikan sedikit kelonggaran waktu. Namun, Rangga tetap bersikeras. Percakapan mereka berakhir dengan nada yang menegangkan. Rangga memutuskan untuk mengambil tindakan tegas.
Di Bandung, telepon berdering nyaring, memecah kesunyian di rumah Lusi. Pak Budi terlihat pucat dan gelisah saat menerima telepon tersebut. Setelah menutup telepon, wajahnya semakin pucat. Ia terlihat sangat tertekan. Ibu Ani mendekat, menanyakan apa yang terjadi.
Pak Budi hanya menggelengkan kepala, tak mampu berkata-kata. Suasana di rumah Lusi berubah menjadi mencekam. Lusi, yang memperhatikan dari kejauhan, merasakan ada sesuatu yang sangat buruk telah terjadi. Telepon dari bank, yang memberitahukan tentang masalah keuangan yang serius, telah mengubah suasana pagi yang ceria menjadi suram dan penuh kekhawatiran.
Bayangan masalah keuangan yang besar mulai membayangi keluarga kecil yang sebelumnya harmonis itu. Kehidupan Lusi yang tadinya penuh keceriaan kini diliputi oleh awan gelap ketidakpastian.
Mentari pagi kembali menyapa Kota Bandung, kali ini dengan langit yang lebih cerah. Lusi, dengan semangat yang membuncah, bangun lebih pagi dari biasanya.
Hari ini adalah hari yang spesial baginya; presentasi proyek desain interior pertamanya di kampus. Ia telah menghabiskan berminggu-minggu untuk mengerjakannya, merancang desain kafe bernuansa modern minimalis dengan sentuhan tradisional Sunda yang unik. Ia yakin proyek ini akan menjadi batu loncatan menuju kesuksesannya sebagai desainer interior.
Setelah mandi dan berpakaian rapi, Lusi turun ke lantai bawah. Ibu Ani sudah menyiapkan sarapan—nasi uduk dengan lauk pauk lengkap—hidangan favorit Lusi. Aroma wangi rempah-rempah memenuhi ruangan, menambah semangat Lusi. Pak Budi, seperti biasanya, sudah duduk di meja makan, menikmati secangkir kopi hitam pahit.
"Pagi, Papa! Pagi, Mama!" sapa Lusi ceria, mencium pipi kedua orangtuanya.
"Pagi, sayang," jawab Ibu Ani, tersenyum hangat.
"Sarapan sudah siap. Jangan lupa makan banyak, nanti lemas kalau presentasi."
"Iya, Ma," jawab Lusi, sambil mengambil tempat duduk di meja makan.
Ia menikmati sarapannya dengan lahap, sesekali bercerita tentang desain kafe yang akan dipresentasikannya. Ibu Ani mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan pujian dan semangat.
Namun, Pak Budi hanya mendengarkan dengan setengah hati. Ia tampak gelisah, sesekali melirik jam tangannya. Wajahnya terlihat tegang, berbeda dari biasanya. Lusi memperhatikan ayahnya, sedikit khawatir.
"Papa, kau kenapa, sih? Dari tadi terlihat gelisah sekali," tanya Lusi, suaranya lembut.
Pak Budi meletakkan sendoknya, mencoba untuk tersenyum. "Tidak apa-apa, sayang. Hanya sedikit lelah saja." Ia berusaha untuk menyembunyikan kekhawatirannya, namun Lusi tetap curiga.
Setelah sarapan, Lusi bergegas ke kampus. Ia bertemu dengan teman-temannya, Rina dan Dinda, yang juga sedang mempersiapkan presentasi proyek mereka. Mereka bertiga berbagi cerita dan saling menyemangati. Lusi bercerita tentang desain kafenya, mendapatkan pujian dari kedua temannya. Ia merasa lebih percaya diri.
Sepanjang hari, Lusi fokus pada presentasinya. Ia berlatih di depan cermin, mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diajukan dosen. Ia merasa sedikit tegang, namun juga sangat bersemangat. Ia ingin memberikan yang terbaik.
