NovelToon NovelToon

Alpha Love Story : The Girl

Pencuri Hape

“Woi! Maling!!” seru Devon sambil berdiri lalu berlari mengejar seseorang yang baru saja menyambar ponselnya yang ia letakkan di meja. Ia sedang di sebuah restoran, dan mengambil tempat duduk di luar area bangunan karena di dalam sedang penuh.

Nahas, saat ia mengambil sendoknya yang terjatuh, seseorang mendekatinya dan secepat kilat menyambar ponselnya di atas meja.

Devon berlari menelusuri jalanan. Matanya fokus ke depan, ke arah tubuh kecil, hoodie abu, berlari dengan cekatan melewati orang-orang dan masuk ke gang sempit di antara bangunan.

Devon lumayan mengenali area ini, gang itu merupakan jalan pintas masuk ke perkampungan kumuh yang terletak di bawah jembatan, Jakarta memang memiliki kesenjangan sosial yang cukup kentara.

Di kawasan perkantoran Gatot Subroto macam begini saja, perkampungan yang diisi dengan rumah-rumah kecil yang sebenarnya tak layak huni menjamur dimana-mana. Semoga Presiden yang berikutnya bisa membawa Indonesia semakin sejahtera.

Kembali lagi ke Devon, ia termasuk tinggi dan tubuhnya terlatih baik, namun karena itu kawasan sempit dan padat penduduk, jadi ia masih kurang cekatan dibanding maling itu. Tak diragukan, si maling tampaknya hafal jalan tikus, jadi bisa saja dia termasuk warga sekitar sini.

Masalahnya, yang diambil adalah ponselnya. Di mana semua transaksi perbankan, media sosial, dan lain-lain yang penting ada di sana. Ia Memang masih bisa mengalihkan semuanya ke ponsel satunya, yang mana butuh effort lebih, tapi lebih baik mendapatkan ponselnya kembali, kan?

Juga... bayangan masa lalu keluarganya. Ayah, ibu dan adiknya...

Semua dibunuh oleh perampok yang masuk ke rumah mereka, tepat saat ayah memergokinya memasukkan ponsel ke ransel. Dan berikutnya si perampok bilang, “kumpulkan semua hape, masukan ke tas saya. Atau kamu mati!”

“Maling!!” seru Devon mencoba menghardik orang yang masih tetap berlari di depannya.

Saat maling itu naik ke arah pagar pembatas antara area umum dan pemukiman, ia agak kesulitan karena tinggi badannya. Ia terlihat mencoba meraih batas atas namun tidak sampai dan gerakannya tersendat di railing.

Sementara Devon sedang sibuk menenangkan seorang ibu-ibu yang dagangannya jatuh karena tersenggol tubuhnya yang tinggi besar. “Kalo hape saya balik, saya ganti!” seru Devon kesal.

Dan ia pun berhasil menarik kaki si Maling.

Sempat mengernyit karena merasa kaki si Maling kecil sekali ya ternyata di balik celana kargonya. “Kyaaa!!” seru si Maling panik sambil menendang-nendang wajah Devon.

Teriakan seorang anak laki-laki, atau seorang gadis? Suara yang menandakan kalau si pencuri adalah sosok yang masih remaja belum tumbuh jakun.

Whatever lah, gue pokoknya mau hape gue balik! Seru Devon dalam hati.

BRAKK!

Sebuah batu bata terlempar dari arah si maling dan mengenai pelipis Devon.

Wah, sudah kurang ajar nih, kelewat batas! Pikir Devon semakin kesal.

Maka ia tarik kaki kurus itu sekuat tenaganya, bodo amat itu badan mau kesangkut atau luka, atau gimana. Dalam hal ini si Maling cari gara-gara duluan. Dan ia cengkeram leher si Maling.

“Kembalikan!” geram Devon marah.

Hoodie si Maling terbuka.

Wanita...

Sangat cantik.

Wajahnya dengan khawatir menatap Devon, dengan bulir air mata yang belum kering di matanya.

“Am... pun Bang...” ia tercekat karena cengkeraman Devon di lehernya.

Tangannya merogoh kantong hoodienya dan mengeluarkan...

Sandwich daging.

