NovelToon NovelToon

Istriku, Dosenku

Part 1. Abinaya Pratama

Jika saja boleh jujur, sebenarnya Abinaya jauh lebih menyukai suasana kampus yang ramai, dibandingkan dengan yang sekarang. Sudah sepi, dan tidak banyak yang datang. Tentu saja, karena Abinaya selalu mengambil jadwal mata kuliahnya di pagi hari. Dia tidak senang dengan jadwal kuliah di sore hari, dia butuh istirahat dan melakukan pekerjaan part timenya sebagai peracik kopi.

Abinaya segera melepaskan helm yang dia kenakan dan meletakkannya ke atas sepeda motor sport berwarna hitam legam miliknya itu. Dia baru saja sampai tepat di area parkir, depan fakultasnya. Menuruni sepeda motornya dengan penuh pesona.

Tentu saja, siapa yang tidak akan langsung jatuh cinta atau terpesona padanya. Rambut yang hitam legam bersinar saat terkena sinar matahari, kedua matanya yang berwarna cokelat muda selalu menatap tajam, tubuhnya yang benar-benar menjadi idaman. Bisa dipastikan jika tidak akan ada yang bisa menolak pesona yang tanpa sadar dimiliki oleh Abinaya itu.

Dengan mengenakan hoodie berwarna hitam, yang bertuliskan 'Love Will Tear Us Apart', celana jeans biru tua, sepatu hitam-putih, dan juga tidak lupa dengan tas ransel kecil berisi keperluan kuliahnya hari ini.

Abinaya berlari kecil saat menaiki tangga fakultas, menuju ruang kelasnya yang pertama. "Aduh..." gumamnya saat tersandung di pijakan tangga, dan hampir membuatnya terjatuh. Padahal hanya kurang lima anak tangga lagi, dan dia selalu saja tersandung di anak tangga yang sama.

"Kalau naik tangga itu yang hati-hati."

Abinaya dengan segera mengangkat kepalanya, dan menatap sosok wanita yang berdiri tegak di ujung anak tangga itu. Menatap tegas ke arahnya. Pakaiannya yang bisa dibilang cukup formal, yaitu celana kain panjang hitam, high heels hitam, dan atasan berwarna putih biru. Dengan rambut hitamnya yang terurai pendek di atas bahu. Dan tentu saja, Abinaya merasa sangat asing dengan sosok itu.

Cantik... Pikir Abinaya seketika saat melihat wajah wanita dihadapannya itu. Tanpa sadar, bibir Abinaya tertarik ke atas, tersenyum, sambil memperlihatkan gigi gingsulnya itu.

"Apa kamu dengar? Berhati-hatilah saat berjalan di tangga," ulang wanita itu lagi sambil menggelengkan kepalanya secara perlahan dan mulai berjalan menuruni tangga, meninggalkan Abinaya yang terdiam cukup lama disana.

"Astaga..." gumam Abinaya menghela napas dengan perlahan. Telapak tangan kanannya menyentuh dadanya, tepat di atas jantungnya yang berdetak dengan kencang saat itu juga.

Gila... Pikir Abinaya sambil menggelengkan kepalanya perlahan, dan berulang kali. Mencoba untuk menghilangkan perasaan yang membuat jantungnya berdetak kencang dan kedua pipinya yang semakin terasa memanas.

Dia merona, memerah dan salah tingkah karena perasaan sederhana yang baru saja dia rasakan. Lelaki itu tidak pernah merasakan hal seperti itu sebelumnya. Dan sialnya, Abinaya merasa seakan kalah saat itu juga. Abinaya tersenyum dengan perasaan membuncah penuh tanda tanya. Dia merasa asing dengan rasa itu, tapi sekaligus senang. Dia bahkan tidak yakin bisa mengungkapkannya dengan beberapa kata atau bahkan kalimat.

Abinaya berdehem. Berusaha agar tidak terlihat aneh disana. Dengan segera dia melanjutkan langkahnya menaiki beberapa anak tangga menuju kelasnya. Meski pikirannya saat ini, begitu penasaran dengan sosok wanita tadi.

"Huh... Bisa-bisanya..." gumam Abinaya sambil duduk di kursi baris tengah di kelasnya. Menyandarkan tubuhnya ke samping, ke arah tembok. Posisi yang paling dia sukai, tentu saja, ditambah hawa kelasnya yang dingin akibat AC. Menambah sensasi menyenangkan untuk terlelap.

Menopang kepalanya dengan telapak tangan kanannya, Abinaya kembali terpikirkan oleh sosok wanita tadi. Dan lebih gilanya, hanya teringat bagaimana suara wanita itu berbicara, bisa membuat jantungnya dengan cepat menggila.

Kedua mata cokelat muda Abinaya yang selalu menatap tajam itu, untuk pertama kalinya terlihat bersinar. Begitu terlihat berbinar. Seakan-akan dia memang benar-benar menggila saat itu juga. Kedua ujung bibirnya terangkat dengan rona wajahnya yang terasa panas. Dan dia memerah sekali lagi. Abinaya terlihat semakin salah tingkah, dengan menutupi wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Tertawa kecil.

"Woy, bro!! Lagi ngapain?" teriak seseorang secara tiba-tiba.

Tubuh Abinaya seketika terjengkit di atas kursinya itu. Kedua matanya terbuka lebar, membulat. Dihadapannya ada Bayu, salah satu temannya di kelas, sedang tersenyum jahil. Memperlihatkan giginya, dengan kedua alisnya yang bergerak naik turun.