Sore harinya, Lusi kembali ke rumah. Ia merasa lelah, namun juga puas karena presentasinya berjalan lancar. Ia mendapatkan pujian dari dosen dan teman-temannya. Ia bercerita kepada Ibu Ani tentang presentasinya, mendapatkan pelukan hangat dari ibunya.
Namun, Pak Budi masih terlihat gelisah. Ia duduk di ruang tamu, melihat-lihat beberapa dokumen penting. Wajahnya terlihat semakin tegang. Lusi kembali khawatir.
"Papa, ada apa sebenarnya? Kau bisa cerita padaku," tanya Lusi, suaranya lembut. Ia duduk di samping ayahnya, mencoba untuk menenangkannya.
Pak Budi menghela napas panjang. Ia menatap Lusi dengan mata berkaca-kaca. "Sayang, Papa… Papa sedang mengalami kesulitan keuangan." Ia akhirnya mengakui masalah yang selama ini disembunyikannya.
Lusi tertegun. Ia tidak menyangka ayahnya sedang mengalami masalah sebesar ini. Ia selalu melihat ayahnya sebagai sosok yang sukses dan tangguh. Ia bertanya-tanya bagaimana masalah ini bisa terjadi.
Pak Budi menjelaskan bahwa bisnis ekspor impornya mengalami kerugian besar. Ia telah berusaha untuk mengatasi masalah ini, namun semuanya sia-sia. Ia merasa sangat terbebani dan putus asa. Ia takut masalah ini akan berdampak buruk pada keluarganya.
Lusi mendengarkan dengan sabar. Ia mencoba untuk menenangkan ayahnya. Ia mengatakan bahwa mereka akan menghadapi masalah ini bersama-sama. Ia memeluk ayahnya, memberikan dukungan dan semangat.
"Jangan khawatir, Pa. Kita akan menghadapi ini bersama-sama. Kita akan mencari solusi terbaik," kata Lusi, suaranya penuh keyakinan. Ia merasa harus menjadi lebih kuat untuk keluarganya.
Mimpi-mimpinya sebagai desainer interior tetap ada, namun kini ia juga harus memikirkan bagaimana cara membantu keluarganya keluar dari kesulitan keuangan yang sedang mereka hadapi.
Kehangatan keluarga yang selalu ia rasakan kini dibayangi oleh kekhawatiran akan masa depan. Senyum dan canda tawa yang selalu menghiasi hari-harinya kini sedikit tergantikan oleh beban tanggung jawab yang baru saja ia sadari. Ia bertekad untuk tetap tegar, untuk tetap berjuang demi keluarganya, demi mempertahankan kebahagiaan yang selama ini mereka jaga bersama.
Mentari pagi kembali menyinari Kota Bandung, namun sinarnya tak mampu menembus awan gelap yang menyelimuti hati Pak Budi. Ia terbangun dengan perasaan berat, bayangan angka-angka merah dalam laporan keuangan masih menghantuinya.
Janji Rangga untuk mengambil tindakan hukum jika hutang tak dilunasi hingga akhir pekan masih bergema di telinganya. Keputusasaan semakin menghimpitnya.
Setelah sarapan yang hampir tak disentuhnya, Pak Budi bergegas keluar rumah. Ia memiliki rencana; mencari pinjaman dari teman-teman dekatnya. Ia berharap ada di antara mereka yang bersedia membantunya melewati masa sulit ini. Namun, harapan itu perlahan sirna seiring dengan penolakan demi penolakan yang diterimanya.
Pertama, ia menemui Pak Amir, teman karibnya sejak kuliah. Mereka berbincang di sebuah kedai kopi, di tengah hiruk pikuk kota. Pak Budi mencoba menjelaskan situasinya dengan hati-hati, mencoba untuk tidak menunjukkan keputusasaannya.
"Amir, aku… aku sedang mengalami kesulitan keuangan," kata Pak Budi, suaranya terdengar lirih. Ia menatap Pak Amir dengan mata berkaca-kaca.
