"Aya .... Bangun! Sudah jam setengah lima." Suara ibu menggelegar di pagi buta.
"Bentar Bu, Aya masih ngantuk," sahut anak gadisnya itu dengan mata yang masih terpejam.
"Kalau kayak gini caranya, mana ada laki yang mau, perempuan tuh subuh bangun, bukan macam seperti ini Nak," cerocos ibu Aya.
"Bentar Bu, lima menit lagi," sahut anak gadisnya lagi.
Anjar pun langsung pergi ke dapur dengan mulut yang masih komat-kamit seperti Mbah dukun, tapi meskipun begitu Anjar termasuk ibu yang sangat peduli apalagi soal makanan, lihat saja wanita paruh baya itu dengan sigap memasak menu kesukaan sang anak setiap harinya, bahkan meskipun usia Aya sudah menginjak 26 tahun gadis itu selalu membawa bekal di sekolah.
"Aya ... Ayo cepat bangun, apa mau aku suruh Mang Karsa untuk melamarmu!" teriak Anjar dari dapur.
"Ogah Ibu, masak anak gadis Ibu yang cantik seperti ini mau di jodohkan sama bujang lapuk sih," tolak Aya yang langsung beranjak dari kasurnya.
"Ya makanya mandi, jangan molor terus entar Ibu datengin Mang Karsa baru tahu rasa Lo," ucap Anjar yang memang jago kalau urusan nakut-nakutin anak gadisnya.
"Iya, iya. Aya sudah bangun nih sudah ada di kamar mandi," kesal perempuan itu sambil menghentakkan kakinya dilantai.
Aya pun sudah selesai melakukan ritual mandinya di Subuh hari, tak lupa anak itu menjalankan ibadah wajibnya yang dua raka'at, setelah itu barulah dia menyiapkan materi yang akan dia ajarkan nanti untuk anak didiknya, di saat dia sedang mengemasi buku-buku kedalam tas tiba-tiba saja netra Aya melihat ke arah kalender yang sudah di lingkari dengan pena merah.
"Tanggal 22 Desember," gumam gadis itu.
Ya tanggal 22 Desember, merupakan hari kebahagiaan Aya, di enam tahun silam. Di mana di hari itu seorang pria berparas tampan dan dewasa telah menyatakan cintanya terhadap gadis yang masih duduk di bangku SMA.
Aya yang memang sudah lama suka dengan pria itu, akhirnya dia memutuskan untuk menerima cintanya, hingga mereka berpacaran selama lima tahun lamanya, tapi sayang kisah cinta Aya harus terhenti di karenakan sang kekasih di jodohkan dengan wanita yang memang setara dengannya.
"Gak nyangka sudah enam tahun saja, rasanya aku tidak percaya, bisa melewati hari-hari tanpa dirimu, ternyata kau memang orang yang susah ya? Susah untuk di lupakan, ha ha," monolog Aya, yang memang selalu menghibur dirinya sendiri dengan cara yang seperti itu.
"Udahlah dari pada mikirin masalalu yang menyakitkan lebih baik aku ganti baju dan dandan yang cantik," ucap Aya terhadap dirinya sendiri.
Pukul sudah memasuki jam enam pagi, ibu guru cantik itu, kini sudah bersiap untuk pergi ke sekolah, semua perlengkapan mengajarnya sudah di bawa tak luput juga bekal dari sang ibu, setelah itu barulah dia berpamitan dengan ibunya.
"Ibu, anak gadisnya mau berangkat ngajar dulu, doain ya Bu semoga Aya bisa menjadi guru yang baik, dan lebih sabar lagi menghadapi para krucil di sekolahan nanti," pinta Aya, terhadap ibunya.
"Iya Nak, ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk dirimu, dan ingat selalu menjadi guru yang baik dan ngemong terhadap anak didikmu yang masih krucil itu," sahut Anjar.