"Kurang ajar!" ucap Abinaya dengan refleks bergerak bangkit dari duduknya dan memukul kepala Bayu dengan cukup keras.

"ADUH!!" teriak Bayu sambil memegangi kepalanya yang terasa berdenyut sekarang.

Abinaya duduk kembali di kursinya. Berdehem berulang kali. Membetulkan posisi duduknya, agar terasa lebih nyaman. Bayu berjalan perlahan untuk duduk di dekat Abinaya. "Sakit lho, Bi..." gumam Bayu masih dengan mengusap-usap kepalanya.

"Bi-bi, memangnya aku ini ayahmu apa? Lagipula, itu salahmu sendiri juga... Siapa suruh ngagetin," jawab Abinaya dengan cuek, tanpa melihat ke arah Bayu. Kedua tangannya mulai sibuk mengeluarkan sebuah bolpoin dan bindernya.

"Huh.. Lagipula, siapa suruh kamu ketawa sendirian di dalam kelas. Kan nggak lucu, kalau tiba-tiba kamunya kesurupan... Mana masih pagi, sepi... Kalau kejadian siapa yang mau nolongin kamu entar? Yang ada, banyak orang yang lari nanti," ucap Bayu dengan tubuhnya bergidik ngeri, membayangkan apa yang baru saja dia katakan itu terjadi, tepat di hadapannya. Tentu saja, dia akan segera berlari tanpa disuruh.

Abinaya segera menolehkan kepalanya ke arah Bayu yang sedang menggelengkan kepalanya berulang kali, berusaha untuk menghilangkan bayangan ngeri itu dari dalam pikirannya. "Bodoh... Kalau itu benar terjadi, aku akan langsung mengejarmu dan mengganggumu. Oke?" gumam Abinaya, merasa tidak percaya dengan isi pikiran temannya itu.

Bayu mentingkan tubuhnya, menatap penuh rasa penasaran ke arah Abinaya, dengan kedua matanya yang memicing. "Kalau boleh tahu... Memangnya kamu lagi mikir apa tadi? Sampai seperti orang kegirangan begitu. Kamu tahu... Tadi, itu kamu seperti..." tanya Bayu sambil memperagakan yang tadi Abinaya lakukan.

Abinaya tidak segera menjawab, karena beberapa teman satu kelasnya mulai memasuki ruang kelas secara beramai-ramai. Jari-jari di tangan kanannya mulai mengambil bolpoin dan mengetuknya perlahan di kepala Bayu. Dan seketika menghentikan Bayu yang tidak segera berhenti memperagakannya.

"Aku... Aku tidak seperti itu tadi. Ya... Aku hanya senang, dan-dan refleks saja melakukan itu. Tidak ada yang penting," jawab Abinaya dengan gugup. Dia sama sekali tidak pandai untuk menyembunyikan perasaannya. Sama sekali. Dia selalu gugup saat mengucapkan apa yang dia rasakan.

Seketika saja, Bayu tersenyum lebar hingga membuat kedua matanya menyipit. Dia mengangguk-anggukan kepalanya berulang kali. "Ya-ya... Tentu saja, aku mengerti. Hehe..." gumamnya sambil kembali ke posisi awal duduknya.

Abinaya menyandarkan tubuhnya di kursi. Seketika saja keadaan kelas menjadi sepi. Abinaya memperhatikan sekelilingnya. Teman-temannya mulai mengeluarkan buku, ponsel, bolpoin, bahkan binder mereka masing-masing.

"Selamat pagi..."

Abinaya segera menolehkan kepalanya ke arah depan ruang kelasnya. Seketika saja jantungnya mulai berdetak dengan kencang, dan senyuman mulai muncul di bibirnya. Dia lagi... Pikir Abinaya, kembali terpesona saat angin dari luar kelasnya berhembus kencang, menerbangkan beberapa anak rambut wanita itu.

"Pagi bu..." jawab mereka serentak, kecuali Abinaya. Dia terus memperhatikan bagaimana wanita itu tepat di hadapannya.

Wanita itu berjalan perlahan sambil membetulkan rambutnya yang menjadi sedikit berantakan. Meletakkan tas dan juga beberapa buku materi ke atas meja. "Baiklah... Pertama, perkenalkan nama saya Candra Kirana, kalian bisa memanggil saya Bu Kirana. Saya menggantikan Bapak Anton, dosen mata kuliah Filsafat Ilmu kalian," ucap Kirana sambil mencoba untuk menampilkan senyuman kecil di wajahnya. Meski pada akhirnya, dia yakin bahwa senyuman yang dia tampilkan saat ini terasa kaku. Kirana sangat jarang untuk tersenyum.

Candra Kirana... Batin Abinaya dengan detakan jantungnya yang terasa semakin kencang, saat pada akhirnya dia mengetahui siapa nama wanita yang sudah membuatnya terasa menggila sejak pagi tadi.

Abinaya bahkan sama sekali tidak bisa menghentikan senyumannya. Dia terasa menggila. Dia tidak bisa menghentikan apa yang terjadi pada tubuhnya. Detakan jantungnya, senyumannya, semua terjadi diluar kendalinya.

"Baiklah, kalau begitu... Kita bisa mulai pelajarannya sekarang," ucap Kirana yang menyadarkan Abinaya dari dalam lamunannya sejak tadi.