Menu makan siang Devon hari ini.

Yang seingatnya ada di atas mejanya.

Baru saja diletakkan oleh waitress.

Devon terpana melihatnya.

“Hape saya?” desak Devon.

“Saya... hanya ambil ini Bang, Ampun Bang. saya lapar sekali, saya belum punya pekerjaan. Maaf Bang...”kata gadis itu dengan susah payah, karena jalur pernafasannya ditekan Devon. Ia pun sulit bicara.

Devon tidak percaya.

“Dengar ya brengsek!” Devon menjambak rambut gadis itu ke belakang sampai kepala gadis itu tersentak ke belakang, “saya punya trauma dengan pencuri hape, kalau terbukti kamu yang ambil, kamu mati. Dengar?!”

Ia turunkan gadis itu lalu ia tekan ke dinding. Sementara semua orang memperhatikan mereka.

Devon menggeledah semua pakaian gadis itu. Ia tidak peduli dikatai melanggar hak asasi. Ia tekan semuanya.

Ponselku termasuk ukuran besar. Tapi tidak terdeteksi di mana pun di pakaian gadis itu.

“Hape saya punya sensor pelacak.” Geram Devon. “Kalau kamu sempat memberinya ke teman kamu saat tadi lari, katakan saja sekarang sebelum saya temukan dan habisi semuanya. Jelas?” bisiknya.

“Sumpah Bang, saya hanya ambil roti. Adik saya butuh makan, saya juga lapar. Sejak kemarin malam kami belum makan Bang.” Gadis itu gemetaran karena takut. Devon menyadari gertakannya cukup mengena di hati si gadis karena celananya basah. Gadis itu mengompol dan mulai terisak.

Kenapa Devon jadi merasa ia seperti pihak yang jahat di sini? Jelas-jelas ia yang dirampas haknya. Memang perilakunya saat memperlakukan gadis itu begitu arogan, tapi semua di luar kontrol tubuhnya.

“Udah kali, orang kaya bisa beli lagi...” ia mendengar keluhan dari entah siapa di belakangnya.

“Ck!” decak Devon masih kesal.

“Oke, kali ini saya lepaskan. Tapi kalau kedua kalinya kamu tertangkap oleh saya... saya tidak akan segan. Walau pun kamu cewek ingusan, anak-anak, ibu-ibu. Ngerti?!” ancam Devon sambil mendorong gadis itu ke arah tembok dengan keras. Gadis itu tersungkur sampai terjatuh lalu mengangkat sandwich daging yang sudah koyak ke arah Devon, berusaha mengembalikan.

“Ambil saja!’ seru Devon sambil berbalik dan mendengus kesal. Tak lupa ia rogoh dompetnya dan ia berikan beberapa lembar merah untuk ibu-ibu yang dagangannya tadi rusak tersenggol olehnya.

Dengan kesal ia duduk kembali di kursinya di restoran.

Ia mendengus sambil menenangkan dirinya. Ia akan minum sebentar lalu mengambil ponsel satunya yang ia letakkan di kantor dan melacak ponselnya yang hilang. Ia juga akan memback-up semua aplikasi perbankan. Bikin tambah kerjaan saja sih. Gerutunya dalam hati.

“Bapak...” seorang Waitress menghampirinya.

“Hm?” ia melirik ke arah waitress dengan wajah masih kesal. Sang Waitress sampai menipiskan bibirnya karena takut dengan wajah Devon. “Ini, tadi jatuh ke lantai saat bapak ambil sendok. Saya amankan waktu bapak mengejar maling tadi.”

Ponsel Devon.

Pria itu sampai ternganga melihat benda di tangan Sang Waitress.

Jadi… bukan gadis itu yang mengambil hapenya?

“Ya Ampun...” gumamnya langsung blank.

**

Devon Hazel Sang Perayu

“Gue salah kali ini...” gumam Devon Hazel, 29 tahun, Manajer Finance and Investment, PT. Prabasampurna Support. Anak Usaha dari Prabasampurna Grup yang bergerak dalam layanan pengelolaan Facility Management, Manpower Services, Equipment Supply & Maintenance, dan ICT Solution.