"Baik Bu, ya sudah Aya berangkat dulu," ucapnya sambil mencium tangan ibunya dengan takzim.
Saat ini Aya sedang menaiki sekuter metic-nya dengan kecepatan sedang, karena memang rute dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh sehingga membuatnya melaju dengan santai yang penting nyampek tujuan dengan selamat.
Sesampainya di sekolah Aya pun langsung masuk ke ruang guru dan saling sapa dengan rekan sesama profesinya itu.
"Selamat pagi Ibu Hanna," sapa Aya terhadap wanita yang menjadi kepala sekolah di TK Harapan Bangsa ini.
"Selamat pagi juga Bu Aya, oh iya gimana perkembangan Gista, apa dia masih murung dan tidak mau bersosialisasi dengan temannya?" tanya Hanna.
"Eeemb mungkin masih butuh waktu ya Bu, tidak bisa secara instan, anak itu harus butuh pendekatan agar lebih mudah lagi untuk diarahkan," sahut Aya.
"Oh baguslah Bu Aya, anda terlihat memiliki semangat untuk mendidik anak ini, soalnya dari sekolah sebelumnya gurunya pada mengundurkan diri, karena tidak tahan dengan sikap acuhnya dia," ucap Hanna.
"Seharusnya sebagai seorang guru kita harus siap jika di hadapkan dengan murid seperti Gista, menurutku Gista anak yang baik, hanya saja dirinya seperti anak yang kurang perhatian sehingga dirinya menjadi murung dan terkadang sibuk dengan dunianya sendiri," terang Aya.
"Itu bisa jadi, karena Ibu dari Gista dua tahun lalu telah meninggal dunia, dan keseharian anak itu hanya bersama pengasuhnya, itu sih setahuku, karena memang nenek dari Gista masih kerabat dekat dengan suamiku dan ayah dari Gista merupakan donatur terbanyak di sekolah ini," ucap Hanna yang diangguki oleh Aya.
Waktu mengajar sudah tiba seperti biasa sebelum mengajarkan anak-anak terlebih dahulu melakukan baris-berbaris dan juga bernyanyi setelah itu baru berdoa, hari ini ibu guru cantik itu sudah berdiri di depan anak-anak itu tandanya pelajaran akan segera di mulai.
"Assalamualaikum anak-anak, selamat pagi," sapa Aya kepada murid-muridnya.
"Walaikumsalam Ibu," sahut mereka dengan ceria, tapi tidak dengan murid yang satunya itu.
"Gimana kabar kalian hari ini?" tanya Aya yang di sahut serempak oleh muridnya.
"Alhamdulillah luar biasa Allahhu Akbar," sahut murid-muridnya.
"Pintar sekali! Anak-anak hari ini, kita akan belajar mengenali nama-nama hewan dan mewarnainya dengan warna yang kita sukai," terang Ayana.
"Baik, Ibu guru," sahut muridnya.
Setelah menerangkan kepada murid-muridnya Ayana mulai menggambar dan menulis beberapa nama hewan yang sudah dia cantumkan di papan tulis setelah itu barulah dia langsung berkeliling mendekat kepada anak didiknya agar mereka aktif dalam mengikuti pelajarannya dan tidak mengobrol sebelum tugas mereka selesai.
Cara seperti ini sudah dibiasakan Ayana sejak pertama kali menjadi guru, ketika dirinya sedang berkeliling ke bangku masing-masing murid, di sini netra Aya tertuju oleh satu murid yang hanya diam saja bahkan murid tersebut tidak melakukan apa yang sudah di perintah oleh Aya.
"Sayang, mana buku dan alat tulisnya?" tanya Aya, kepada salah satu muridnya.
Anak itu hanya terdiam sambil memainkan jemarinya, "Sayang, ayo keluarkan buku dan alat tulisnya," perintahnya kembali dengan nada yang lembut.
"Aku tidak bawa buku Bu," sahut anak tersebut sambil menahan air matanya.