Dengan salah tingkah, Abinaya membuka bindernya dan menyiapkan bolpoinnya. Memperhatikan dengan cukup serius, meski beberapa kali, pikirannya teralihkan oleh kecantikan Kirana. Bisa dibilang, Kirana terlihat sangat alami, natural, tidak terlalu banyak memakai make up, sehingga membuat kecantikan wajahnya semakin terlihat.

"Aku pikir, aku akan semakin menyukai kelas ini..." gumam Abinaya dengan suara yang sangat kecil, hampir tidak bisa di dengar oleh Bayu yang duduk tepat berada di sampingku saat ini. Abinaya terus mencatat materi-materi yang dibahas oleh Kirana. Sama sekali tidak ingin melewatkan sedikit pun.

Setelah satu jam, mata kuliah Filsafat Ilmu yang diajarkan oleh Kirana berakhir. "Baiklah... Pastikan kalian mengerjakan tugas yang saya berikan, jika ada yang kesulitan, silahkan penanggung jawab kelas menampung pertanyaan yang diajukan teman-teman lalu kirimkan ke nomor WhatsApp saya ya..."

"Baik bu..." jawab mereka secara serentak. Beberapa dari mereka sudah mulai bergurau, berbincang dan banyak hal yang lainnya.

Abinaya seketika dengan cepat mendongakkan kepalanya untuk menatap ke arah Silvi, penanggung jawab kelas mata kuliah Filsafat Ilmu, yang berjalan ke arah Kirana untuk saling bertukar nomor WhatsApp mereka. Aku harus minta nomor WhatsApp-nya juga. Aku akan memintanya ke Silvi nanti. Batin Abinaya bertekat.

"Sampai jumpa minggu depan," ucap Kirana sambil meninggalkan ruang kelas itu.

Dengan segera, Abinaya memasukkan bolpoin dan bindernya ke dalam tas ranselnya. Bangkit cukup cepat, mendekat ke arah Silvi. "Silvi... Boleh aku minta nomornya Bu Kirana?" tanya Abinaya sambil mengeluarkan ponselnya yang ada di saku celana.

Silvi menoleh ke arahnya, masih sambil memasukkan barang-barang ke dalam tasnya. "Buat apa? Kan tadi Bu Kirana Sudau bilang kalau kamu nggak paham sama tugasnya, kamu bisa WA saja ke aku, nggak perlu ke nomor ibunya langsung," jawab Silvi.

Abinaya seketika langsung memutar pikirannya, mencari alasan yang cukup cepat untuk itu. "Eh... Sebenarnya, ada satu materi yang aku kurang mengerti. Untuk tugasnya aku sudah mengerti, tapi ada satu penjelasan materi yang tadi dijelaskan Bu Kirana, yang tidak bisa aku mengerti. Jadi, aku ingin langsung menanyakannya ke Bu Kirana... Gitu. Boleh ya?" jelas Abinaya sambil menatap penuh harap ke arah Silvi.

Silvi pun menganggukkan kepalanya dengan perlahan. "Jangan menatapku dengan tatapan seperti itu. Aku tidak mau mengkhianati sahabatku,Ayundya, karena ikut terpesona olehmu. Ini nomornya, cepat catat," jawab Silvi sambil menyerahkan ponselnya yang menampilkan nomor WhatsApp milik Kirana.

Dengan senang, Abinaya segera menyimpan nomor itu ke dalam ponselnya. Tubuhnya seakan berbunga-bunga. Pada akhirnya, dia bisa memiliki nomor WhatsApp Kirana. Entah apa yang Abinaya pikirkan sehingga dia melakukan ini. "Makasih ya..." ucap Abinaya sambil mengembalikan ponsel Silvi dan berlari pergi.

"WOY, ABI! MAU KEMANA? KITA NGGAK HANG-OUT APA?" teriak Bayu yang masih berada di dalam kelas.

"NGGAK, MALES... MAU MAKAN, NANTI SIANG AKU ADA KELAS!!" teriak Abinaya sambil berlari kencang meninggalkan Bayu. Sepertinya, kini dia yakin, bahwa dia tidak hanya menggila, tapi dia memang sedang tergila-gila.

Part 2. Candra Kirana

"Huff..." Kirana menghela napasnya beberapa kali. Sekarang, dia ada di dalam ruang dosen, yang tepat berada di lantai satu dari gedung fakultas.

Kirana menutupi wajahnya dengan menggunakan kedua telapak tangannya. Sebenarnya, sejak tadi sebelum dia masuk ke dalam ruang kelas untuk pertama kalinya, dia merasa sangat gugup. Dia pernah menjadi asisten dosen sebelumnya, tapi untuk mengajar sebagai dosen yang sesungguhnya, dia sangat-sangat gugup.

Dan saat jam mata kuliahnya berakhir, rasa gugupnya Sama sekali tidak berkurang. Kirana mulai menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan. Tenang... Tenang. Batin Kirana berusaha untuk mengurangi sisa-sisa kegugupannya.

"Huff... Akhirnya..." gumam Kirana. Telapak tangan kanannya mulai meraih botol berisi air mineral yang ada di atas meja dosennya. Meminumnya secara perlahan, sedikit demi sedikit.

"Bu Kirana, ayo makan siang bersama," ajak salah satu dosen wanita yang berdiri tepat di depan mejanya.

Kirana tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya. "Tidak... Saya makan nanti saja, saya masih harus mengecek beberapa berkas yang dimiliki oleh Pak Anton," jawab Kirana menjelaskan.

Dosen wanita itu segera saja menganggukkan kepalanya dengan cepat. Sambil tersenyum, dia berkata, "Baiklah, kalau begitu. Saya duluan ya..." jawabnya sambil berjalan keluar dari dalam ruang dosen itu.

