Langit Aelderia berpendar dalam warna ungu lembayung, dihiasi oleh dua bulan yang menggantung rendah di cakrawala. Di bawah cahaya magis itu, berdiri Istana Lumina, kerajaan megah yang menjadi pusat kekuasaan sihir di dunia. Menara-menara kristal memantulkan sinar seperti pelangi yang membias di udara, menciptakan keindahan yang hanya bisa ditemukan di negeri sihir. Namun, di balik keagungan ini, seorang putri muda tengah duduk di balkon, wajahnya mencerminkan kebosanan yang mendalam.
Radena, putri tertua Raja Altheron, melayangkan pandangannya ke hamparan hutan gelap di kejauhan. Ia mengenakan gaun berwarna ungu tua dengan bordir emas yang sempurna, tetapi ia merasa sesak di balik kain mewah itu.
"Radena, kau tidak mendengarkan lagi."
Suara lembut tetapi penuh teguran itu berasal dari Lady Melya, pelayan pribadinya yang setia. Wanita itu berdiri di samping Radena, memegang buku besar tentang hukum sihir kuno.
"Kenapa aku harus peduli dengan hukum itu, Melya?" Radena menghela napas, mengayunkan kakinya di tepi balkon seperti anak kecil. "Aku tahu aku terlahir dengan sihir, dan aku tahu aku putri raja. Apa lagi yang perlu kupelajari?"
Lady Melya menutup buku itu dengan bunyi thump yang tegas. "Apa yang kau perlajari sekarang akan menentukan masa depanmu, Yang Mulia. Kau ditakdirkan untuk menjadi penerus Raja Altheron."
Radena melengos. "Takdir, takdir, takdir. Semua orang selalu bicara tentang takdirku, tapi tak ada yang pernah menanyakan apa yang kuinginkan!"
Ia berdiri, gaunnya berkibar diterpa angin malam. Matanya yang berwarna biru kristal bersinar di bawah sinar bulan. "Yang kuinginkan hanyalah kebebasan. Bukan dikelilingi oleh pengawal, hukum, dan guru yang membosankan."
Melya memandangnya dengan iba. "Kebebasan itu mahal, Putri. Dan kau adalah Radena Altheron, pewaris takhta kerajaan sihir terbesar di dunia ini. Bebanmu bukanlah sesuatu yang bisa kau hindari."
Radena mendengus pelan, tetapi sebelum ia sempat membalas, suasana berubah. Udara di sekitar mereka terasa dingin secara tiba-tiba, dan gemerisik aneh terdengar dari arah hutan. Radena menoleh, matanya menyipit.
"Apa itu?" tanyanya, suaranya rendah tetapi penuh kewaspadaan.
Hutan yang tadi tampak tenang kini dihiasi kabut tebal yang merambat perlahan ke arah istana. Radena bisa merasakan sesuatu yang salah. Sihir dalam dirinya bergetar, seperti peringatan.
"Lady Melya, apa kau merasakan ini?" tanyanya.
Melya mengangguk, wajahnya yang biasanya tenang berubah cemas. "Ada sesuatu yang tidak wajar. Kau harus masuk ke dalam istana, Putri."
Tetapi Radena tetap berdiri di tempatnya. Ia menggenggam pinggiran balkon, matanya terpaku pada bayangan yang bergerak di antara pepohonan. Satu sosok muncul perlahan dari kabut: tinggi, berjubah hitam, dengan mata merah yang bersinar seperti bara api.
"Siapa itu?" Radena bergumam, merasa sihir dalam dirinya memanas.
Sosok itu mengangkat tangannya, dan sebuah suara yang dalam dan menyeramkan terdengar, meskipun mulutnya tak bergerak.
"Putri Aelderia... Waktumu telah tiba."
Radena merasakan darahnya membeku. Sebelum ia sempat bertanya, sosok itu menghilang, meninggalkan suara tawa yang menggema di udara.
Lady Melya menarik tangan Radena dengan panik. "Kita harus melaporkan ini pada Raja sekarang juga!"