"Kenapa Sayang?" tanya Aya, sedang anak kecil itu hanya menggelengkan kepalanya seperti ketakutan.
"Ya sudah kalau begitu ibu pinjamin buku ibu dulu ya," pungkas Ayana sambil melangkah ke arah mejanya.
Saat ini Aya tengah kembali ke meja anak tersebut, sambil menyerahkan bukunya, satu detik dua detik, tidak ada pergerakan apapun dari tangan anak tersebut sehingga membuat Aya harus bisa lebih mendekatkan diri lagi terhadap murid baru pindahan dari sekolah sebelah.
"Gista Sayang, ayo keluarkan pensilnya, Ibu kan sudah pinjamin buku sama Gista, sekarang saatnya Gista menulis," titahnya dengan penuh kesabaran.
Gista pun mulai merespon, anak itu mulai mengeluarkan pensilnya, dan mulai menulis dengan pelan. "Bagus Sayang seperti itu ya, lihat tulisanmu sangat bagus," puji Aya terhadap anak didiknya itu.
Kegiatan belajar mengajar berlangsung dengan baik hingga jam pulang pun tiba. Anak-anak sekarang sudah keluar dan pulang dengan di jemput orang tuanya masing-masing, tapi tidak dengan Agista.
Sejak pertama masuk ke sekolah ini, Agista selalu di jemput dengan waktu yang terlambat, entah apa yang dikerjakan pengasuhnya itu sehingga sering kali dirinya membuat Gista terlantar seperti ini.
"Sayang, kenapa masih belum pulang?" tanya Aya, yang mencoba mendekat ke arah Gista. "Sayang kalau di tanya itu harus jawab," imbuh Aya.
"A-ku, nunggu jemputan," sahut Gista dengan nada gugupnya.
"Memangnya siapa yang selalu jemput Gista?" tanya Aya.
"Mbak Susi dan Mang Kosim," jawab bocah tersebut.
Aya pun langsung terdiam karena memang dia tahu kalau anak itu sehari-hari hanya diantar dengan sopir dan pengasuhnya saja, bahkan semenjak Gista masuk ke sekolah ini tidak terlihat batang hidung dari orang tuanya ataupun keluarga yang lain sebagai perwakilan.
'Sayang, malang sekali nasibmu Nak, meskipun kau terlahir dari keluarga berada tapi kelihatannya kamu seperti anak yang kurang perhatian,' gumam Aya dalam hati.
Aya masih menunggu menemani anak itu duduk di kursi halaman sekolah, hingga tanpa dia sadari anak kecil itu memberikan perhatian kecil yang berbentuk ucapan.
"Ibu, kenapa tidak pulang?" tanya Gista yang membuat Ayana menjadi senang, dengan perhatian kecil dari anak didiknya itu.
"Ibu sedang menemani Gista, sampai Gista di jemput oleh Mang Kosim dan pulang dengan selamat," sahut Aya.
"Tapi sebentar lagi turun hujan, nanti badan Ibu sakit terkena air hujan," terang Gista.
"Iya sih, tapi kan ibu bawa jas hujan nanti tinggal pakai saja, kalau sedang hujan," sahut Aya.
Tidak lama kemudian akhirnya jemputan Gista pun datang, Aya begitu kaget melihat penampilan dari pengasuh Gista yang terlihat begitu acak-acakan, dan yang lebih membuat Aya heran dia memperlakukan Gista dengan cara yang kasar dan dingin.
"Sudah pulang?" tanya pengasuh tersebut, tanpa basa-basi meskipun di sampingnya ada Aya.
"Sudah Mbak," sahut Gista.
"Ya sudah! sana, masuk ke mobil, jangan ngadu sama orang rumah ya, kalau aku telat menjemputmu," ucap pengasuh tersebut yang masih terdengar oleh telinga Aya.
