Bab 1: Awal Pertemuan
Rumah bergaya kolonial itu berdiri megah di ujung jalan. Dengan halaman luas yang ditumbuhi pohon-pohon rindang, rumah itu tampak tenang namun penuh kenangan. Arman melangkah masuk dengan membawa koper di tangan, ditemani Nisa, istrinya yang baru dinikahi tiga minggu lalu. Pernikahan mereka sederhana, tanpa pesta besar, tetapi penuh kebahagiaan. Mereka terlihat saling mencintai satu sama lain. Saling melengkapi dalam cinta.
"Ayo masuk, Mas. Ini rumahku, tempat aku tumbuh besar," ucap Nisa sambil tersenyum hangat. Ia menggenggam tangan Arman dengan erat, berusaha meyakinkan suaminya yang terlihat sedikit canggung dan gugup.
Dari dalam, terdengar suara langkah yang lembut namun tegas. Sosok Maya, ibu Nisa, muncul di ambang pintu ruang tamu. Ia mengenakan kemeja putih sederhana dengan celana panjang berwarna krem. Penampilannya memancarkan aura yang elegan meski usianya sudah mendekati lima puluh tahun. Sosok Maya terlihat sangat cantik di usianya yang sudah matang itu.
"Selamat datang, Arman," sapa Maya dengan senyuman yang hangat namun berwibawa. Suaranya lembut, namun ada nada ketegasan yang membuat orang langsung menghormatinya.
"Terima kasih, Bu," balas Arman dengan sedikit gugup.
"Ah, jangan panggil aku 'Bu.' Cukup Maya saja," Maya menambahkan dengan nada ringan. "Lagipula, kau sekarang bagian dari keluarga."
Arman tersenyum kecil, mengangguk sopan. Ia merasakan keramahan Maya, meski ada sesuatu dalam tatapan wanita itu yang membuatnya sedikit salah tingkah. Arman berkeringat sangking gugupnya.
"Masuklah, kalian pasti lelah," ujar Maya sambil mempersilakan mereka duduk di ruang tamu.
Ruang tamu itu terasa hangat, dengan perabotan klasik dan foto-foto keluarga yang menghiasi dinding. Maya dengan cekatan menyajikan teh hangat untuk Arman dan Nisa. Ia duduk di kursi yang berhadapan dengan mereka, memperhatikan setiap gerakan menantunya dengan pandangan yang tajam namun penuh perhatian. Seakan sedang mengingat sesuatu, sesuatu yang sulit dikatakan.
"Aku senang akhirnya bisa bertemu denganmu, Arman. Nisa sering bercerita tentangmu," kata Maya, memulai percakapan.
"Oh, semoga hanya cerita yang baik-baik saja," jawab Arman dengan senyum canggung, berusaha mencairkan suasana.
Maya terkekeh pelan. "Tentu saja. Kau adalah pria yang baik, aku bisa melihatnya dari cara kau memperlakukan Nisa."
Percakapan mengalir lancar. Maya menunjukkan ketertarikan yang tulus pada pekerjaan dan latar belakang Arman. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Arman merasa dihargai, sementara Nisa sesekali menyisipkan komentar ringan untuk menambahkan detail.
Namun, di tengah kehangatan itu, ada momen singkat ketika pandangan Maya dan Arman bertemu. Sebuah tatapan yang seharusnya tidak memiliki arti apa-apa, tetapi entah mengapa terasa berbeda. Keduanya segera mengalihkan pandangan, berusaha mengabaikan perasaan aneh yang sejenak melintas. Mereka seakan mengagumi satu sama lain.
Hari itu berlalu dengan lancar. Maya tampak puas dengan menantu barunya, sementara Arman merasa lega karena diterima dengan baik. Namun, jauh di lubuk hati Maya, ada sesuatu yang bergetar. Sebuah perasaan yang ia tahu tidak seharusnya ada, tetapi sulit untuk diabaikan.
Bagi Arman, Maya adalah sosok mertua yang berbeda dari bayangannya. Ia tidak hanya anggun, tetapi juga memiliki kehangatan dan pesona yang sulit dijelaskan. Arman jadi semakin betah berada di dekat Maya.
Awal pertemuan itu, meskipun sederhana, perlahan mulai menanam benih dari sebuah cerita yang akan mengubah hidup mereka selamanya.