Tetapi Radena tidak bergerak. Dalam hatinya, ia tahu ini bukan sekadar ancaman biasa. Sesuatu sedang terjadi, sesuatu yang lebih besar dari dirinya atau takdir yang selama ini dibicarakan.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa takdir itu mungkin benar-benar ada.
"Kenapa aku harus peduli dengan hukum itu, Melya?" Radena menghela napas, mengayunkan kakinya di tepi balkon seperti anak kecil. "Aku tahu aku terlahir dengan sihir, dan aku tahu aku putri raja. Apa lagi yang perlu kupelajari?"
Lady Melya menutup buku itu dengan bunyi thump yang tegas. "Apa yang kau perlajari sekarang akan menentukan masa depanmu, Yang Mulia. Kau ditakdirkan untuk menjadi penerus Raja Altheron."
Radena melengos. "Takdir, takdir, takdir. Semua orang selalu bicara tentang takdirku, tapi tak ada yang pernah menanyakan apa yang kuinginkan!"
Ia berdiri, gaunnya berkibar diterpa angin malam. Matanya yang berwarna biru kristal bersinar di bawah sinar bulan. "Yang kuinginkan hanyalah kebebasan. Bukan dikelilingi oleh pengawal, hukum, dan guru yang membosankan."
Melya memandangnya dengan iba. "Kebebasan itu mahal, Putri. Dan kau adalah Radena Altheron, pewaris takhta kerajaan sihir terbesar di dunia ini. Bebanmu bukanlah sesuatu yang bisa kau hindari."
Radena mendengus pelan, tetapi sebelum ia sempat membalas, suasana berubah. Udara di sekitar mereka terasa dingin secara tiba-tiba, dan gemerisik aneh terdengar dari arah hutan. Radena menoleh, matanya menyipit.
"Apa itu?" tanyanya, suaranya rendah tetapi penuh kewaspadaan.
Hutan yang tadi tampak tenang kini dihiasi kabut tebal yang merambat perlahan ke arah istana. Radena bisa merasakan sesuatu yang salah. Sihir dalam dirinya bergetar, seperti peringatan.
"Lady Melya, apa kau merasakan ini?" tanyanya.
Melya mengangguk, wajahnya yang biasanya tenang berubah cemas. "Ada sesuatu yang tidak wajar. Kau harus masuk ke dalam istana, Putri."
Tetapi Radena tetap berdiri di tempatnya. Ia menggenggam pinggiran balkon, matanya terpaku pada bayangan yang bergerak di antara pepohonan. Satu sosok muncul perlahan dari kabut: tinggi, berjubah hitam, dengan mata merah yang bersinar seperti bara api.
"Siapa itu?" Radena bergumam, merasa sihir dalam dirinya memanas.
Sosok itu mengangkat tangannya, dan sebuah suara yang dalam dan menyeramkan terdengar, meskipun mulutnya tak bergerak.
"Putri Aelderia... Waktumu telah tiba."
Radena merasakan darahnya membeku. Sebelum ia sempat bertanya, sosok itu menghilang, meninggalkan suara tawa yang menggema di udara.
Lady Melya menarik tangan Radena dengan panik. "Kita harus melaporkan ini pada Raja sekarang juga!"
Tetapi Radena tidak bergerak. Dalam hatinya, ia tahu ini bukan sekadar ancaman biasa. Sesuatu sedang terjadi, sesuatu yang lebih besar dari dirinya atau takdir yang selama ini dibicarakan.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa takdir itu mungkin benar-benar ada.
Langit malam berangsur memudar menjadi kelabu saat fajar mendekat, tetapi pikiran Radena tetap dipenuhi bayangan sosok berjubah hitam. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun ia kini telah berada di dalam kamar pribadinya di menara tertinggi istana.
Radena berdiri di depan cermin besar berhias ukiran naga, mengamati pantulan dirinya. Rambut pirang terangnya menjuntai lurus hingga bahu, dan lingkaran hitam samar terlihat di bawah matanya. Ia tidak bisa tidur—bukan karena takut, tetapi karena rasa penasaran yang menyiksa pikirannya.
“Siapa sosok itu?”
“Apa maksudnya waktumu telah tiba?”