Kini hanya tertinggal Kirana, satu dosen wanita senior lainnya dan satu dosen pria. Kirana mulai membuka lagi meja, yang memperlihatkan beberapa tumpukan tugas milik mahasiswa yang belum sempat diperiksa oleh Pak Anton, dikarenakan beliau yang tiba-tiba jatuh sakit, dan harus di pensiun secara dini.

Kirana bangkit dari duduknya, dan sedikit berjongkok untuk mengambil tumpukan tugas itu. Dan membawanya ke atas meja. Kirana menyeka bulir-bulir kecil keringat yang muncul di bagian dahinya, dengan menggunakan selembar tisu. "Baiklah... Mari kerjakan semuanya," gumam Kirana sambil mengeluarkan bolpoin berwarna merah dari dalam kotak pensilnya.

Kirana mulai membuka satu per satu tugas para mahasiswa itu. Membacanya dengan sangat teliti, memberikan coretan-coretan pada jawaban yang salah. Dia dosen baru, jadi mungkin, dia tidak akan terlalu ketat dengan tugas atau bahkan jawaban yang diberikan oleh para mahasiswa nya itu. Tentu saja. Bukan berarti dia tidak peduli terhadap mahasiswa nya. Kirana hanya bersikap luwes saja. Dan semoga saja, bisa disukai oleh semua mahasiswa nya.

Lembar demi lembar, Kirana menyelesaikan penilaiannya. Lagipula, jika ada tugas seperti itu, lembaran tugas itu, tetap akan berada di dalam laci mejanya. Setelah itu, dia hanya perlu untuk meng-input nilai tugas mereka semua. Setelah hampir satu jam lewat dua puluh menit, akhirnya Kirana selesai menilai tugas-tugas itu. Dengan cekatan dia membuka laptopnya dan meng-input nilai.

Dia akan mengajar lagi di siang hari. Sesekali Kirana melirik ke arah arloji kecil yang ada di pergelangan tangan kirinya itu. Sudah menunjukkan pukul dua belas siang, dan dia mengajar di jam satu siang. Itu artinya dia hanya memiliki waktu satu jam lagi untuk menyelesaikan input nilai, dan juga, jika sempat dia akan membeli roti atau makan siang dalam porsi kecil di kantin fakultas.

Jari-jari kedua tangannya bergerak cepat dan kedua matanya menatap penuh fokus ke arah layar laptopnya. Ini bahkan terasa jauh lebih mudah, dibandingkan saat dia menjadi asisten dosen. Karena saat menjadi asisten dosen, Kirana hampir melakukan semua kegiatan bahkan keperluan yang diperlukan oleh dosennya. Yang terkadang, tidak harus dia lakukan. Seperti menyiapkan kopi atau makanan kecil, atau bahkan hal lainnya.

Dring Dring

Ponsel Kirana bergetar tepat di atas meja. Di bagian samping kanannya. Kirana melirik ke arah layar ponselnya yang menyala. Memperlihatkan notifikasi pesan yang masuk dari aplikasi WhatsApp nya. Kirana kembali fokus ke arah layar laptop dan lembar-lembar tugas mahasiswa. Menghiraukan pesan yang hanya menampilkan nomor. Dia akan membalasnya nanti. Tentu saja.

"Huff... Akhirnya selesai juga," gumam Kirana sambil sedikit meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa sangat kaku sejak tadi. Kirana melirik ke arah arlojinya, dia tersenyum kecil, saat sadar, bahwa dia masih memiliki dua puluh menit sebelum masuk kembali dan mengajar.

Kirana mengambil tas kerjanya dan mengambil dompet kecil miliknya. Lalu meletakkan kembali tas itu ke bagian atas meja, memasukkan ponselnya ke dalam tas. Kirana bangkit dari duduknya dan berjalan perlahan meninggalkan meja dosennya. Baru beberapa langkah, dia berhenti, teringat akan pesan WhatsApp yang bahkan belum sempat dia buka untuk dibaca atau bahkan dijawab.

"Aku akan membalasnya nanti saja. Sekarang, aku benar-benar lapar," gumam Kirana sambil mulai melanjutkan kembali langkah kedua kakinya menuju kantin fakultas yang jaraknya tidak jauh dari ruang dosen.

"Eh, Bu Kirana... Baru mau makan siang?" tanya penjaga kantin, yang bernama Bu Ratmi, seketika saat melihat Kirana mulai memilih roti dan minuman susu dalam botol.

Kirana menolehkan kepalanya menatap ke arah Bu Ratmi dengan senyuman kecil. Dia menganggukkan kepalanya dengan perlahan. "Iya bu... Baru selesai menilai tugas mahasiswa soalnya. Makanya baru bisa makan deh..." jawabnya sambil berjalan mendekat ke arah meja kasir, tempat dimana Bu Ratmi duduk saat ini.

Kondisi kantin mulai sepi, karena banyak mahasiswa yang mulai masuk ke dalam ruang kelas mereka masing-masing. Kirana memutuskan untuk makan roti isi coklat, dengan sebotol susu rasa stroberi. Memperlihatkannya kepada Bu Ratmi. "Totalnya tiga belas ribu..." ucap Bu Ratmi.

Dengan segera Kirana meletakkan roti dan botol susu itu ke atas meja kasir. Membuka dompetnya mengambil uang sepuluh ribu rupiah satu lembar dan uang lima ribu rupiah satu lembar. Menyerahkan langsung kepada Bu Ratmi, dan menerima uang kembalian sebesar dua ribu rupiah, segera saja Kirana memasukkannya kembali ke dalam dompetnya.