Saat ini Aya hanya bisa menatap punggung Gista yang semakin jauh dari pandangannya
"Iih dasar pengasuh tidak tahu diri, sudah dikasih pekerjaan enak malah dimanfaatkan begitu saja, beruntung ada Gista kalau tidak pasti sudah ku jitak itu kepalamu," kesal Aya terhadap pengasuh Gista.
Catatan penulis:
Assalamualaikum Kakak. Sudah lama tak pernah nongol semoga saja semua sehat dan mau berkenan di cerita baruku.
Aya pun langsung menaiki motornya dengan perasaan yang dongkol, karena merasa kesal dengan kelakuan dari pengasuh anak didiknya tadi, yang di nilainya sangat teledor dan tidak ada pedulinya sama sekali dengan anak yang sudah menjadi tanggung jawabnya.
Karena merasa pusing dengan kejadian barusan, pada akhirnya perempuan itu memilih untuk memarkir motornya di depan warung kopi milik sahabat kecilnya.
"Mpok Naya, kopi susu satu, gak pakek lama," ucap Aya yang cukup membuat sahabatnya itu kesal.
"Sekali lagi kau panggil aku dengan sebutan Mpok, gunting ini melayang di wajahmu," gerutu Kanaya.
"Ih, seram sekali, jangan galak-galak Mpok sama pembeli, entar pada kabur," ucapnya kembali.
"Sudah diam, ini kopi susunya tidak terlalu banyak gula," sahut Kanaya sambil menyodorkan gelas yang sudah berisi kopi permintaan sahabatnya itu.
"Hemmmb, kopi ini benar-benar bisa merendahkan kepala," ucap Aya, ketika sudah menyeruput sedikit kopi panas itu.
"Memangnya kenapa kepalamu?" tanya Naya.
"Gak ada apa-apa, cuma pusing biasa saja," sahut Aya, yang memang tidak pernah membawa masalah di sekolah ke siapapun.
"Eh, kemarin Yusuf mampir ke sini, dia masih menanyakan perihal dirimu," ucap Naya tiba-tiba.
"Aku sudah bilang sama dia, kalau keputusanku sudah bulat." Aya pun sejenak menghembuskan nafasnya.
"Memangnya kau benar-benar tidak mau memberinya kesempatan?" tanya Naya sekali lagi.
"Aku tidak ingin memaksa perasaanku, dengan orang yang benar-benar tidak aku cintai, Naya plis! Jangan paksa aku untuk menerima Yusuf, karena luka di hati ini baru saja mengering, aku masih ingin menikmati masa mudaku tanpa harus memikirkan seseorang di hidupku," terang Aya.
"Tapi Ay, usiamu sudah 26 dan itu sudah baik untuk seorang perempuan memulai berumah tangga," sahut Naya.
"Menikah tidak segampang yang kita ucapkan, apalagi dengan orang yang salah, aku masih santai dengan hidupku yang sekarang dan biarkan aku menjalaninya dengan kedamaian," tukas Aya.
"Baiklah kalau itu mau mu, semoga saja suatu saat nanti kau benar-benar menemukan orang yang tepat," sahut Naya.
Obrolan mereka terhenti karena memang Naya harus melayani pembeli yang datang silih berganti, hingga pada akhirnya Aya memutuskan untuk pulang karena memang kopi yang ia seruput sudah mulai habis.
"Nay, aku pamit dulu ya, ini uangnya, kembaliannya untuk Ara saja ya," pamit Aya sambil memberikan sisa kembaliannya pada Ara putri Naya.
******
Di dalam gedung pencakar langit, saat ini seorang pria sedang di sibukkan dengan tumpukan dokumen di hadapannya, tangannya begitu gercep menandatangi berkas yang sudah di bacanya itu, sejenak pria itu mulai memberhentikan aktivitasnya di karenakan ada pesan masuk melalui WhatsApp.
"Dari sekolah Gista," gumamnya lalu mulai membuka dan membacanya.