Suaranya menggema di benaknya seperti mantra yang tidak terpecahkan. Ia melirik ke meja di sudut kamar, di mana tongkat sihir kecil berwarna perak bersandar dengan santai. Sebuah hadiah dari ayahnya, tetapi ia jarang menggunakannya.
“Sihir ini selalu terasa seperti belenggu,” gumamnyA pelan.
Tuk. Tuk. Tuk.
Ketukan pelan di pintu memecah kesunyian.
“Masuk,” kata Radena, berbalik dengan alis terangkat.
Lady Melya muncul dari balik pintu, membawa nampan kecil dengan secangkir teh herbal. Ia menatap Radena dengan tatapan penuh perhatian.
“Yang Mulia, kau tidak tidur semalaman, ya?” tanya Melya, meletakkan cangkir itu di atas meja dekat tempat tidur.
Radena mengangkat bahu. “Aku tidak bisa tidur. Mimpi buruk itu terus menghantuiku, bahkan saat aku terjaga.”
Lady Melya menghela napas. “Ini bukan pertama kalinya kau merasakan ini, kan?”
Radena mengangguk pelan. “Sudah beberapa bulan. Awalnya hanya seperti firasat aneh, tapi semakin lama semakin jelas. Sosok berjubah hitam itu... Aku merasa seperti pernah melihatnya sebelumnya.”
Melya terdiam sejenak, kemudian berkata dengan suara pelan, “Mungkin sudah saatnya kau bicara dengan Raja Altheron tentang mimpi-mimpimu.”
Radena menatap pelayannya dengan dingin. “Ayah tidak akan mendengarkan. Baginya, semua hal ini hanyalah omong kosong seorang gadis yang tidak tahu tanggung jawabnya.”
Lady Melya mencoba menenangkan. “Tapi kali ini berbeda, Yang Mulia. Kau melihat sesuatu di dunia nyata. Itu bukan hanya mimpi lagi.”
Radena terdiam. Ia tahu Melya benar, tetapi pikirannya masih memberontak. Jika ia mengatakan sesuatu kepada ayahnya, hal itu hanya akan membuatnya semakin terikat pada istana ini.
“Biarkan aku berpikir dulu,” kata Radena akhirnya, lalu mengalihkan pembicaraan. “Sekarang biarkan aku sendiri.”
Melya mengangguk dan meninggalkan kamar dengan langkah pelan.
Setelah kepergian Melya, Radena memutuskan untuk tidur sejenak, berharap mimpi buruk itu tidak akan datang lagi. Namun, ia salah besar.
Ketika ia memejamkan mata, dunianya berubah.
Ia berdiri di tengah ladang tandus yang dipenuhi tulang belulang. Langit berwarna merah darah, dan angin membawa suara rintihan menyayat hati. Di hadapannya berdiri sosok berjubah hitam yang sama, tetapi kali ini, di tangan sosok itu terdapat tongkat sihir hitam yang tampak memancarkan aura kelam.
“Radena Altheron,” suara sosok itu bergema, mengguncang bumi di bawahnya. “Sihir di dalam dirimu adalah kunci. Tapi hati-hati, karena setiap kunci memiliki harga yang harus dibayar.”
Radena mencoba berbicara, tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Ia ingin bertanya apa yang dimaksud, tetapi tubuhnya terasa berat, seolah terjebak dalam lumpur.
Kemudian, pemandangan itu berubah lagi. Ia kini berada di sebuah ruangan gelap yang dikelilingi cermin. Di setiap cermin, ia melihat bayangan dirinya—tetapi masing-masing berbeda. Salah satu Radena tampak tua dan rapuh, dengan tongkat sihir yang patah. Yang lain mengenakan mahkota hitam dan tersenyum kejam. Ada juga Radena yang berdiri gagah, tetapi tangannya berlumuran darah.
Suara sosok berjubah itu terdengar lagi. “Pilihlah takdirmu, Putri Aelderia. Tetapi ingat, tidak ada jalan tanpa pengorbanan.”
Cermin-cermin itu pecah bersamaan, dan suara tawa bergema di udara. Radena menjerit—dan tiba-tiba ia terbangun, terengah-engah di tempat tidurnya.