"Terimakasih ya... Kalau begitu saya duluan..." ucap Kirana setelah menutup kembali dompetnya, dan membawa roti serta botol susu itu menuju ruang dosen.

"Iya bu..." gumam Bu Ratmi sambil kembali melanjutkan pekerjaannya.

Kirana berjalan dengan cukup cepat, mengingat waktu makan siang yang sekarang dia miliki cukup singkat. Segera duduk di atas kursinya, dan memakan roti isi coklat itu secara perlahan. Salah satu tangannya bergerak cepat memasukkan kembali dompetnya ke dalam tas, menyiapkan buku-buku materi sesuai mata kuliah yang dia ajarkan.

Kirana melipat bungkus plastik roti itu dan membuangnya ke dalam tempat sampah kecil yang berada tepat di bawah meja dosennya. Membuka tutup botol susu dan meminumnya hingga tandas. Setelah habis, Kirana menekan kuat botol itu hingga penyok, lalu membuang botol bekas itu ke dalam tempat sampah yang sama.

Membuka tasnya perlahan untuk mengambil sebotol kecil parfum dan juga lipstik berwarna cocoa. Memakai lipstik itu secara tipis di bagian bibirnya yang ranum. Serta mulai menyemprotkan parfum secara perlahan di beberapa bagian tubuhnya. Setidaknya, kali ini, dia tidak ingin tercium bau oleh mahasiswa nya, di kelas siang hari.

Kirana tersenyum kecil. Dia siap. Harus, tentu saja. Dia sama sekali tidak ingin lagi terlihat kaku atau bahkan gugup seperti saat dia mengajar di kelas pada pagi hari tadi. Untung saja, para mahasiswa nya itu sama sekali tidak menyadari jika dia sudah sangat gugup sebelum bahkan saat mengajar mata kuliah kepada mereka semua. Kini, Kirana sudah siap, bisa dipastikan sepenuhnya.

Kirana menutup sejenak kedua matanya dan membukanya, sambil menghela napas. Kirana segera mengambil tas dan buku-buku itu, berjalan menuju ruang kelas dimana dia akan mengajar kali ini.

**

"Assalammualaikum..." salam Kirana saat membuka pintu rumahnya.

"Sudah pulang? Ini, ibu sudah buatkan teh hangat. Kamu mandi dulu, baru minum teh ya..." ucap Ibunya dengan senyuman, meletakkan segelas teh hangat ke atas meja makan.

Kirana tersenyum kecil, dan mencium pipi kiri ibunya itu. "Aku akan mandi dulu. Oh iya, mana ayah?" tanya Kirana sambil membuka sepatu high heels-nya. Dia selalu menyimpan sepatu, sandal, dan high heels miliknya di dalam kamar.

"Itu... Lagi di kamar kakak kamu tuh. Ibu heran, Panji itu susah sekali kalau diberitahu. Masa, sudah tahu pacarnya yang sekarang, ibu sama ayah nggak suka, masih saja tetap dikenalkan," jawab ibunya dengan ekspresi tidak suka dan marah bercampur menjadi satu. "Tadi siang itu, pacarnya datang, pakai celana jeans ada lubang-lubangnya lagi... Bahunya juga ketat banget... Ibu sampai gemas, mau pakaikan pakaian kamu ke pacar kakak kamu itu. Ih!" lanjut ibunya dengan ekspresi wajahnya yang penuh kegemasan.

Kirana tertawa geli melihat itu. Sebenarnya Kirana tahu bahwa kakaknya, yang bernama Panji itu belum terlalu serius dengan pacarnya yang sekarang. Panji hanya ingin tahu tipe perempuan seperti apa yang disukai oleh kedua orang tuanya, tentu saja, dia akan menyukainya juga. Panji sama sekali tidak pilih-pilih tentang masa depannya.

"Mungkin, Kak Panji lebih memilih dijodohkan, bu... Lagipula, kakak juga sudah lama tidak memiliki pacar yang benar-benar mau serius untuk menikah. Kasihan juga kalau kelamaan di gantung," jawab Kirana yang membuat dirinya dan juga ibunya tertawa.

"Iya juga... Itu ide yang bagus. Ibu akan mendiskusikannya dengan ayahmu nanti. Siapa tahu, setelah kakak kamu menikah, kamu juga bisa langsung menyusul, nikahnya," ucap ibunya yang membuat Kirana berhenti tertawa.

Wajah Kirana berubah datar, sedikit gugup, takut, dan cemas. Kirana berdehem kecil. "Em... Aku mau mandi dulu..." gumam Kirana sambil membawa sepatu high heels-nya berjalan menaiki anak tangga ke lantai dua, dimana kamarnya dan juga kamar kakaknya berada.

Kirana membuka pintu kamarnya dan langsung saja menguncinya. Meletakkan sepatu high heels-nya ke atas rak sepatu, dan seketika saja melemparkannya tas beserta tubuhnya ke atas ranjang. "Menikah? Mungkin itu adalah hal yang paling mustahil untuk aku lakukan sekarang..." gumam Kirana sambil menatap langit-langit kamarnya yang berwarna biru muda dengan hiasan awan.

Kirana menghela napasnya. Menolehkan kepalanya, menatap ke arah tasnya. Dia teringat akan pesan yang belum dia buka tadi sejak di kampus. Dengan segera, Kirana membuka tas dan mengambil ponselnya. Membuka aplikasi WhatsApp nya dan mulai membuka serta membaca isi pesan itu.