Devon masih shock. Ia terus bertingkah begitu dari sejak awal meeting. Duduk lesu, pandangan kosong dan tampak tak fokus.

“Hah?! Salah dimana bro?! Lu yang bener kalo lu salah ya gue ikut salah!” tegur rekannya, Zaki Rakai, Manajer Operasional

“Sejak kapan lu salah? Yang mana?!” Zaki tampak panik mengutak atik laptopnya. Posisi Devon memang cukup krusial di perusahaan ini sebagai Manajer Keuangan dan Investasi. Perhitungannya akan harga saham dan pasar tidak boleh meleset dan semua barang yang akan dibeli Zaki tergantung dari budget yang dikeluarkan Devon.

“Sejak awal... gue salah.” Gumam Devon.

“Ya sebutin salah yang mana Goblok!” Zaki sampai melempar pulpen ke arah Devon. Kena ke pelipisnya, tepat di area yang barusan ditendang ‘Si Maling’.

“Sakit, Anjir!!” seru Devon sambil balas melempar bantex ke arah Zaki.

Zaki menangkap bantex yang terbang ke arahnya dengan sigap sambil berdiri dan menuding Devon. “Gue tanya yang mana yang salah tapi lo ngedumel kayak lagi kesurupan! Lu ngomong aja, salah hitung yang mana! Gue udah sampe bikin perjanjian buat angkut barang!” seru Zaki tak sabar.

“Ya lu angkut barang ya angkut aje sampe selesai! Rese banget lu bangsat!” seru Devon makin kesal.

“Yang rese tuh elu!”

“Lu yang emosian!”

“Pak Zaki, mohon tenang.” Leyla, Si Sekretaris Korporat sedang mengamati laptopnya sambil memicingkan mata. “Pak Devon, saya tidak melihat ada kesalahan di perhitungan kali ini. Semua sudah sesuai budget yang disediakan dan rumusnya sudah pas. Kalau semua berjalan sesuai rencana, BEP kita bisa melebihi estimasi.”

“BEP?” Devon memicingkan mata sambil menatap Leyla “Semua udah beres kok, Tinggal Zaki aja esksekusi pengadaannya.”

“Tadi lu bilang lu salah!” sembur Zaki.

“Masa?” balas Devon.

“Uh Elu!” Zaki membuka sepatu botnya dan bersiap melemparnya ke arah Devon.

Devon berlindung di balik Leyla. “Saya tadi ngomong gitu?” Devon bertanya ke Leyla.

“Ya Pak, dua kali. Kata Bapak, ‘Gue salah kali ini’.” Kata Leyla tegas.

“Waduh. Sori. Saya lagi mikirin hal lain.” Devon mengangkat tangannya.

“Ada hubungannya dengan pekerjaan?” tanya Leyla.

“Tidak.” Kata Devon sambil menyeringai.

“Yang bener aje Dev! Gue udah emosi melulu kalo ngadepin lu!” seru Zaki.

“Case Close.” Desis Leyla. “Capek deh nasib saya dari dulu kerja di antara para serigala... yang itu Sigma, yang ini Alpha, yang lain Gamma. Sementara saya ini hanya seekor kiwi.”

**

Devon keluar dari ruang meeting sambil berjalan dengan santai. Niatannya untuk kembali ke area Finance, daerah kekuasaannya. Sambil berjalan ia memeriksa ponsel nahas itu. Ia akan membuka kunci sidik jari, namun ternyata ponsel tersebut terblokir. Indikasinya, ada percobaan masuk dengan membobol passcode. Dalam hal ini Devon menggunakan dua passcode yaitu sidik jari dan face recognition. Dua-duanya terindikasi gagal sudah 5 kali, jadi ponsel terblokir sendiri.

Devon mengernyit merasa aneh.

Seingatnya, ia tidak pernah gagal membuka passcode. Karena itu kan sidik jarinya sendiri.

“Kayla,” ia memanggil salah satu staffnya, Seorang wanita yang perutnya sudah membesar menghampirinya sambil memberinya secangkir kopi panas, “Kamu bisa bantu saya? Tolong hubungi bagian umum. Name tag saya jatuh entah dimana. Tolong blokir kartu yang lama ya... kayaknya sih hilang waktu saya tadi lari.”