Pagi telah tiba, tetapi Radena merasa seperti tidak pernah benar-benar bangun dari mimpinya. Dengan tekad yang baru, ia memutuskan bahwa ia tidak bisa diam saja. Jika mimpinya adalah sebuah peringatan, maka ia harus menemukan kebenarannya.
Ia memandangi tongkat sihir peraknya di sudut ruangan, kemudian mengangkatnya. Sihir yang selama ini ia anggap sebagai belenggu kini terasa seperti satu-satunya harapan untuk menemukan jawaban.
“Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi,” katanya pada dirinya sendiri. “Tapi aku akan mencari tahu—dengan atau tanpa bantuan siapa pun.”
Langkah pertama dalam pencariannya sudah jelas: ia harus pergi ke perpustakaan kuno di bawah istana, tempat teks-teks terlarang tentang asal-usul sihir disimpan.
Dengan hati-hati, Radena menyelinap keluar dari kamarnya, menutupi tubuhnya dengan mantel hitam untuk menghindari perhatian. Ia tahu jika ayahnya mengetahui ini, ia akan dihukum berat.
Namun, Radena tidak peduli.
Ia tahu perjalanan ini akan membawanya ke dalam bahaya, tetapi di lubuk hatinya, ia merasa bahwa sosok berjubah itu benar. Waktunya memang telah tiba—dan ia harus siap menghadapi takdirnya.
Tuk. Tuk. Tuk.
Ketukan pelan di pintu memecah kesunyian.
“Masuk,” kata Radena, berbalik dengan alis terangkat.
Lady Melya muncul dari balik pintu, membawa nampan kecil dengan secangkir teh herbal. Ia menatap Radena dengan tatapan penuh perhatian.
“Yang Mulia, kau tidak tidur semalaman, ya?” tanya Melya, meletakkan cangkir itu di atas meja dekat tempat tidur.
Radena mengangkat bahu. “Aku tidak bisa tidur. Mimpi buruk itu terus menghantuiku, bahkan saat aku terjaga.”
Lady Melya menghela napas. “Ini bukan pertama kalinya kau merasakan ini, kan?”
Radena mengangguk pelan. “Sudah beberapa bulan. Awalnya hanya seperti firasat aneh, tapi semakin lama semakin jelas. Sosok berjubah hitam itu... Aku merasa seperti pernah melihatnya sebelumnya.”
Melya terdiam sejenak, kemudian berkata dengan suara pelan, “Mungkin sudah saatnya kau bicara dengan Raja Altheron tentang mimpi-mimpimu.”
Radena menatap pelayannya dengan dingin. “Ayah tidak akan mendengarkan. Baginya, semua hal ini hanyalah omong kosong seorang gadis yang tidak tahu tanggung jawabnya.”
Lady Melya mencoba menenangkan. “Tapi kali ini berbeda, Yang Mulia. Kau melihat sesuatu di dunia nyata. Itu bukan hanya mimpi lagi.”
Radena terdiam. Ia tahu Melya benar, tetapi pikirannya masih memberontak. Jika ia mengatakan sesuatu kepada ayahnya, hal itu hanya akan membuatnya semakin terikat pada istana ini.
“Biarkan aku berpikir dulu,” kata Radena akhirnya, lalu mengalihkan pembicaraan. “Sekarang biarkan aku sendiri.”
Melya mengangguk dan meninggalkan kamar dengan langkah pelan.
Setelah kepergian Melya, Radena memutuskan untuk tidur sejenak, berharap mimpi buruk itu tidak akan datang lagi. Namun, ia salah besar.
Ketika ia memejamkan mata, dunianya berubah.
Ia berdiri di tengah ladang tandus yang dipenuhi tulang belulang. Langit berwarna merah darah, dan angin membawa suara rintihan menyayat hati. Di hadapannya berdiri sosok berjubah hitam yang sama, tetapi kali ini, di tangan sosok itu terdapat tongkat sihir hitam yang tampak memancarkan aura kelam.
“Radena Altheron,” suara sosok itu bergema, mengguncang bumi di bawahnya. “Sihir di dalam dirimu adalah kunci. Tapi hati-hati, karena setiap kunci memiliki harga yang harus dibayar.”