Pak Amir mendengarkan dengan saksama. Ia terlihat simpati, namun ia juga tampak ragu. "Budi, aku turut prihatin. Namun, aku sendiri juga sedang mengalami kesulitan keuangan. Aku tidak bisa membantumu saat ini."
Pak Budi mengangguk, mencoba untuk tersenyum. Ia mengerti situasi Pak Amir. Ia mengucapkan terima kasih atas pengertiannya. Ia meninggalkan kedai kopi dengan perasaan semakin berat.
Ia mencoba menghubungi beberapa teman lainnya, namun hasilnya sama. Semua menolak untuk meminjamkan uang kepadanya. Ada yang mengatakan sedang mengalami kesulitan keuangan, ada yang mengatakan tidak memiliki uang tunai yang cukup, dan ada juga yang mengatakan tidak nyaman untuk meminjamkan uang kepada teman.
Pak Budi merasa semakin terisolasi dan sendirian. Ia merasa telah kehilangan semua harapan.
Sepanjang hari itu, Pak Budi terlihat murung. Ia pulang ke rumah dengan wajah yang lesu. Ia berusaha untuk menyembunyikan masalahnya dari Lusi dan Ibu Ani, namun ia tidak bisa sepenuhnya menutupi kesedihannya. Ia terlihat lebih pendiam dari biasanya, sering menghela napas panjang, dan matanya terlihat sembab.
Lusi memperhatikan perubahan sikap ayahnya. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh ayahnya. Ia melihat ayahnya sering termenung, seringkali terlihat gelisah, dan seringkali menghela nafas panjang. Ia juga memperhatikan Ibu Ani yang terlihat semakin khawatir. Ibu Ani lebih sering menghela nafas dan terlihat lebih sering mengusap wajahnya. Suasana rumah terasa berbeda, lebih tegang dan mencekam.
Pada malam hari, Lusi mencoba untuk berbicara dengan ibunya. Ia ingin tahu apa yang terjadi pada ayahnya.
"Ma, Papa kenapa, sih? Dia terlihat sangat murung akhir-akhir ini," tanya Lusi, suaranya lembut. Ia duduk di samping ibunya, mencoba untuk menenangkannya.
Ibu Ani menghela napas panjang. Ia menatap Lusi dengan mata berkaca-kaca. "Sayang, Papa sedang mengalami masalah keuangan. Bisnisnya mengalami kerugian besar." Ia akhirnya mengakui masalah yang selama ini disembunyikannya.
Lusi tertegun. Ia tidak menyangka ayahnya sedang mengalami masalah sebesar ini. Ia selalu melihat ayahnya sebagai sosok yang sukses dan tangguh. Ia bertanya-tanya bagaimana masalah ini bisa terjadi.
Ibu Ani menjelaskan bahwa Pak Budi telah berusaha untuk mengatasi masalah ini, namun semuanya sia-sia. Ia telah mencoba untuk mencari pinjaman dari teman-temannya, namun semuanya ditolak. Ia merasa sangat terbebani dan putus asa. Ia takut masalah ini akan berdampak buruk pada keluarganya.
Lusi mendengarkan dengan sabar. Ia mencoba untuk menenangkan ibunya. Ia mengatakan bahwa mereka akan menghadapi masalah ini bersama-sama. Ia memeluk ibunya, memberikan dukungan dan semangat. Namun, di balik dukungan itu, kecemasan mulai menggerogoti hatinya. Ia mulai merasakan beban berat yang selama ini dipikul orang tuanya.
Ia merasa harus lebih dewasa, lebih bertanggung jawab. Ia harus membantu orang tuanya melewati masa sulit ini. Kehidupan yang tadinya terasa begitu nyaman dan aman, kini terasa rapuh dan penuh ketidakpastian. Ia bertekad untuk tetap tegar, untuk tetap berjuang bersama keluarganya. Ia berjanji akan mencari cara untuk membantu orang tuanya mengatasi masalah ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!