“Waktu bapak tadi lari? Keadaan genting semacam apa pak?” tanya Kayla penasaran.

Devon tersenyum ke arah Kayla, “Yah, seandainya tadi saya lari untuk mengejar cinta kamu, tapi sepertinya itu hanya angan-angan.” Ia langsung mengalihkan perhatian.

“Hihi, kalau yang itu, namanya bapak cari mati.” Kayla terkikik sambil duduk di kursinya. Jelas cari mati, Kayla adalah istri Zaki. Tapi mana ada wanita yang tidak dirayu Devon? Hal ini Kayla anggap sebagai intermezzo saja.

Devon menyesap kopinya dan beralih ke staff lainnya.

“Eri,” Devon masuk ke ruangannya sambil memanggil salah satu stafnya, “Jual saham kita yang DOID, PBVnya lagi turun. Alihkan ke Bukit Asam dan ABM. Stoknya samain sama yang DOID.”

“Tapi pak, ABM PBVnya dibawah 1% pak.”

“Besok naik, pergerakan harganya tinggi, lebih dari 10%” kata Devon sambil berhenti di Kubikel salah satu Asistennya.

“Dari mana bapak tahu kalau besok naik?” bisik Eri.

“Ada laporan yang belum dikonfirmasi bahwa pasukan Ukraina telah menyita pabrik kompresi gas Sudzha, jadi Lonjakan harga gas membuat Eropa berpaling ke batu bara.” Kata Devon.

Eri pun terdiam.

Otaknya masih memproses perkataan Bosnya.

“Lakukan saja Eri, Time is cuan.” Desis Devon sambil tersenyum. Lalu ia menunduk ke arah komputer Kayla lagi.

“Dana dari pelelangan sudah masuk?” tanya Devon sambil menatap komputer Kayla.

“Ya bapak, barusan saja. Kalau dialokasikan ke pembelian gudang sepertinya masih berat Pak, ada spare hanya 5%. Karena kita kan harus simpan untuk GL bulan depan. Ingat, sebelum triwulan dua kita harus keluarkan dana untuk CSR. Dan ada permohonan pengeluaran Family Gathering dari pusat.”

Pekerjaan Devon di perusahaan adalah seputar uang. Itu sebabnya ia lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Berbeda dengan teman-temannya yang lain, Yang sering kali dinas di luar kantor berhari-hari, Devon malah diharapkan tidak keluar dari kantor. Karena semua audit yang sifatnya krusial pasti akan melibatkan Devon.

Sebuah fokus yang cermat sangat diharapkan muncul setiap harinya dalam diri Devon. Di usianya yang menjelang 30 tahun jarang ada yang mematahkan fokusnya. “Saya pulang duluan ya, mau ke store hape, keblokir.” Kata Devon ke arah Kayla.

Tapi setelah dari store ponsel, ia tidak langsung pulang.

Malam itu, kegiatannya seputar wanita.

Devon itu Alpha. Berbeda dengan Sigma yang lebih banyak diam dan mengamati dan berbicara lewat tindakan. Devon cenderung supel, ekstrovert, percaya diri tingkat tinggi namun tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya ia pikirkan. Ia disukai banyak orang, tapi hanya sedikit orang yang ia benar-benar sukai. Masalahnya, banyak yang ingin perhatiannya.

Dan rasanya Devon tidak memiliki banyak waktu untuk melayani semuanya.

Yang satu minta dipeluk, yang satu minta dijilat, yang lainnya ia biarkan bermain-main dengan miliknya yang tegang sempurna.

Ia sedang ingin santai, tidak ingin terburu-buru.

Karena hari ini pikirannya sedang kacau.

Gara-gara sandwich isi daging.

Jemarinya menggoda sampai wanita di sebelahnya berteriak karena mencapai puncaknya. Cairan kewanitaan turun ke jari tengahnya seiring dengan desa han puas wanita-nya.

Lima kali hentakan dari bawah, wanita itu gemetaran dan tumbang.

Dua selesai, tinggal dua lagi.

Devon belum puas.