Radena mencoba berbicara, tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Ia ingin bertanya apa yang dimaksud, tetapi tubuhnya terasa berat, seolah terjebak dalam lumpur.
Kemudian, pemandangan itu berubah lagi. Ia kini berada di sebuah ruangan gelap yang dikelilingi cermin. Di setiap cermin, ia melihat bayangan dirinya—tetapi masing-masing berbeda. Salah satu Radena tampak tua dan rapuh, dengan tongkat sihir yang patah. Yang lain mengenakan mahkota hitam dan tersenyum kejam. Ada juga Radena yang berdiri gagah, tetapi tangannya berlumuran darah.
Suara sosok berjubah itu terdengar lagi. “Pilihlah takdirmu, Putri Aelderia. Tetapi ingat, tidak ada jalan tanpa pengorbanan.”
Cermin-cermin itu pecah bersamaan, dan suara tawa bergema di udara. Radena menjerit—dan tiba-tiba ia terbangun, terengah-engah di tempat tidurnya.
Pagi telah tiba, tetapi Radena merasa seperti tidak pernah benar-benar bangun dari mimpinya. Dengan tekad yang baru, ia memutuskan bahwa ia tidak bisa diam saja. Jika mimpinya adalah sebuah peringatan, maka ia harus menemukan kebenarannya.
Ia memandangi tongkat sihir peraknya di sudut ruangan, kemudian mengangkatnya. Sihir yang selama ini ia anggap sebagai belenggu kini terasa seperti satu-satunya harapan untuk menemukan jawaban.
“Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi,” katanya pada dirinya sendiri. “Tapi aku akan mencari tahu—dengan atau tanpa bantuan siapa pun.”
Langkah pertama dalam pencariannya sudah jelas: ia harus pergi ke perpustakaan kuno di bawah istana, tempat teks-teks terlarang tentang asal-usul sihir disimpan.
Dengan hati-hati, Radena menyelinap keluar dari kamarnya, menutupi tubuhnya dengan mantel hitam untuk menghindari perhatian. Ia tahu jika ayahnya mengetahui ini, ia akan dihukum berat.
Namun, Radena tidak peduli.
Ia tahu perjalanan ini akan membawanya ke dalam bahaya, tetapi di lubuk hatinya, ia merasa bahwa sosok berjubah itu benar. Waktunya memang telah tiba—dan ia harus siap menghadapi takdirnya.
Lorong-lorong bawah istana Aelderia dipenuhi dengan keheningan yang berat. Suara langkah kaki Radena bergema di dinding batu yang dingin, seolah-olah ia sedang berjalan di dalam perut naga yang sedang tidur.
Ia menggenggam mantel hitamnya erat-erat, berusaha melindungi dirinya dari hawa dingin yang merayap di bawah tanah. Di tangannya, tongkat sihir perak yang tipis itu berpendar samar, memberikan penerangan seperti kunang-kunang kecil.
“Aku tidak percaya aku melakukan ini,” gumamnya pada dirinya sendiri.
Perpustakaan Kuno di bawah istana adalah tempat yang tabu. Hanya Raja Altheron dan para penasihat tertinggi yang diizinkan masuk ke sana. Teks-teks di dalamnya dianggap terlalu berbahaya untuk dibaca oleh orang biasa, bahkan oleh bangsawan seperti dirinya.
Namun, Radena tidak punya pilihan. Jika ia ingin menemukan jawaban tentang mimpinya, dan mungkin tentang sosok berjubah hitam itu, ia harus mengambil risiko.
Setelah berjalan beberapa menit, ia akhirnya tiba di pintu besar yang dihiasi ukiran naga melingkar. Mata naga itu, yang terbuat dari batu rubi merah, tampak hidup saat Radena mendekat.
“Baiklah, ayo kita coba,” katanya, mengangkat tongkatnya.
Ia mengarahkan tongkat sihir itu ke salah satu mata naga. Sebuah mantra muncul di benaknya, seperti bisikan yang datang entah dari mana. Ia menggumamkan kata-kata itu pelan:
“Lumos Veritas.”