Assalammualaikum Bu Kirana, Saya mau bertanya tentang materi... Sebenarnya, untuk tugas saya sudah paham, hanya saja ada satu materi yang sulit untuk saya cerna... Dibagian materi tentang Teori Black Hole.

Isi dari pesan itu, menandakan bahwa itu berasal dari salah satu mahasiswa-nya. Seketika Kirana mengerutkan dahinya, karena nomor WhatsApp yang menghubunginya ini, bukan milik penanggung jawab kelas di mata kuliahnya. Tapi Kirana sama sekali tidak terganggu, dia merasa senang, karena mahasiswa-nya cukup antusias untuk memahami lebih dalam tentang materi mata kuliahnya itu.

Dengan segera Kirana memberikan jawaban, dengan cukup lengkap, tenyang Teori Black Hole, yang menjadi pertanyaan mahasiswa-nya itu. Jawabannya cukup panjang. Dan Kirana mengakhirinya dengan menulis pesan :

Apakah sudah bisa dipahami?

Kirana melihat bahwa pesannya sudah dibaca, dia menunggunya, hingga mahasiswa-nya itu selesai membaca dan menjawab.

Sudah, bu... Terimakasih banyak. Saya sudah mengerti lebih jelas lagi sekarang.

Kirana tersenyum bahagia karena itu. Kirana dengan cekatan menuliskan pesan jawaban lagi.

Iya, sama-sama. Ini mahasiswa dari kelas yang mana ya?

Dari kelas A bu, yang pagi tadi.

Kirana menganggukkan kepalanya perlahan.

Oh iya sudah... Namanya siapa?

Kirana mengerutkan dahinya. Karena mahasiswa-nya itu sudah membaca pesannya tapi tidak dengan segera membalas pertanyaannya yang terakhir itu. Layar memperlihatkan bahwa mahasiswa-nya sedang mengetik. Dan Kirana semakin penasaran, mungkin nama yang dimiliki mahasiswa itu cukup panjang, sehingga menulisnya cukup lama.

Abinaya... Abinaya Pratama.

"Oh... Abinaya..." gumam Kirana tersenyum kecil saat membacanya.

Part 3. Foreign Feelings

Abinaya sama sekali tidak bisa berhenti untuk tersenyum sejak dia mengirimkan pesan kepada ibu dosen yang membuatnya pertama kali merasakan perasaan yang aneh. Tentu saja, Kirana. Abinaya terus menatap ke arah layar ponselnya, tepat di bagian ruang chat aplikasi WhatsApp di nomor milik Kirana.

"ABI!! AYO MAKAN!!" teriak ibunya dari arah meja makan, membuat Abinaya terkejut, hingga membuat ponsel yang dia pegang jatuh menimpa wajahnya.

"Aduh... Ssshhh..." gumam Abinaya sambil mengusap-usap bagian wajahnya yang terasa nyeri saat itu juga.

Abinaya bangkit dari posisi tidurnya yang terlentang. Mulai mematikan ponselnya, dan meletakkannya tepat ke atas meja kecil di dekat ranjangnya. Sedikit mengerutkan dahinya, karena merasa pusing seketika. Berjalan perlahan mendekat ke arah kaca berukuran sedang yang tergantung di dinding kamarnya.

"Huff..." helaan napas Abinaya saat melihat bayangan wajahnya yang menampilkan bagian dahi dan juga ujung hidungnya yang memerah, akibat tertimpa ponsel tadi.

Abinaya pun segera keluar dari dalam kamarnya, dan berjalan menuruni tangga menuju ruang makan. Masih dengan wajahnya yang tertekuk, menahan rasa sakit. Saat sampai, dia melihat ibu, ayah, dan adik perempuannya, yang bernama Hana berusia delapan belas tahun, sudah duduk dan bersiap untuk makan malam.

Abinaya pun segera duduk tepat di samping Hana, dan mengambil nasi serta lauk pauk yang sudah disiapkan oleh ibunya itu. "Muka kamu kenapa Kak?" tanya Hana sambil mengamati wajah Abinaya dengan seksama. Sebenarnya, Hana juga sedang menahan tawa sejak sadar ada yang berbeda terlihat di wajah Abinaya.

Tangan kanan Abinaya yang akan menyendok makanan ke dalam mulutnya, seketika terhenti dan langsung saja turun, wajahnya kembali terlihat merengut. "Tertimpa ponsel..." jawab Abinaya dengan nada suaranya yang perlahan, dan tangan kanannya kembali mulai terangkat untuk menyendok makanan, sebelum kembali terhenti dengan penuh perasaan yang kesal.

"AHAHAHAH..."

Ibu, ayah, dan Hana seketika saja tertawa mendengar jawaban Abinaya. Membuat Abinaya semakin kesal adanya. "Bagaimana bisa? Dia masih saja sama seperti waktu smp dulu. Kamu juga sering sekali tertimpa ponsel di wajah... Astaga!" ucap ayahnya yang selalu saja bisa mendapatkan kesempatan untuk mengejek dan juga menggodanya. Tentu saja, hal itu membuat seluruh keluarganya tertawa semakin kencang.

"Uh... Bisakah kita makan saja, dan tidak membahas itu? Aku senang kesakitan di wajah dan kalian selalu saja bisa mentertawakan aku," ucap Abinaya yang membuat ibunya merasa gemas, dengan langsung mencubit kedua pipi Abinaya cukup keras hingga menyisakan jejak-jejak kemerahan disana.