Wajah ketakutan si Maling di benaknya. Dua wanita tidak cukup menghapus kejadian tadi siang dari pikirannya. Harus berapa banyak wanita yang habis ia mainkan untuk menghapus bayangan air mata yang turun dari si Maling?

Wajah itu langsung membuka memorinya akan kenangan masa lalu. Wajah dengan mimik yang sama. Memohon ke orang lain untuk pengampunan. Nyatanya permohonannya tak terkabul, mati dalam suasana tragis.

Pikiran Devon kacau balau, ia ingin menuntaskan semua dengan cepat. Lalu istirahat dan tidur nyenyak

Dan malam itu di-isi dengan teriakan puas, rayuan, pujian.

Namun semua malah menjadikan hatinya semakin hampa...

**

Hani, Office Girl Baru

Esok harinya,

“Permisi Pak Devon?” Evi, Kepala Unit HRD, mengetuk pintu ruangan Devon. Sambil menatap sinis ke arah Indri dan Lily yang sedang duduk di atas meja kerja dan pinggiran kursi Devon.

“Ya Mbak Evi?” tanya Devon sambil tersenyum ramah ke arah Evi.

“Saya mau mendiskusikan mengenai kandidat OB-OG yang kemarin di request bapak.”

“Yang lain bagaimana?” tanya Devon. Karena kantor mereka sangat luas dan banyak yang harus dibersihkan, jadi Devon berencana untuk menambah personel di bagian Janitor.

"Kalau Pak Zaki katanya tidak butuh, dia pakai OB yang biasa saja. Pak Reinhart bilang terserah saya saja. Pak Omar akan memilih setelah Pak Devon karena dia minta pertimbangan Pak Devon juga karena bagian legal kan banyak surat penting berserakan di ruangannya.”

“Oke, masuk.” Devon memberi perintah ke arah Evi. “Kalian keluar dulu ya.” Ia meminta dua wanita di sekitarnya untuk keluar dari ruangannya. Tentu saja dibarengi dengan protes semuanya.

“Yaaah, sayang, aku belum puas nih. Kan kamu-“

“Nggak dengar tadi saya ngomong?” potong Devon sambil mengetuk-ngetuk alas mejanya. Ia tidak cukup sabar kalau masalah perintah.

Dua wanita cantik itu menarik nafas dan tanpa banyak bicara segera keluar dari sana. Tak lupa mereka berjalan sambil melayangkan tatapan sinis ke arah Evi.

Evi si Kepala HRD, sudah biasa dijulid-tin.

Dan dia sudah ada di sini sejak para manajer muda ini masuk, jadi ia mengenal setiap individunya. Untuk Devon, ia lebih berhati-hati dalam memberi tindakan, karena langkah Devon sering tidak bisa diprediksi. Jadi jelas, Evi tidak akan sok-sok akrab kalau untuk menghadapi Devon.

Evi menyerahkan beberapa Map, namun salah satu Map ia tetap kepit di antara lengannya.

“Yang itu?” tanya Devon ke arah lengan Evi. Ke arah Map yang dikepit Evi.

“Oh, ini... tadi ada cewek ke gedung cari saya pas banget saat saya mau ke ruangan Pak Devon, dia kasih ini. Mana kertasnya bau, tulis tangan pula, amplopnya pakai amplop bekas yang kayaknya ia ambil dari tempat sampah. Dia tidak memiliki ijazah apa pun. Tulisannya juga acak-acakan. Mau melamar jadi Office Girl modal fotokopi KTP karena katanya dia butuh uang untuk makan.”

Butuh uang untuk makan...

Seketika pikiran Devon langsung ke kejadian kemarin.

“Coba sini.” Devon meminta amplop buluk itu.

Gadis Maling itu... mengambil sandwichnya. Untuk dia dan adiknya makan. Pikiran Devon langsung campur aduk. Dan  perutnya mual.

“Ironis ya melihat negeri ini banyak yang tidak punya pekerjaan untuk sesuap nasi.” Gumam Devon.

“Ya Pak, makanya saya tetap terima amplop itu. Mungkin saya bisa menjadikan dia ART di tempat kenalan saya atau kalau memang perangainya tidak bagus, saya nanti kasih dia duit saja. Dia lagi nungguin saya di tangga samping.”