Mata naga menyala, dan suara gemuruh terdengar saat pintu besar itu terbuka perlahan. Di baliknya, perpustakaan itu terbentang seperti jurang yang dalam, dengan rak-rak tinggi yang penuh dengan buku-buku tua dan gulungan naskah.
Radena melangkah masuk, matanya dipenuhi kekaguman dan rasa takut. Di tengah ruangan, ada sebuah meja besar yang di atasnya terletak buku-buku yang sudah berlapis debu tebal. Satu buku, yang sampulnya hitam dengan tulisan emas, menarik perhatiannya.
Ia menyeka debu di sampulnya dan membaca judulnya: “Astralis: Senjata Bintang.”
Jantungnya berdegup lebih cepat. Nama itu sama seperti yang disebut dalam dongeng yang pernah ia dengar dari pustakawan istana.
Ia membuka buku itu dan mulai membaca. Tulisan-tulisan kuno di dalamnya tampak hidup di bawah cahaya sihir dari tongkatnya:
“Astralis adalah senjata yang diciptakan dari kekuatan naga pertama. Ia tidak hanya sebuah senjata, tetapi sebuah kunci untuk mengendalikan kekuatan sihir dunia. Namun, kekuatan sebesar itu membutuhkan pengorbanan besar. Astralis hanya bisa dipegang oleh dua jiwa yang saling terhubung oleh takdir.”
Radena membaca kalimat itu berulang kali. “Dua jiwa yang terhubung oleh takdir?” gumamnya.
Ia melanjutkan membaca.
“Mereka yang ingin menemukan Astralis harus mengikuti peta bintang yang tersembunyi di dalam Kuil Lumina. Tetapi berhati-hatilah, karena banyak yang telah mencoba dan gagal. Beberapa kehilangan nyawa mereka, yang lain kehilangan jiwa mereka.”
Radena menutup buku itu dengan keras. Rasa penasaran kini bercampur dengan ketakutan.
“Jika senjata ini benar-benar nyata, apa hubungannya denganku?”
Saat ia merenung, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu masuk perpustakaan. Radena langsung memadamkan cahaya tongkatnya dan menyelinap ke balik salah satu rak.
Dari balik bayangan, ia melihat seorang pria masuk ke ruangan. Tingginya menjulang, dengan jubah cokelat kusam yang terlihat seperti tidak pernah dicuci. Di pinggangnya tergantung pedang kecil, dan rambut hitamnya berantakan seperti baru saja keluar dari medan perang.
Radena mengerutkan dahi. “Siapa dia?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Pria itu tampaknya tidak menyadari kehadiran Radena. Ia berjalan dengan santai menuju meja tempat Radena meninggalkan buku Astralis. Ketika pria itu melihat buku itu, ia tersenyum kecil.
“Jadi kau juga mencarinya, ya?” gumam pria itu sambil memungut buku itu.
Radena, yang tidak tahan lagi, keluar dari persembunyiannya. “Hei! Itu bukuku!”
Pria itu terkejut dan berbalik dengan cepat. Matanya yang hijau gelap bertemu dengan mata Radena.
“Bukumu?” katanya, tertawa kecil. “Aku tidak melihat namamu di atasnya, Putri.”
Radena mendengus, melangkah mendekat dengan penuh percaya diri. “Aku yang menemukannya lebih dulu. Jadi, berikan itu padaku.”
Pria itu menatap Radena dengan penuh minat, lalu tersenyum nakal. “Kau pasti Putri Radena. Aku mendengar kau keras kepala, tapi aku tidak menyangka kau akan sejauh ini melanggar aturan.”
Radena mengerutkan kening. “Dari mana kau tahu namaku? Dan siapa kau sebenarnya?”
Pria itu membungkuk dengan gaya yang berlebihan. “Namaku Frieden. Aku seorang petualang... dan aku juga sedang mencari Astralis.”
Radena melipat tangannya, menatap Frieden dengan curiga. “Petualang, ya? Kedengarannya seperti alasan yang dibuat-buat.”