Hana dan juga ayah mereka masih tertawa kecil, dan mulai makan makanan mereka masing-masing. "Lain kali, kalau mainan ponsel itu jangan sambil tiduran," gumam ibunya yang langsung saja dijawab dengan anggukan kepala Abinaya yang bergerak cepat. Tanda jika dia mengerti.

Mereka semua pun segera melanjutkan acara makan malam mereka yang sempat tertunda tadi. Masih dengan senyuman dan saling bertukar candaan, mereka tahu, Ada kalanya suasana makan atau bahkan berkumpul bersama dengan seluruh anggota keluarga, perlu diberikan candaan-candaan, agar suasana bisa semakin hidup, dan lebih berkesan tentu saja.

**

Abinaya mengunci pintu kamarnya. Berjalan mendekat ke arah meja kecil yang ada disisi ranjangnya. Mengambil ponsel dan langsung membuka aplikasi WhatsApp miliknya. Dia membuka bagian ruang chat dengan Kirana, dia terakhir dilihat sekitar satu jam yang lalu. Mengingat lagi bahwa sekarang sudah hampir jam sepuluh malam, membuat Abinaya semakin yakin, jika Kirana saat ini sudah tidur.

"Huff..." helaan napas Abinaya terdengar cukup jelas. Abinaya pun mengalihkan tubuhnya untuk duduk di tepi ranjangnya. Membuka bagian status, dan melihat semua status yang dibuat oleh teman dan juga keluarganya.

Dan seketika saja kedua matanya terbuka lebar, terkejut, saat melihat status yang berisi foto Kirana menopang dagu dengan salah satu telapak tangannya, dan tersenyum. Meski Abinaya tahu, bahwa senyuman itu terlihat sangatlah kaku, tapi Abinaya bisa langsung merasakan bahwa detakan jantungnya lagi-lagi menggila tidak bisa di kontrol lagi.

"Cantik sekali..." gumam Abinaya sambil meng-screenshots foto Kirana itu. "Tapi... Itu artinya..." Abinaya seketika bangkit berdiri dari duduknya dan senyuman lebar langsung muncul di bibirnya. "Itu artinya dia menyimpan nomor WhatsApp ku!!! Yes!! Yes!! Yes!!" teriak Abinaya yang tanpa sadar sambil melompat-lompat kecil.

Kedua pipinya memerah, senyuman semakin terlihat lebar di bibirnya. Dia terlihat sangat tampan, manis dan juga imut secara bersamaan. Abinaya sama sekali tidak sadar apa yang mempengaruhinya hingga menjadi sedemikian rupa. Terlebih, bisa-bisanya dia terpesona dengan kecantikan dosennya sendiri. Itu bisa menjadi lebih gila lagi. Tentu saja.

Dan untungnya lagi, kamar Abinaya kedap suara, sehingga saat Abinaya berteriak sambil melompat-lompat seperti anak kecil saat ini, ibu, ayah dan juga Hana tidak akan mendengarkan atau bahkan bertanya-tanya apa yang membuatnya menjadi sedemikian berubah.

"Oke... Tenang, Abinaya... Tenang... Astaga," gumam Abinaya sambil berusaha untuk meredam perasaan euphoria di dalam seluruh aliran darah di dalam tubuhnya saat ini.

Abinaya menarik dan menghembuskan napasnya secara perlahan dan juga berulang kali. Senyuman lebar masih tercetak di wajah tampannya itu. Abinaya pun segera mendudukkan dirinya kembali ke atas ranjang, dan berbaring disana. Membuka galerinya dan melihat screenshots foto Kirana yang tersenyum kaku tadi.

"Dia terlihat sangat kaku... Tapi, tersenyum kaku saja cantik dan juga manis, apalagi jika bisa melihatnya atau bahkan membuatnya tersenyum setiap harinya?" gumam Abinaya bertanya kepada dirinya sendiri. "Itu pasti akan terlihat sangatlah indah jika terjadi... Astaga, apa yang sedang aku pikirkan?" lanjutnya sambil tertawa kecil.

Ibu jari tangan kanan Abinaya, menyentuh layar ponselnya, seakan-akan benar-benar menyentuh wajah Kirana disana. "Aku harap... Aku bisa melakukannya. Tidak peduli status apa yang aku miliki, setidaknya aku ingin mengubah senyuman kaku itu menjadi senyuman yang tulus," gumam Abinaya sambil tersenyum kecil.

Tiba-tiba saja, Abinaya mendudukkan tubuhnya dan menutup ponselnya. Menyandarkan tubuhnya ke arah kepala ranjang. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali. Kedua telapak tangannya mulai terangkat tepat ke arah kedua pipinya dan menepuk keduanya beberapa kali. "Astaga, apa yang aku pikirkan? Bodoh... Aku bahkan tidak bisa memahami perasaanku sendiri. Perasaan ini seakan membunuhku dari dalam saja. Ini terasa tidak benar... Tapi juga, membuatku senang, bahagia dan... Perasaan asing yang bahkan tidak bisa ku jelaskan. Aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya," gumam Abinaya terus bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.

"Apa aku harus mencarinya melalui Google?" Abinaya melirik ke arah ponselnya yang tergeletak di sisi kanan tubuhnya. "Mungkin itu bisa saja membantuku, untuk menjelaskan semua yang baru saja, untuk pertama kalinya aku rasakan," lanjut Abinaya sambil mengambil kembali ponselnya.