“Dia nungguin kamu?!”

“Iya katanya mau tunggu saya.”

Devon menyambar kacamatanya dan membuka amplop bekas itu. Ada noda kecoklatan di pinggirannya dan bau sampah.

Di dalamnya secarik kertas dan fotokopi KTP yang sudah lecek. Kertasnya dari kertas bekas, dan ada tulisan tangan dengan pensil di baliknya. Tulisan cakar ayam khas anak SD yang belum bisa mengeja.

Tapi herannya, tutur bahasanya bagus.

“Dengan Hormat Pimpinan di tempat,” Devon membaca sambil berucap. Karena memang tulisannya sukar dimengerti. Hurufnya salah tempat semua. Degan homt Pimpiman di4.

“Nama saya Hani, usia saya 18 tahun, saya seorang pengangguran lulusan SD. Tapi saya butuh pekerjaan untuk menghidupi saya dan adik saya. Saya berencana akan bekerja sambil sekolah kalau saya bisa diberi kesempatan untuk bekerja di tempat Anda. Saya berjanji akan bekerja sepenuh hati.” Devon membaca surat itu dengan agak keras.

“Wow!” sahut Evi.

Devon mengangkat kepalanya, “Kamu belum baca isi suratnya?”

“Belum Pak.”

“Kata-katanya terstruktur ya, walau pun ejaannya banyak salah.”

“Anaknya cantik loh Pak, saya lihat sendiri. Putih bersih imut. Dia sampai berlutut ke saya waktu minta kerjaan. Makanya akhirnya saya ambil amplopnya. Sampai malu saya dilihatin orang-orang.”

“Cantik kok tidak punya pekerjaan...” gumam Devon.

“Jaman sekarang masih banyak loh pak yang mempertahankan prinsip untuk tidak terjun ke dunia gelap walau pun ia sangat lapar.” Kata Evi. Seketika Devon terdiam.

Iya juga ya, begitu pikirnya.

Walau pun kaum glowing zaman sekarang banyak yang menjual dirinya, baik itu lewat medsos dengan joget-joget memperlihatkan aurat, sampai ke yang terang-terangan open BO, namun insan yang seperti gadis ini seharusnya patut diacungi jempol. Tapi...

“Kita harus hati-hati juga ya Evi, siapa tahu memang dia memiliki jejak tidak baik yang sudah terkenal sehingga untuk mencari pekerjaan lain pun sudah tidak bisa.” Kata Devon sambil melepas kacamatanya. “Coba bawa ke sini, saya ingin bertemu. Kita nilai sama-sama.”

“Bawa ke sini Pak?” Evi terlihat terkejut. Ia tampak tidak yakin.

“Ya. Atau saya juga harus ke bawah?”

“Eeeh, tak usah Pak, saya bawa anaknya ke sini.”

“Evi, saat kamu bawa dia ke ruangan saya, biarkan dia masuk lebih dulu. Kamu halangi pintu dan kunci agar ia tidak kabur.”

“Kunci Pak?!”

“Iya... ada kemungkinan dia akan takut pada saya.” Devon tersenyum masam.

**

Dan benar...

Gadis itu masuk ke dalam area manajemen sambil melayangkan padangan ke kanan kiri atas bawah dengan ternganga. Mungkin dia baru kali ini melihat ruangan kantor seindah itu.

Hoodie abunya yang kumal dan celana kargonya yang baru disadari oleh Devon sebenarnya aslinya berwarna krem, bukan coklat. Saking banyaknya lumpur yang menempel jadi terkesan berwarna butek. Juga ukurannya kebesaran. Hoodie-nya kebesaran, celananya juga dilipat di bagian bawah. Entah dari mana ia ambil.

Akhirnya ketemu!

Devon hampir terlonjak kegirangan.

Gadis itu melepaskan tudung, rambut panjangnya yang kusam terlihat. Wajahnya yang putih juga nampak ada sedikit bercak debu di pipi.

Tapi selebihnya... ia sangat cantik.

Gadis semanis ini berkeliaran di jalan?

Dan masih baik-baik saja?

Devon bisa mencium bau pesing saat gadis itu masuk ke dalam.