"Selamat siang Bapak atau Ibu di rumah. Saya sebagai wali kelas ananda Gista, ingin memberi tahu kalau ananda Gista tidak pernah membawa alat tulis yang berupa buku, atas kesadarannya, saya mohon kerja samanya untuk lebih memperhatikan lagi ananda Gista, karena sering ketinggalan pelajaran akibat kelalaian orang tua." begitulah isi pesan tersebut.
Andreas Wiratama begitu murka ketika mendapati pesan dari wali kelas anaknya yang dia nilai begitu lancang berbicara seperti itu terhadap dirinya, padahal di sekolah sudah ada pengasuh yang sudah standby.
"Kurang ngajar! Hal seperti ini kenapa harus di bicarakan denganku, apa guru itu buta kalau setiap hari sudah ada pengasuh yang menjaga Gista," pikir Andre.
******
Malam pun mulai menyapa, setelah kepergian istrinya dua tahun yang lalu Andre sering menghabiskan waktu di club malam bersama dengan teman-temannya, meskipun awalnya Andre tidak bisa menerima kehadiran Maria tapi lama-lama pria itu mampu menerima meskipun di hatinya ada seorang gadis yang masih bertahta di dalamnya.
Namun di saat kehidupan Andre mulai membaik dan mulai menerima istrinya, Allah mengujinya kembali dengan mengambil sang istri di saat buah hatinya mulai menginjak usia tiga tahun, di mana usia tersebut sangat dibutuhkan oleh seorang anak, hati Andre seakan tidak terima dengan kenyataan yang ada sehingga membuatnya menyentuh barang haram kembali.
"Kau tega Maria, di saat aku sudah mulai membuka hati, kau pergi meninggalkanku begitu saja," rancau Andre dalam keadaan tidak sadar.
"Sudah Ndre, jangan kau ingat seseorang yang tidak mungkin bisa kembali lagi ke dunia ini, dari pada kau larut dalam kesedihan lebih baik kau bersenang-senang dengan gadis cantik yang ada di sini," tawar seorang teman yang membuat Andra langsung menolaknya.
"Kau goblok, meskipun aku mampu untuk membeli wanita di tempatmu ini tapi aku tidak sudi meniduri sembarang wanita, apalagi bekas orang banyak," jawab Andre meskipun dalam keadaan teler.
*****
Pagi sudah mulai menyambut, semangat ibu guru cantik itu tidak pernah pudar, dalam menjalani hari-harinya, meskipun hidupnya terlihat sangat membosankan, tapi perempuan itu, berusaha untuk mensyukuri dan menikmati kehidupan yang sekarang dia jalani.
Ketika Aya, sedang mengendarai motornya tiba-tiba saja di perjalanan dia bertemu dengan Yusuf pemuda yang begitu gencar menginginkan dirinya untuk di jadikan istri, tapi sayang cinta Yusuf hanya bertepuk sebelah tangan karena cinta Ayana sudah habis dengan pria pertamanya dahulu.
"Pim ... Pim ...." Suara klakson motor Yusuf membuat Aya melirik sekilas.
"Aya, tolong berhenti sebentar," pinta Yusuf.
"Iya Suf ada apa?" tanya Aya ketika sudah meminggirkan motornya.
"Entar malam ada acara gak," ucap Yusuf.
"Maaf ya, Kayaknya aku lagi sibuk," tolak Aya yang memang sengaja menghindar dari Yusuf.
"Oh baiklah, tapi kalau kau lenggang, boleh ya, aku ajak kamu nonton," pinta Yusuf kembali.
"Nanti deh akan aku usahakan," ujar Aya, lalu memilih berpamitan dan mulai menghidupi mesin motornya.