Bab 2: Kesepian yang Menyiksa
Rumah besar itu kembali sunyi setelah hiruk-pikuk kepindahan Arman dan Nisa selesai. Pagi itu, sinar matahari mengintip melalui jendela besar di ruang tamu, memantulkan bayangan di lantai marmer yang dingin. Maya duduk di kursi goyang, memandang ke arah taman yang rindang di luar. Tangannya menggenggam secangkir teh, tetapi pikirannya melayang jauh ke masa lalu.
Maya adalah wanita yang tangguh. Setelah suaminya meninggal lima tahun lalu karena serangan jantung mendadak, ia berusaha keras menjalani hidup sebagai ibu tunggal. Ia berhasil menjaga rumah ini tetap utuh, membesarkan Nisa, dan membangun citra dirinya sebagai wanita mandiri. Namun, di balik topeng kekuatan itu, ada kekosongan yang perlahan-lahan memakan hatinya.
Setiap sudut rumah itu menyimpan kenangan. Di sudut ruang makan, ia teringat suaminya yang selalu tersenyum hangat di pagi hari sambil menyeruput kopi. Di ruang tamu, ia bisa membayangkan Nisa kecil berlarian dengan tawa riangnya. Tetapi sekarang, kenangan itu hanya menyisakan keheningan yang menusuk kalbu.
Kesepian Maya semakin menjadi-jadi sejak Nisa menikah. Putri satu-satunya yang dulu menjadi pusat kehidupannya kini lebih banyak menghabiskan waktu bersama Arman. Maya tidak menyalahkan Nisa, tetapi ia tidak bisa memungkiri rasa kehilangan yang mulai menghantui dirinya saat ini.
Malam-malam terasa panjang bagi Maya. Ia sering terjaga hingga larut, memandangi langit-langit kamarnya sambil bertanya-tanya, apakah hidupnya akan selalu seperti ini? Apakah cinta dan kebahagiaan hanya menjadi bagian dari masa lalu yang tidak mungkin ia dapatkan lagi untuk saat ini?
Hari itu, Maya mencoba mengalihkan pikirannya dengan membersihkan rumah. Ia memindahkan vas bunga, menyusun kembali buku-buku di rak, dan bahkan mencuci gorden. Namun, semua itu hanya menyamarkan rasa sepi yang terus berbisik di telinganya. Seakan membuatnya meronta.
Ketika ia turun ke dapur, ia melihat Arman sedang mempersiapkan sarapan untuk Nisa. Maya berhenti sejenak di ambang pintu, memperhatikan menantunya yang tampak serius memotong buah di meja.
"Selamat pagi, Maya," sapa Arman dengan senyuman sopan saat menyadari kehadirannya.
"Pagi, Arman. Kau terlihat sibuk pagi ini," balas Maya sambil tersenyum tipis.
Arman mengangguk. "Saya pikir Nisa pasti lapar. Lagipula, saya senang membantu."
Maya duduk di kursi dapur, memperhatikan setiap gerakan Arman. Ia terkejut menyadari betapa perhatian dan tulusnya pria itu terhadap Nisa. Ia mulai membandingkan Arman dengan suaminya, sebuah pikiran yang seharusnya tidak ia izinkan untuk tumbuh.
Namun, bukan cinta yang muncul di hati Maya saat itu. Hanya rasa kagum dan iri. Ia bertanya-tanya, bagaimana rasanya dicintai dengan cara seperti itu lagi?
Setelah Arman selesai, Maya tetap tinggal di dapur, merenung sambil memandang keluar jendela. Dalam pikirannya, ia tahu ada sesuatu yang salah. Perasaan kesepian ini mulai menciptakan celah dalam dirinya. Ia takut celah itu suatu saat akan membawa hal-hal yang tidak ia inginkan.
Namun, Maya tetap berusaha menepis pikiran itu. Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa ia adalah wanita kuat. Kesepian, pikirnya, hanyalah fase yang harus ia lalui. Tetapi jauh di lubuk hati, Maya tahu bahwa keheningan dalam hidupnya mulai menuntut sesuatu untuk mengisinya. Dia tak ingin kesepian ini membuatnya semakin merana.
Sesuatu yang ia tidak pernah bayangkan akan terjadi.
Bab 3: Awal Kedekatan
Suasana pagi itu terasa cerah. Burung-burung berkicau riang di luar jendela, mengiringi aktivitas kecil di dapur. Maya sedang memotong sayuran ketika Arman masuk dengan langkah ringan. Dia baru selesai berlari pagi dan masih mengenakan pakaian olahraga, dengan keringat tipis yang menempel di dahinya.