Membuka cepat Google di ponselnya, dengan kedua telapak tangannya yang terasa gemetar. Membaca setiap website yang muncul disana, dengan seksama dan dengan penuh ketelitian. Memastikan bahwa ada kebenaran yang sesuai dengan yang dia alami saat ini. Dan tentu saja, Abinaya merasa sangat aneh terhadap dirinya sendiri, dengan mencari informasi yang bisa dibilang sangatlah sederhana untuk dipahami oleh semua orang yang pernah merasakannya.

Tentu saja. Tapi perlu untuk di ingat lagi, bahwa ini adalah perasaan yang untuk pertama kalinya di rasakan oleh Abinaya. Dan dia mulai merasa takut dan juga cemas saat merasakan perasaan atau bahkan suatu hal yang baru di dalam hidupnya. Dan setelah beberapa saat berada di dalam pencarian Google untuk bisa menentukan semua hal yang dia butuhkan, pada akhirnya Abinaya menemukan satu website yang berisi cukup lengkap penjelasan. Dan juga ada kuis pemastian dibagian paling akhir di dalam website tersebut. Bisa dibilang seperti itu.

"Baiklah... Mari kita coba..." gumam Abinaya yang mulai membaca isi website itu dengan teliti.

Perasaan asing yang membuat beberapa orang atau bahkan sebagian besar orang merasa bahagia, senang, dan euphoria, muncul diakibatkan oleh adanya hormon kimia yang terjadi di dalam tubuh. Yang mana bisa menghasilkan perasaan bahagia yang sulit untuk bisa dipastikan secara langsung. Tentunya, perasaan bahagia yang muncul bisa datang dari sesuatu yang memang membuat hormon kimia yang ada di dalam diri kita itu bereaksi. Contohnya bisa jadi, perasaan asing membahagiakan itu terjadi, saat melihat seseorang, tiba-tiba saja kota merasa senang. Itu bisa dikatakan sebagai jatuh cinta.

Abinaya seketika terhenti di bagian paling akhir kalimat itu. "Jatuh cinta? Apakah mungkin... Itu artinya juga... Aku sudah jatuh cinta pada Bu Kirana? Ini... Terasa sangat canggung, dan tetap membuat jantungku berdetak dengan semakin kencang..." ucap Abinaya dengan telapak tangan kanannya langsung menyentuh bagian dada, tepat di jantungnya. Dan dia bisa merasakan bagaimana jantungnya bereaksi hanya karena menyebut atau bahkan teringat kepada Kirana. Ini benar-benar terasa sangat gila.

Abinaya tertawa kecil, menjadi salah tingkah lagi. "Dan jika memang benar-benar perasaan asing yang sejak pagi tadi ku rasakan hingga sekarang... Adalah jatuh cinta. Maka bisa dipastikan jika, aku benar-benar sudah jatuh cinta kepada Bu Kirana... Dan itu membuatku merasa bahagia, dan euphoria. Aku bahkan tidak bisa mengetahuinya lebih cepat, jika jatuh cinta bisa membuat seseorang menjadi menggila seperti yang kini aku rasakan," lanjut Abinaya lagi.

Abinaya menutup aplikasi Google-nya, dan juga tidak lagi merasa perlu untuk mencoba kuis yang sudah disediakan oleh website itu. Hanya untuk memastikan apakah dia benar-benar jatuh cinta atau tidak. Tentu saja. Abinaya segera men-charger ponselnya, di atas meja kecil itu. Mematikan lampu kamar, dan membiarkan tirai jendela kamarnya terbuka, memperlihatkan langit malam hari yang cerah.

Terlihat oleh bulan dan juga banyaknya bintang yang bertebaran disana. Kedua mata berwarna cokelat muda itu terlihat melembut, masih dengan senyuman kecil di bibirnya. "Dan sepertinya, aku tahu kemana hatiku tetap akan berlabuh sekarang. Meski aku tidak yakin seratus persen, bagaimana perasaan Bu Kirana, jika saja sampai mengetahui bahwa ada salah satu dari mahasiswa yang dia ajar, sudah jatuh cinta untuk pertama kalinya. Dan terlebih lagi... Itu adalah cinta pada pandangan pertama," gumam Abinaya yang semakin merasakan euphoria di dalam hatinya.

Perasaan asing yang menyenangkan itu, benar-benar bisa membuat Abinaya tidak berhenti untuk memikirkan Kirana. "Dan juga... Aku yakin, Bu Kirana akan senang, jika mengetahui fakta yang lainnya... Bahwa dia, adalah cinta pertama yang aku miliki selama dua puluh dua tahun ini. Dan itu membuatku gila..."

Abinaya tertawa kecil sambil menutup wajahnya dengan menggunakan salah satu bantal yang ada di atas ranjangnya. Tak lama membukanya dan memperlihatkan wajah manis yang semakin terlihat memerah. "Abinaya... Kamu sudah gila sekarang. Benar kata Bayu, jatuh cinta bisa membuat orang pintar menjadi hilang akal seketika. Bodoh sekali..."

Abinaya mulai memperbaiki posisi tidurnya dan memeluk bantal dengan erat. Menutup kedua matanya dan mencoba untuk tidur. Menunggu hari esok untuk mata kuliah yang lainnya. Atau bahkan mungkin, setelah jam kuliah selesai, dia akan mencuri-curi waktu untuk memperhatikan Kirana dari jarak jauh. Dan terpesona oleh kecantikannya lagi dan lagi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!