Frieden tertawa. “Dan kau? Apa alasanmu berada di sini? Jangan bilang kau juga ingin menjadi pahlawan dunia?”
Radena merasa darahnya mendidih. “Aku tidak punya waktu untuk bercanda. Kembalikan buku itu, atau—”
Ia mengangkat tongkat sihirnya, dan Frieden langsung mengangkat tangan. “Hei, tenanglah, Putri. Aku hanya bercanda.” Ia menyerahkan buku itu kembali kepada Radena, tetapi matanya tetap memancarkan rasa ingin tahu.
Radena mengambil buku itu dan memelototi Frieden. “Kalau kau mencoba menghalangiku, aku tidak akan segan-segan mengusirmu dari istana ini.”
Frieden tersenyum lebar. “Baiklah, Putri. Tapi kau akan membutuhkan bantuan. Percayalah, aku sudah menjelajahi lebih banyak tempat berbahaya daripada yang bisa kau bayangkan.”
Radena mengabaikan tawarannya dan berbalik menuju pintu keluar. Namun, di lubuk hatinya, ia tidak bisa menyangkal bahwa Frieden mungkin benar.
Kembali ke kamarnya, Radena duduk di tepi tempat tidurnya dengan buku Astralis di pangkuannya. Pikiran tentang legenda senjata itu terus bermain di kepalanya.
“Mungkinkah aku adalah salah satu jiwa yang disebut dalam legenda itu?”
Namun, ada sesuatu yang lebih mengganggunya: pria bernama Frieden itu. Ia tidak tahu apakah harus mempercayainya, tetapi ada sesuatu tentangnya yang terasa... penting.
Radena menghela napas panjang. Ia tahu satu hal dengan pasti: jika ia ingin menemukan kebenaran, ia tidak bisa melakukannya sendirian.
menemukan jawaban tentang mimpinya, dan mungkin tentang sosok berjubah hitam itu, ia harus mengambil risiko.
Setelah berjalan beberapa menit, ia akhirnya tiba di pintu besar yang dihiasi ukiran naga melingkar. Mata naga itu, yang terbuat dari batu rubi merah, tampak hidup saat Radena mendekat.
“Baiklah, ayo kita coba,” katanya, mengangkat tongkatnya.
Ia mengarahkan tongkat sihir itu ke salah satu mata naga. Sebuah mantra muncul di benaknya, seperti bisikan yang datang entah dari mana. Ia menggumamkan kata-kata itu pelan:
“Lumos Veritas.”
Mata naga menyala, dan suara gemuruh terdengar saat pintu besar itu terbuka perlahan. Di baliknya, perpustakaan itu terbentang seperti jurang yang dalam, dengan rak-rak tinggi yang penuh dengan buku-buku tua dan gulungan naskah.
Radena melangkah masuk, matanya dipenuhi kekaguman dan rasa takut. Di tengah ruangan, ada sebuah meja besar yang di atasnya terletak buku-buku yang sudah berlapis debu tebal. Satu buku, yang sampulnya hitam dengan tulisan emas, menarik perhatiannya.
Ia menyeka debu di sampulnya dan membaca judulnya: “Astralis: Senjata Bintang.”
Jantungnya berdegup lebih cepat. Nama itu sama seperti yang disebut dalam dongeng yang pernah ia dengar dari pustakawan istana.
Ia membuka buku itu dan mulai membaca. Tulisan-tulisan kuno di dalamnya tampak hidup di bawah cahaya sihir dari tongkatnya:
“Astralis adalah senjata yang diciptakan dari kekuatan naga pertama. Ia tidak hanya sebuah senjata, tetapi sebuah kunci untuk mengendalikan kekuatan sihir dunia. Namun, kekuatan sebesar itu membutuhkan pengorbanan besar. Astralis hanya bisa dipegang oleh dua jiwa yang saling terhubung oleh takdir.”
Radena membaca kalimat itu berulang kali. “Dua jiwa yang terhubung oleh takdir?” gumamnya.
Ia melanjutkan membaca.
“Mereka yang ingin menemukan Astralis harus mengikuti peta bintang yang tersembunyi di dalam Kuil Lumina. Tetapi berhati-hatilah, karena banyak yang telah mencoba dan gagal. Beberapa kehilangan nyawa mereka, yang lain kehilangan jiwa mereka.”