Pria itu ingat saat kemarin ia tangkap, gadis ini sempat mengompol karena sangat ketakutan. Mungkinkah ia masih pakai celana kargo yang sama? Bisa jadi.

Benar saja, saat Gadis itu masuk ke ruangan Devon dan melihat pria itu berdiri di samping meja, ia Langsung berbalik dan berniat keluar.

Untungnya Evi langsung mengunci ruangan sesuai perintah dan pintu ruangan Devon menggunakan smartlock, jadi tidak bisa dibuka dengan cara biasa.

“Hai, Dek.” Sapa Devon.

Gadis itu, Hani, langsung bersujud di depan Devon.

“Bang! Saya mohon ampun Bang! Waktu itu saya khilaf karena sangat lapar jadi tanpa pikir panjang saya langsung ambil! Saya janji saya akan tobat Bang, kalau saya ditangkap adik saya makan apa Bang? Dia baru 4 tahun Bang!” seru Hani.

Dan gadis itu... benar-benar bersujud.

Sampai Evi terbelalak dan mundur saking canggungnya suasana.

“Bapak sudah pernah bertemu dia?” tanya Evi.

“Hm... iya. Karena kesalahpahaman sedikit.” Devon mengakui.

“Kesalahpahaman macam apa?”

Devon berpikir, kalau dia berkata yang sejujurnya, Evi pasti akan langsung mengusir gadis itu. Pencuri mana bisa dapat pekerjaan di kantor besar? Ketidakjujuran merupakan hal yang sangat fatal bagi track record seorang pegawai. Apalagi dengan kondisi latar belakang pendidikannya yang minim, posisi yang cocok untuknya adalah seorang Office Girl atau Janitor. Tukang bersih-bersih istilahnya. Ia akan datang paling awal dan pulang paling akhir. Pekerjaannya memungkinkan untuk keluar masuk berbagai ruangan.

Modalnya selain telaten adalah kejujuran.

“Saya pikir dia ambil hape saya, tapi ternyata hape saya jatuh di bawah meja.” Kata Devon akhirnya. Memang tidak menceritakan secara keseluruhan tapi juga tidak berbohong.

“Maksudnya ‘khilaf tanpa pikir panjang’ itu apa Pak?” tanya Evi selanjutnya.

Nggak bisa ya mau bohongin Kepala HRD, mainannya psikologis.

“Dia ambil sandwich saya, yang sudah tidak saya makan lagi.” Kata Devon.

“Astagaaa...” Evi terpekik sambil menutup mulutnya. “Kamu saking laparnya sampai makan sisanya Pak Devon?! Kasihan banget kamuuu!” seru Evi.

Devon diam.

Evi salah paham, jadi kesannya Devon yang jahat.

Hani mencoba meluruskan tapi Devon menggelengkan kepalanya.

“Pak Devon nggak marah kan waktu dia ambil sisa makan bapak? Kalau saya jadi bapak sudah saya belikan dia semangkok makanan yang baru.” kata Evi sedikit menekankan suaranya.

“Evi,” Devon merendahkan suaranya. “Kali ini kamu kelewat batas. Boleh tolong pergi dari sini dan tolong proses penerimaannya? Sekalian belikan dia baju baru.”

“Ah iya Pak Maaf.” Evi langsung salah tingkah.  “Jadi Hani diterima ya Pak?”

“Masa percobaan tiga bulan. Gaji setengah.”

“Oke, Pak makasih...” Evi langsung menunduk sambil cepat-cepat menarik Hani keluar ruangan.

“Dan, Evi.” Panggil Devon lagi.

“Ya Pak?” Kali ini Evi berbicara dengan suara pelan.

“Jangan coba-coba mengorek keterangan apa pun. Hani, kamu diam saja kalau ada yang tanya. Ngerti?”

Hani menarik nafas dengan wajah langsung tegang. “Baik Pak...” ia tercicit karena ketakutan.

Devon pun menatap kepergian dua perempuan itu, Namun ia sedikit memperhatikan Hani.

Gadis itu pincang.

Kemarin ia bisa lari secepat kilat, kalau pincang, ia tidak mungkin bisa kabur secepat itu.

Apakah ia pincang gara-gara Devon?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!