Motor pun sudah melaju dan sampai di parkiran sekolahan, dengan sigap Ayana langsung masuk ke ruangan para guru, Ayana masih duduk di kursi kebesarannya, untuk mengecek kembali materi yang akan dia sampaikan nanti, ketika Aya sedang duduk, tiba-tiba saja di luar para guru sedang heboh, karena kedatangan seorang pria berparas rupawan yang cool itu.
"Tap ... Tap ... Tap ...." deru sepatu pria bertubuh jangkung itu.
"Wah ayahnya siapa ya, kira-kira," pikir Sani, teman Seprofesi Ayana.
Pria itu tetap melangkah dengan pandangan lurus kedepan, deru suara kakinya seakan memancing semua mata kaum hawa untuk melihat kerahnya, langkah kaki itu terus berjalan dan memasuki ruang kepala sekolah untuk menanyakan sesuatu.
"Selamat pagi Bapak Andre," sapa Hanna begitu ramah.
"Selamat pagi juga, kedatangan saya kemari hanya ingin bertemu dengan wali kelas anak saya," ucap Andre terlihat begitu marah.
"Memangnya ada apa dengan wali kelas Gista?" tanya Hanna yang merasa heran karena memang selama menjadi guru Ayana terlihat menonjolkan prestasinya dalam mendidik anak-anak.
"Aku ingin bertemu dengannya," desak Andre dengan nada yang mengintimidasi.
"Baiklah kalau begitu akan saya antar," papar Hanna.
Saat ini Hanna mengantar donatur terbesar itu ke ruangan salah satu anak buahnya. "Ini Pak ruangannya silahkan masuk," ucap Hanna.
Andre pun langsung masuk ke meja Ayana sedangkan wanita itu masih tertunduk membaca materi yang akan dia sampaikan nanti.
"Oh ini wali kelas yang katanya sangat berprestasi dalam mengasuh anak-anaknya, tapi tidak mempunyai sopan santun," tandas pria itu yang membuat Ayana langsung mendongakkan kepalanya.
"Maksud Bapak sia-pa ......" Ayana sudah tidak bisa lagi meneruskan kata-katanya.
Degh!!!
Catatan penulis:
Gimana ya kira-kira reaksi Andre ketika tahu wali kelas anaknya, he he🥰🥰😄😄 selamat pagi menjelang siang Kakak kakak. Semoga suka dengan kelanjutan babnya
Suasana hening seketika, mereka berdua sama-sama terkejut, berusaha menetralisir hati yang masih sama-sama sakit, sungguh tidak mudah bagi mereka di pertemukan lagi dalam kondisi yang tak terduga seperti ini.
Andre langsung memundurkan langkahnya ke belakang, hal itu dia lakukan karena benar-benar tidak sanggup menatap wajah perempuan yang dulu pernah dia tinggalkan begitu saja, sakit memang sudah dia rasakan, meskipun dalam pandangan orang Andre sebagai pria pengecut karena dianggap meninggalkan seorang gadis yang sudah lama dia pacari, tapi di dalam hatinya dia pun sama seperti Ayana. Sama-sama merasakan kesakitan yang mendalam.
"Silahkan duduk, Bapak Andreas," ucap Aya terdengar jelas seperti orang menahan tangis.
Andre masih termenung tatapannya seolah kosong, hingga suara Ayana mulai menyadarkan kembali. "Bapak Andreas Wiratama, silahkan duduk," pinta Ayana mencoba untuk profesional dalam membicarakan hal yang menyangkut anak didiknya.
"Heeemb," sahutnya sambil duduk.
"Begini Pak, saya akan terangkan sedikit, ananda Gista hampir setiap harinya tidak membawa buku, dan saya selaku wali kelas memohon kepada pihak keluarga untuk lebih memperhatikan lagi agar tidak tertinggal pelajaran, karena sayang sekali harus melewatkan pelajaran sedangkan saat ini ananda Gista sudah mulai menunjukkan perkembangannya," terang Ayana.