Radena menutup buku itu dengan keras. Rasa penasaran kini bercampur dengan ketakutan.
“Jika senjata ini benar-benar nyata, apa hubungannya denganku?”
Saat ia merenung, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu masuk perpustakaan. Radena langsung memadamkan cahaya tongkatnya dan menyelinap ke balik salah satu rak.
Dari balik bayangan, ia melihat seorang pria masuk ke ruangan. Tingginya menjulang, dengan jubah cokelat kusam yang terlihat seperti tidak pernah dicuci. Di pinggangnya tergantung pedang kecil, dan rambut hitamnya berantakan seperti baru saja keluar dari medan perang.
Radena mengerutkan dahi. “Siapa dia?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Pria itu tampaknya tidak menyadari kehadiran Radena. Ia berjalan dengan santai menuju meja tempat Radena meninggalkan buku Astralis. Ketika pria itu melihat buku itu, ia tersenyum kecil.
“Jadi kau juga mencarinya, ya?” gumam pria itu sambil memungut buku itu.
Radena, yang tidak tahan lagi, keluar dari persembunyiannya. “Hei! Itu bukuku!”
Pria itu terkejut dan berbalik dengan cepat. Matanya yang hijau gelap bertemu dengan mata Radena.
“Bukumu?” katanya, tertawa kecil. “Aku tidak melihat namamu di atasnya, Putri.”
Radena mendengus, melangkah mendekat dengan penuh percaya diri. “Aku yang menemukannya lebih dulu. Jadi, berikan itu padaku.”
Pria itu menatap Radena dengan penuh minat, lalu tersenyum nakal. “Kau pasti Putri Radena. Aku mendengar kau keras kepala, tapi aku tidak menyangka kau akan sejauh ini melanggar aturan.”
Radena mengerutkan kening. “Dari mana kau tahu namaku? Dan siapa kau sebenarnya?”
Pria itu membungkuk dengan gaya yang berlebihan. “Namaku Frieden. Aku seorang petualang... dan aku juga sedang mencari Astralis.”
Radena melipat tangannya, menatap Frieden dengan curiga. “Petualang, ya? Kedengarannya seperti alasan yang dibuat-buat.”
Frieden tertawa. “Dan kau? Apa alasanmu berada di sini? Jangan bilang kau juga ingin menjadi pahlawan dunia?”
Radena merasa darahnya mendidih. “Aku tidak punya waktu untuk bercanda. Kembalikan buku itu, atau—”
Ia mengangkat tongkat sihirnya, dan Frieden langsung mengangkat tangan. “Hei, tenanglah, Putri. Aku hanya bercanda.” Ia menyerahkan buku itu kembali kepada Radena, tetapi matanya tetap memancarkan rasa ingin tahu.
Radena mengambil buku itu dan memelototi Frieden. “Kalau kau mencoba menghalangiku, aku tidak akan segan-segan mengusirmu dari istana ini.”
Frieden tersenyum lebar. “Baiklah, Putri. Tapi kau akan membutuhkan bantuan. Percayalah, aku sudah menjelajahi lebih banyak tempat berbahaya daripada yang bisa kau bayangkan.”
Radena mengabaikan tawarannya dan berbalik menuju pintu keluar. Namun, di lubuk hatinya, ia tidak bisa menyangkal bahwa Frieden mungkin benar.
Kembali ke kamarnya, Radena duduk di tepi tempat tidurnya dengan buku Astralis di pangkuannya. Pikiran tentang legenda senjata itu terus bermain di kepalanya.
“Mungkinkah aku adalah salah satu jiwa yang disebut dalam legenda itu?”
Namun, ada sesuatu yang lebih mengganggunya: pria bernama Frieden itu. Ia tidak tahu apakah harus mempercayainya, tetapi ada sesuatu tentangnya yang terasa... penting.
Radena menghela napas panjang. Ia tahu satu hal dengan pasti: jika ia ingin menemukan kebenaran, ia tidak bisa melakukannya sendirian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!