"Selamat pagi, Maya," sapa Arman sambil mengambil gelas untuk mengisi air minum.
Maya menoleh, tersenyum. "Pagi, Arman. Kau rajin sekali berolahraga. Nisa pasti bangga."
Arman terkekeh, mengusap tengkuknya. "Saya cuma ingin tetap sehat, Maya. Lagipula, olahraga juga membantu menghilangkan stres."
Maya mengangguk sambil kembali memotong sayur. "Kau benar. Mungkin aku juga harus mulai melakukannya. Usia seperti ini, tubuh mudah sekali lelah."
Arman menggeleng cepat. "Ah, jangan bercanda, Maya. Anda masih terlihat sangat bugar."
Pujian itu membuat Maya terdiam sejenak. Ada kehangatan yang muncul di hatinya, meski ia tahu ucapan itu murni sopan santun. "Terima kasih, Arman," jawabnya dengan senyum kecil, berusaha menjaga formalitas.
Beberapa hari berikutnya, interaksi kecil seperti ini semakin sering terjadi. Maya dan Arman mulai berbincang lebih akrab saat Nisa sibuk dengan pekerjaannya. Mereka berbicara tentang banyak hal: makanan favorit, hobi, hingga kisah masa lalu.
"Jadi, Maya, apa yang biasanya Anda lakukan di waktu luang?" tanya Arman suatu sore ketika mereka sedang menyiram tanaman bersama di halaman belakang.
Maya berpikir sejenak, lalu tertawa kecil. "Sejujurnya, tidak banyak. Aku biasanya membaca atau menonton serial lama. Kadang-kadang, aku hanya duduk di sini, menikmati angin."
"Itu kedengarannya menyenangkan," ujar Arman, sambil menyiram bunga mawar. "Tapi mungkin Anda bisa mencoba hal baru. Mungkin melukis atau berkebun lebih serius?"
Maya tersenyum, memandangi bunga-bunga di sekitarnya. "Mungkin. Kau benar, aku harus mencari sesuatu untuk membuat hariku lebih berarti."
Di saat-saat seperti itu, Maya merasa ada seseorang yang benar-benar mendengarkan. Kehadiran Arman yang tulus memberinya rasa nyaman yang lama tak ia rasakan. Di sisi lain, Arman mulai melihat sisi lain Maya. Di balik wibawanya, ada kehangatan dan kelembutan yang membuatnya merasa betah.
Namun, mereka tetap menjaga batas. Setiap percakapan terasa biasa saja, tanpa intensi yang salah. Tetapi perlahan, tanpa mereka sadari, hubungan ini mulai melangkah di luar batas murni antara mertua dan menantu.
Satu malam, ketika Nisa bekerja lembur, Arman dan Maya duduk di ruang tamu, menonton acara televisi bersama. Sebuah adegan komedi di layar membuat mereka tertawa lepas.
"Kau tahu, aku tidak pernah mengira punya menantu yang punya selera humor sepertimu," kata Maya sambil tersenyum lebar.
Arman ikut tertawa. "Dan saya tidak pernah mengira mertua bisa jadi teman bicara yang menyenangkan."
Maya terdiam sesaat, tatapannya tertuju pada Arman yang masih tersenyum. Hatinya mulai berbisik sesuatu yang ia takuti. Perasaan hangat itu, seharusnya tidak ada. Ia segera mengalihkan pandangan, berusaha menahan diri.
"Sudah malam. Aku rasa aku harus tidur," ucap Maya tiba-tiba, mencoba mengakhiri momen itu sebelum pikirannya melangkah lebih jauh.
Arman mengangguk, sedikit bingung dengan perubahan sikap Maya. "Baik, Maya. Selamat malam."
"Selamat malam, Arman," jawab Maya sambil beranjak ke kamarnya.
Maya menutup pintu kamar dengan jantung yang berdegup kencang. Ia tahu apa yang ia rasakan adalah sesuatu yang salah. Tapi, kenapa begitu sulit untuk mengabaikannya?
Sementara itu, di ruang tamu, Arman termenung. Ia merasa nyaman dengan Maya, bahkan lebih nyaman daripada dengan orang lain di rumah itu. Tapi, perasaan itu membuatnya merasa bersalah, seolah-olah ia melangkah terlalu dekat ke batas yang seharusnya tidak ia sentuh.
Awal kedekatan ini, meskipun terlihat sederhana, perlahan-lahan menanam benih yang kelak akan tumbuh menjadi badai besar dalam hidup mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!