"Bukannya setiap hari putriku bersama pengasuhnya, jadi kenapa anda harus repot-repot menghubungi saya," sahut Andre dengan nada datarnya.
"Di sini anda orang tuanya, jadi saya harap harus lebih tegas lagi dalam memperhatikan putri bapak, karena pengasuh yang anda bicarakan hampir setiap hari tidak pernah ada di sekolah," tegas Ayana.
"Kau tidak sedang bercanda kan! Mana ada pengasuh Gista seperti itu, kami selaku orang tua sudah memilih pengasuh yang terbaik untuk putri kita," sahut Andre dengan nada yang sedikit naik satu oktaf.
"Saya tidak pernah bercanda dalam hal apapun, apalagi ini menyangkut perkembangan anak didik saya, jadi kalau bapak tidak percaya silahkan anda tanyakan sendiri terhadap ananda Gista," ungkap Ayana.
Saat ini keduanya masih sama-sama menyelami perasaannya sendiri, Ayana mencoba untuk menegarkan hatinya, ketika tahu kalau orang yang dulu begitu sangat mencintai dirinya sekarang sudah berubah, meskipun perubahan dari sikap seseorang itu wajar, namun tanpa di pungkiri hatinya sangat begitu sakit mendengar kalau Andre tidak percaya dengan apa yang sudah dia katakan.
'Plis Ayana, kau tidak boleh sakit, mungkin Andre yang dulu kau kenal sudah berubah, dan kau harus tahu itu,' nasehat Ayana terhadap dirinya sendiri.
"Baiklah nanti akan saya tanyakan dengan putri saya, dan ingat jangan pernah anda membicarakan lagi masalah sepele ini, karena pengasuhnya cukup cekatan dan tanggung jawab," tekan Andre.
"Kalau saya tidak membicarakan kepada wali murid lantas kepada siapa lagi, bukannya orang tua mempunyai peranan yang penting terhadap anak-anaknya, bukan di serahkan semuanya kepada pengasuhnya," balas Ayana.
"Itu urusan saya, dan anda di sini hanya sebatas pengajar, jadi bersikaplah sebagai pengajar jangan melebihi batasan, apalagi sampai ikut campur ke dalamnya, kau paham Ibu Ayana," cetus Andre.
"Tidak usah bicara mengenai batasan di sini saya pribadi sudah cukup tahu batasannya, baiklah anda boleh menyangkal perkataan saya hari ini, suatu saat pasti semua akan terbukti, dan maaf waktu mengajar saya sudah tiba, jadi silahkan anda keluar dari ruangan," ucap Ayana sambil mempersilahkan wali muridnya untuk keluar.
"Anda mengusir saya," seringainya sambil menatap tajam ke arah lawannya berbicara.
"Iya, karena jam pelajaran sebentar lagi akan di mulai," sahutnya dengan tegas.
Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi Andre langsung meninggalkan ruang kerja Ayana, setelah kepergian Andre Ayana menangis sekencang-kencangnya di kamar mandi, dia tidak pernah membayangkan kalau sekarang banyak perubahan yang terjadi dengan sikap mantannya itu.
"Enam tahun sudah berlalu, seharusnya aku sadar kalau Andre yang ku kenal sudah menghilang untuk selamanya," gumam Ayana, mencoba untuk menahan rasa sakitnya berkali-kali.
Jam pelajaran sudah di mulai kali ini seperti biasa Ayana harus mengesampingkan egonya dan memaksa hatinya yang tidak baik-baik saja, untuk tampil ceria dihadapan anak-anaknya.
"Anak-anak sekarang pelajaran kita hari ini Menempel," terang Ayana yang di angguki oleh murid-muridnya, karena memang pelajaran ini sangat di minati anak-anak.
Ayana mulai mendatangi bangku mereka satu persatu, untuk membagikan gambar yang nantinya akan di gunting dan di tempel di kertas datar.
"Anak-anak, sekarang ibu tanya, semua kedapatan gambarnya gak?" tanya Ayana dengan suara yang ceria.
"Dapat Ibu guru," sahut mereka dengan kompak.
Baiklah kalau begitu ibu panggil satu-satu dari kalian untuk menggunting gambar tersebut lalu di tempel di kertasnya masing-masing, ok," terang Ayana.
"Siap Ibu," jawab mereka dengan serempak.
Aya mulai memanggil anak didiknya satu persatu untuk menggunting gambar yang ada di kertas tersebut, berhubung menggunting melibatkan anak-anak menyentuh langsung dengan benda tajam, maka anak-anak harus di dampingi oleh orang dewasa seperti cara yang sekarang di lakukan oleh Ayana.
Satu persatu muridnya sudah selesai memotong gambar dari kertasnya, sekarang saatnya giliran Gista untuk maju di meja Ayana, anak ini terlihat begitu pucat tidak seperti biasanya, bahkan tatapan anak itu kosong tidak fokus seperti merasakan sesuatu yang lain di tubuhnya.
"Sayang, ayo maju," ajak Ayana dengan lembut.
Perlahan anak itu mulai melangkahkan kakinya menuju meja guru. "Sayang coba potong satu-satu gambar yang ada di kertas ini," terang Ayana sambil memegang pundak anak itu agar supaya lebih dekat dengannya.
"Auuu," lirih bocah kecil itu sontak membuat Ayana terkejut.
"Ada apa Sayang?" tanya Ayana, sedangkan anak itu hanya menggelengkan kepalanya. "Kamu sakit?" tanyanya kembali, sedang anak kecil itu hanya menggelengkan kepala.
'Lagi-lagi setiap di tanya selaku menggelengkan kepala,' pikir Ayana di dalam hati.
Karena merasa penasaran akhirnya Aya mulai bertanya sambil menatap mata anak didiknya itu secara dalam. "Sayang sekali lagi ibu bertanya, apa kau merasa kesakitan di bagian tubuhmu?" tanya Ayana sambil menatap mata Gista.
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Gista namun dari sorot mata yang di pancarkan Aya bisa merasakan kalau ada yang di sembunyikan dari anak itu, karena merasa penasaran akhirnya Ayana mulai meminta ijin untuk membuka sedikit baju Gista karena yang di keluhkan tadi di bagian pundaknya.
"Sayang, boleh ibu melihat pundak Gista?" tanya Aya, sedang anak itu hanya memberi isyarat dengan anggukan kepala.
Perlahan Ayana mulai membuka pelan baju Gista bagian kerahnya, dari situ mulai terlihat tanda merah, dan setelah di buka lebih lebar lagi, hati Ayana begitu berdesir melihat kenyataan pahit di hadapannya, anak sekecil Gista harus menghadapi kekerasan fisik entah siapa yang melakukannya.
"Sayang, kau harus jawab jujur, siapa orang yang melakukan ini?" tanya Ayana.
Anak itu hanya bisa mengeluarkan air mata dalam diamnya, beban yang di pikul seakan berat untuk dia lalui, lantas di mana keluarga yang seharusnya menjadi pelindung, Ayana tidak tinggal diam, dia mulai memotret beberapa luka yang ada di pundak anak didiknya, lalu mengirimkan kepada orang tua Gista siapa lagi kalau bukan Andreas.
Namun pesan dari Ayana tidak di gubris meskipun sudah centang dua tapi tidak ada tanda-tanda di lihat ataupun di baca.
"Sayang, kau harus bicara sama Daddy, kalau kau di sakiti seseorang," ucap Aya menasehati.
"Aku takut," sahut Anak itu singkat.
"Takut sama siapa?" tanyanya sambil mengoleskan salep ke luka Gista.
"Takut sama mbak."
Degh!!
Catatan penulis:
Selamat siang kakak-kakak semoga suka ya dengan kelanjutan babnya 🥰🥰🥰❤️❤️❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!